• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - 1 -

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - 1 -"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Kemampuan untuk menghadapi dan menangani konflik adalah salah satu kunci sukses manajerial dalam satu organisasi. Kapan saja kita berharap membuat perubahan, pasti ada potensi terjadinya konflik. Lagipula, kita tidak hanya harus menangani situasi dimana konflik antara diri kita sendiri dan satu atau lebih anggota staff lainnya, tetapi juga terhadap waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik atas diri kita atau, yang tersulit dari semuanya, untuk meletakkan arah tujuan di antara ladang “perpolitikan” dimana dua dari pesaing kita atau atasan kita terjebak dalam pergumulan ini.

Konflik, dalam arti sebenarnya, merupakan suatu perbedaan pendapat yang terjadi dari kemungkinan dua atau lebih arah tujuan dan tindakan yang tidak hanya tidak dapat dihindari tapi juga sebagai suatu hal yang patut diperhitungkan dalam hidup. Yang justru membantu kemungkinan-kemungkinan yang berbeda yang sudah direncanakan sebagaimana mestinya, dan kemungkinan tujuan tindakan lainnya yang mungkin diartikan secara umum dari beberapa pilihan tindakan yang sudah diuji pada tahap awal sebelumnya atau bahkan sudah didiskusikan terlebih dahulu dari beberapa tindakan alternatif yang sudah dikenal.

Kebanyakan konflik memiliki dua komponen yaitu rasional dan emosional, dan terletak di suatu tempat di sepanjang dua gambaran antara konflik kepentingan di satu sisi dan bentrokan kepribadian di sisi lain.

Contohnya, ketika seorang penjual rumah mencari harga tertinggi, sementara pembeli berharap bisa membayar serendah mungkin.Ada juga gambaran konflik kepentingan antara atasan dan karyawan tentang gaji. Dari kedua contoh kasus konflik di atas, adalah dari kedua belah pihak untuk menyelesaikan konflik – sebaliknya, jika tidak, pihak pertama, pasti tidak akan tercapai target penjualan yang diinginkan dan pasti juga tidak akan terjadi titik temu pada pihak kedua. Agar dapat terjadi solusi negosiasi yang sesuai dan yang diinginkan, maka:

1. Mendengarkan dan memahami dari masing-masing kebutuhan (jangan buang-buang waktu mengulang-ulang sudut pandang anda) – belajar untuk jujur – apa adanya.

2. Cari pertukaran; misalnya, adakah sesuatu yang bisa saya alihkan atau serahkan kepada pihak lain yang artinya lebih pada pihak mereka daripada “memberatkan “(membebani )diri sendiri?

3. Fokus pada isu dan kenyataan, serta hindari menilai konflik sebagai sesuatu yang terlalu pribadi.

(2)

Namun, itu semua terlalu mudah bagi keinginan emosional untuk'mengalahkan perusak' pikiran menyelinap masuk dan, setelah itu, mungkin juga menyebar dari satu pihak ke pihak yang lain.

Beberapa konflik berakar pada kepribadian para „kontestan', misalnya, seorang introvert (tertutup) mungkin membenci perilaku flamboyan seorang ekstrovert (terbuka); atau dua wakil kepala perusahaan dengan gaya manajemen yang berbeda mungkin merasa sulit untuk bisa saling bekerja sama.

Konflik bisa berubah menjadi kekuatan yang membahayakan dan merusak ketika “kejayaan” seseorang dipertaruhkan untuk memperoleh hasil. Konflik semakin berkembang, semakin „kejayaan(„kemenangan”) dipertaruhkan. Semakin pahit konflik terjadi semakin sulit untuk mencapai suatu pemecahan(hasil).Pengambilan keputusan menjadi “cacat‟ karena tidak ada satu pihak pun yang berani dan mau membuat satu konsesi karena takut( mungkin “dibenarkan”)bahwa hal tersebut akan dimanfaatkan oleh pihak lain sebagai kemenangan dan jembatan untuk kemajuan lebih lanjut.

Pada dasarnya ada sikap yang mungkin yang dapat dipakai oleh para pihak dalam setiap konflik dalam hal ini, didasarkan pada perubahan dari apakah mereka percaya bahwa mereka dapat menghindari konfrontasi, dan apakah mereka percaya bahwa mereka dapat mencapai kesepakatan.

Sikap yang paling kondusif untuk menyelesaikan konflik, tentu saja, jika salah satu pihak menyediakan waktu lebih mendalam pada pemecahan masalah, dan beberapa kompromi cepat, atau memberi dan mengambil berbagai kemungkinan jawabannya.

Konflik harus diakui dan ditangani sedini mungkin. Jika Anda memiliki masalah dengan seseorang, segera pergi untuk berbicara dengan dia, sebelum membangun kepahitan. Jika kepahitan telah terjadi, anda perlu untuk memilih waktu terbaik; dan meluangkan waktu untuk membuat segala sesuatu menjadi jelas bahwa Anda benar-benar berniat menyelesaikan konflik. Beberapa teman dari kedua belah pihak mungkin diperlukan untuk bertindak sebagai katalis(membantu/menengahi secara netral tanpa melibatkan diri terlalu dalam), untuk meyakinkan kedua belah pihak bahwa niat tulus, dan atau bertindak sebagai „konsultan proses'mediator.

(3)

Dalam konflik antara beberapa anggota staf, terutama mereka yang melapor kepada Anda, pekerjaan Anda sebagai seorang manajer, mungkin saja untuk melangkah sebagai 'konsultan proses', untuk mencoba memahami sudut pandang masing-masing individu dan untuk membawa masing-masing menjadi suatu pernyataan 'pemecahan masalah' pikiran. Mengatur tahap pertemuan untuk menyelesaikan konflik, prinsip-prinsip berikut bisa dijadikan acuan diskusi seperti:

 Setiap pihak saling berbicara satu dan lain, seterbuka mungkin tentang segala realitas-kenyataan sesuai dengan permasalahan yang menjadi keprihatian dan perhatian mereka.  Meletakan tujuan, pandangan dan perasaan mereka, secara terus terang, tetapi tetap

tenang,dan hindarilah pengulangan yang merugikan.

 Menempatkan konflik dalam konteks tujuan yang lebih tinggi demi kepentingan organisasi secara keseluruhan.

 Lebih memfokuskan diri pada langkah tindak lanjut berikutnya dari pada kejadian-kejadian yang sudah lewat.

 Mendengarkan; menyimak dari setiap pihak; dari setiap sudut pandang secara seksama yang mencari pengertian. Meyakinkan bahwa pemahaman mereka sudah benar.

 Mencoba untuk menghindari tindakan menyerang atau bertahan.

 Mencoba membangun ide masing-masing. percaya itikad baik masing-masing dan mencoba untuk bertindak dengan itikad baik. merencanakan beberapa tindakan yang jelas untuk mengikuti pembahasan, menentukan siapa yang akan melakukan apa dan kapan.

 Menetapkan tanggal dan waktu untuk meninjau kemajuan dan mempertahankan ini dari semua biaya ataupun resiko.

Sejumlah struktur yang berguna dapat digunakan untuk membantu individu atau kelompok untuk mengatasi keengganan menempatkan konflik 'pada tempatnya'. struktur ini memiliki nilai ganda seperti:

1. Memungkinkan perasaan yang kuat dan prasangka yang timbul untuk diungkapkan dalam bentuk yang lebih bersahabat daripada kata yang diucapkan. Perasaan menjadi data faktual (meskipun mungkin menyakitkan);

2. Dan, Menjaga keseimbangan, seperti apa yang kita suka, apa yang kita tidak suka, apa yang kita lakukan dan apa yang orang lain lakukan.

(4)

BAB II

PENANGANAN KONFLIK

Konflik dapat berupa perselisihan (disagreement), adanya ketegangan (the presence of tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau lebih. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antara kedua belah pihak, sampai kepada tahap di mana pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain sebagai penghalang dan pengganggu tercapainya kebutuhan dan tujuan masingmasing.

