• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komisi Penyelesaian Konflik, Salah satu tujuan dari pembentukan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik adalah menciptakan mekanisme penyelesaian sengketa di luar

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN - 1 - (Halaman 137-141)

ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI RUU PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

3) Komisi Penyelesaian Konflik, Salah satu tujuan dari pembentukan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik adalah menciptakan mekanisme penyelesaian sengketa di luar

lembaga yang independen, bersifat ad hoc, dalam arti dibentuk hanya untuk menyelesaikan satu konflik saja. Hal ini dimaksudkan agar, undang-undang ini tidak membawa misi untuk membentuk satu lembaga yang bersifat permanen. Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembentukannya, keanggotaan (termasuk komposisi), mekanisme dan cara kerja, serta anggaran kegiatan komisi. Tugas utama dari Komisi ini adalah melakukan penyelesaian konflik, melalui mediasi dan rekonsiliasi.

Dalam rangka melaksanakan tugasnya, Komisi Penyelesaian Konflik dapat membentuk Tim Pencari Fakta. Tim ini dibentuk untuk mengungkap beberapa fakta penyebab dan tindakan-tindakan kekerasan serta pelanggaran hukum pada saat terjadinya konflik, diperlukan suatu forum yaitu Tim Pencari Fakta. Keberadaan forum ini bersifat ad hoc dan dibentuk sesuai dengan kebutuhan Komisi Penyelesaian Konflik untuk menyelesaikan konflik melalui mekanisme damai, mediasi, dan rekonsiliasi.

Mediasi adalah perluasan dari proses negosiasi. Pihak-pihak yang bersengketa yang tidak mampu menyelesaikan sengketanya akan menggunakan jasa pihak ketiga yang bersikap netral untuk membantu mereka dalam mencapai suatu kesepakatan. Dalam konteks penanganan konflik, maka tugas ini dilaksanakan oleh Komisi Penyelesaian Konflik. Tidak seperti proses adjudikasi di mana pihak ketiga menerapkan hukum terhadap fakta-fakta yang ada untuk mencapai suatu hasil. Dalam mediasi, pihak ketiga akan membantu pihak-pihak yang bertikai dalam menerapkan nilai-nilainya terhadap fakta-fakta untuk mencapai hasil akhir. Nilai-nilai ini dapat meliputi hukum, rasa keadilan, kepercayaan agama, moral dan masalah-masalah etik.

Mediasi adalah suatu proses di mana pihak netral, dalam hal ini Komisi Penanganan Konflik, bertindak sebagai fasilitator bagi kepentingan negosiasi mereka dan membantu mereka mencapai solusi yang saling menguntungkan.”

Ada berbagai tehnik atau pola mediasi yang berbeda, akan tetapi dua di antara tehnik tersebut yang paling umum adalah tehnik fasilitatif dan evaluatif. Perbedaan utama diantara keduanya adalah bahwa dalam evaluatif, mediator jauh lebih terlibat secara aktif dalam menyelesaikan sengketa. Mediator akan memberikan saran-saran tentang cara menyelesaikan sengketa dan akan selalu mengevaluasi sengketa bagi kepentingan pihak-pihak. Sedangkan dalam model fasilitatif, mediator akan mengkonsentrasikan diri di dalam mengupayakan komunikasi di antara pihak yang satu dengan pihak lainnya untuk memunculkan solusi bagi sengketa yang mereka hadapi.

Mediasi itu sendiri adalah meliputi orang dan interaksi diantara orang-orang tersebut. Seperti kebanyakan bidang atau aspek yang melibatkan orang, tidak ada cara satu-satunya yang terbaik untuk melakukan hal-hal atau untuk mendapatkan hasil. Sebab selama ada pola managemen yang

efektif dan berbeda, selama itu pula ada pola mediasi yang efektif dan berbeda. Namun demikian tidak ada mediasi yang dapat menjadi efektif tanpa aspek-aspek berikut ini:

Pertama, keberadaan perwakilan pihak-pihak dengan otoritas untuk menegosiasikan suatu penyelesaian sengketa. Kedua, keinginan pihak-pihak untuk mendapatkan solusi di luar pengadilan. Ada kalanya, hanya satu pihak yang setuju dengan mediasi yang telah ditetapkan, dan harus menjual keuntungan mediasi kepada pihak lainnya. Dalam berbagai sengketa lembaga mediasi netral harus berada dalam posisi terbaiknya untuk meyakinkan pihak-pihak bahwa mediasi memberikan manfaat.

Penggunaan mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa didasarkan pada kesepakatan para pihak ketika terjadi sengketa, bisa juga telah diperjanjikan sebelumnya. Bahkan mungkin juga bersifat memaksa, karena sudah ditentukan dengan tegas dalam suatu ketentuan undang-undang.

