• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

5.3. Penanganan Penderita Gangguan Jiwa Oleh Pemerintah

Puskesmas merupakan ujung tombak dari pelayanan kesehatan dasar di tingkat kecamatan. Di dalam tujuan pokok pelayanan kesehatan dasar terdapat juga pelayanan bagi penderita gangguan jiwa. Adapun skema dari pelayanan kesehatan jiwa seperti terlihat pada Gambar 5.1. berikut :

Askes Jamkesmas

Masyarakat melapor ke

Puskesmas Petugas Keswa

Turun ke Lokasi Pasien

Memberikan Terapi

Potensi Amuk

Mengganggu Lingkungan

Dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Petugas Keswa

secara Gratis Tidak Mengganggu

Lingkungan

Penanganan Rawat Jalan di Poli Puskesmas atau

Dibawa keluarga ke rumah sakit jiwa dengan

Biaya Sendiri

Gambar 5.1. Skema Penanganan Penderita Gangguan Jiwa di Puskesmas

Dari Gambar 5.1 dapat diketahui bahwa pola penanganan penderita gangguan jiwa oleh petugas kesehatan jiwa di Puskesmas adalah berdasarkan laporan dari masyarakat. Kemudian petugas Kesehatan Jiwa (Keswa) turun ke lapangan untuk mengidentifikasi keadaan penderita gangguan jiwa untuk tindak lanjut terapi yang akan diberikan. Berdasarkan penilaian ini oleh petugas keswa kemudian diberikan terapi ke penderita, jika setelah pemberian terapi keadaan penderita tidak memberikan

suatu perubahan dan menunjukkan gejala amuk yang akan mengganggu lingkungan maka penderita gangguan jiwa akan dibawa untuk dirawat secara intensif di rumah sakit jiwa. Namun, jika penderita tidak menunjukkan gejala amuk maka penanganan penderita dapat dilanjutkan di rumah sakit jiwa sebagai pasien rawat jalan atau cukup dilakukan di poli jiwa Puskesmas setempat.

Ketiga objek penelitian telah memperoleh pelayanan kesehatan terutama rawat inap di rumah sakit jiwa. Namun, perawatan yang tidak saling dukung antara petugas kesehatan dengan keluarga penderita gangguan jiwa menyebabkan bisa menjadi suatu faktor penyebab tidak sembuhnya pasien. Salah seorang petugas kesehatan (sebut saja Jon) yang pernah menangani Miah mengatakan :

….saat ini aku melakukan kunjungan ke rumah Miah seminggu sekali untuk memberikan pengobatan dan penyuluhan kepada keluarganya terutama orangtuanya. Susah juga si pak, ibunya menunjukkan sifat yang kurang simpati dengan kedatangan ku, katanya anaknya gak gila tapi sakit akibat ada yang kasi guna-guna, jadi percuma saja di kasi obat-obatan. Rumit kan pak, aku kasi obat-obatan secara medis gitu, lalu orangtuanya tetap masih berupaya mengobatinya secara paranormal (dengan media dukun). Perintah dukun kan bisa bertentangan dengan pengobatan secara medis, payah lah bicara dengan orang yang pendidikannya rendah. Kalo kakak sama tetangga-tetangganya malah bilang ke saya supaya si Miah itu dibawa saja ke rumah sakit jiwa, kasian mereka kalo dengar si Miah itu menjerit-njerit dari dalam kamarnya, dan lagi selama dia meminum obatnya secara teratur menurut mereka kondisi Miah sudah ada perubahan, jadi lebih baik. Tapi aku kan gak bisa bertindak terlalu jauh, yah tetap harus ada kerjasama dengan orangtuanya lah”.