Subtantive conflicts merupakan perselisihan yang berkaitan dengan tujuan kelompok, pengalokasian sumber daya dalam suatu organisasi, distribusi kebijaksanaan dan prosedur, dan pembagian jabatan pekerjaan.

Emotional conflicts terjadi akibat adanya perasaan marah, tidak percaya, tidak simpatik, takut dan penolakan, serta adanya pertentangan antar pribadi (personality clashes).

Konflik organisasi ( organizational conflict ) Adalah ketidak sesuaian antara dua atau lebih anggota atau kelompok – kelompok organisasi, biasanya timbul karena adanya kenyataan berbeda bagi mereka tentang pembagian sumberdaya yang terbatas, status, tujuan, nilai atau persepsi dan kegiatan – kegiatan.

 Konflik biasanya timbul karena tiga masalah yaitu:  masalah komunikasi .

 hubungan pribadi .  struktur organisasi.

 Suatu konflik muncul dalam sebuah organisasi, penyebabnya selalu diidentifikasikan sebagai komunikasi yang kurang baik. Disinilah manajer dituntut untuk memenuhi sisi lain dari ketrampilan interpersonalnya, yaitu kemampuan untuk menangani dan menyelesaikan konflik.

Cara atau Taktik Mengatasi Konflik

Mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang sederhana. Cepat-tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik yang muncul.

(5)

Rujuk: Merupakan suatu usaha pendekatan dan hasrat untuk kerja-sama dan menjalani hubungan yang lebih baik, demi kepentingan bersama.

Persuasi: Usaha mengubah po-sisi pihak lain, dengan menunjukkan kerugian yang mungkin timbul, dengan bukti faktual serta dengan menunjukkan bahwa usul kita menguntungkan dan konsisten dengan norma dan standar keadilan yang berlaku.

Tawar-menawar: Suatu penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak, dengan saling mempertukarkan konsesi yang dapat diterima. Dalam cara ini dapat digunakan komunikasi tidak langsung, tanpa mengemukakan janji secara eksplisit.

Pemecahan masalah terpadu: Usaha menyelesaikan masalah dengan memadukan kebutuhan kedua pihak. Proses pertukaran informasi, fakta, perasaan, dan kebutuhan berlangsung secara terbuka dan jujur. Menimbulkan rasa saling percaya dengan merumuskan alternatif pemecahan secara bersama de¬ngan keuntungan yang berimbang bagi kedua pihak.

Penarikan diri: Suatu penyelesaian masalah, yaitu salah satu atau kedua pihak menarik diri dari hubungan. Cara ini efektif apabila dalam tugas kedua pihak tidak perlu berinteraksi dan tidak efektif apabila tugas saling bergantung satu sama lain.

Pemaksaan dan penekanan: Cara ini memaksa dan menekan pihak lain agar menyerah; akan lebih efektif bila salah satu pihak mempunyai wewenang formal atas pihak lain. Apabila tidak terdapat perbedaan wewenang, dapat dipergunakan ancaman atau bentuk-bentuk intimidasi lainnya. Cara ini sering kurang efektif karena salah satu pihak hams mengalah dan menyerah secara terpaksa.

Intervensi (campur tangan) pihak ketiga:

Apabila fihak yang bersengketa tidak bersedia berunding atau usaha kedua pihak menemui jalan buntu, maka pihak ketiga dapat dilibatkan dalam penyelesaian konflik.

Arbitrase (arbitration): Pihak ketiga mendengarkan keluhan kedua pihak dan berfungsi sebagai “hakim” yang mencari pemecahan mengikat. Cara ini mungkin tidak menguntungkan kedua pihak secara sama, tetapi dianggap lebih baik daripada terjadi muncul perilaku saling agresi atau tindakan destruktif.

Penengahan (mediation): Menggunakan mediator yang diundang untuk menengahi sengketa. Mediator dapat membantu mengumpulkan fakta, menjalin komunikasi yang terputus, menjernihkan

(6)

dan memperjelas masalah serta mela-pangkan jalan untuk pemecahan masalah secara terpadu. Efektivitas penengahan tergantung juga pada bakat dan ciri perilaku mediator.

Konsultasi: Tujuannya untuk memperbaiki hubungan antar kedua pihak serta mengembangkan kemampuan mereka sendiri untuk menyelesaikan konflik. Konsultan tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan dan tidak berusaha untuk menengahi. la menggunakan berbagai teknik untuk meningkatkan persepsi dan kesadaran bahwa tingkah laku kedua pihak terganggu dan tidak berfungsi, sehingga menghambat proses penyelesaian masalah yang menjadi pokok sengketa. Hal-hal yang Perlu Diperhati-kan Dalam Mengatasi Konflik:

 Ciptakan sistem dan pelaksanaan komunikasi yang efektif.  Cegahlah konflik yang destruktif sebelum terjadi.

 Tetapkan peraturan dan prosedur yang baku terutama yang menyangkut hak karyawan.  Atasan mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan konflik yang muncul.

 Ciptakanlah iklim dan suasana kerja yang harmonis.

 Bentuklah team work dan kerja-sama yang baik antar kelompok/ unit kerja.

 Semua pihak hendaknya sadar bahwa semua unit/eselon merupakan mata rantai organisasi yang saling mendukung, jangan ada yang merasa paling hebat.

 Bina dan kembangkan rasa solidaritas, toleransi, dan saling pengertian antar unit/departemen/ eselon.

PERANAN KONFLIK

 Konflik merupakan proses yang dinamis, bukannya kondisi statis. Pendekatan yang baik untuk menggambarkan proses suatu konflik suatu konflik antara lain sebagai berikut :

 Antecedent Conditions or latent Conflict

 Merupakan suatu kondisi yang berpotensi menyebabkan atau mengawali suatu terjadinya konflik.Pada kondisi seperti ini dikatakan konflik bersifat laten, yaitu berpotensi untuk muncul, tapi dalam kenyataannya tidak terjadi.

 Perceived Conflict

 Agar konflik dapat berlanjut, kedua belah pihak harus menyadari bahwa mereka dalam keadaan terancam dalam batas-batas tertentu.

 Felt Conflict

 Persepsi berkaitan erat dengan perasaan. Karena itulah jika orang merasakan adanya perselisihan baik secara aktual maupun potensial, ketegangan, frustasi, rasa marah, rasa takut, maupun kegusaran akan bertambah.

(7)

 R eaksi yang mungkin muncul pada tahap ini; argumentasi, tindakan agresif, atau bahkan munculnya niat baik yang menghasilkan penyelesaian masalah yang konstruktif.

o Conflict Resolution or Suppression

o Conflict resolution atau hasil suatu konflik dapat muncul dalam berbagai cara. Kedua belah pihak mungkin mencapai persetujuan yang mengakhiri konflik tersebut.

o Conflict Alternatif

 Ketika konflik terselesaikan, tetap ada perasaan yang tertinggal. Menurut Ross (1993)

 Manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif.

Stephen P. Robbins-1974

 “ Managing organizational conflict ” mengemukakan bahwa perbedaan pandang antara pandangan lama tantang konflik yang disebutnya pandangan tradisional dan pandangan baru tentang konflik yang disebutnya pandangan interaksionis.

Minnery (1980)

 Manajemen konflik merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan kota merupakan proses.

Management Konflik Definisi Manajemen Konflik

Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.

(8)

Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.

peran manajemen konflik dalam organisasi

Dalam sebuah organisai, pekerjaan individual maupun sekelompok pekerja saling terkait dengan pekerjaan pihak-pihak lain. Ketika suatu konflik muncul di dalam sebuah organisasi, penyebabnya selalu diidentifikasikan sebagai komunikasi yang kurang baik. Demikian pula ketika suatu keputusan yang buruk dihasilkan, komunikasi yang tidak efektif selalu menjadi kambing hitam.

Para manajer bergantung kepada ketrampilan berkomunikasi mereka dalam memperoleh informasi yang diperlukan dalam proses perumusan keputusan, demikian pula untuk mensosialisasikan hasil keputusan tersebut kepada pihak-pihak lain. Riset membuktikan bahwa manajer menghabiskan waktu sebanyak 80 persen dari total waktu kerjanya untuk interaksi verbal dengan orang lain.

