• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Kota Langsa 1. Letak Geografis dan Kependudukan

4.1.2. Pendidikan dan Sosial Ekonomi

Kemampuan baca tulis tercermin dari angka melek huruf penduduk yang dalam hal ini didefenisikan penduduk usia 10 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin. Persentase penduduk Kota Langsa yang berumur 10 tahun ke atas yang dapat membaca huruf latin di Kota Langsa tahun 2004 sebesar 24,76%. Sedangkan penduduk Kota Langsa paling banyak berpendidikan SMU/SLTA, untuk laki-laki sebanyak 17.680 jiwa dan perempuan sebesar 15.929 jiwa. Namun yang tingkat pendidikannya SD/MI juga banyak yaitu sebesar 13.393 jiwa untuk laki-laki dan sebesar 15.267 untuk perempuan (Dinkes dan Kesos, 2006:8).

Dari angka-angka di atas terlihat bahwa tingkat pendidikan masyarakat Kota Langsa sangat rendah, tingkat pendidikan yang pernah dicapai adalah SMU/SLTA. Sebagian besarnya masih berada pada tingkat pendidikan SMP dan SD.

Jumlah penduduk miskin di Kota Langsa dari tahun ke tahun terjadi peningkatan, hal ini disebabkan karena terjadinya bencana alam di beberapa wilayah di Propinsi NAD, dimana terjadi perpindahan penduduk dan rendahnya lahan pekerjaan yang disebabkan belum pulihnya kembali situasi dan kondisi pasca bencana alam, sehingga angka penggangguran masih cukup tinggi. Jumlah persentase keluarga miskin di Kota Langsa dapat dilihat pada Tabel 2 berikut :

Tabel 2. Persentase KK Miskin di Kota Langsa Tahun 2006

No Kecamatan Jumlah KK KK miskin %

1 Langsa Barat 14.737 10.245 69,5

2 Langsa Timur 14.220 7.803 54,9

3 Langsa Kota 3.086 2.890 93,6

Jumlah (Kab/Kota) 32.043 20.938 65,3

Sumber : BPS Kota Langsa, 2006

Dari sejumlah 32.043 rumah tangga yang ada di Kota Langsa, terdapat sebesar 20.938 keluarga yang termasuk dalam keluarga miskin. Hal ini menunjukkan bahwa di Kota Langsa jumlah keluarga miskin masih cukup besar yaitu sebesar 65,3%. Angka ini cukup tinggi telah melebihi 50% dari jumlah penduduk sehingga dapat dikatakan rata-rata penduduk Kota Langsa berada pada garis kemiskinan.

Hal ini dapat menjadi pemicu peningkatan penderita gangguan jiwa. Menurut Nurdin F. Joes (Kabag Humas Pemerintah Aceh) kepada Harian Serambi (11 Maret 2009) mengatakan bahwa hampir 15.000 orang dari 4,2 juta penduduk Aceh menderita penyakit gangguan jiwa, sehingga dengan jumlah yang demikian besar maka RSJ yang ada di Banda Aceh tidak akan mampu menampung pasien, masih

harus dibangun sebanyak 2 buah RSJ untuk dapat menangani seluruh jumlah penderita gangguan jiwa.

4.2. Objek Penelitian 4.2.1. Miah

Miah adalah anak pertama dari keluarga bapak Abdul Salam. Sudah sejak 12 tahun yang lalu (sejak 1998) Miah menderita gangguan jiwa. Saat ini Miah telah berusia 25 tahun. Menurut ibunya, sejak kecil Miah tumbuh seperti anak lainnya, bersekolah dan bermain bersama temannya. Ibu sama sekali tidak mempunyai bayangan bahwa suatu saat Miah akan menderita gangguan jiwa seperti saat ini.

