BAB II LANDASAN TEORI
2.8 Autisme
2.8.5 Penanganan Autisme
Makin banyaknya fenomena anak autis belakangan ini, membuat para ahli, baik itu peneliti, dokter atau psikiater anak berkutat mencari penanganan atas penyakit autis ini. Seperti yang telah dijelaskan di atas, Autisme adalah gangguan perkembangan yang disebabkan oleh adanya interferensi pada perkembangan otak pada masa prenatal atau selama satu atau dua tahun awal kehidupan anak. Selain itu Autisme juga merupakan manifestasi perilaku yang timbul dari disfungsi yang terjadi pada maturasi neurobiologis dan fungsi sistem saraf pusat. Gangguan perkembangan inilah yang menyebabkan kekurangan pada tiga area yaitu area interaksi sosial, area komunikasi serta area perilaku. Keterlambatan atau fungsi abnormal pada salah satu dari ketiga area tersebut muncul sebelum usia tiga tahun. Kekurangan pada area interaksi sosial ini merupakan hal yang amat menjadi keluhan orang tua dan merupakan ciri utama yang menyadarkan orang tua untuk curiga mengenai kemungkinan adanya gangguan pada anaknya. Perincian gangguan pada interaksi sosial di antaranya:
a. Adanya kerusakan yang nyata pada penggunaan perilaku non-verbal, terutama pada imajinasi, komunikasi dan sosialisasi.
b. Kegagalan membentuk hubungan dengan peer. Untuk itu intervensi perilaku dan pendidikan yang terus-menerus sangat berguna dan menjadi inti dari perawatan yang dilakukan terhadap penyandang Autisme.
Menurut para ahli, psikiater anak atau pun para dokter yang menggeluti penyakit autis ini, Autisme bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan melainkan hanya dapat dikurangi kelemahannya. Sehingga pengertian „sembuh’ dalam hal
ini yaitu dimana kondisi penderita autis sudah mampu berpikir serta bertingkah laku seperti anak-anak lainnya tanpa pertolongan dari para ahli, tanpa metode
khusus dan tidak menjalani terapi yang diperlukan. Namun definisi „sembuh’ ini
pun kemungkinannya sangat kecil sekali. tetapi secara umum, penyandang autis
dikatakan “sembuh” bila ia mampu hidup mandiri (sesuai dengan tingkat usianya), berperilaku normal, berkomunikasi dan bersosialisasi dengan lancar serta memiliki pengetahuan akademis yang memadai untuk anak seusia mereka.
Banyak faktor yang menentukan seorang penyandang autis bisa dikategorikan berhasil „sembuh’, di antaranya tingkat keparahan dari kondisi autis, usia anak, tingkat kecerdasan dan kemampuan bahasa dari sang anak, fasilitas penunjang seperti dokter, terapi, dan sekolah khusus, kesiapan orang tua dalam membantu untuk mencari yang terbaik bagi sang anak, serta dukungan masyarakat luas.
Menurut psikiater anak, baik yang tergabung dalam Yayasan Autisme Indonesia yang berkedudukan di Jakarta maupun ahli psikiater anak di RSUD dr. Soetomo Surabaya, Autisme dapat dikurangi kelemahannya. Walaupun autis tidak dapat disembuhkan seratus persen, tetapi penyandang autis dapat dilatih melalui terapi, sehingga ia bisa tumbuh normal seperti anak sehat lainnya. Dalam hal ini, terapi saja tidak akan berhasil karena diperlukan peran orang tua dalam melihat
perkembangan anaknya. Oleh karena itu, kunci kesembuhan autis adalah orang tua dan terapi tata laksana perilaku.
Penanganan perilaku, pendidikan dan medikasi terbukti dapat meningkatkan kemampuan belajar dan berperilaku anak penyandang autis, bahkan memungkinkan beberapa anak penyandang autis untuk berfungsi mendekati
normal, belum ada obat yang dapat „menyembuhkan’ gangguan ini. Penanganan
pada anak penyandang autis diarahkan untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki anak serta menolong anak dan keluarga untuk mengatasi dan hidup dengan gangguan ini secara lebih efektif.
