• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR PENYEBAB KONFLIK

2.4 Analisis Konflik

2.4.1 Penahapan konflik

Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekeraasan yang berbeda. Secara umum, analisis dasar tahapan konflik terdiri dari lima tahap, meskipun terdapat variasi-variasi dalam situasi khusus dan mungkin berulang dalam siklus yang sama. Tahap-tahap ini menurut Fisher et al. (2000) adalah:

(1) Prakonflik : ini merupakan periode dimana terdapat sesuatu ketidaksesuaian sasaran diantara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik terjadi dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan diantara beberapa pihak dan atau keinginan untuk menghindari kontak antara satu sama lain pada tahap ini.

(2) Konfrontasi : pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, maka mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi ataupun perilaku konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainya terjadi diantara kedua pihak. Masing-masing pihak mungkin mengumpulkan sumberdaya dan kekuatan dan mungkin mencari sekutu dengan harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan diantara kedua pihak menjadi sagat tegang, mengarah kepada polarisasi diantara kedua pendukung di masing-masing pihak.

(3) Krisis : Ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang ketika orang-orang dari kedua pihak terdapat korban harta maupun nyawa. Komunikasi normal di antara kedua pihak kemungkinan terputus. Pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak-pihak lain.

(4) Akibat : Suatu krisis pasti akan menimbulkan akibat. Satu pihak mungkin menaklukkan pihak lain atau melakukan gencatan senjata (jika perang terjadi). Satu pihak mungkin menyerah atas desakan pihak lain. Kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi, dengan atau tanpa bantuan perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga lainnya yang lebih berkuasa mungkin

memaksa kedua pihak menghentikan pertikaian. Apapun keadaannya tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan pada tingkat ini agak menurun, dengan kemungkinan adanya penyelesaian.

(5) Pascakonflik : Akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke lebih normal diantara kedua pihak. Namun, jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahapan ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik.

2.4 2 Tipologi konflik perikanan

Obserchall (1973) mengatakan bahwa tanpa memiliki pemahaman tentang tipologi konflik, maka akan sulit untuk memberikan resolusi konflik yang efektif terhadap tipologi konflik akan memberikan manfaat yang signifikan dalam memprediksi outcome dari konflik.

Charles (1992) menandaskan bahwa pemahaman terhadap struktur konflik perikanan dapat dilakukan melalui tipologi konflik perikanan (Tabel 2), yang mencakup empat kategori. Dua dari empat kategori tersebut terkait dengan struktur dan implementasi dari sistem pengelolaan, sedangkan dua kategori lainnya berhubungan dengan alokasi terhadap sumberdaya, baik terjadi di perikanan itu sendiri, maupun antara pelaku perikanan dan pelaku ekonomi lain.

Tabel 2 Kategori tipologi konflik perikanan sebagai permasalahan terjadinya konflik (Charles 1992)

Yuridiksi perikanan

Mekanisme pengelolaan

Alokasi internal Alokasi eksternal Hak kepemilikan

(property rights)

Rencana pengelolaan

Konflik perang alat tangkap

Domestik vs asing

Peran pemerintah Konflik penegakkan Konflik antar pengguna Nelayan vs Pembudidaya Konflik antar pemerintah Interaksi nelayan pemerintah Nelayan vs industri perikanan Kompetisi pengguna laut Sumber : Charles 1992 1 Yuridiksi perikanan

(1) Hak kepemilikan. Debat mengenai hak kepemilikan (property rights) mencakup pertanyaan filosofis yang telah berlangsung sejak lama

mengenai aspek legal, sejarah dan/atau kepemilikan, akses dan kontrol di perikanan. Banyak konflik terjadi karena perbedaan kepentingan terhadap beberapa bentuk kepemilikan perikanan, antara lain: open-acces, manajemen terpusat, hak pengelolaan kawasan, pengelolaan berbasis masyarakat, kuota individu, dan privatisasi.

(2) Peran pemerintah. Debat mengenai peran pemerintah terkait dengan dua hal yaitu pengelolaan perikanan yang berfokus pada pengaturan secara terpusat oleh pemerintah dan pengelolaan yang lebih terdesentralisasi, yang meliputi opsi pengelolaan berbasis masyarakat dan pasar dan pengembangan co-management.

(3) Konflik antar pemerintah. Konflik antar pemerintah mencakup konflik antar negara, antara beberapa yuridiksi dalam satu negara, seperti pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

2 Mekanisme pengelolaan

(1) Rencana pengelolaan perikanan. Penyusunan rencana pengelolaan untuk menentukan tingkat penangkapan yang dibolehkan, alokasi penangkapan, waktu penangkapan dan/atau alat tangkap yang biasanya ditetapkan oleh pemerintah, merupakan sumber konflik antara nelayan dan pemerintah. (2) Konflik penegakan. Konflik ini terkait dengan konflik antara nelayan dan

pemerintah mengenai isu penegakan. Disatu sisi, nelayan mengeluh karena penegakan aturan oleh pemerintah dilakukan secara berlebihan terhadap suatu kelompok nelayan. Namun di sisi lain, kadang kala

pemerintah melakukan penegakan aturan yang terlalu ringan.