Ibu Miah menuturkan bahwa ketika Miah baru menyelesaikan pendidikan SMA, ada seorang pria yang mempunyai perhatian yang khusus pada diri anaknya. Miah berkenalan dengan pria ini (sebut saja bernama Agus) pada sebuah acara pesta. Miah dan Agus saat ini sama-sama menjadi panitia penyelenggaraan pesta di desanya. Agus kemudian melakukan pendekatan kepada keluarga Miah, karena dia sangat mencintai Miah. Namun, Miah dan keluarganya kurang memberikan respon atas perhatian Agus karena Miah sendiri sudah memiliki pria idaman hati (sebut saja namanya Joko), Joko memiliki pekerjaan tetap sedangkan Agus tidak. Agus sangat kecewa dan sempat mengeluarkan kata-kata “Miah hanya untuk saya, tidak boleh untuk pria lain”.

Hubungan Miah dengan Joko sempat berjalan setahun, namun keluarga Joko kurang menyetujui hubungan ini sehingga memaksa Joko untuk memutuskan

hubungan dengan Miah. Sejak hubungan Miah dengan Joko berakhir, Miah jadi sering duduk melamun sendiri, dan bertingkah laku yang aneh seperti memukul orang dan berjalan sendirian tanpa tujuan.

Orangtua Miah membawa anaknya berobat secara tradisional ke paranormal (dukun) tetapi sampai saat ini tidak satupun dukun yang dapat menyembuhkan penyakit Miah. Menurut Dukun yang menangani Miah mengatakan dia terkena “guna-guna” dan dukun yang mengirim “guna-guna” tersebut sangat sakti melebihi kesaktiannya sehingga tidak mampu untuk mengobati Miah. Sampai saat ini sudah ada sekitar 60 orang paranormal yang didatangi orangtua Miah untuk dapat menyembuhkan anaknya, tetapi tidak satupun yang berhasil.

Orangtua Miah bahkan pernah memberikan semacam pengumuman kepada penduduk setempat, bahwa jika ada yang dapat menyembuhkan putrinya maka sebidang tanah milik keluarga tersebut akan diberikan sebagai upah untuk menyembuhkan Miah. Sampai saat ini jika ditotal biaya pengobatan Miah yang sudah dikeluarkan oleh keluarganya untuk pengobatan secara tradisional sebesar Rp. 14.000.000.-

Orangtua Miah juga telah membawa anaknya berobat ke rumah sakit. Miah sempat tinggal di rumah sakit jiwa selama sebulan. Namun orangtuanya kemudian membawa Miah pulang karena selama dirawat di RSJ tubuh Miah menjadi kurus dan wajahnya membengkak akibat dipukuli oleh teman-temannya sesama penghuni RSJ. Akhirnya Miah dibawa pulang dan dikurung di sebuah kamar di dalam rumah orangtuanya.

Keadaan kamar tempat tinggal Miah cukup pengap dan gelap karena jendela ditutup rapat dan tidak memiliki ventilasi. Kamar berukuran 2½ x 3 meter tersebut berlantai semen, di atas lantai tersebut diletakkan beberapa lembar kardus bekas tempat/kotak mie instant. Kardus tersebut menjadi alas bagi Miah untuk tidur. Di sudut kamar ada sebuah lubang kecil berukuran 3½ inci, lubang tersebut menjadi tempat bagi Miah untuk buang air kecil. Setiap pagi hari ayahnya menyiram lubang tersebut, jika hendak buang air besar maka Aini biasanya akan mengedor pintu kamarnya.

Sehari-harinya Miah tinggal di dalam kamar tersebut, dalam ruangan yang sempit, gelap, pengap dengan aroma yang ‘sungguh’ kurang sedap. Pada waktu-waktu tertentu, Miah suka menggedor pintu kamarnya dan berteriak-teriak minta keluar, tetapi pada waktu tertentu lainnya, yang terdengar hanya rintihan-rintihan halus, seolah-olah menyuarakan keletihan dan rasa putus asa yang dalam karena terkurung.