Ketrampilan memproses informasi yang dituntut dari seorang manajer termasuk kemampuan untuk mengirim dan menerima informasi ketika bertindak sebagai monitor, juru bicara (Spekesperson), maupun penyusun strategi.

Sudah menjadi tuntutan alam dalam posisi dan kewajiban sebagai manajer untuk selalu dihadapkan pada konflik. Salah satu titik pening dari tugas seorang manajer dalam melaksanakan komunikasi yang efektif didalam organisasi bisnis yang ditanganinya adalah memastikan bahwa arti yang dimaksud dalam instruksi yang diberikan akan sama dengan arti yang diterima olh penerima instruksi demikian pula sebaliknya (the intended meaning of the same). Hal ini harus menjadi tujuan seorang manejer dalam semua komunikasi yag dilakukannya.

(9)

Dalam hal me-manage bawahannya, manajer selalu dihadapkan pada penentuan tuntuan pekerjaan dari setiap jabatan yang dipegang dan ditangani oleh bawahannya (role expectaties) dan konflik dapat menimbulkan ketegangan yang akan berefleksi buruk kepada sikap kerja dan perilaku individual. Manajer yang baik akan berusaha untuk meminimasasi konsukensi negatif ini dengan cara membuka dan mempertahankan komunikasi dua arah yang efektif kepada setiap anggota bawahannya. Disinilah manajer dituntut untuk memenuhi sisi lain dari ketrampilan interpersonalnya, yaitu kemampuan untuk menangani dan menyelesaikan konflik.

Manajer menghabiskan 20 persen dari waktu kerja mereka berhadapan dengan konflik. Dalam hal ini, manajer bisa saja sebagai pihak pertama yang langsung terlibat dalam konflik tersebut, dan bisa saja sebagai pihak pertama yang langsung terlibat dalam konflik tersebut, dan bisa pula sebagai mediator atau pihak ketiga, yang perannya tidak lain dari menyelesaikan konflik antar pihak lain yang mempengaruhi organisasi bisnis maupun individual yang terlibat di dalam organisasi bisnis yang ditanganinya.

Definisi Konflik :

Menurut Nardjana (1994) Konflik yaitu akibat situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.

Menurut Killman dan Thomas (1978), konflik adalah kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja (Wijono,1993, p.4)

Menurut Wood, Walace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, dan Osborn (1998:580) yang dimaksud dengan konflik (dalam ruang lingkup organisasi) yaitu : Conflict is a situation which two or more people disagree over issues of organisational substance and/or experience some emotional antagonism with one another.

yang kurang lebih artinya konflik adalah suatu situasi dimana dua atau banyak orang saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi dan/atau dengan timbulnya perasaan permusuhan satu dengan yang lainnya.

(10)

Menurut Stoner Konflik organisasi ialah mencakup ketidaksepakatan soal alokasi sumberdaya yang langka atau peselisihan soal tujuan, status, nilai, persepsi, atau kepribadian. (Wahyudi, 2006:17)

Daniel Webster mendefinisikan konflik sebagai:

1. Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain. 2. Keadaan atau perilaku yang bertentangan (Pickering, 2001).

Ciri-Ciri Konflik :

Menurut Wijono( 1993 : 37) Ciri-ciri Konflik adalah :

o Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.

o Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.

o Munculnya interaksi yang seringkali ditandai dengan gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang- pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.

o Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang berlarut-larut.

o Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya.

Tahapan-Tahapan Perkembangan kearah terjadinya Konflik : o Konflik masih tersembunyi (laten)

 Berbagai macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu dirinya.

(11)

 Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya. o Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat dirasakan

(felt conflict)

 Muncul sebagai akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan. o Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior)

 Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.

o Penyelesaian atau tekanan konflik

 Pada tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik, yaitu penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan.

o Akibat penyelesaian konflik

 Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka dapat memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya bila tidak, maka bisa berdampak negatif terhadap kedua belah pihak sehingga mempengaruhi produkivitas kerja.(Wijono, 1993, 38-41).

Sumber-Sumber Konflik :

o Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict)

 Konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict)  Menurut Wijono (1993, pp.7-15), ada tiga jenis konflik yang berkaitan

dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict), yaitu:

 Approach-approach conflict, dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan positif terhadap dua persoalan atau lebih, tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.  Approach-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk

melakukan pendekatan terhadap persoalan-persoalan yang mengacu pada satu tujuandan pada waktu yang sama didorong untuk melakukan terhadap persoalan-persoalan tersebut dan

(12)

tujuannya dapat mengandung nilai positif dan negatif bagi orang yang mengalami konflik tersebut.

 Avoidance-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk menghindari dua atau lebih hal yang negatif tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.

 Dalam hal ini, approach-approach conflict merupakan jenis konflik yang mempunyai resiko paling kecil dan mudah diatasi, serta akibatnya tidak begitu fatal.

B. Konflik yang berkaitan dengan peran dan ambigius

Di dalam organisasi, konflik seringkali terjadi karena adanya perbedaan peran dan ambigius dalam tugas dan tanggung jawab terhadap sikap-sikap, nilai-nilai dan harapan-harapan yang telah ditetapkan dalam suatu organisasi.

Filley and House memberikan kesimpulan atas hasil penyelidikan kepustakaan mengenai konflik peran dalam organisasi, yang dicatat melalui indikasi-indikasi yang dipengaruhi oleh empat variabel pokok :

 Mempunyai kesadaran akan terjadinya konflik peran.

 Menerima kondisi dan situasi bila muncul konflik yang bisa membuat tekanan-tekanan dalam pekerjaan.

 Memiliki kemampuan untuk mentolelir stres.

 Memperkuat sikap/sifat pribadi lebih tahan dalam menghadapi konflik yang muncul dalam organisasi (Wijono, 1993, p.15).

Stevenin (2000, pp.132-133), ada beberapa faktor yang mendasari munculnya konflik antar pribadi dalam organisasi misalnya adanya:

o Pemecahan masalah secara sederhana. Fokusnya tertuju pada penyelesaian masalah dan orang-orangnya tidak mendapatkan perhatian utama.

o Penyesuaian/kompromi. Kedua pihak bersedia saling memberi dan menerima, namun tidak selalu langsung tertuju pada masalah yang sebenarnya.

o Waspadailah masalah emosi yang tidak pernah disampaikan kepada manajer. Kadang-kadang kedua pihak tetap tidak puas.

o Tidak sepakat. Tingkat konflik ini ditandai dengan pendapat yang diperdebatkan. Mengambil sikap menjaga jarak. Sebagai manajer, manajer perlu memanfaatkan

(13)

dan menunjukkan aspek-aspek yang sehat dari ketidaksepakatan tanpa membiarkan adanya perpecahan dalam kelompok.

o Kalah/menang. Ini adalah ketidaksepakatan yang disertai sikap bersaing yang amat kuat. Pada tingkat ini, sering kali pendapat dan gagasan orang lain kurang dihargai. Sebagian di antaranya akan melakukan berbagai macam cara untuk memenangkan pertarungan.

o Pertarungan/penerbangan. Ini adalah konflik “penembak misterius”. Orang-orang yang terlibat di dalamnya saling menembak dari jarak dekat kemudian mundur untuk menyelamatkan diri. Bila amarah meledak, emosi pun menguasai akal sehat. Orang-orang saling berselisih.

o Keras kepala. Ini adalah mentalitas “dengan caraku atau tidak sama sekali”.Satu-satunya karunia yang menyelamatkan dalam konflik ini adalah karena biasanya hal ini tetap mengacu pada pemikiran yang logis. Meskipun demikian, tidak ada kompromi sehingga tidak ada penyelesaian.

o Penyangkalan. Ini adalah salah satu jenis konflik yang paling sulit diatasi karena tidak ada komunikasi secara terbuka dan terus-terang. Konflik hanya dipendam. Konflik yang tidak bisa diungkapkan adalah konflik yang tidak bisa diselesaikan.