Ros salah seorang pegawai rumah sakit jiwa Banda Aceh yang pernah menangani Aini sewaktu rawat inap di rumah sakit jiwa mengatakan hal yang hampir senada dengan pernyataan Jon :

….kan gak mesti kami saja yang rawat si pasien walaupun sudah dibawa ke rumah sakit jiwa, keluarganya juga ya harus membantu. Setidaknya mereka bisa belajar bagaimana caranya memperlakukan si penderita sehingga kalo sudah pulang ke rumah nanti mereka bisa meneruskan seperti yang sudah kami lakukan. Tapi, ini kan gak seperti itu, kalo sudah dibawa ke rumah sakit jiwa ya sudah dilepaskan begitu saja, gak pernah mau nengok atau nanya gimana nanti kalo sudah dibawa pulang. Pasien yang kami pulangkan rata-rata sudah sembuhnya pak, tapi sampe di rumah gak diperdulikan, obatnya gak dikasi lagi, ya kambuh lagilah. Pasien-pasien seperti Aini ini kan butuh perhatian yang lebih ekstra, butuh kasih sayang, pokoknya jangan sempat dibiarkan dia termenung atau tersinggung, mereka kan sangat sensitif. Mau gimana lagi kalo keluarga mau anaknya sembuh perlu banyak pengorbanan lah. Bedanya sama orang yang sakit gula atau sakit jantung, tubuhnya yang sakit tapi jiwanya kan normal, ini jiwanya yang gak normal”.

Begitu juga dengan ungkapan pak Mus salah seorang petugas kesehatan di Puskesmas yang turut prihatin dengan keadaan Iyan, mengatakan :

…. Prihatinlah pak, sangat prihatin meliat keadaan Iyan. Apalagi keluarganya juga gak mampu. Dulu waktu keluarganya sedang semangat untuk mengobati Iyan dan memberikan izin dibawa ke Rumah Sakit Jiwa, aku yang urus pak, ambulance aku yang bayar biayanya supaya Iyan bisa dapat penanganan yang lebih intensif, kalo liat dia di kamarnya aduh perasaan ini gimana ya gak sampe hati, dulu lagi pak waktu dirantai di pohon kapuk. Hewan saja ‘maaf’ ya pak kita kasi rumahnya, ada atapnya, tapi Iyan dibiarkan begitu saja, coba bapak bayangkan, dimana perikemanusiaan kita. Waktu di Rumah Sakit Jiwa adanya perubahan sama Iyan, dia rajin minum obat dan pulang ke rumahnya sudah bisa dikatakan sembuhlah. Kalo sudah di rumah kan kita gak bisa kontrol setiap hari, paling kita jenguk seminggu sekali sekalian membawa obat-obatnya. Tapi di rumah dia gak rutin minum obat. Kata abangnya si Iyan bosan minum obat, malah pernah dia sekali minum semua obatnya sampe keracunan. Yah kalo gitu gimana lagi, usaha keluargalah gimana supaya Iyan bisa minum obat setiap hari secara rutin, keluarganyalah yang harus rajin dan sabar, namanya saja sakit jiwa pak”.

Menurut petugas kesehatan tersebut, jika penderita gangguan jiwa dirawat dengan baik maka kemungkinan untuk sembuh itu ada. Tetapi memerlukan kesabaran dan proses yang cukup lama. Dr. HT. Anjar Asmara (Kadis Kesehatan NAD)

mengatakan bahwa ada sebanyak 58 orang dari 105 penderita gangguan jiwa yang selama ini dipasung oleh keluarganya di sejumlah wilayah propinsi NAD, berhasil disembuhkan setelah pemerintah mengambilalih perawatannya. Mereka yang dinyatakan sembuh kini telah berbaur di tengah-tengah keluarga dan masyarakat. Penderita gangguan jiwa terbanyak disebabkan konflik bersenjata yang berkepanjangan dan pasca gempa dan tsunami (Kapanlagi.com, 2009)

Namun, memang diakui bahwa saat ini perawatan penderita gangguan jiwa di rumah sakit jiwa telah melebihi daya tampung. Hal ini diakui oleh Saiffudin, Kepala Badan Pelayanan Kesehatan Jiwa (BPKJ) Banda Aceh yang mengatakan bahwa “kita memang masih kekurangan ruangan, pembangunan bangsal baru terus dipacu”, ujarnya (Tempo Interaktif, 2009). Rumah sakit jiwa Banda Aceh memang kelebihan muatan, rumah sakit jiwa ini merupakan satu-satunya di Aceh dan sudah tidak memadai lagi. Belum siapnya dibangun bangsal tambahan, membuat pusat pelayanan kesehatan jiwa itu kelebihan muatan. Sementara masih ada seratusan orang yang terpasung di Aceh.

