• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN - 1 - (Halaman 127-131)

ARGUMENTASI FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

TENTANG

PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

Pembuatan peraturan perundang-undangan, terutama Undang-undang dan Peraturan Daerah harus didasarkan pada tiga argumentasi penting, yaitu argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis. Secara metodologis penyusunan Naskah Akademik, rumusan argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis merupakan abstraksi dari hasil kajian teoritis, konstataring fakta empiris, dan analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan sampai pada urgensi pembentukan suatu Undang-Undang. Oleh karena itu, rumusan argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan RUU Penanganan Konflik Sosial ini merupakan abstraksi dari uraian-uraian dalam bab sebelumnya, terutama mengenai kajian teoritis dan konstataring kebijakan penanganan konflik, hasil analisa dan evaluasi peraturan perundang-undangan di bidang penanganan konflik, sampai pada pemikiran urgensi pembentukan Undang-Undang Penanganan Konflik.

Argumentasi filosofis adalah menyangkut pemikiran-pemikiran mendasar materi muatan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat dengan tujuan bernegara, kewajiban negara melindungi masyarakat, bangsa, hak-hak dasar warga negara sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 (Pembukaan dan Batang Tubuh). Argumentasi sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat yang terkait dengan materi muatan RUU. Sedangkan argumentasi yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur. Beberapa persoalan hukum itu antara lain peraturannya sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturannya lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada, tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.

Dengan demikian, sebenarnya pertimbangan filosofis berbicara mengenai bagaimana seharusnya (das sollen) yang bersumber pada konstitusi. Pertimbangan sosiologis menyangkut fakta empiris (das sein) yang merupakan abstraksi dari kajian teoritis, kepustakaan, dan konstataring fakta sedangkan pertimbangan yuridis didasarkan pada abstraksi dari kajian pada analisa dan evaluasi peraturan perundang-undangan yang ada. Argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis ini kemudian dituangkan dan tercermin dalam ketentuan menimbang dari suatu Undang-Undang. Itu berarti, rumusan dan sistematika ketentuan menimbang secara berurutan memuat substansi

argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis sebagai dasar dari pembentukan Undang-Undang tersebut.

4.1. Argumentasi Filosofis Pembentukan Undang-Undang Penanganan Konflik

Pembentukan Undang- Undang Penanganan Konflik didasarkan pada beberapa argumentasi filosofis, yaitu:

1. Memberikan jaminan tetap eksisnya cita-cita pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, tanpa diganggu akibat perbedaan pendapat atau konflik yang terjadi di antarkelompok dan golongan.

2. Tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa, agama dan budaya dan seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk memberikan jaminan rasa aman dan bebas dari rasa takut dalam rangka terwujudnya kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Tanggungjawab negara memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi melalui upaya penciptaan suasana yang aman, tentram, damai dan sejahtera lahir maupun batin sebagai wujud hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya. Bebas dari rasa takut, jaminan terhadap hak hidup secara aman, damai, adil dan sejahtera.

4.2. Argumentasi Sosiologis Pembentukan Undang-Undang Penanganan Konflik Argumentasi Sosiologis dari Pembentukan Undang-Undang Penanganan Konflik adalah :

1. Negara Republik Indonesia dengan keanekaragam suku bangsa, agama dan budaya yang masih diwarnai ketimpangan pembangunan, ketidakadilan dan kesenjangan sosial, ekonomi, politik, kemiskinan berpotensi untuk melahirkan konflik-konflik di tengah masyarakat.

2. Indonesia yang sedang mengalami transisi demokrasi dan pemerintahan membuka peluang bagi munculnya gerakan radikalisme di dalam negeri pada satu sisi, dan pada sisi lain hidup dalam tatanan dunia yang terbuka dengan pengaruh-pengaruh asing, sangat rawan dan berpotensi menimbulkan konflik.

3. Kekayaan sumber daya alam dan daya dukung lingkungan yang semakin terbatas dapat menimbulkan konflik, baik karena masalah kepemilikan, maupun karena kelemahanan dalam sistem pengelolaannya yang tidak memperhatikan kepentingan masyarakat setempat.

4. Konflik menyebabkan hilangnya rasa aman dan menciptakan rasa takut masyarakat, serta

kerusakan lingkungan, kerusakan pranata sosial, kerugian harta benda, korban jiwa dan trauma psikologis (dendam, kebencian, perasaan permusuhan), melebarnya jarak segresi antar para pihak yang berkonflik, sehingga dapat menghambat terwujudnya kesejahteraan umum.