Dampak Konflik

Konflik dapat berdampak positif dan negatif yang rinciannya adalah sebagai berikut : 1. Dampak Positif Konflik

Menurut Wijono (1993:3), bila upaya penanganan dan pengelolaan konflik karyawan dilakukan secara efisien dan efektif maka dampak positif akan muncul melalui perilaku yang dinampakkan oleh karyawan sebagai sumber daya manusia potensial dengan berbagai akibat seperti:

1) Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu bekerja, seperti hampir tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa alasan yang jelas, masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada waktu jam kerja setiap karyawan menggunakan waktu secara efektif, hasil kerja meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.

2) Meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif. Hal ini terlihat dari cara pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai dengan analisis pekerjaan masing-masing.

(14)

3) Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam upaya peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran, inisiatif dan kreativitas.

4) Semakin berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat stress bahkan produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini karena karyawan memperoleh perasaan-perasaan aman, kepercayaan diri, penghargaan dalam keberhasilan kerjanya atau bahkan bisa mengembangkan karier dan potensi dirinya secara optimal.

5) Banyaknya karyawan yang dapat mengembangkan kariernya sesuai dengan potensinya melalui pelayanan pendidikan (education), pelatihan (training) dan konseling (counseling) dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Semua ini bisa menjadikan tujuan organisasi tercapai dan produktivitas kerja meningkat akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.

2. Dampak Negatif Konflik

Dampak negatif konflik (Wijono, 1993, p.2), sesungguhnya disebabkan oleh kurang efektif dalam pengelolaannya yaitu ada kecenderungan untuk membiarkan konflik tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik. Akibatnya muncul keadaan-keadaan sebagai berikut:

a. Meningkatkan jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir pada waktu jam-jam kerja berlangsung seperti misalnya ngobrol berjam-jam sambil mendengarkan sandiwara radio, berjalan mondar-mandir menyibukkan diri, tidur selama pimpinan tidak ada di tempat, pulang lebih awal atau datang terlambat dengan berbagai alasan yang tak jelas.

b. Banyak karyawan yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kerjanya yang dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab.

c. Seringnya terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa memancing kemarahan, ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan, kondisi psikis dan keluarganya.

d. Banyak karyawan yang sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang aman, merasa

(15)

tertolak oleh teman ataupun atasan, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, timbul stres yang berkepanjangan yang bisa berakibat sakit tekanan darah tinggi, maag ataupun yang lainnya. e. Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila

memperoleh teguran dari atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap jalannya produksi, dengan cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja, mengadakan provokasi terhadap rekan kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan orang lain.

f. Meningkatnya kecenderungan karyawan yang keluar masuk dan ini disebut labor turn-over. Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran dan kestabilan organisasi secara menyeluruh karena produksi bisa macet, kehilangan karyawan potensial, waktu tersita hanya untuk kegiatan seleksi dan memberikan latihan dan dapat muncul pemborosan dalam cost benefit.

Konflik yang tidak terselesaikan dapat merusak lingkungan kerja sekaligus orang-orang di dalamnya, oleh karena itu konflik harus mendapat perhatian. Jika tidak, maka seorang manajer akan terjebak pada hal-hal seperti:

o Kehilangan karyawan yang berharga dan memiliki keahlian teknis. Dapat saja mereka mengundurkan diri. Manajer harus menugaskan mereka kembali, dan contoh yang paling buruk adalah karena mungkin Manajer harus memecat mereka.

o Menahan atau mengubah informasi yang diperlukan rekan-rekan sekerja yang lurus hati agar tetap dapat mencapai prestasi.

o Keputusan yang lebih buruk yang diambil oleh perseorangan atau tim karena mereka sibuk memusatkan perhatian pada orangnya, bukan pada masalahnya. o Kemungkinan sabotase terhadap pekerjaan atau peralatan. Seringkali

dimaklumi sebagai faktor “kecelakaan” atau “lupa”. Namun, dapat membuat pengeluaran yang diakibatkan tak terhitung banyaknya.

o Sabotase terhadap hubungan pribadi dan reputasi anggota tim melalui gosip dan kabar burung. Segera setelah orang tidak memusatkan perhatian pada tujuan perubahan, tetapi pada masalah emosi dan pribadi, maka perhatian mereka akan terus terpusatkan ke sana.

(16)

o Menurunkan moral, semangat, dan motivasi kerja. Seorang karyawan yang jengkel dan merasa ada yang berbuat salah kepadanya tidak lama kemudian dapat meracuni seluruh anggota tim. Bila semangat sudah berkurang, manajer akan sulit sekali mengobarkannya kembali.

o Masalah yang berkaitan dengan stres. Ada bermacam-macam, mulai dari efisiensi yang berkurang sampai kebiasaan membolos kerja. (Stevenin,2000 : 131-132).

Strategi Mengatasi Konflik

Menurut Stevenin (2000, pp.134-135), terdapat lima langkah meraih kedamaian dalam konflik. Apa pun sumber masalahnya, lima langkah berikut ini bersifat mendasar dalam mengatasi kesulitan: 1. Pengenalan

Kesenjangan antara keadaan yang ada diidentifikasi dan bagaimana keadaan yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi perangkap adalah kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan masalah atau menganggap ada masalah padahal sebenarnya tidak ada).

2. Diagnosis

Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele.

3. Menyepakati suatu solusi

Kumpulkanlah masukan mengenai jalan keluar yang memungkinkan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Saringlah penyelesaian yang tidak dapat diterapkan atau tidak praktis. Jangan sekali-kali menyelesaikan dengan cara yang tidak terlalu baik. Carilah yang terbaik. 4. Pelaksanaan

Ingatlah bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian. Hati-hati, jangan biarkan pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan arah kelompok.

5. Evaluasi

Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke langkah-langkah sebelumnya dan cobalah lagi.

Stevenin (1993 : 139-141) juga memaparkan bahwa ketika mengalami konflik, ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan di tengah-tengah konflik, yaitu:

(17)

o Jangan hanyut dalam perebutan kekuasaan dengan orang lain. Ada pepatah dalam masyarakat yang tidak dapat dipungkiri, bunyinya: bila wewenang bertambah maka kekuasaan pun berkurang, demikian pula sebaiknya.

o Jangan terlalu terpisah dari konflik. Dinamika dan hasil konflik dapat ditangani secara paling baik dari dalam, tanpa melibatkan pihak ketiga.

o Jangan biarkan visi dibangun oleh konflik yang ada. Jagalah cara pandang dengan berkonsentrasi pada masalah-masalah penting. Masalah yang paling mendesak belum tentu merupakan kesempatan yang terbesar.

Menurut Wijono (1993 : 42-125) strategi mengatasi konflik, yaitu:

o Strategi Mengatasi Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict)

 Menurut Wijono (1993 : 42-66), untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan paling tidak tujuh strategi yaitu:

 Menciptakan kontak dan membina hubungan  Menumbuhkan rasa percaya dan penerimaan  Menumbuhkan kemampuan /kekuatan diri sendiri  Menentukan tujuan

 Mencari beberapa alternatif  Memilih alternatif

 Merencanakan pelaksanaan jalan keluar

o Strategi Mengatasi Konflik Antar Pribadi (Interpersonal Conflict)

 Menurut Wijono (1993 : 66-112), untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan paling tidak tiga strategi yaitu:

o Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy)

o Beorientasi pada dua individu atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya individu atau kelompok yang bertikai mengambil jalan tengah (berkompromi) atau membayar sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa orang atau kelompok ketiga sebagai penengah.

(18)

 Dalam strategi kalah-kalah, konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila perundingan mengalami jalan buntu. Maka pihak ketiga diundang untuk campur tangan oleh pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri. Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak ketiga yaitu:

o Arbitrasi (Arbitration)

 Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai hakim dan penengah dalam menentukan penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat.

o Mediasi (Mediation)

 Mediasi dipergunakan oleh Mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat.

