• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

5.2. Perilaku Masyarakat Dalam Penanganan Penderita Gangguan Jiwa

Kepedulian masyarakat akan kesehatan khususnya kesehatan jiwa akan meningkatkan peran serta mereka untuk bertanggung jawab terhadap penderita gangguan jiwa. Peran serta dan pemahaman penanganan penderita sakit jiwa masih sangat bervariasi di masyarakat. Pada ketiga objek penelitian hal ini juga terjadi, ada

beda persepsi tentang cara-cara penanganan penderita gangguan jiwa, mereka menangani anaknya yang menderita gangguan jiwa berdasarkan asumsi atapun persepsi masing-masing.

Adapun langkah penanganan jiwa yang saat ini dilakukan pada keluarganya merupakan ‘langkah terakhir’. Dikatakan ‘langkah terakhir’ karena orangtua keluarga penderita merasa telah berupaya dengan segala cara untuk menyembuhkan penyakit gangguan jiwa yang dialami anggota keluarganya tetapi semuanya tidak memberikan kesembuhan yang permanen.

Penanganan awal gangguan jiwa pada ketiga objek penelitian ini memiliki kesamaan. Persamaan tersebut ada pada persepsi mereka, bahwa penyebab gangguan jiwa yang dialami anaknya dikarenakan terkena ‘guna-guna’, sehingga langkah awal pencarian pengobatan adalah pengobatan secara tradisional (dalam hal ini menggunakan sistem medis personalistik) dengan mendatangi ‘orang pintar (dukun)’. Pada masyarakat kita sampai saat ini masih ditemukan suatu konsep-konsep kausalitas tentang penyebab penyakit dengan istilah personalistik. Personalistik adalah suatu sistem dimana penyakit disebabkan oleh intervensi dari suatu agen aktif, yang dapat berupa mahluk supranatural (mahluk gaib atau dewa), mahluk yang bukan manusia (hantu, roh leluhur, roh jahat) maupun mahluk manusia (tukang sihir atau tukang tenung). Orang yang sakit adalah korbannya, objek dari agresi atau hukuman yang ditujukan khusus kepadanya untuk alasan-alasan yang khusus menyangkut dirinya saja (Anderson, 2005:62)

Persepsi orangtua objek penelitian yang menyakini penyakit anaknya karena guna-guna tampak jelas dari uraian mereka yang mengatakan :

……..”teman Miah yang buat dia sakit, si Agus itu kan sakit hati karena Miah menolak cintanya sehingga dia sakit hati sama anakku, diguna-gunainya Miah karena si Agus itu pernah bilang “Miah hanya untukku, tidak boleh untuk orang lain”, dibikinnyalah si Miah seperti ini supaya tidak jadi nikah sama Joko, kata Ibu Miah”.

…….”Aini terkena guna-guna, supir keluarga tempat Aini menjadi pembantu telah mengguna-gunai Aini, supaya Aini nurut saja sama kemauannya. Aini anak yang baik dan nurut sama orangtua, kata Ayah Aini”.

…….Iyan ini kalo lagi mengamuk berbahaya, dia mengamuk itu karena dia dibawah pengaruh guna-guna. Kalo sedang mengamuk matanya jadi merah dan sangat kuat. Kami dah tanya dukun, katanya harus disediakan seekor kambing sebagai “sajen”, ujar ayah Iyan”.

Jadi, langkah awal pengobatan dilakukan dengan mendatangi dukun untuk memperoleh kesembuhan. Karena dukun adalah ‘orang pintar’ yang dapat berkomunikasi dengan roh-roh halus yang memasuki tubuh seseorang. Pada beberapa masyarakat, orang yang berperanan ‘menyembuhkan’ penderita sakit jiwa dinamakan Shaman atau dukun. Shaman mempunyai kekuatan gaib dan dapat berhubungan dengan roh-roh. Pada waktu melakukan pekerjaannya, Shaman biasanya dalam keadaan tidak sadar dan berkomunikasi dengan roh-roh halus (Sudarti, 1986:91)