Saat ini tidak adalagi tindakan pengobatan yang dilakukan untuk dapat menyembuhkan Miah dari penyakit gangguan jiwa yang dideritanya. Orangtuanya terlihat putus asa dan pasrah dengan kondisi yang dialami anaknya. Ayah Miah merasa segala upaya telah dilakukan untuk mengakhiri penderitaan Miah, tetapi semua mengalami kebuntuan. Membawa dan menitipkan Miah ke RSJ merupakan sebuah pengalaman pahit, Miah menjadi bulan-bulanan pukulan teman satu kamar. Kamar rawat inap yang sempit dan tingkat hunian melebihi kapasitas serta bervariasinya kondisi gangguan kejiwaan penderita, menyebabkan Miah menjadi

korban. Membawa Miah ke dukun juga tidak memberikan hasil yang menggembirakan, rata-rata dukun yang dikunjungi menyerah untuk mengobatinya. Keadaan Miah dapat terlihat pada Gambar 4.1 berikut :

Gambar 4.1. Miah 4.2.2. Aini

Aini adalah anak ketiga dari enam bersaudara. Bersama saudara dan orangtuanya tinggal di Desa Lhok Banie . Saat ini Aini berusia 23 tahun. Aini memiliki pendidikan sekolah dasar. Menurut Ayah Aini, sejak kecil anaknya tumbuh dan bertingkah laku seperti anak-anak lainnya, tidak ada hal-hal aneh atau tidak wajar yang dilakukan Aini. Karena perekonomian keluarga yang cukup sulit maka pendidikan Aini hanya sampai SD saja.

Pada awalnya ayah Aini bekerja sebagai nelayan di desa Pusong pada sebuah pulau kecil, dengan sebuah boat kecil yang dimilikinya dari bantuan BRR-NAD. Namun, pada tahun 2007 pulau tersebut mengalami erosi sehingga Pemerintah

merelokasikan penduduk pulau tersebut ke desa Lhok Banie. Desa Lhok Banie bukan desa di tepi pantai sehingga ayah Aini tidak bias meneruskan pekerjaan sebagai nelayan. Oleh karenanya beliau memutuskan bekerja sebagai tukang bangunan dan sesekali bekerja serabutan (mocok-mocok).

Pada tahun 2004 Aini di bawa oleh salah seorang tetangganya untuk bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga di kota Medan. Selama 2 tahun bekerja sebagai PRT Aini selalu berkomunikasi dengan keluarganya, dia mengabari keadaannya dan keluarga majikannya. Keluarga majikan Aini cukup baik, memperlakukannya seperti keluarga sendiri, tidak ada keluhan yang disampaikan Aini ke orangtuanya.

Pada tahun 2006 Aini berkenalan dengan seorang pria (Johan) yang baru bekerja sebagai supir di rumah majikannya. Enam bulan hubungan mereka terjalin dengan baik. Aini yang sudah merasa yakin bahwa Johan akan bertanggung jawab dan segera menikahinya akhirnya melakukan hubungan yang cukup jauh layaknya suami istri. Merasa telah membuat suatu kesalahan dan khawatir akan hamil, Aini meminta agar Johan segera menikahinya, tetapi harapan tinggal harapan, Johan selalu menghindar bahkan akhirnya pergi tanpa diketahui kemana. Sejak itu Aini menjadi anak yang pendiam dan berwajah murung.

Aini yang merasa bersalah dan tetap khawatir hamil akhirnya pamit pada majikannya untuk pulang sebentar ke desanya menjenguk keluarganya. Kepada kakak iparnya Aini menceritakan semua kejadian yang menimpa dirinya selama menjadi PRT di kota Medan dan meminta kakak iparnya untuk tidak menceritakan kepada siapapun. Dan, perangai Aini berubah sebentar pemurung, sesaat lagi menjadi

pemarah dan memukul siapa saja yang ada disekitarnya, termasuk memukul dirinya sendiri, suka memecahkan piring dan suka berbicara serta tertawa sendiri. Apa yang dibicarakannya selalu kacau dan tidak jelas.