 Strategi Menang-Kalah (Win-Lose Strategy)

 Dalam strategi saya menang anda kalah (win lose strategy), menekankan adanya salah satu pihak yang sedang konflik mengalami kekalahan tetapi yang lain memperoleh kemenangan.  Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik

dengan win-lose strategy (Wijono, 1993 : 44), dapat melalui: o Penarikan diri, yaitu proses penyelesaian konflik antara

dua atau lebih pihak yang kurang puas sebagai akibat dari ketergantungan tugas (task independence).

o Taktik-taktik penghalusan dan damai, yaitu dengan melakukan tindakan perdamaian dengan pihak lawan untuk menghindari terjadinya konfrontasi terhadap perbedaan dan kekaburan dalam batas-batas bidang kerja (jurisdictioanal ambiquity).

(19)

o Bujukan, yaitu dengan membujuk pihak lain untuk mengubah posisinya untuk mempertimbangkan informasi-informasi faktual yang relevan dengan konflik, karena adanya rintangan komunikasi (communication barriers). o Taktik paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan

kekuasaan formal dengan menunjukkan kekuatan (power) melalui sikap otoriter karena dipengaruhi oleh sifat-sifat individu (individual traits).

o Taktik-taktik yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran persetujuan sehingga tercapai suatu kompromi yang dapat diterima oleh dua belah pihak, untuk menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources) secara optimal bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

 Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy)

 Penyelesaian yang dipandang manusiawi, karena menggunakan segala pengetahuan, sikap dan keterampilan menciptakan relasi komunikasi dan interaksi yang dapat membuat pihak-pihak yang terlibat saling merasa aman dari ancaman, merasa dihargai, menciptakan suasana kondusif dan memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensi masing-masing dalam upaya penyelesaian konflik. Jadi strategi ini menolong memecahkan masalah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, bukan hanya sekedar memojokkan orang.

 Strategi menang-menang jarang dipergunakan dalam organisasi dan industri, tetapi ada 2 cara didalam strategi ini yang dapat dipergunakan sebagai alternatif pemecahan konflik interpersonal yaitu:

o Pemecahan masalah terpadu (Integrative Problema Solving) Usaha untuk menyelesaikan secara mufakat atau memadukan kebutuhan-kebutuhan kedua belah pihak.

(20)

o Konsultasi proses antar pihak (Inter-Party Process Consultation) Dalam penyelesaian melalui konsultasi proses, biasanya ditangani oleh konsultan proses, dimana keduanya tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan konflik dengan kekuasaan atau menghakimi salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat konflik

 Strategi Mengatasi Konflik Organisasi (Organizational Conflict)

 Menurut Wijono (1993, pp.113-125), ada beberapa strategi yang bisa dipakai untuk mengantisipasi terjadinya konflik organisasi diantaranya adalah:

 Pendekatan Birokratis (Bureaucratic Approach) Konflik muncul karena adanya hubungan birokratis yang terjadi secara vertikal dan untuk menghadapi konflik vertikal model ini, manajer cenderung menggunakan struktur hirarki (hierarchical structure) dalam hubungannya secara otokritas. Konflik terjadi karena pimpinan berupaya mengontrol segala aktivitas dan tindakan yang dilakukan oleh bawahannya. Strategi untuk pemecahan masalah konflik seperti ini biasanya dipergunakan sebagai pengganti dari peraturan-peraturan birokratis untuk mengontrol pribadi bawahannya. Pendekatan birokratis (Bureaucratic Approach) dalam organisasi bertujuan mengantisipasi konflik vertikal (hirarkie) didekati dengan cara menggunakan hirarki

o struktural (structural hierarchical).

Pendekatan Intervensi Otoritatif Dalam Konflik Lateral (Authoritative Intervention in Lateral Conflict)

o Bila terjadi konflik lateral, biasanya akan diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik. Kemudian jika konflik tersebut ternyata tidak dapat diselesaikan secara konstruktif, biasanya manajer langsung melakukan intervensi secara otoratif kedua belah pihak.

(21)

 Pendekatan Sistem (System Approach)

o Model pendekatan perundingan menekankan pada masalah-masalah kompetisi dan model pendekatan birokrasi menekankan pada kesulitan-kesulitan dalam kontrol, maka pendekatan sistem (system Approach) adalah mengkoordinasikan masalah-masalah konflik yang muncul.

o Pendekatan ini menekankan pada hubungan lateral dan horizontal antara fungsi-fungsi pemasaran dengan produksi dalam suatu organisasi.

 Reorganisasi Struktural (Structural Reorganization)

o Cara pendekatan dapat melalui mengubah sistem untuk melihat kemungkinan terjadinya reorganisasi struktural guna meluruskan perbedaan kepentingan dan tujuan yang hendak dicapai kedua belah pihak, seperti membentuk wadah baru dalam organisasi non formal untuk mengatasi konflik yang berlarut-larut sebagai akibat adanya saling ketergantungan tugas (task interdependence) dalam mencapai kepentingan dan tujuan yang berbeda sehingga fungsi organisasi menjadi kabur.

DEFINISI KONFLIK

Konflik dapat berupa perselisihan (disagreement), adanya ketegangan (the presence of tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau lebih. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antara kedua belah pihak, sampai kepada tahap di mana pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain sebagai penghalang dan pengganggu tercapainya kebutuhan dan tujuan masing-masing. Subtantive conflicts merupakan perselisihan yang berkaitan dengan tujuan kelompok, pengalokasian sumber daya dalam suatu organisasi, distribusi kebijaksanaan dan prosedur, dan pembagian jabatan pekerjaan. Emotional conflicts terjadi akibat

(22)

adanya perasaan marah, tidak percaya, tidak simpatik, takut dan penolakan, serta adanya pertentangan antar pribadi (personality clashes).

Situasi yang terjadi ketika ada perbedaan pendapat atau perbedaan cara pandang diantara beberapa orang, kelompok atau organisasi. Definisi lain yaitu sikap saling mempertahankan diri sekurang-kurangnya diantara dua kelompok, yang memiliki tujuan dan pandangan berbeda, dalam upaya mencapai satu tujuan sehingga mereka berada dalam posisi oposisi, bukan kerjasama

STRATEGI PENYELESAIAN KONFLIK

o Pendekatan penyelesaian konflik oleh pemimpin dikategorikan dalam dua dimensi ialah kerjasama/tidak kerjasama dan tegas/tidak tegas. Dengan menggunakan kedua macam dimensi tersebut ada 5 macam pendekatan penyelesaian konflik

ialah :

1. Menghindar

 Menghindari konflik dapat dilakukan jika isu atau masalah yang memicu konflik tidak terlalu penting atau jika potensi konfrontasinya tidak seimbang dengan akibat yang akan ditimbulkannya. Penghindaran merupakan strategi yang memungkinkan pihak-pihak yang berkonfrontasi untuk menenangkan diri. Manajer perawat yang terlibat didalam konflik dapat menepiskan isu dengan mengatakan “Biarlah kedua pihak mengambil waktu untuk memikirkan hal ini dan menentukan tanggal untuk melakukan diskusi”

Mengakomodasi

Memberi kesempatan pada orang lain untuk mengatur strategi pemecahan masalah, khususnya apabila isu tersebut penting bagi orang lain. Hal ini memungkinkan timbulnya kerjasama dengan memberi kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan. Perawat yang menjadi bagian dalam konflik dapat mengakomodasikan pihak lain dengan menempatkan kebutuhan pihak lain di tempat yang pertama.

Kompetisi

Gunakan metode ini jika anda percaya bahwa anda memiliki lebih banyak informasi dan keahlian yang lebih dibanding yang lainnya atau ketika anda tidak ingin mengkompromikan nilai-nilai anda. Metode ini mungkin bisa memicu konflik tetapi bisa jadi merupakan metode yang penting untuk alasan-alasan keamanan.

(23)

Kompromi atau Negosiasi

Masing-masing memberikan dan menawarkan sesuatu pada waktu yang bersamaan, saling memberi dan menerima, serta meminimalkan kekurangan semua pihak yang dapat menguntungkan semua pihak.

Memecahkan Masalah atau Kolaborasi

Pemecahan sama-sama menang dimana individu yang terlibat mempunyai tujuan kerja yang sama.Perlu adanya satu komitmen dari semua pihak yang terlibat untuk saling mendukung dan saling memperhatikan satu sama lainnya.