Setelah pengobatan ke berbagai dukun (Miah sudah pernah ditangani 60 orang dukun) tidak memberikan hasil menuju kesembuhan, maka pencarian pengobatan dengan sistem medis modern. Ketiga objek penelitian sudah pernah dirawat di rumah sakit jiwa. Sempat sembuh, lalu kembali ke keluarga, kambuh dan

kembali ke rumah sakit jiwa. Sampai pada akhirnya keluarga merasa putus asa dan mengambil langkah penanganan yang terakhir, yaitu dengan cara merantai, mengurung dan memasung.

5.2.1. Mengurung

Miah adalah penderita gangguan jiwa yang mendapat penanganan dari keluarganya dengan cara dikurung pada sebuah kamar berukuran 3x2½ m di dalam rumah tersebut. Keadaan kamar Miah cukup memprihatinkan, gelap dan pengap. Di dalam kamar ada sebuah tempat yang disediakan keluarga sebagai tempat untuk BAK, berupa sebuah lubang kecil yang mempunyai saluran keluar. Miah tidur di lantai semen yang beralaskan lembaran-lembaran karton bekas kotak mie instant. Orangtuanya memang tidak memberikan kasur karena akan dibakar oleh Miah. Jendela kamar Miah ditutupi oleh beberapa keping papan yang meninggalkan celah kecil diantara pertemuan papan-papan tersebut. Celah tersebut memang sengaja dibuat kecil agar Miah tidak bisa menjulurkan tangannya keluar, karena ketika penyakitnya kambuh Miah suka berteriak-teriak, menggedor-gedor pintu kamar dan melemparkan benda-benda yang ada di dalam kamar keluar melalui jendela kamar. Dengan kondisi seperti ini otomatis kamar Miah tampak sumpek, lembab dan gelap.

Dari wawancara dengan ayahnya diketahui beberapa alasan mengapa Miah dikurung di dalam kamar, seperti ungkapan berikut ini :

“Kami memang sengaja mengurungnya di dalam kamar ini, ini jauh lebih baik dibandingkan kami menitipkan Miah di rumah sakit jiwa di Banda Aceh. Kami tidak sanggup mengirimi biaya perawatannya setiap bulan dan lagi dulu

dia pernah tinggal selama sebulan di rumah sakit jiwa, tapi tubuhnya tambah kurus dan malah wajahnya benjol-benjol karena dipukuli kawan-kawannya sesama penderita di rumah sakit jiwa. Kami mengurungnya karena Miah suka mengamuk, kalo sakitnya mulai kumat maka dia akan pergi tanpa tujuan, suka mengganggu orang lain dan merusak lingkungan sekitarnya. Kemarin dulu pernah kami keluarkan, Miah keluar rumah dan berjalan seorang diri tanpa tujuan, trus anak-anak suka mengejekinya, untung ada tetangga yang melihat dan ngasi tau kami, kalo tidak dia mungkin sudah hilang dan bisa diperkosa. Miah kalo kumat suka memukul, aku terutama ibunya selalu menjadi sasaran pemukulannya. Kalo dia sudah sadar kami Tanya kenapa memukul, dia bilang ada bisikan-bisikan halus ditelinganya untuk memukul”.

Wawancara dengan ibunya juga memberikan pendapat yang sama tentang penanganan yang mereka lakukan terhadap Miah :

“Ibu Miah mengemukakan bahwa kalo Miah dikirim ke rumah sakit jiwa sama saja dengan membuang Miah dari keluarganya. Kami bukannya tidak sayang sama Miah, karena sayanglah maka kami mengurungnya di kamar, dulu sewaktu di RS Miah sangat menderita, tubuhnya kurus sekali, lagian peraturan di rumah sakit jiwa sangat ketat, pelayanannya sangat buruk. Dokter dan perawat sama sekali gak perduli dengan keadaan pasien, apa mereka pikir kami membuang anak kami. Miah sering mendapat perlakuan tidak wajar dari teman-teman sekamarnya, anehnya perlakukan ini dibiarkan saja sama perawat, sampai Miah kurus sekali dan makannya tidak teratur”.