Ayah Aini merasa anaknya terkena guna-guna, tetapi atas desakan keluarga lainnya pada Mei 2007 Aini dibawa ke Banda Aceh untuk berobat di rumah sakit jiwa. Selama hampir 2 bulan di RSJ keadaan Aini mengalami perubahan menuju kesembuhan, kemudian orangtua membawa pulang ke Langsa. Setelah kembali dari rumah sakit jiwa, Aini sempat bekerja menjadi pembantu (cleaning service) di sebuah warung nasi di Kota Langsa. Empat bulan bekerja di warung nasi, perilaku Aini baik-baik saja, Ibu Nunik yang menjadi majikannya menuturkan :

…..”dia (Aini) kerjanya bagus, empat bulan di warung ini gak ada masalah. Kerjanya setiap hari membersihkan lantai, meja makan, dan rak tempat meletakkan makanan yang dijual. Ya namanya warung, kerjanya banyak dari pagi, siang bahkan sampe malam, gaji Aini juga lumayan kok. Cuma setelah empat bulan kerja, tiba-tiba dia minta berhenti kerja. Aku heran juga dan merasa keberatan karena Aini anak yang rajin, penurut dan bersih, pakaiannya sopan dan rapi”.

Empat bulan setelah bekerja sebagai pembantu di warung nasi, Aini mulai menunjukkan perilaku yang aneh, setiap hari memberikan sebuah nasi bungkus jatahnya ke anak-anak yang dijumpainya di depan warung nasi dan ketika gajian maka Aini membelanjakan gaji untuk membeli pakaian anak-anak dan membagikannya ke anak-anak di jalanan. Ibu Upik yng menjadi tukang masak makanan di warung ibu Nunik, bercerita tentang Aini :

…..”aku kenal Aini ketika dia kerja di warung jadi tukang bersih-bersih, awalnya sih biasa-biasa saja, cuma dia agak pendiam. Waktu

sudah lebih tiga bulan kerja di warung, sikapnya agak berubah, dia sering murung dan duduk sendirian. Aini pernah cerita kalo dulu juga dia pernah jadi pembantu, majikannya yang dulu katanya baik, gak suka marah-marah dan nyuruh-nyuruh. Di warung makan ini, majikannya suka marah dan nyuruh-nyuruh, dia bilang mau berhenti saja tapi gak dikasi sama ibu Nunik”.

Khawatir penyakit mengamuk Aini kambuh lagi, ayahnya kemudian membawanya pulang ke rumah mereka. Setelah di rumah ayah Aini mengobati Aini ke Paranormal, tetapi tidak ada yang bisa menyembuhkan bahkan penyakit Aini semakin parah.

Saat ini Aini tinggal disebuah gubuk yang dibangun dekat rumah orangtuanya. Makan, minum dan tidur dilakukan Aini di dalam gubuk tersebut dengan kaki yang dirantai besi.

Jika melihat gubuk Aini, terasa nuansa ‘pengucilan’ oleh keluarganya. Khawatir Aini mengamuk dan melukai anggota keluarnga merupakan sebuah alasan penempatan Aini ke dalam gubuk tersebut. Tetapi, gubuk tersebut bukan sebuah tempat yang layak huni untuk manusia. Gubuk yang kecil dengan bangunan dari bahan papan, berlantai papan yang dialasi oleh tikar usang dan beberapa helai potongan kardus, merupakan sebuah tempat yang cukup prihatin. Gubuk ini tidak memiliki pintu, tetapi sebuah lubang berukuran 75 x 100 cm yang merupakan akses bagi Aini untuk keluar dan masuk gubuknya.

Keterbatasan pergerakan menyebabkan Aini lebih sering duduk di depan ‘pintu’ gubuknya, memandang orang yang lewat dengan tatapan kosong. Terkadang Aini memakai bajunya sekenanya, bahkan hanya menggunakan ‘bra’ tanpa ada baju

luarnya. Jika anggota keluarga melihat penampilan Aini yang kurang sopan, maka anggota keluarga akan mengingatkan atau memakaikan pakaian Aini dengan benar.

