KEBIJAKAN PENANGANAN KONFLIK DI INDONESIA
2) Kapasitas Sektor
2.3. Perubahan Paradigma Penanganan Konflik
2.3.5. Pendekatan yang Umum ke Spesifik dan Rinci
Kekaburan dalam suatu sistem yang kemudian berdampak ketidakjelasan bagi masyarakat antara lain disebabkan oleh suatu sistem penanganan konflik yang bersifat umum. Sebagai contoh, penanganan konflik yang berlandaskan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menggambarkan suatu konsep yang sangat luas dan menjadi sulit dimengerti, bahkan tidak dapat diterapkan untuk hal-hal yang khusus atau rinci. Konsep penanganan konflik yang disatukan dalam istilah Bencana mengakibatkan konsep konflik dan penanganannya menjadi kabur atau tidak didefenisikan dengan tepat. Ketentuan Pasal 57 dan Pasal 58 UU PB yang menyatakan bahwa salah satu kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi bencana adalah rekonsiliasi dan resolusi konflik. Muncul pertanyaan, apakah penanganan konflik menjadi bagian dari strategi pasca bencana. Lalu bagaimana kita memahami konsep bahwa penanganan konlik dapat dilakukan sebelum, pada saat dan setelah konflik?. Kekaburan seperti ini mendorong dan sekaligus pemicu pergeseran pendekatan yang umum ke spesifik, termasuk dalam penanganan konflik.
Pergeseran ini didukung pula oleh perbedaan karakteristik bencana alam yang mendominasi paradigma dalam UU PB dengan karakteristik konflik. Perbedaan ini diabaikan dalam UU PB, sehingga perlu diperbaiki melalui UU khusus, yaitu RUU Penanganan Konflik. Perbedaan Penanganan Bencana Sosial (Konflik) dan Bencana Alam dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
No KOMPONEN
UTAMA BENCANA SOSIAL (KONFLIK) BENCANA ALAM
1. Pola Siklus konflik memiliki karakteristik tersendiri bencana alam memiliki karakteristik tersendiri
2. Potensi
Intensitas dan Ekstensitas Dampak
korban jiwa (cacat, mati tidak wajar dan penculikan, pemorkosaan, intimidasi/teror, dll)
rentan terjadinya pelanggaran HAM berat; perampasan/pencurian Harta benda; perusakan fasilitas publik lawan maupun
pemerintahan;
sangat berpeluang meluas ke daerah lain dan pelibatan jaringan yang lebih luas termasuk jaringan nasional/internasional dalam mendukung tindakan kekerasan serta dapat berdampak jangka panjang; dan
korban jiwa (cacat, luka dan meninggal dunia);
terlokalisasi pada pusat kejadian bencana alam saja; pengungsi ditampung secara
Pengungsi bisa berada di berbagai wilayah terutama wilayah yang dianggap oleh pengungsi satu paham dengan kepentingan mereka (bisa In-situ atau Ex-situ).
3. Lingkup Aktor - konflik cenderung melibatkan aktor yang lebih luas, baik pada tingkat elite, menengah maupun akar rumput, baik aktor internal maupun eksternal dengan peran aktor bisa sebagai aktor langsung konflik ataupun sebagai pelaku bantuan karitas kemanusiaan
- dalam bencana alam, proses yang mengakibatkan penderitaan korban tidak ada aktor, kecuali korban dan aktor yang berperan dalam memberikan bantuan kemanusiaan
4. Peran Aktor
Negara membutuhkan peran institusi negara yang bersifat represif dan unit pengamanan (polisi, tentara dan intelijen) termasuk operasi keamanan, di samping fungsi sosial berupa bantuan kemanusiaan dan kedaruratan
bantuan bersifat relief dan pembangunan kembali infrastruktur yang rusak (bantuan tim kesehatan dan zeni, dll)
5. Peran Organisasi Masyarakat Sipil (CSO)
bantuan bersifat pertolongan (relief), pembangunan kapasitas (capacity building), dan mediasi;
pengawasan terhadap proses perdamaian dan pengelolaan bantuan; advokasi korban dan kebijakan
bantuan pertolongan (relief)/Kemanusian
pengawasan pengelolaan bantuan
advokasi korban dan kebijakan
6. Lingkup
Dimensi konflik memiliki dimensi multiperspektif baik vertikal, horizontal maupun diagonal dimensi manusia berinteraksi dengan alam 7. Tingkat
Ancaman Terhadap Integrasi
bencana konflik cenderung mengancam
kohesivitas sosial dan integrasi nasional relatif tidak ada ancaman langsung terhadap integrasi nasional
8. Dampak
Psikologi di samping mengakibatkan trauma, konflik cenderung menciptakan luka/rasa penderitaan, sakit hati masyarakat dalam jangka panjang dan sewaktu-waktu dapat muncul kembali
traumatik terhadap proses kejadian bencana dan kehilangan keluarga atau harta benda
9. Bentuk Tindakan
(Treatment) konflik membutuhkan upaya perdamaian dan penyelesaian baik melalui mediasi/negosiasi dan peradilan khusus ataupun upaya pengamanan yang bersifat represif di samping bantuan kemanusiaan yang bersifat khusus dan membutuhkan rekonstruksi sosial di samping rekonstruksi fisik
membutukan rekonstruksi fisik dan rekonstruksi sosial secara terbatas terutama bencana yang berskala besar
10. Kriteria Tim Penanganan Bencana
netralitas (Cover Both Side); terlatih bekerja menangani konflik; memiliki komitmen kemanusiaan yang
tinggi; dan
berkomitmen terhadap pembangunan perdamaian dan multikultural
bersikap adil pada semua korban
terlatih bekerja menangani bencana alam
memiliki komitmen kemanusiaan
11. Sumber Ancaman Bahaya
pada situasi konflik intinya terjadi kekerasan oleh manusia terhadap manusia oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain;
budaya kekerasan, strereotype dan kecurigaan;
kebijakan negara; provokasi;
kerentanan sistem dan kapasitas
alamiah fenomena alam
kerentanan sistem dan kapasitas
12. Potensi Pelanggaran HAM
rentan terjadinya pelanggaran HAM terutama berkaitan dengan tindakan kekerasan, baik antara warga sipil, sipil dengan aparat/negara atau kekerasan melalui pembiaran oleh negara (violence by omission)
relatif kecil, kecuali terjadi pembiaran atau penelantaran oleh negara terhadap korban, pengurangan/pencurangan terhadap hak-hak mereka 13. Pola
Penanganan Pengungsi
pengungsian terjadi karena rasa takut terhadap ancaman, pembunuhan dan kekerasan lainnya oleh pihak lawan; Pengembalian pengungsi memerlukan
jaminan keamanan dan keikhlasan hidup berdampingan dari pihak ex-rivalitas mereka pada saat terjadi konflik
pengungsian terjadi karena tempat tinggal mereka rusak akibat bencana atau rentan terhadap ancaman bencana
14. Dampak terhadap Citra Daerah/Negara
berdampak negatif atas kinerja pembangunan demokrasi dan HAM; berdampak terhadap minat investor,
karena resiko keamanan dan ancaman kekerasan yang relatif panjang dan tidak pasti
Tidak terlalu berpengaruh terhadap minat investor.