Keluarga Miah merasa bahwa dengan mengurung Miah merupakan suatu tindakan yang jauh lebih baik daripada membiarkan Miah berada di rumah sakit jiwa. Orangtua Miah telah berupaya untuk melakukan pengobatan terhadap penyakit anaknya, atau dapat dikatakan merupakan suatu perilaku orang yang sakit atau terkena masalah kesehatan, untuk memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah kesehatannya. Perilaku ini disebut perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health seeking behavior). Perilaku ini mencakup tindakan-tindakan yang diambil seseorang bila anaknya sakit agar memperoleh kesembuhan atau terlepas dari

masalah kesehatan yang dideritanya. Tempat pencarian kesembuhan ini adalah tempat atau fasilitas pelayanan kesehatan, baik fasilitas pelayanan kesehatan tradisional (dukun, sinshe, paranormal), maupun pengobatan modern atau professional (rumah sakit jiwa dan Puskesmas) (Notoatmodjo, 2005:47) Namun, ketika penyakit atau permasalahan tersebut tidak kunjung dapat diselesaikan, maka individu akan melakukan suatu tindakan yang menurut dirinya adalah sebuah tindakan atau jalan keluar yang terbaik.

Dari narasi di atas jelas terlihat bahwa pengobatan yang dilakukan secara tradisional tidak memberikan kesembuhan, dukun yang pernah mengobati Miah juga menyerah, menurut sang dukun :

…..”Miah itu diguna-guna oleh pacarnya yang kecewa karena diputuskan, ilmu magis yang dikirimnya sangat kuat. Waktu saya obati dia, malamnya batin saya didatangi oleh “orang halus”, katanya “jangan coba-coba mengobati dia, nanti kau tau resikonya”. Saya sudah mencoba semua kemampuan saya, waktu saya jampi-jampi dia, eh dia malah melempar saya dengan botol air mineral dan meludahi saya sambil bilang “pergi kau, pergi kau, jangan datang lagi kemari”. Saya rasa ilmu saya gak cukup kuat melawan ilmu orang yang mengirim guna-guna, ya saya menyerahlah”.

Begitu juga dengan pengobatan secara modern, Miah sudah dibawa ke rumah sakit jiwa, tetapi tidak memperoleh kesembuhan. Orangtua Miah merasa setelah anaknya berada di rumah sakit jiwa menjadi tidak terurus, kurus dan menjadi sering dipukuli teman-teman sekamarnya. Jadi, Orangtua Miah sudah merasa cukup usaha yang dilakukan untuk mengobatinya, sebagai alternatif terakhir adalah tindakan

mengurung. Suatu tindakan yang akan melindungi anaknya dari pukulan atau cemoohan orang lain.

5.2.2. Merantai

Aini adalah salah satu penderita gangguan jiwa yang ‘pada akhirnya’ ditangani keluarganya dengan cara dirantai. Pada kaki kirinya tampak gelang dari rantai tersebut, kemudian ujung rantai digembok pada sebuah tiang dari gubuk tempat tinggalnya. Aini memang ditempatkan tersendiri, didekat rumah orangtuanya dibangun sebuah gubuk, dan sehari-hari Aini tinggal didalam gubuk tersebut. Makanan dan minuman diletakkan salah seorang anggota keluarganya di depan gubuk tersebut, jika hendak buang air kecil, pihak keluarga telah membuatkan sebuah lubang yang mempunyai saluran keluar, Aini biasa melakukan buang air kecil di lubang tersebut, lalu setiap hari anggota keluarga yang akan menyiramnya. Namun jika hendak buang air besar biasanya Aini mengatakan kepada ayahnya. Ayahnya akan membuka rantai pada tiang dan memegang rantai tersebut dan membawa Aini ke WC.