Penanganan yang diberikan, disesuaikan dengan gejala yang diperlihatkan oleh penyandang autis. Anak penyandang autis yang memiliki inteligensi rata-rata, mampu berkomunikasi dan tidak memiliki perilaku repetitif atau melukai diri sendiri maupun orang lain akan berbeda fokus penanganannya dengan anak penyandang autis yang memiliki mental retardasi, tidak berbicara, serta memiliki perilaku melukai diri sendiri maupun orang lain.
Anak penyandang autis yang memiliki mental retardasi akan membutuhkan pengawasan dan bantuan untuk menjalani rutinitas sehari-hari seumur hidupnya. Strategi penanganan untuk anak-anak ini biasanya menekankan pada menghilangkan perilaku yang berbahaya, melukai diri sendiri maupun orang lain. Mendorong keterampilan bantu diri (misalnya membersihkan diri setelah buang air kecil/besar atau cara menggunakan kamar mandi, mandi/merawat, tubuh/berpakaian, makan dan minum sendiri), kepatuhan pada peraturan atau
permintaan sederhana, munculnya perilaku emosional dan sosial yang sederhana, mengkomunikasikan/ mengutarakan kebutuhannya, bermain.
Seiring dengan anak bertambah dewasa, penanganan berfokus pada pengajaran mengenai keterampilan domestik (rumah tangga) atau yang berhubungan dengan pekerjaan sederhana untuk menyiapkan mereka hidup sendiri dengan pengawasan. Dalam menghadapi orangtua dari anak penyandang autis yang low-functioning ini, kita mesti berhati-hati untuk tidak mendorong pengharapan yang berlebihan akan ada kemajuan yang pesat dari anak dan tidak juga mendorong pesimisme yang berlebihan. Yang penting menghargai setiap kemajuan anak, betapapun perlahan-lahannya, serta menikmati hidup bersama anak yang memiliki keunikan ini.
Untuk penyandang autis ringan, hasil penanganan bisa sangat bervariasi, bergantung pada anaknya sendiri, orangtua, kualitas dari penanganan dan pendidikan dini, serta kesempatan-kesempatan yang ada di kemudian hari. Berikut adalah terapi-terapi yang sedikitnya dapat dilakukan dan biasa diterapkan di yayasan-yayasan yang bergerak dalam memberikan terapi dan pembelajaran sebagai penanganan terhadap anak penyandang autis:
1. Terapi Perilaku
Terapi perilaku, berupaya untuk melakukan perubahan pada anak autistik dalam arti perilaku yang berlebihan dikurangi dan perilaku yang berkekurangan (belum ada) ditambahkan. Terapi perilaku yang dikenal di seluruh dunia adalah Applied Behavioral Analysis yang diciptakan oleh O.Ivar Lovaas PhD dari University of California Los Angeles (UCLA).
Dalam terapi perilaku, fokus penanganan terletak pada pemberian
reinforcement (penguatan) positif setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yang diberikan. Tidak ada hukuman (punishment) dalam terapi ini, akan tetapi bila anak berespons negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama sekali maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut. Perlakuan ini diharapkan meningkatkan kemungkinan anak untuk berespons positif dan mengurangi kemungkinan ia berespons negatif (atau tidak berespons) terhadap instruksi yang diberikan. Secara lebih teoritis, prinsip dasar terapi ini dapat dijabarkan sebagai A-B-C; Yakni A (antecedent) yang diikuti dengan B (behavior) dan diikuti dengan C (consequence). „Antecedent’ (hal yang mendahului terjadinya perilaku) berupa instruksi yang diberikan oleh seseorang kepada anak autis. Melalui gaya pengajarannya yang terstruktur, anak autis kemudian memahami „Behavior’ (perilaku) apa yang diharapkan dilakukan olehnya sesudah instruksi tersebut diberikan, dan perilaku tersebut diharapkan cenderung terjadi lagi bila anak memperoleh
„Consequence’ (konsekuensi perilaku, atau kadang berupa imbalan) yang menyenangkan. Tujuan penanganan ini terutama adalah untuk meningkatkan pemahaman dan kepatuhan anak terhadap aturan. Terapi ini umumnya mendapatkan hasil yang signifikan bila dilakukan secara intensif, teratur dan konsisten pada usia dini.