Sampai saat ini, jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit jiwa berjumlah 289 orang yang terdiri dari 48 pasien perempuan dan selebihnya laki-laki. Sementara kapasitas ideal pusat pelayanan kesehatan jiwa tersebut hanya 220 orang. Kenyataan tersebut menurut Saifuddin, membuat pihaknya belum mampu untuk membawa penderita sakit jiwa yang dipasung oleh keluarganya. Data yang ada menunjukkan sebanyak 110 orang masih dipasung di seluruh Aceh. Dia memperkirakan angka itu akan terus bertambah (Tempo Interaktif, 2009).

Dari semua informasi yang diperoleh baik dari keluarga pasien maupun dari petugas kesehatan memberikan suatu gambaran bahwa kesembuhan penderita gangguan jiwa sangat ditentukan oleh peran keluarga dan masyarakat. Yang terjadi selama ini adalah :

1. Rendahnya Pengetahuan Keluarga

Pengetahuan seseorang memang sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya. Dari ketiga objek penelitian ini diketahui bahwa semua orangtuanya hanya memiliki pendidikan setingkat sekolah dasar, anggota keluarga yang lain juga hanya sampai sekolah lanjutan atas. Pendidikan yang cukup merupakan sebuah modal yang berarti bagi seseorang, yang memudahkannya untuk dapat memiliki pengetahuan yang baik.

Pengetahuan yang minim tentang perawatan lanjutan yang dilakukan di rumah merupakan sebuah kendala untuk tetap mempertahankan kondisi kesehatan penderita gangguan jiwa. Ada banyak keluarga yang memiliki asumsi jika telah dinyatakan sembuh oleh pihak rumah sakit jiwa maka si penderita sudah dapat hidup secara normal layaknya individu yang sehat mentalnya. Padahal, kata ‘sembuh’ dari rumah sakit jiwa belum menjadi sebuah jaminan kesembuhan secara total pada mental penderita gangguan jiwa, dan telah sanggup berbaur dan mampu menghadapi situasi dilingkungannya.

Pihak keluarga seolah merasa kesembuhan yang dinyatakan pihak rumah sakit jiwa merupakan kesembuhan total, sehingga keluarga memperlakukan penderita gangguan jiwa pasca perawatan di rumah sakit jiwa seperti anggota keluarga yang

tidak sakit lainnya. Hal ini tampak pada Aini, yang dinyatakan sembuh dari rumah sakit jiwa, lalu diizinkan keluarganya ia menjadi pembantu di sebuah warung nasi. Tekanan pekerjaan dan omelan majikan merupakan salah satu penyebab Aini kembali menjadi pendiam dan kembali ke perilaku selama sakit.

Demikian juga dengan Iyan, setelah pulang dari rumah sakit jiwa maka Iyan dianjurkan untuk tetap mengkonsumsi obat dari rumah sakit jiwa atau Puskesmas. Tetapi, keluarga tidak terlalu perduli dengan obat-obat yang harus diminum Iyan, sehingga suatu hari Iyan meminum seluruh obat sekaligus. Hal ini menandakan pengetahuan keluarga atau anggota keluarga tentang cara-cara menghadapi penderita gangguan jiwa, baik cara berbicara, cara memperlakukan dan memahami mereka masih sangat rendah.

2. Kurangnya Peran Keluarga

Keluarga merupakan unit paling dekat dengan penderita, dan merupakan “perawat utama” bagi penderita gangguan jiwa. Keluarga sangat berperan dalam menentukan cara atau perawatan yang diperlukan penderita di rumah. Keberhasilan perawatan di rumah sakit jiwa akan sia-sia jika tidak diteruskan di rumah, sehingga dapat mengakibatkan kekambuhan kembali dan terpaksa harus dibawa ke rumah sakit kembali untuk menjalani perawatan yang sesungguhnya.

Walaupun pasien telah dirawatinapkan di rumah sakit jiwa tetapi tetap juga membutuhkan peran serta keluarga sehingga akan meningkatkan kemampuan keluarga untuk merawat penderita setelah pulang ke rumah. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya kekambuhan

penderita gangguan jiwa disebabkan kurangnya peran serta keluarga dalam perawatan terhadap anggota keluarga yang menderita penyakit tersebut.