Mengendalikan konflik berarti menjaga tingakat konflik yang kondusif bagi perkembangan organisasi sehingga dapat berfungsi untuk menjamin efektivitas dan dinamika organisasi yang optimal. Namun bila konflik telah terlalu besar dan disfungsional, maka konflik perlu diturunkan intensitasnya, antara lain dengan cara :

1. Mempertegas atau menciptakan tujuan bersama. Perlunya dikembangkan tujuan kolektif di antara dua atau lebih unit kerja yang dirasakan bersama dan tidak bisa dicapai suatu unit kerja saja.

2. Meminimalkan kondisi ketidak-tergantungan. Menghindari terjadinya eksklusivisme diatara unit-unit kerja melalui kerjasama yang sinergis serta membentuk koordinator dari dua atau lebih unit kerja.

3. Memperbesar sumber-sumber organisasi seperti : menambah fasilitas kerja, tenaga serta anggaran sehingga mencukupi kebutuhan semua unit kerja.

4. Membentuk forum bersama untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah bersama. Pihak-pihak yang berselisih membahas sebab-sebab konflik dan memecahkan permasalahannya atas dasar kepentingan yang sama.

5. Membentuk sistem banding, dimana konflik diselesaikan melalui saluran banding yang akan mendengarkan dan membuat keputusan.

6. Pelembagaan kewenangan formal, sehingga wewenang yang dimiliki oleh atasan atas pihak-pihak yang berkonflik dapat mengambil keputusan untuk menyelesaikan perselisihan.

(24)

7. Meningkatkan intensitas interaksi antar unit-unit kerja, dengan demikian diharapkan makin sering pihak-pihak berkomunikasi dan berinteraksi, makin besar pula kemungkinan untuk memahami kepentingan satu sama lain sehingga dapat mempermudah kerjasama.

8. Me-redesign kriteria evaluasi dengan cara mengembangkan ukuran-ukuran prestasi yang dianggap adil dan acceptable dalam menilai kemampuan, promosi dan balas jasa.

Metode Penyelesaian Konflik

Ada tiga metode penyelesaian konflik yang sering digunakan, yaitu dominasi atau penekanan, kompromi, dan pemecahan masalah integratif.

Dominasi atau penekanan. Dominasi atau penekanan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:

1. Kekerasan (forcing) yang bersifat penekanan otokratik.

2. Penenangan (smoothing), merupakan cara yang lebih diplomatis.

3. Penghindaran (avoidance) dimana manajer menghindar untuk mengambil posisi yang tegas. 4. Aturan mayoritas (majority rule), mencoba untuk menyelesaikan konflik antar kelompok dengan melakukan pemungutan suara (voting) melalui prosedur yang adil. Kompromi, manajer mencoba menyelesaikan konflik melalui pencarian jalan tengah yang dapat diterima oleh pihak yang bertikai.

TINGKAT KONFLIK (LEVELS OF CONFLICT)

Konflik yang timbul dalam suatu lingkungan pekerjaan dapat dibagi dalam empat tingkatan:

a. Konflik dalam diri individu itu sendiri Konflik dalam diri seseorang dapat timbul jika terjadi kasus overload jitu dimana ia dibebani dengan tanggung jawab pekerjaan yang terlalu banyak, dan dapat pula terjadi ketika dihadapkan kepada suatu titik dimana ia harus membuat keputusan yang melibatkan pemilihan alternatif yang terbaik. Perspektif di bawah ini mengidentifikasikan empat episode konflik, dikutip dari tulisan Thomas V. Banoma dan Gerald Zaltman dalam buku Psychology for Management:

1. Appriach-approach conflict, yaitu situasi dimana seseorang harus memilih salah satu di antara beberapa alternatif yang sarna baiknya.

2. Avoidance-avoidance conflict, yaitu keadaan dimana seseorang terpaksa memilih salah satu di antara beberapa alternatif tujuan yang sama buruknya.

(25)

3. Approach-avoidance conflict, merupakan suatu situasi dimana seseorang terdorong oleh keinginan yang kuat untuk mencapai satu tujuan, tetapi di sisi lain secara simultan selalu terhalang dari tujuan tersebut oleh aspek-aspek tidak menguntungkan yang tidak bisa lepas dari proses pencapaian tujuan itu sendiri.

4. Multiple aproach-avoidance conflict, yaitu suatu situasi dimana seseorang terpaksa dihadapkan pada kasus kombinasi ganda dari approach-avoidance conflict.

b. Konflik interpersonal, yang merupakan konflik antara satu individual dengan individual yang lain. Konflik interpersonal dapat berbentuk substantive maupun emotional, bahkan merupakan kasus utama dari konflik yang dihadapi oleh para manajer dalam hal hubungan interpersonal sebagai bagian dari tugas manajerial itu sendiri

c. Konflik intergroup Konflik intergrup merupakan hal yang tidak asing lagi bagi organisasi manapun, dan konflik ini meyebabkan sulitnya koordinasi dan integrasi dari kegiatan yang berkaitan dengan tugas-tugas dan pekerjaan. Dalam setiap kasus, hubungan integrup harus di-manage sebaik mungkin untuk mempertahankan kolaborasi dan menghindari semua konsekuensidisfungsional dari setiap konflik yang mungkin timbul.

d. Konflik interorganisasi Konflik ini sering dikaitkan dengan persaingan yang timbul di antara perusahaan-perusahaan swasta. Konflik interorganisasi sebenarnya berkaitan dengan isu yang lebih besar lagi, contohnya persetisihan antara serikat buruh dengan perusahaan. Dalam setiap kasus, potensi terjadinya konflik melibatkan individual yang mewakili organisasi secara keseluruhan, bukan hanya subunit internal atau group

FAKTOR PENYEBAB KONFLIK

1. Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan

(26)

pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.

2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.

4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.

Asumsi setiap orang memiliki kecenderungan tertentu dalam menangani konflik. Terdapat 5 kecenderungan:

 Penolakan: konflik menyebabkan tidak nyaman  Kompetisi: konflik memunculkan pemenang

 Kompromi: ada kompromi & negosiasi dalam konflik untuk meminimalisasi kerugian  Akomodasi: ada pengorbanan tujuan pribadi untuk mempertahankan hubungan

(27)

KEBIJAKAN PENANGANAN KONFLIK DI INDONESIA

Uraian dalam Bab ini menggambarkan pemikiran-pemikiran teoritis dan konseptual mengenai penanganan konflik sosial. Uraian dimulai dari teori-teori konflik seperti pengertian konflik, tipologi konflik, sebab-sebab konflik, dan dampak konflik. Materi penting lainnya adalah konstataring fakta mengenai kebijakan penanganan konflik di Indonesia pada saat ini dan sebelumnya, perubahan paradigma penanganan konflik. Uraian dalam bab ini sekaligus merupakan hasil evaluasi terhadap kelemahanan system dan metode penanganan konflik yang berjalan pada saat ini di Indonesia. Manfaat dari uraian teoritis dan kebijakan penanganan konflik adalah memberikan gambaran mengenai sistem yang dapat diterapkan di kemudian hari.

2.1. Teori Penanganan Konflik 2.1.1. Pengertian Konflik

Konflik didefinisikan sebagai situasi dan kondisi dimana terjadi pertentangan dan kekerasan dalam menyelesaikan masalah antara sesama anggota masyarakat, antara masyarakat dengan pemerintah maupun antara masyarakat dengan organisasi bisnis di suatu wilayah.

Situasi dan kondisi pertentangan tersebut meliputi pertentangan pendapat akibat perbedaan cara pandang sosial, ekonomi, politik dan keagamaan. Situasi dan kondisi ini berpotensi menciptakan konflik namun belum terjadi dalam bentuk kekerasan-kekerasan fisik dan psikologis-traumatik. Situasi dan kondisi dimana terjadi kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah, merupakan tahapan lanjut dari pertentangan pendapat yang berbeda-beda tersebut. Selanjutnya, Chris Mitchel ( P4K Untad, 2006) dalam mengemukakan rumusan konflik, yaitu hubungan antara dua pihak atau lebih ( individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Kekerasan meliputi tindakan, perkataan, sikap berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh.