2. Terapi Wicara
Terapi Wicara adalah terapi yang dilakukan pada prinsip-prinsip di mana timbul kesulitan berkomunikasi atau ganguan pada berbahasa dan berbicara bagi orang dewasa maupun anak. Terapis Wicara (orang yang memberikan terapi berbicara) dapat diminta untuk berkonsultasi dan konseling, mengevaluasi, memberikan perencanaan maupun penanganan untuk terapi, dan merujuk sebagai bagian dari tim penanganan kasus. Ganguan Komunikasi pada Autistic Spectrum Disorders (ASD) bersifat, verbal, non-Verbal dan kombinasi.
3. Terapi Biomedik
Penanganan biomedika atau intervensi biomedis merupakan terapi yang menuntut anak untuk menjalani diet tertentu. Intervensi biomedis diperlukan untuk membenahi kerusakan sel-sel tubuh akibat keracunan logam berat dan mengusir kendala-kendala yang menghalangi masuknya nutrisi ke otak.
4. Terapi Medikamentosa
Terapi jenis ini dilakukan dengan menggunakan obat-obatan. Pemakaian obat-obat ini akan sangat membantu untuk memperbaiki respon anak terhadap lingkungan sehingga ia lebih mudah menerima tata laksana terapi yang lain. Obat yang selama ini cukup sering di gunakan dan memberikan respon yang baik adalah riperidone. Menurut penjelasan dari para peneliti pada 101 anak-anak (82 anak laki-laki 19 anak perempuan) usia 5-17 tahun. Hasilnya mereka yang diterapi dengan riperidone setelah 6 bulan
terbukti tidak menunjukkan gejala berulang agresifitas dan kebiasaan mengacau yang lebih parah lagi.
5. Pendidikan Khusus
Tata laksana perilaku yang lainnya adalah teknik memecah perilaku atau aktivitas yang kompleks menjadi bagian yang kecil-kecil. Bagian yang kecil-kecil ini diajarkan sendiri-sendiri secara sistematik, terstruktur, dan terukur. Misalnya, instruksi kompleks seperti, “Ambilkan baju coklat di atas meja, lalu lipat dengan baik, dan simpan di lemari” tentu tidak
mungkin dikerjakan anak. Apalagi bila ia belum menguasai konsep
“ambil”, “lipat”, dan “simpan”. Selain itu, anak belum menguasai konsep
baju dan warna. Para orang tua dan terapis harus mengajarkan satu persatu pengetahuan itu, lalu digabungkan dalam rangkaian kecil-kecil. Selanjutnya rangkaian kecil-kecil ini digabungkan menjadi satu kesatuan yang kompleks. Cara pengajarannya antara orang tua dan terapis harus sama. Ini untuk membantu anak lebih mudah mempelajarinya.
Cara pengajaran ini dimulai dengan sistem satu guru satu murid dalam satu ruangan yang bebas distraksi (pengalih perhatian). Pengajaran dilakukan berulang-ulang sampai anak berespon tanpa bantuan (frompi). Baik dirumah maupun ditempat terapi orang tua atau terapis harus pula menyediakan gambar-gambar atau alat bantu lain yang memudahkan anak belajar. Seperti untuk mengenal buah jeruk, orang tua harus menyediakan buah jeruk atau gambar jeruk. Ini juga membantu anak mengenalkan benda dengan dimensi yang berbeda. Secara bertahap anak dibawa ke
kelompok kecil, lalu ke kelompok besar. Anak dicoba untuk dimasukkan ke sekolah umum. Di kelas mulanya anak didampingi oleh orang tua/ terapis (shadow) yang tugasnya menjembatani instruksi dari guru ke anak, dan juga membantu respon anak, shadow mula-mula lekat dengan anak, secara bertahap jarak semakin diperbesar bersamaan dengan semakin kurangnya intensitas dan frekuensi frompi. Target perilaku yang bisa dicapai anak harus ditetapkan secara realistis dan sesuai dengan kemampuan anak. Jangan menargetkan terlalu tinggi karena akhirnya akan membuat anak frutasi dan kecil hati. Bila anak berhasil melakukan sesuatu, orang tua dan terapis akan semakin termotivasi mengajarkan sesuatu yang lebih baru lagi. Anak pun menjadi lebih senang beraktivitas, dan otomatis perilaku yang aneh semakin berkurang, meski belum sepenuhnya menghilang.