Salah satu penyebabnya adalah karena keluarga tidak tahu cara menangani perilaku penderita di rumah. Keluarga jarang mengikuti proses perawatan penderita karena jarang mengunjungi penderita di rumah sakit jiwa. Ekonomi yang sulit (ketiadaan biaya untuk selalu berkunjung) dan di rumah sakit jiwa telah ada yang merawat, merupakan alasan keluarga untuk tidak mengikuti perkembangan atau cara-cara perawatan penderita gangguan jiwa.

Cara berkomunikasi, cara menangani penderita dalam keadaan mengamuk atau tidak mengamuk, dan cara memperlakukan penderita gangguan jiwa secara layak seharusnya sudah dipahami oleh keluarga. Namun, kenyataannya peran keluarga untuk merawat secara baik tidak terjadi sama sekali. Kenyataannya adalah penderita gangguan jiwa mengalami pengasingan atau pengucilan. Miah dikurung, Aini di rantai dan Iyan dipasung, semua ini tentunya semakin memperberat kondisi mental mereka. Mereka sama sekali tidak menerima perawatan yang baik dari keluarga mereka. Iyan hanya dimandikan sekali seminggu, dibiarkan dalam kamar yang jorok, dibiarkan tanpa busana. Semua ini menyebabkan mereka semakin tenggelam dengan alam pikiran sendiri, tenggelam dengan halusinasi-halusinasi yang ada.

3. Stigma Masyarakat terhadap Pasien Rumah Sakit Jiwa

Dukungan social (social support) didefenisikan oleh Kuntjoro, 2005 dalam Puspitasari, 2009:7 sebagai informasi verbal atau non-verbal, saran, bantuan yang

nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dalam hal ini, orang yang memperoleh dukungan sosial secara emosional merasa lega karena diperhatikan. Dengan kata lain, dukungan sosial merupakan keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi.

Namun, banyak penderita gangguan jiwa setelah kembali ke rumah kurang memperoleh dukungan sosial dari keluarga, kerabat bahkan dari masyarakat di sekitarnya. Stigma sebagai penderita gangguan jiwa menyebabkan penderita sering didiskriminasikan. Mereka sering mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, cemoohan, kekerasan, diasingkan bahkan sampai dipasung. Mereka sering sekali disebut sebagai “orang gila”. Perlakuan-perlakuan demikian menyebabkan penderita gangguan jiwa mengalami kekambuhan bahkan menjadi lebih parah dibandingkan dengan sebelumnya. Stigma yang diberikan oleh masyarakat terhadap pasien rumah sakit jiwa harus diubah karena ini akan mempersulit penyembuhan pasien tersebut.

Rosehan dalam Anderson, 2005:101 menyimpulkan bahwa “suatu label psikiatri mempunyai kehidupan dan pengaruh tersendiri. Sekali terbentuk impresi bahwa pasien menderita skizofrenia, harapan orang adalah bahwa ia akan selamanya demikian”. Setelah melewati suatu periode tanpa ada gejala-gejala gangguan jiwa lagi, pasien dapat dianggap “telah mereda” dan siap untuk

dilepaskan, namun “cap” tetap melekat setelah ia diizinkan pulang, dengan harapan yang tidak tegas bahwa ia akan bertingkah laku sebagai seorang penderita skizofrenia lagi. “Label” psikiatri seringkali merupakan ramalan diri yang direalisir sendiri oleh pasien, keluarganya dan kawan-kawannya.

Jadi, keluarga dan masyarakat tanpa menyadari ataupun menyadari akan memiliki suatu anggapan bahwa sekali tingkah laku menyimpang diberi cap menyimpang, betapapun ringannya atau sementaranya gejala itu, akan tetap dijadikan stereotip dan stigma bagi yang bersangkutan. Kelompoknya mengharapkan tingkah laku tertentu darinya, memperlakukannya sedemikian rupa sehingga ia menemukan tingkah laku yang paling adaptif baginya untuk menyesuaikan diri dengan apa yang diharapkan kelompoknya itu.

BAB 6

Dokumen terkait