Ketika kunjungan dilakukan ke rumah orangtua Aini, Aini tampak duduk di pintu gubuknya dengan kaki dirantai, saat itu Aini hanya memakai pakaian dalam (BH) dan celana panjang warna kuning muda yang bagian bawahnya digulung mencapai lutut. Ayah Aini lalu memberikan baju untuk dipakai Aini. Aini tampak apatis, tidak memakainya. Aini tidak begitu memperhatikan sekelilingnya, sepertinya dia asyik dengan pikiran-pikirannya.

Ayah Aini yang pertama kali diwawancarai memberikan penjelasan mengapa mereka merantai kaki Aini, seperti ungkapan berikut :

“Aini mudah tersinggung, mukanya terkadang merah terkadang tampak pucat karena marah. Aini sebenarnya anak yang baik, dulu dia rajin membantu ibunya mencuci piring, memasak dan ikut ke tambak cari ikan. Umur 14 tahun dia dibawa ke Medan jadi pembantu, semuanya baik-baik saja, sampai dia bergaul dengan laki-laki bejat itu (wajah Ayah Aini tampak tegang). Aini sering diejek sama anak-anak sekitar sini, maka kami asingkan ke gubuk ini dan dirantai kakinya. Aini kalo sudah marah suka memukul, katanya ada yang menyuruh dia untuk memukul orang yang menghalangi jalannya. Kalo dia sadar, dia sering tanya kenapa dia dirantai, sedih juga sebenarnya, tapi mau gimana pak, kalo gak dirantai nanti dia jalan-jalan gak karuan, lagian dia anak perempuan, gimana nanti kalo diperkosa orang lain kan bisa hamil, tambah repotlah kami”.

Orangtua Aini sudah merasa sangat berusaha untuk menyembuhkan anaknya, sama halnya dengan Miah. Orangtua Aini sudah membawa anak untuk berobat ke rumah sakit jiwa, namun kenyataannya penyakit Aini tidak bisa sembuh secara permanen. Ketika di rumah sakit jiwa, menunjukkan kesembuhan tetapi setelah dibawa kembali pulang maka penyakitnya menjadi kambuh kembali. Aini juga sudah diobati ke dukun, dan orangtuanya pun memang merasa sangat yakin Aini terkena guna-guna. Dukun pun ternyata tidak dapat menyembuhkan penyakit Aini, sehingga diambil sebuah kesimpulan untuk merantai kaki Aini.

Merantai merupakan sebuah jalan keluar terbaik dari permasalahan yang ada. Aini tetap dapat diperhatikan, bahkan dapat dicegah dari munculnya persoalan-persoalan baru jika dia dibiarkan bebas berkeliaran. Persoalan-persoalan-persoalan yang ada dalam benak orangtuanya yaitu Aini akan hamil karena diperkosa pemuda jalanan, Aini akan diejek dan dilempari batu oleh anak-anak, Aini akan mengamuk dan bisa

melukai orang lain. Lalu dengan merantai di rumah maka semua persoalan tersebut akan dapat dihindarkan.

Pada saat orang sakit atau anaknya sakit, ada beberapa tindakan atau perilaku yang muncul, antara lain : a) didiamkan saja (no action), artinya sakit tersebut diabaikan, dan tetap menjalankan kegiatan sehari-hari; b) mengambil tindakan dengan melakukan pengobatan sendiri (self treatment atau self medication), memiliki dua cara yaitu pengobatan tradisional dan pengobatan modern; c) mencari penyembuhan atau pengobatan keluar yaitu ke fasilitas pelayanan kesehatan, baik pelayanan kesehatan tradisional atau pelayanan kesehatan modern (Notoatmodjo, 2005: 49) Jadi, orangtua Aini mengambil tindakan atau perilaku “didiamkan saja”, karena tindakan atau perilaku dengan mencari penyembuhan tidak memberikan hasil yang optimal.