6. Terapi Okupasi
Biasanya sebagian dari penderita autis mengalami gangguan pada gerak ototnya sehingga perlu dilakukan terapi okupasi. Terapi okupasi dapat dilakukan dengan melatih gerak motorik otot, misalnya anak disuruh melepas baju, menaruh tas, dan lain-lain. Dalam melakukan terapi ini anak tidak dibiarkan begitu saja melakukan pekerjaan yang kita suruh, tetapi harus ada bantuan dan bimbingan secara pelan-pelan dari orang tua. Orang tua tidak dapat memaksa anak karena itu malah membuat anak memberontak. Terapi ini sebaiknya dilakukan tahap demi tahap. Jika anak sudah dapat melakukan satu pekerjaan, ia dibimbing untuk melakukan
pekerjaan lainnya. Dalam hal ini, orang tua harus memiliki kesabaran dalam memantau perkembangan anaknya sehingga hasil yang dicapai dapat maksimal.
7. Terapi Musik
Sejak tahun 1880-an, musik diyakini dapat digunakan sebagai sarana untuk penyembuhan karena musik dianggap sebagai suatu alat yang dapat membelokkan perhatian dari rasa sakit dan ketidaknyamanan. Musik tidak hanya membawa dampak positif bagi perkembangan otak tetapi juga bagi perkembangan emosi karena musik dapat membantu manusia mengekspresikan atau melepas emosinya. Selain itu musik juga dapat digunakan untuk relaksasi, meringankan stress, dan menghilangkan kecemasan.
8. Terapi Ruhiyah
“Manusia diciptakan oleh Allah, sehingga apapun yang terjadi semuanya
kembali pada Allah”, begitulah kutipan singkat dari wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap seorang ibu yang memiliki anak penderita autis.. Ibu tersebut menjelaskan bahwa kebanyakan dari anak autis sulit untuk mengenal sesuatu yang abstrak. Beliau juga mengungkapkan bahwa anak autis sulit untuk menghadirkan adanya Allah dalam pikiran mereka. Sedangkan, kebanyakan dari terapi-terapi yang dilakukan untuk anak autis adalah tidak adanya pengajaran untuk mengenal sang Pencipta.
9. Terapi Integrasi Sensoris
Dalam bukunya “Sensory Integration and the Child” (Western Psychological Services, 1994), dr. Jean Ayres, Ph.D, terapis anak dari Amerika Serikat, mendefinisikan integrasi sensory atau sensory integration sebagai “pengaturan input sensor”. Untuk lebih mudah memahaminya, perhatikan contoh berikut. Setiap saat, anak akan menerima beragam input yang disampaikan ke otak melalui kelima panca inderanya. Informasi tersebut bisa secara tidak sengaja diperoleh (seperti suara-suara di sekitarnya) atau sengaja dicari (seperti membaca buku). Pada prinsipnya, dengan terapi ini, anak disuruh melakukan serangkaian aktivitas dengan memakai alat-alat tertentu dibawah bimbingan seorang terapis. Semua alat-alat yang dipakai dalam terapi ini secara khusus dirancang untuk memberikan rangsangan pada lokasi-lokasi sensor. Sekilas, bagi yang pertama kali melihatnya, terapi ini tampak seperti permainan saja.
Lima tahap proses integrasi sensorik, yaitu:
1. Registration: otak menyadari datangnya suatu input. Misalnya, anak yang sedang bermain mendengar suara ibunya memanggil. Di sini, di dalam otak anak terdaftar adanya input yang masuk, yaitu suara ibu.