(3) Interaksi nelayan dengan pemerintah. Sumber konflik adalah seringkali pengetahuan dan ide-ide nelayan dikesampingkan oleh pemerintah dan

para ilmuwan dalam proses pengambilan keputusan 3 Alokasi Internal

(1) Konflik „perang alat tangkap’ (gear wars). Konflik terjadi karena adanya

perbedaan alat tangkap, atau perbedaan dalam „skala’ penangkapan,

misalnya perbedaan teknologi tradisional vs. modern di suatu daerah penangkapan.

(2) Konflik antar pengguna. Konflik ini muncul antara pengguna perikanan yang memiliki perbedaan segmen atau kelas dalam masyarakat, misalnya nelayan tradisional vs. nelayan industri, atau nelayan komersil vs. nelayan rekreasi.

(3) Nelayan vs. industri perikanan. Konflik antara nelayan dan industri perikanan biasanya terkait dengan pola pengelolaan ketenaga kerjaan, yang mencakup konflik penetapan harga ikan yang sesuai, upah yang sepatutnya diperoleh, dan masalah ekonomi lainnya yang terkait antara nelayan dan industri perikanan.

4 Alokasi Eksternal

(1) Domestik vs. asing. Konflik terjadi antara nelayan domestik di negara maritim dengan nelayan atau kapal asing. Konflik ini mencakup masalah illegal fishing dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara maritim, penangkapan ikan merusak, oposisi nelayan domestik terhadap perjanjian bilateral perikanan.

(2) Nelayan tangkap vs. pembudidaya. Konflik terjadi seputar isu pemanfaatan ruang laut dan kualitas lingkungan laut akibat kegiatan

budidaya perikanan di laut yang juga dimanfaatkan oleh nelayan tangkap. (3) Kompetisi penggunaan laut. Nelayan juga menghadapi konflik eksternal,

antara lain dengan kapal besar (biasanya karena tumpahan minyak), penambangan di laut, pariwisata, kehutanan.

Pengenalan tipologi konflik merupakan hal penting untuk menjelaskan penyebab terjadinya konflik, karena dengan diketahui tipologi konflik maka penyebab dan alternatif resolusi konflik dapat dianalisis. Tipologi tidak berupaya menggambarkan semua bukti-bukti empiris, tetapi menarik benang merah yang diperkirakan dapat mewakili suatu karakteristik (McKinney 1966)

Tipologi konflik yang lebih maju berhasil dikelompokkan oleh FAO (1996). Pengelompokan didasarkan pada level mana konflik itu sendiri terjadi (mulai dari konflik rumah tangga hingga konflik internasional), penyebab terjadinya konflik (terkait dengan akses, kualitas sumberdaya, otoritas, nilai sumberdaya, informasi dan hukum) serta status penyebab konflik (immediate, intermediate, root)

Menyempurnakan kategori yang dibuat Charles (1992), Warner (2000) mengusulkan lima tipe konflik. Tipe pertama adalah konflik berkenaan dengan

who controls the fishery,” misalnya masalah akses terhadap wilayah dan

sumberdaya laut. Tipe kedua adalah konflik yang terkait permasalahan “how the fishery controlled.” Tipe konflik ini meliputi konflik-konflik terkait penerapan aturan-aturan pengelolaan sumberdaya laut, alokasi kuota dan lain-lain. Tipe konflik ketiga adalah konflik yang terkait hubungan antara nelayan yang memiliki latar belakang etnik, ras yang berbeda, atau konflik antara nelayan dan jenis teknologi yang berbeda. Tipe konflik keempat adalah konflik yang terkait hubungan antara nelayan dengan pelaku usaha laut lain seperti pelaku wisata bahari, konservasi dan industri. Tipe terakhir, kelima, adalah konflik yang tidak terkait langsung dengan kegiatan penangkapan tetapi mempengaruhinya. Contoh konflik-konflik dalam tipe ini adalah konflik yang lahir karena kasus-kasus kerusakan lingkungan, perubahan ekonomi (kenaikan dengan bahan bakar minyak), korupsi dan lain-lain.

Di Indonesia Satria (2004) membagi konflik perikanan menjadi 7 (tujuh) tipe, yakni: (1) Konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi akibat kesenjangan teknologi penangkapan ikan; (2) Konflik kepemilikan sumberdaya, yaitu konflik akibat isu kepemilikan sumberdaya: laut milik siapa? Ikan milik siapa?; (3)

Konflik pengelolaan sumberdaya, yaitu konflik akibat “pelanggaran aturan

pengelolaan” Isu: siapa berhak mengelola SDI atau SD laut?; (4) Konflik cara

produksi/alat tangkap, yaitu konflik akibat perbedaan alat tangkap, baik sesama alat tangkap tradisional maupun tradisional-modern yang merugikan salah satu pihak; (5) Konflik lingkungan, konflik akibat kerusakan lingkungan akibat praktek satu pihak yang merugikan nelayan lain; (6) Konflik usaha, konflik yang terjadi di darat akibat mekanisme harga maupun sistem bagi hasil yang merugikan sekelompok nelayan; (7) Konflik primordial, yaitu konflik yang terjadi akibat perbedaan ikatan primordial/identitas (ras, etnik, asal daerah).