Pengertian lain mengenai konflik dikemukakan oleh Robin ( P4K Untad, 2006). Robin berpendapat konflik sebagai suatu proses yang dimulai tatkala suatu pihak merasa ada pihak lain yang memberikan pengaruh negatif kepadanya atau tatkala suatu pihak merasa kepentinganya itu memberikan pengaruh negatif kepada pihak lainnya. Menurut pengertian tersebut, wujud konflik itu mencakup rentang yang amat luas, mulai dari ketidaksetujuan samar-samar sampai dengan tindakan kekerasan. Dengan kata lain, setiap perbedaan itu merupakan potensi konflik, yang jika tidak ditangani secara baik, potensi konflik itu bisa berubah menjadi konflik terbuka.

(28)

(1) Memiliki sedikit ketidaksetujuan atau sedikit kesalahpahaman. Setiap perbedaan itu merupakan sumber konflik. Konflik yang paling ringan adalah perbedaan persepsi dan pemahaman terhadap sesuatu perkara. Perbedaan ini masih tersimpan dalam memori individu atau kelompok yang beriteraksi.

(2) Mempertanyakan hal-hal yang berbeda. Pihak-pihak tertentu sudah mulai mempertanyakan hal-hal yang dianggap berbeda, tetapi belum ada versi bahwa pihak lain itu keliru.

(3) Mengajukan serangan verbal. Perbedaan sudah diungkapkan secara terbuka dan sudah ada variasi bahwa pihak lain itu keliru, tetapi belum muncul paksaan verbal agar pihak lain itu bersikap seperti apa yang dinginkannya.

(4) Mengajukan ancaman. Di sini paksaan verbal sudah mulai muncul, artinya ada suatu upaya agar pihak lain itu bersikap seperti dirinya.

(5) Melakukan serangan fisik secara agresif. Bentuk pemaksaan sudah meningkat dalam bentuk paksaan fisik.

(6) Melakukan upaya-upaya untuk merusak atau menghancurkan pihak lain.

Sedangkan menurut Ide, Konflik merupakan interaksi dari beberapa keinginan dan tujuan yang berbeda serta berlawanan yang di dalamnya terjadi perselisihan, akan tetapi tidak secara pasti diselesaikan. Konflik merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki atau tidak sejalan. Sedangkan kekerasan meliputi tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh.

2.1.2. Potensi Konflik

Konflik di Indonesia tidaklah tunggal dan bisa mengalami transformasi kausatif atau berpindah dari penyebab yang satu ke penyebab yang lain. Potensi konflik dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Kebijakan Pembangunan

2. Lemahnya Legitimasi dan Institusi Sosial Politik

3. Penggunaan Kekerasan Dalam Mewujudkan Tertib Sosial 4. Pelanggaran HAM

5. Isu Agama

6. Tindak Kekerasan Agama dan Pertentangan Elit

7. Melemahnya Mekanisme Tradisional dan Memudarnya Identitas Budaya Asli 8. Intervensi Asing

1) Kebijakan Pembangunan

Kebijakan pembangunan yang sentralistik pada masa sebelumnya telah menyebabkan ketidakpuasan dalam pemerataan hasil-hasilnya. Kondisi ini seringkali menyebabkan konflik

(29)

vertikal (pusat-daerah) dan horisontal (lokal-pendatang). Keadaan ini cenderung akan menciptakan konflik yang berakibat pada aspek sosial-ekonomi masyarakat di daerah. Selanjutnya resistensi pemerintah daerah dalam penguasaan sumber daya alam lokal, memberikan kontribusi pada terjadi konflik struktural tersebut yang semakin tidak terkendali. Hal lain yang perlu dikemukakan adalah kebijakan pemerintah yang cenderung lebih menguntungkan kelompok pendatang juga menambah potensi konflik sosial yang melibatkan emosionalitas dalam aspek komunal.

2) Lemahnya Legimitasi dan Institusi Sosial Politik

Perubahan peran pemerintah sebagai fasilitator, ternyata tidak berjalan dengan baik, yang menimbulkan reaksi masyarakat dalam bentuk kekecewaan dan ketidakpercayaan. Hal ini memperlemah legitimasi lembaga pemerintah terhadap masyarakat. Lemahnya legitimasi dan institusi sosial politik mendorong potensi konflik yang laten menjadi muncul ke permukaan. Seiring dengan kenyataan tersebut, maka pada realitas di masyarakat pilihan untuk menggunakan kekerasan dari berbagai pihak muncul sebagai pendekatan penyelesaian.

3) Penggunaan Kekerasan dalam Mewujudkan Tertib Sosial

Sistem politik yang tidak dapat mengelola hubungan antara pemerintah dan masyarakat dapat berpotensi menciptakan kekerasan. Kekerasan atau tindakan represif yang dilakukan oleh masyarakat maupun elit sengaja dilakukan untuk mewujudkan tertib sosial secara cepat. Kesadaran atas tindakan yang manusiawi dianggap lambat dalam mewujudkan sistem sosial yang tertib, aman, dan sejahtera.

4) Pelanggaran HAM (Hak-hak Asasi Manusia)

Tindakan kekerasan merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang akhirnya menimbulkan konflik dan korban dalam jumlah besar. Pelanggaran hak sosial, ekonomi dan budaya serta hak sipil dan politik terjadi karena kebijakan sosial ekonomi dan politik tidak menghitung dampak berupa tindakan yang tidak manusiawi dalam hubungan sosial ekonomi dan politik antara masyarakat dan elit.

5) Isu Agama

Secara mendasar, pemahaman dan ajaran agama di Indonesia tetap mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan kesejahteraan. Namun, pada situasi sosial, ajaran keagamaan mendapatkan

(30)

konteks penafsiran yang luas dan tergantung pada ideologi kelompok sosial-keagamaan tertentu. Pemeluk agama yang memakai isu-isu agama yang tidak toleran berpotensi menimbulkan konflik-konflik sosial dengan pemeluk agama lain, pemeluk agama yang sama dan pemeluk kepercayaan yang dianggap tidak beragama. Kelompok-kelompok sosial bawah yang cenderung mesianis, kelompok sosial menengah yang etis-moralis dan kelompok sosial elit yang seremonial, sama-sama berpotensi untuk menafsirkan ajaran agama secara tidak toleran di ruang publik yang sedang mengalami masa transisi menuju konsolidasi demokrasi. Hal ini akan berubah menjadi kekerasan bila ajaran agama yang intoleran tersebut berkelompok dalam organisasi yang radikal, militan dan melanggar citizenship (kewarganegaraan) di ruang publik. Hal yang penting pula dicermati adalah bahwa demokratisasi di Indonesia melahirkan gerakan radikalisme keagamaan yang dapat memicu konflik.

6) Tindak Kekerasan Militer dan Pertentangan Elit

Selama ini, kebijakan pertahanan dan keamanan tidak dibicarakan di ruang publik secara meluas oleh seluruh warga negara. Hal ini mengakibatkan hubungan antara warga negara baik sipil dan militer lebih berada dalam situasi kesalahpahaman dan berlanjut menjadi tindak kekerasan. Pertentangan elit, baik antara elit sipil dan militer, mempunyai akibat buruk pada masyarakat luas yaitu hilangnya kemandirian dalam menyelesaikan konflik secara damai. Konflik sosial yang ada senantiasa diselesaikan dengan jalan kekerasan yang diharapkan dapat segera tuntas namun menyimpan potensi konflik yang baru.