Aini makan di dalam gubuknya, makanan diantar anggota keluarganya ke dalam gubuk Aini. Buang air kecil dilakukan Aini di gubuknya, untuk mandi dan buang air besar biasanya Aini mengatakannya kepada ayahnya, kemudian Aini dibawa ke kamar mandi yang letaknya tersendiri atau di luar dari rumah induknya. Ketika mandi atau buang air besar pun, rantai besi di kaki Aini tetap terpasang dan menyertainya kemanapun pergi, ayahnya memegang ujung lainnya dari rantai besi tersebut dan menguncinya pada salah satu tiang kamar mandi.

Untuk lebih dapat memahami keadaan Aini dapat terlihat pada Gambar 4.2 berikut :

4.2.3. Iyan

Iyan saat ini telah berusia 23 tahun, merupakan anak kedua dari empat orang bersaudara. Tinggal bersama orangtua dan kedua saudaranya di Idi Cut. Ayah Iyan hanya memiliki pekerjaan “mocok-mocok” yang memberikan penghasilan tidak tetap setiap bulannya, ibunya hanya seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari bekerja mengurus rumah tangga dan keperluan Iyan. Abang tertua di keluarga Iyan yang saat ini telah berusia 25 tahun dan tinggal bersama dengan mereka juga belum memiliki perkerjaan yang memberikan penghasilan tetap setiap bulannya. Adik Iyan saat ini berusia 15 tahun dan menjadi pelajar pada sebuah SMP di Idi Cut, sedangkan adik Iyan yang paling kecil telah tiada.

Iyan menderita gangguan jiwa sejak berusia 16 tahun dan saat itu masih pelajar kelas 2 pada sebuah SMA di kotanya. Saat itu propinsi Aceh masih berstatus Daerah Operasional Militer. Pada masa kecil Iyan tumbuh seperti anak-anak seusianya, tidak ada tanda-tanda atau kelainan yang menunjukkan terjadinya gangguan jiwa. Namun, ketika ia berusia 16 tahun, Iyan pernah dipukul oleh seorang tentara (TNI), serta saat itu sedang terjadi konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan penduduk setempat yang bersuku Jawa, dimana banyak penduduk bersuku Jawa yang dibunuh oleh tentara GAM. Ayah Iyan juga bersuku Jawa, sehingga setiap hari dia dirundung perasaan cemas akan keselamatan ayah dan keluarganya. Kecemasan Iyan setiap hari semakin bertambah karena dia beberapa kali melihat peristiwa berdarah yang terjadi didepan matanya. Beberapa warga setempat

yang menjadi korban GAM merupakan sebuah pemandangan yang selalu menghantui jiwanya.

Sebenarnya Iyan termasuk salah seorang anak yang mendukung perjuangan GAM, dan amat membenci tentara yang dianggapnya berlaku tidak adil terhadap masyarakat Aceh. Tetapi, sebuah dilema muncul ketika GAM juga memusuhi suku Jawa. Ayah Iyan bersuku Jawa dan sering dipanggil oleh masyarakat di sekitar lingkungan mereka dengan sebutan “man jawa” (Sulaiman adalah nama ayah Iyan). Dua kepentingan yang bertolak belakang menjadi suatu tekanan yang cukup berat, sehingga pada suatu malam di tahun 2003, tiba-tiba Iyan marah-marah dengan mata merah kemudian mengamuk.

Orangtuanya kemudian membawa Iyan ke dukun karena beranggapan Iyan dibawah pengaruh “guna-guna”. Penyakit mengamuk Iyan hanya dapat disembuhkan jika keluarga menyediakan seekor kambing sebagai sesajen, kata Dukun yang mengobatinya. Sesajen telah disediakan tetapi penyakit tidak kunjung sembuh.