15. Upaya Pencegahan (Preventif)
adanya Regulasi yang komprehensif tentang penanganan bencana sosial (konflik sosial);
sistem siaga dini konflik;
pembangunan Kapasitas Masyarakat yang berkaitan dengan pendidikan kewarganegaraan (Civic) dan perdamaian (Peace) baik pendidikan formal maupun non formal;
kebijakan Publik yang partisipatif dan adil;
penataan struktur sosial dan kekuasaan yang adil; dan
penguatan kelembagaan lokal termasuk adat yang berkaitan dengan kearifan lokal (local wisdom of conflict management)
adanya regulasi komprehensif tentang manajemen bencana alam; sistem siaga dini bencana
alam;
pembangunan kapasitas masyarakat baik pendidikan formal maupun non formal; dan
Penguatan Kelembagaan lokal termasuk adat yang berkaitan dengan kearifan lokal (locals wisdom of Disaster management)
16. Prioritas
Penanganan penghentian dan peniadaan tindakan kekerasan bersamaan dengan pemberian bantuan kemanusiaan (conflict detente and cease fire);
proses membangun kapasitas yang berkaitan dengan critical workshop untuk rekonsiliasi; dan
pembangunan/penataan infrastruktur sosial termasuk upaya trauma healing, trust building, peace dan multiculture education.
penanganan korban meninggal dan luka-luka; dan penyediaan pusat pelayanan kebutuhan pokok bersifat darurat.
17. Kegiatan Paska
Bencana proses rekonsiliasi dan trust building yang berkelanjutan; bantuan sementara jaminan hidup asistensi pengembalian/pemulihan
hak-hak perdata;
pengadilan khusus atau pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR);
penataan kembali struktur dan kebijakan yang rentan sebagai sumber konflik; kebijakan perencanaan pembangunan
yang sensitif konflik; dan
fasilitasi kontak mempertemukan kembali dengan sanak keluarga yang terpisah.
bantuan sementara Jaminan hidup;
fasilitasi kontak mempertemukan kembali dengan sanak keluarga yang terpisah; dan
perencanaan pembangunan yang sensitif bencana alam.
18. Kecepatan (velocity) Ancaman
- bisa perlahan dan bisa mendadak mendadak atau perlahan/bertahap
19 Kontrol Terhadap Potensi Kejadian
dapat dikontrol atau dihilangkan kemunculannya dengan sistem siaga dini, perbaikan struktur, kebijakan serta membangun budaya perdamaian/Multikultur
- sebagian dapat dikontrol kejadiannya sebagian tidak dapat dikontrol kemunculannya tetapi dapat dikurangi/dihindari resiko negatifnya
Tabel di atas menggambarkan perbedaan antara bencana alam dan bencana sosial atau konflik. Perbedaan ini akan berimplikasi pada perbedaan metode penangananannya. Menggabungkan kedua cara tersebut akan menimbulkan beberapa persoalan atau kelemahan dalam UU yang mengaturnya. Oleh karena itu, pengaturan resolusi dan rekonsiliasi konflik dalam PP berdasarkan UU PB menggambarkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, Pencantuman Rekonsiliasi dan resolusi konflik dalam Pasal 57 dan 58 (Pasca bencana) tidak didahului dengan pengaturan secara spesifik mengenai penanganan konflik dalam tahap prabencana dan saat tanggap darurat yang diatur dalam Pasal 33 UU PB. Kedua, UU ini tidak merumuskan pengertian rekonsiliasi dan resolusi konflik. Tidaklah jelas mengenai pengertian konflik
dalam Pasal 57 dan 58, apakah konflik yang dimaksudkan adalah konflik dalam penanggulangan bencana alam, atau konflik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4. Ketidakjelasan ini muncul karena dalam tahap prabencana, dan tanggap darurat tidak disebutkan mengenai konflik. Ketiga, secara teoritis dan praktek, rekonsiliasi merupakan bagian dari resolusi konflik dan dalam resolusi konflik tidak hanya melakukan rekonsiliasi.
2.3.6. Pergeseran dari Model Penyelesaian Konflik Yudisial Formal ke Non Yudisial Formal,