7) Melemahnya Mekanisme Tradisional dan Memudarnya Identitas Budaya Asli

Modernisasi pembangunan selama ini mempunyai dampak pada lembaga adat atau lembaga agama yang telah menyatu dengan budaya lokal dan nilai-nilai tradisi yang menyertainya. Perhitungan sosial-ekonomi yang rasional telah menggantikan modal sosial (social capital) dalam mekanisme tradisional menjadi modal keuangan (capital) dalam pengertian sempit yaitu untung-rugi. Akibatnya, mekanisme tradisional yang berlandaskan lingkungan setempat pudar bersamaan dengan identitas budaya asli sehingga menimbulkan krisis identitas. Krisis identitas, dalam arti tidak relevannya nilai-nilai lama dan belum kokohnya nilai-nilai baru, mendorong elit dan masyarakat tidak percaya sepenuhnya untuk mentransformasikan mekanisme tradisional dan identitas budayanya dalam konteks identifikasi dini konflik-konflik sosial (early warning system). Bila tidak diolah dengan tepat di ruang publik maka keduanya justru menjadi kendala dalam menyelesaikan konflik dan sekaligus sebagai potensi konflik sosial yang sulit untuk ditangani secara singkat.

(31)

8) Intervensi Asing

Pemerintah yang kurang mendapatkan dukungan dari rakyatnya, menurunnya pendapatan ekonomi masyarakat, dan kurangnya lapangan pekerjaan membuat pihak luar negeri (asing) mudah masuk ke lokasi rawan konflik. Konflik-konflik etnis atau pemeluk agama yang berawal dari penguasaan sumber daya alam, sangat mudah mengundang masuknya intervensi asing. Di satu sisi, intervensi asing berguna sebagai pihak yang netral untuk mendorong perdamaian, namun di sisi lain pihak asing menambah potensi konflik yang telah ada.

2.1.3. Teori-Teori Penyebab Konflik

1) Teori Hubungan Masyarakat

Menurut teori ini konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah: Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik dan mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada di dalamnya.

2) Teori Negosiasi Prinsip

Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah: 1) Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu, dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap; 2) Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.

Teori-teori penyebab konflik : 1. Hubungan Masyarakat 2. Negosiasi Prinsip 3. Kebutuhan Manusia 4. Identitas

5. Kesalahpahaman Antar Budaya 6. Transformasi Konflik

(32)

3) Teori Kebutuhan Manusia

Teori konflik ini berasumsi bahwa konflik yang disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia baik fisik, mental, dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:1) Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu; 2) Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.

4) Teori Identitas

Bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah: 1) Melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik mereka diharapkan dapat mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing dan untuk membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka. 2) Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak.

5) Teori Kesalahpahaman Antarbudaya

Bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah: Menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya pihak lain; Mengurangi stereotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain; Meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.

6) Teori Transformasi Konflik

Bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah: 1) Mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi. 2) Meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara pihak-pihak yang mengalami konflik. 3) Mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan , perdamaian, pengampunan , rekonsiliasi dan pengakuan.

(33)

2.1.4. Tipologi Konflik

1) Konflik Horisontal

Konflik yang terjadi antar kelompok agama, kelompok pendatang, penduduk asli, kelompok etnis, suku, atau organisasi bisnis/badan usaha yang berada di lokasi setempat. Tipologi konflik horisontal mempunyai asumsi bahwa konflik sudah terjadi dan menyebar ke berbagai aspek sosial, ekonomi, politik dan kekerasan fisik di antara kelompok-kelompok masyarakat.

2) Konflik Vertikal.

Konflik yang terjadi antara pemerintah dengan kelompok-kelompok sosial masyarakat tertentu. Konflik terjadi akibat dari proses pembuatan kebijakan pemerintah yang tidak partisipatif dan pada tahap berikutnya memunculkan perbedaan pendapat, pertentangan, kekerasan serta separatisme.

3) Konflik Diagonal

Konflik diagonal adalah konflik yang melibatkan pihak-pihak dalam konflik vertikal dan horisontal.

2.1.5. Dampak Konflik

1) Dampak Ekonomi.

Dampak ekonomi ini ditandai dengan menurunnya jumlah uang yang beredar, berkurangnya lapangan pekerjaan, menurunnya penerimaan daerah, menurunnya pendapatan Dalam realitas konflik yang terjadi di Indonesia, terdapat 3 (tiga) tipologi konflik, yaitu:

1. Konflik Horisontal. 2. Konflik Vertikal. 3. Konflik Diagonal.

Dampak konflik meliputi : 1. Dampak ekonomi 2. Dampak sosial budaya 3. Dampak Infrastruktur

(34)

masyarakat, terganggunya kegiatan ekonomi di daerah-daerah yang memiliki keterkaitan ekonomi dengan daerah-daerah konflik. Meningkatnya tekanan bagi dunia bisnis untuk bekerja baik secara komersial maupun sosial. Di hampir setiap sektor bisnis, perusahaan-perusahaan berada di bawah tekanan yang semakin besar untuk memenuhi tuntutan para pemegang saham maupun tuntutan lebih luas dari stakeholder terhadap inefisiensi penanganan konflik.

2) Sosial Budaya.

Dampak sosial budaya ini ditandai dengan munculnya gelombang pengungsian, gangguan kesehatan, terganggunya proses pendidikan, serta trauma psikologis khususnya pada anak-anak dan perempuan dan ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Migrasi penduduk akibat konflik berupa pertentangan pendapat hingga kekerasan fisik dan psikis membuat perubahan komposisi penduduk asli dan pendatang. Penduduk yang sudah merasa aman dan tinggal di daerah pengungsian, namun faktanya banyak menjadi korban kebijakan penanganan konflik yang mengharuskan mereka kembali ke lokasi semula. Kembalinya mereka ke lokasi semula menimbulkan konflik-konflik sosial budaya baru yang lebih rumit untuk diatasi.

3) Dampak Infrastruktur.

Dampak infrastruktur ini ditandai dengan terjadinya kerusakan-kerusakan pada rumah penduduk, tempat ibadah, fasilitas pendidikan, kesehatan, pemerintahan dan fasilitas-fasilitas umum lainnya. Kerusakan-kerusakan yang terjadi menandai telah bergesernya penyebab dasar konflik dari terutama kepentingan geostrategis ke perbedaan-perbedaan ideologi berdasarkan akses terhadap sumber daya, isu-isu identitas, dan kegagalan peran pemerintah dalam penanganan konflik.

4) Politik dan Pemerintahan.

Dampak dibidang politik dan pemerintahan ditandai dengan melemahnya fungsi kelembagaan pemerintahan, menurunnya pelayanan kepada masyarakat, membengkaknya pembelanjaan pemerintah, terganggunya pranata politik yang ada, menguatnya gejala separatisme dan lain-lain. Proses transisi politik dan sosial-ekonomi mempengaruhi pula dampak konflik politik dan pemerintahan, sehingga banyak milisi sipil dan telah terjadi peningkatan kekerasan secara dramatis. Adanya kekerasan yang terjadi di masyarakat

Gambar

Tabel  di atas  menggambarkan  perbedaan  antara bencana alam  dan  bencana  sosial  atau  konflik

Referensi

Dokumen terkait

Hasil Sensus Penduduk 2010 memang menunjukkan bahwa Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Provinsi Jawa Tengah hanya 0,37 % dan tercatat terendah di Indonesia. Namun jika melihat

Siswa harus menganalis dan mendefinisikan masalah/merumuskan masalah menyusun hipotesa, mengembangkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi/cari informasi,

Gambar 14.2 sama halnya dengan 14.1, hanya pada awal waktu jaringan adhoc multi-hop (5 node) terjadi peningkatan throughput (flow-1 dan flow-2), selebihnya hingga

Selain dapat memberikan dukungan untuk melakukan analisis prestasi kerja yang dicapai dengan standar prestasi kinerja yang direncanakan, konsep dan penerapan cara

DALAM MEMPENGARUHI KEPUTUSAN PEMBELIAN KARTU SELULER IM3 VERSI “IM3 SERU GRATIS GAK ABIS ABIS” (Studi Kasus Mahasiswa S1 Institut Pertanian Bogor). Di bawah bimbingan

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

dalam transaksi jual-beli secara online dilakukan dengan cara dikirim, menggunakan.. perusahaan jasa pengiriman barang seperti JNE, TIKI, M as-Kargo, atau Pos Indonesia. Hal

Apabila laporan ini benar, maka pembabatan hutan di tempat tersebut akan mengurangi bidang permukaan transpirasi dan, dengan demikian, dapat menurunkan jumlah hujan yang