Pada tahun 2004, Iyan dibawa oleh orangtuanya untuk berobat ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Banda Aceh, selama 2 bulan dirawat Iyan sembuh dan dibawa pulang oleh orangtuanya bahkan kemudian kembali ke bangku sekolah. Enam bulan Iyan sempat menjadi pelajar sekolah menengah pertama, sampai kemudian di suatu hari penyakit mengamuk Iyan kembali kambuh. Iyan kembali menjadi penghuni RSJ Banda Aceh selama 1½ bulan, sampai kemudian dia merasa sembuh dan pulang sendiri ke rumah orangtuanya.

Kesembuhan Iyan tidak lama, penyakit mengamuknya (hysteria) kembali kambuh sampai kemudian orangtuanya merasa kewalahan, pada akhirnya merantai kaki Iyan di sebuah batang pohon kapuk (kapas) di dekat rumahnya. Enam bulan Iyan hidup dengan kaki dirantai di pohon kapuk dengan kondisi beratap langit dan berlantai tanah. Ayahnya kemudian merasa prihatin dengan masa depan anaknya yang masih sangat muda, kemudian kembali membawanya ke RSJ Banda Aceh. Tiga bulan di RSJ keadaan Iyan menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Iyan kembali kerumah orangtuanya dan dianjurkan untuk tetap mengkonsumsi obat dari RSJ, tetapi setelah di rumah Iyan tidak mau mengkonsumsi obat karena merasa bosan. Bahkan, pernah Iyan mengkonsumsi obat dari RSJ sekaligus, sehingga dia harus dibawa ke puskesmas karena hampir keracunan obat.

Keadaan perekonomian yang tidak menentu dan kondisi Iyan yang tidak sembuh-sembuh menyebabkan Iyan akhirnya dipasung dirumahnya sejak tahun 2007. Sampai sekarang Iyan masih dipasung dibagian belakang dari rumah orangtuanya. Rumah orangtua Iyan kurang memadai untuk sebuah tempat tinggal, jauh dari kondisi yang layak untuk dihuni. Dibangun di atas lahan orang lain, memiliki ukuran 4x6 meter, dindingnya terbuat dari papan bekas sedangkan atapnya dari rumbia. Rumah ini tidak memiliki kamar mandi untuk melakukan mandi, cuci dan kakus. Keluarga Iyan jika hendak mandi, mencuci atau membuang air kecil ataupun air besar melakukannya di pinggir rawa-rawa yang berada tidak jauh dari rumah tersebut. Ruang dapur keluarga ini juga sangat sederhana dan seadanya, tampak hanya ada

beberapa peralatan memasak dan makan yang sangat sederhana. Proses memasak dilakukan dengan menggunakan kayu bakar, sehingga dapur tampak hitam dan gelap.

Ruangan tempat Iyan dipasung bersebelahan dengan kamar tidur keluarga. Sehari-harinya Iyan tinggal diruangan tersebut, beralaskan empat buah keping papan yang ukurannya tidak sama (ruangan tersebut berlantaikan tanah), kaki kirinya berada pada sebuah kayu yang memiliki lubang seukuran pergelangan kakinya. Keadaan ruangan tersebut sangat kotor dan bau karena Iyan makan, tidur, buang air kecil dan besar di ruangan tersebut. Hanya saja, jika Iyan buang air besar, maka ibunya akan membuang kotoran Iyan keluar. Iyan mandi seminggu sekali, dan yang sangat menyedihkan sehari-harinya dia tidak pernah memakai selembar baju (dalam keadaan telanjang bulat). Setiap diberikan baju maka baju tersebut dirobeknya.

Kegiatan yang dilakukan Iyan sehari-hari selama dipasung adalah mengorek tanah disekitarnya dan melemparkan tanah-tanah tersebut ke dinding kamarnya. Selain itu Iyan juga merokok, setiap harinya dia menghabiskan 2 batang rokok yang diperolehnya dari pemberian keluarganya atau orang-orang yang datang menjenguknya. Untuk lebih dapat memahami gambaran keadaan Iyan dapat terlihat pada Gambar 4.3 berikut :

BAB 5 PEMBAHASAN

Dokumen terkait