2. Orientation: otak memperhatikan atau mengabaikan input. Misalnya, anak kemudian memperhatikan suara ibu.
3. Interpretation: otak mengartikan input. Dalam proses ini, anak membandingkan input yang sedang diperhatikannya dengan pengalaman
lalu atau membandingkan pengalaman yang lalu dengan hal yang sedang terjadi. Misalnya, anak teringat bahwa pada kejadian yang lalu, ibu memanggilnya untuk memberi susu.
4. Organization: otak memutuskan input dan apa yang dilakukan terhadap input tersebut. Misalnya, anak kemudian bereaksi, yakni berhenti bermain, serta memutuskan akan melaksanakan suatu tindakan, yaitu menoleh kearah ibu sembari mengangkat tangannya. Ini dilakukannya karena kejadian sebelumnya, dia ingat bahwa ibu memanggil untuk memberinya susu dan tindakannya pada waktu itu adalah menoleh dan mengangkat tangannya untuk menerima susu.
5. Execution: tindakannya nyata terhadap input tersebut. Tindakan yang dilakukan bisa berupa respon motorik, emosi maupun kognitif. Di sini, anak kemudian melaksanakan tindakan nyata, berupa menoleh dan mengangkat tangannya.
10. Terapi Bermain
Sebagian besar teknik terapi bermain yang dilaporkan dalam literatur menggunakan basis pendekatan psikodinamika atau sudut pandang analitis. Hal ini sangat menarik karena pendekatan ini secara tradisional dianggap membutuhkan komunikasi verbal yang tinggi, sementara populasi Autisme tidak dapat berkomunikasi secara verbal. Namun terdapat juga beberapa hasil penelitian yang menunjukkan penggunaan terapi bermain pada penyandang Autisme dengan berdasar pada pendekatan perilakuan (Landreth, 2001). Salah satu contoh penerapan
terapi bermain yang menggunakan pendekatan perilakuan adalah The ETHOS Play Session dari Bryna Siegel (Schaefer, Gitlin, and Sandgrund, 1991).
11. Terapi Multimedia
Salah satu indera yang paling kuat menangkap sinyal eksternal dari anak autis adalah indera penglihatan. Mereka dapat dengan cepat merekam dalam memori mereka dalam waktu yang sebentar saja warna-warna, bentuk maupun gambar-gambar. Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar, misalnya dengan metode multimedia interaktif dan PECS (Picture Exchange Communication System). Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan ketrampilan komunikasi. (Haryanto, 2010).
Terapi multimedia menggunakan Picture Exchange Communication (PEC) atau Computer Pictograph for Communication (COMPIC) atau
Communication Through Picture sebagai metode pembelajaran atau terapinya. Gambar-gambar tersebut yang sebelumnya disusun di papan komunikasi manual dengan teknologi multimedia dapat digunakan melalui komputer (Isni, 2009). Kelebihannya terapi multimedia yaitu karena multimedia dapat mengintegrasikan audio (musik) pada saat bersamaan sehingga bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi anak autis.
Konten terapi multimedia bisa dimodifikasi perancangannya menurut keperluan. Yang banyak beredar di pasaran, terapi multimedia untuk anak autis berisi simulasi-simulasi permainan yang sangat baik untuk merangsang syaraf otak dengan stimulus berupa warna dan bentuk-bentuk yang menarik. Permainan-permainannya berupa menyusun gambar yang acak (jigsaw) sederhana, memadu-padankan warna, bentuk atau gambar dengan diiringi musik-musik ceria yang dapat membangkitkan gairah si anak. Untuk tingkatan yang lebih tinggi, intensitas kerumitan permainan ditingkatkan. Hal ini dianggap perlu untuk melatih si anak untuk belajar fokus pada sesuatu hal. Seperti permainan membidik sasaran dan mewarnai. Permainan jigsaw sederhana pun masih disertakan namun si anak autis diberi tantangan berupa batasan waktu menyelesaikan gambar acak tersebut.