5.2.3. Memasung

Iyan merupakan penderita gangguan jiwa yang dipasung. Pergelangan kaki kirinya tampak berada di dalam lubang pada sebuah kayu yang cukup tebal dan berat. Kaki kiri tersebut tidak bisa digerakkan sesuka hatinya. Setiap menit, jam dan hari harus selalu dalam posisi terjulur lurus, hanya kaki kanannya yang tampak bebas untuk digerakkan. Melihat Iyan sungguh membuat hati teriris, karena Iyan adalah manusia, manusia yang harus terkekang kebebasannya entah sampai kapan, karena penyakit gangguan jiwa yang menderanya.

Ketika kunjungan dilakukan ke dalam kamar Iyan, sepertinya Iyan sering memain-mainkan matanya, sesekali ke arah kaki kirinya, sesekali ke wajah orang yang mengunjunginya. Sepertinya dia memberi isyarat agar kaki kirinya dilepaskan dari kayu tersebut. Untuk berkata-kata Iyan memang teramat kesulitan, Iyan selalu berkata-kata tetapi makna atau arti dari kalimat-kalimat yang diucapkannya sama sekali sulit dimengerti/dipahami.

Iyan sangat dekat dengan abangnya, sedangkan dengan kedua orangtuanya Iyan tidak begitu peduli, berikut penuturan ibu Iyan :

….”gak taulah nak apa Iyan masih kenal ibu atau tidak, kalo abangnya ini memang dia langsung kenal, tapi kalo yang lain datang dia tidak perduli, dia akan perduli jika dibawakan rokok. Dulu Iyan tidak begini, biasa-biasa saja, tapi memang dia anak yang pendiam tidak begitu suka bicara. Tapi tingkah lakunya menurut ibu yang kayak anak-anak lain, gak nyusahin. Sejak peristiwa kacau balau di sini, setiap hari ada tentara, lalu kadang ada GAM, ada tembakan, ada yang dibunuh, Iyan makin pendiam. Dia pernah ditahan Brimob selama 3 jam, gak tau knapa, Iyan gak mau cerita, tapi sejak itu dia takut sama yang warnanya hijau. Sampai sekarangpun kalo dikasi makan bubur kacang ijo, dia gak mau makan, langsung dibuangnya…. (ibu Iyan terdiam). Iyan sudah kami bawa berobat, sebentar sembuh, sebentar kambuh lagi, kami orang miskin nak gak bisa terus-menerus membawanya ke rumah sakit (rumah sakit jiwa). Lagian dia pun sudah gak mau minum obat lagi, dulu pernah diminumnya sekaligus semua, panik kami, untung masih bisa disembuhkan”.

Sejak tahun 2007, Iyan sudah menjadi penderita gangguan jiwa yang dipasung, tidak ada lagi upaya-upaya pengobatan dari orangtuanya. Setiap hari Iyan diberi makan 3 kali sehari, merokok 2 batang dan dimandikan seminggu sekali. Di kamarnya Iyan melakukan aktifitas yang sangat terbatas, buang air kecil langsung dilakukannya di lantai kamar tersebut, begitu juga dengan buang air besar. Tidak ada

kain atau pakaian yang menutupi tubuhnya, sehingga tubuhnya tampak hitam, berdebu, bau dan dekil.

Penanganan penderita gangguan jiwa yang cukup meningkat di Aceh pasca masa konflik, gempa dan tsunami memang berbeda, tetapi saat ini memiliki kecenderungan untuk mengurung, merantai bahkan memasung penderita. Sampai saat ini ada sekitar 110 orang penderita sakit jiwa yang ditangani dengan cara dipasung.

Anggapan sebagian besar masyarakat bahwa mengurung, merantai bahkan memasung adalah sebuah perlakuan yang tidak manusiawi dan melanggar hak asasi manusia, ternyata sangat berbeda dengan anggapan keluarga-keluarga yang langsung melakukan tindakan mengurung, merantai dan memasung anggota keluarganya yang menderita gangguan jiwa.