Disamping mediasi, salah satu penyelesaian konflik yang lain adalah melalui rekonsiliasi. Rekonsiliasi merupakan satu mekanisme dalam proses penanganan konflik. Dalam penanganan konflik, maka rekonsiliasi dilakukan oleh Komisi Penanganan Konflik. Komisi ini bersifat ad hoc, bertugas untuk menangani proses rekonsiliasi di daerah konflik dan dibentuk oleh pemerintah dengan terbitnya keputusan presiden dengan melibatkan masyarakat yang berkonflik dengan mengakomodasi mekanisme lokal.

5.2.7. Peran Serta Masyarakat

Sejalan dengan asas partisipasi, peran masyarakat dalam kegiatan penanganan konflik sangat diperlukan. Hal ini sekaligus menjamin adanya akuntabilitas dan transparasi dalam penangangan konflik. Untuk itu, Undang-undang ini menjamin anggota masyarakat berperan sebagai pelaku pembangunan perdamaian, pelayanan kebutuhan dasar, rekonstruksi dan rehabilitasi, dan menjadi anggota institusi penanganan konflik yang bersifat ad hoc

Di samping secara individu, partisipasi dapat dilakukan secara kelompok. Untuk itu, organisasi masyarakat berperan sebagai pelaksana pembangunan perdamaian, melaksanakan pelayanan kebutuhan dasar dan melakukan kegiatan rekonstruksi dan rehabilitasi.

Partisipasi masyarakat tidak saja terbatas pada lingkup nasional, tetapi dapat melibatkan masyarakat internasional. Untuk itu, organisasi internasional berperan serta dalam hal pemberian kebutuhan dasar minimal, proses rekonstruksi dan rehabilitasi, baik secara langsung maupun tidak langsung dan berhak mendapatkan perlindungan dan jaminan keamanan dari aparat serta dengan persetujuan pemerintah, masyarakat internasional dapat memperoleh akses ke daerah konflik.

5.2.8. Sumber dan Alokasi Dana Penanganan Konflik

Sumber pembiayaan kegiatan penanganan konflik berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), dan sumber lain melalui mekanisme APBN dan APBD. Di samping itu, sumber pembiayaan kegiatan juga dapat diperoleh dari peran serta masyarakat, baik nasional maupun internasional.

Melalui APBN, Pemerintah mengalokasikan dana pembangunan yang berkaitan dengan pencegahan resiko konflik; dana darurat untuk kegiatan penghentian kekerasan dalam kebijakan penanganan konflik; dan dana rehabilitasi, serta rekonstruksi melalui institusi terkait.

Demikian pula pemerintah daerah dapat menggunakan dana APBD untuk kegiatan pembangunan yang berkaitan dengan pencegahan resiko konflik; rehabilitasi dan rekonstruksi berdasarkan kemampuan daerah melalui institusi terkait.

5.2.9. Ketentuan Penutup

Bab tentang ketentuan penutup ditetapkan untuk mengantisipasi terjadinya kekosongan hukum dalam pengelolaan penanganan konflik, dengan mengakomodir peraturan perundang-undangan yang terkait, agar dapat lebih efektif dalam penanganan konflik yang belum diatur dengan peraturan perundang-undangan yang ada berdasarkan undang-undang penanganan konflik baru.

Pemberlakuan Undang-undang baru diharapkan segera dilaksanakan untuk mendukung terciptanya kepastian hukum di bidang penanganan konflik sesuai dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara menuju terwujudnya perdamaian dan kesejahteraan masyarakat.

BAB VI PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Uraian-uraian dalam Naskah Akademik ini sampai pada kesimpulan:

1. Pemerintah belum menerapkan kebijakan penanganan konflik yang komprehensif, efektif dalam strategi pencegahan, penanganan pada saat konflik, dan setelah konflik.

2. Peraturan perundang-undangan penanganan konflik sosial yang ada pada saat ini masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, bersifat reaktif dalam berbagai peraturan yang tingkatnya di bawah undang-undang dan bersifat sektoral yang diatur dalam peraturan menteri, bahkan terjadi disharmonisasi antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, serta terdapat kekosongan hukum.

3. Kelemahan pada kebijakan penanganan konflik serta persoalan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada menjadi alasan atau argumentasi yang kuat untuk membentuk satu Undang-Undang khusus (lex specialis) Penanganan Konflik.

6.2. Rekomendasi

Berangkat dari urgensi pembentukan RUU Penanganan Konflik Sosial, maka rekomendasi yang perlu diperhatikan adalah:

1. RUU Penanganan Konflik Sosial perlu segera diproses lebih lanjut untuk menjadi Undang-Undang sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Naskah Akademik dan RUU Penanganan Konflik Sosial perlu segera disampaikan kepada Pemerintah untuk diproses lebih lanjut berdasarkan hak DPR untuk mengajukan RUU Usul Inisiatif tentang Penanganan Konflik berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 21 UUD 1945.

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN - 1 - (Halaman 137-141)