5. Penanganan konflik dapat dilakukan secara komprehensif, integratif, efektif, efisien, akuntabel dan transparan serta tepat sasaran dengan mendasarkan pada pendekatan dialogis dan cara damai berdasarkan landasan hukum yang memadai.

6. Dalam mengatasi dan menangani berbagai konflik tersebut, Pemerintah Indonesia belum menemukan suatu format kebijakan penanganan konflik yang menyeluruh (comprehensive), integratif, efektif, efisien, akuntabel dan transparan serta tepat sasaran dengan mendasarkan pada pendekatan dialogis dan cara damai.

4.3. Argumentasi Yuridis Pembentukan Undang-Undang Penanganan Konflik

Argumentasi yuridis pembentukan Undang-Undang Penanganan Konflik adalah menggambarkan faktor-faktor kelemahan peraturan perundang-undangan yang mengakibatkan kurang efektifnya kebijakan penanganan konflik di Indonesia selama ini. Beberapa faktor kelemahan peraturan perundang-undangan penanganan konflik tersebut, adalah:

1. Beberapa undang-undang yang terkait dengan penanganan konflik mengedepankan ego sektoral, sehingga dalam implementasinya masing-masing departemen, dan pemerintah daerah berjalan sendiri-sendiri. Sistem yang demikian, tidak menggambarkan manajemen konflik yang terkoordinasi dan integratif dalam satu sistem penanganan konflik yang kuat. Pendekatan penanganan konflik yang bersifat sektoral, menyebabkan peraturan menteri sangat populer atau banyak ditemukan. Walaupun sering menimbulkan masalah karena peraturan menteri yang satu dengan menteri yang lainnya tidak sejalan, bahkan bertentangan.

2. Undang-undang yang ada bersifat sektoral, belum menetapkan secara jelas dan komprehensif mengenai tindakan-tindakan serta tahap-tahap dalam penanganan konflik, baik dalam rangka upaya pencegahan (preventif), maupun penanganan pada saat, dan

sesudah konflik (recovery). Karakter yang muncul dalam setiap peraturan tersebut adalah bersifat reaktif, sehingga belum merupakan suatu kebijakan yang tersistematis dan terukur. 3. Sebagian besar peraturan yang ada bersifat operasional, reaktif, tanpa satu payung hukum yang kuat. Langkah-langkah yang diambil hanya didasarkan pada kebijakan lembaga eksekutif (pemerintah), baik Pemerintah Pusat maupun Daerah. Namun, dalam pelaksanaannya ada keraguan masing-masing institusi karena setiap institusi mengacu kepada undang-undang yang berbeda. Kondisi ini menggambarkan suatu peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan, tidak konsisten/harmonis/sinkron, baik secara vertikal maupun horisontal. Demikian juga lembaga-lembaga lain dalam penangan konflik, seperti DPR dan DPRD belum mendaptkan peran yang signifikan dalam penanganan konflik melalui bentuk regulasi yang menjadi kewenangannya, maupun melalui kebijakan anggaran melalui sistem APBN dan ABPD. Sebagian peraturan dikeluarkan dalam keputusan Presiden, Gubernur, dan Bupati/Wali Kota. Sementara pada tahap proses penegakan hukum; kapasitas anggota POLRI, Intelijen Negara dan Jaksa dalam melacak, menemukan para pelaku atau aktor intelektual tindakan terorisme atau kerusuhan belum menggembirakan.

4. Dalam tahap saat terjadi konflik khususnya pada kegiatan penghentian konflik kekerasan, undang-undang yang ada saat ini masih belum jelas mengatur tentang tugas, tanggungjawab dan kewenangan dua institusi pertahanan dan keamanan negara yaitu TNI dan POLRI. Sehingga diperlukan peraturan perundang-undangan pengaturan pengerahan tugas perbantuan TNI kepada POLRI dalam penghentian konflik kekerasan.

5. Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang mengatur penanganan tiga jenis bencana, yaitu bencana alam, bencana akibat kegagalan teknologi, dan bencana sosial atau konflik, tidak mengatur secara tuntas dan tidak memperhatikan karakteristik khusus penanganan konflik.

BAB V

ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN - 1 - (Halaman 127-131)