Pada ketiga objek penelitian perlakuan tersebut justru sebuah ungkapan perasaan sayang kepada si penderita. Orangtua atau saudara penderita bahkan berasumsi jika anaknya dirawat di rumah sakit jiwa sama saja dengan membuang anak tersebut dari keluarganya dan merasa bahwa perawatan di rumah sakit jiwa jauh lebih buruk dibandingkan dengan perawatan yang mereka lakukan sendiri. Mengurung Miah dan merantai kaki Aini justru akan menjauhkan anak mereka dari bahaya dan cemoohan orang lain.

Hal ini hampir sama dengan laporan Safriadi dari Biro Lhokseumawe saat melakukan kunjungan dengan Direktur rumah sakit jiwa (Safriadi, 2009:1-2). Jika sebagian masyarakat punya anggapan memasung adalah pelanggaran HAM, tetapi tidak demikian dengan Cut Manyak (56 tahun) warga Rhing Krueng, Kecamatan

Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya (Pijay). Cut Manyak telah memasung suaminya Mahmud (68 tahun) selama hampir 30 tahun pada sebuah kayu besar yang memiliki lubang kecil untuk memuat sebelah kakinya. Menurut sang istri, memasung suaminya merupakan ungkapan cinta dan limpahan kasih sayangnya kepada sang suami. Dengan dipasung maka suaminya akan terhindar dari gangguan dan pukulan orang lain. Ucapan Cut Manyak pada laporan tersebut :

“Siapa bilang aku gak sayang sama suamiku, lebih baik seperti ini, aku bisa melihatnya setiap saat, aku juga gak perlu kuatir suamiku dipukuli orang lain, karena kalo dilepas maka dia suka mengganggu orang. Kalo dibebaskan dia akan diolok-olok orang lain, kadang-kadang suka dilempari batu sama anak-anak. Siapa yang tega melihatnya seperti itu. Aku sangat ingin suamiku sembuh, tetapi untuk membawanya berobat aku tak sanggup, ungkap Cut Manyak”.

Jadi, masih banyak masyarakat yang memiliki anggapan bahwa dengan mengurung, merantai dan memasung merupakan sebuah bentuk ungkapan kasih sayang dan cinta mereka kepada anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa, justru dengan membiarkan mereka berkeliaran akan menimbulkan masalah bagi orang lain, bagi keluarga dan bagi sipenderita sendiri. Dengan mengurung dan merantai akan membebaskan dipenderita dari gangguan dan cemoohan orang lain. Salah seorang keluarga penderita gangguan jiwa mengatakan :

…..”Siapa yang sedih melihat anaknya dilempari batu. Kalo duduk di tempat yang ramai, orang-orang pergi menjauhinya, orang-orang masih mengolok-oloknya. Gara-gara perlakuan seperti itu sakitnya kambuh lagi” (Sapriadi, 2009:2).

Pada sebagian masyarakat mengganggap perlakuan yang mereka lakukan jauh lebih manusiawi dan tidak melanggar HAM dibandingkan perlakuan yang akan

diterima penderita jika mereka membiarkannya bebas berkeliaran, lebih tidak manusiawi dan melanggar HAM.

Namun, menjadi suatu pertanyaan bagi kita apakah benar seperti yang diungkapkan Cut Manyak bahwa memasung sang suami di rumah merupakan ungkapan cinta dan sayang. Jika melihat kondisi Iyan maka semua jawaban itu menjadi semu atau sebuah topeng untuk menutupi sesuatu yang disembunyikan, suatu alasan yang sebenarnya yaitu ketidakmampuan untuk membawa berobat ke Rumah sakit jiwa. Apakah dapat dikatakan sayang, jika tubuh Iyan dipenuhi dengan debu, tidur dengan tubuh tanpa busana dan hanya beralaskan papan, apakah dapat dikatakan sayang jika Miah dikurung dalam kamar yang gelap dan tidur hanya beralaskan kardus-kardus bekas ?

Salah satu keluarga yang memiliki anggota keluarga menderita gangguan jiwa, yang dirantai selama hampir 20 tahun dan menghabiskan waktunya selama 20 tahun pada sebuah gubuk hanya dengan beralaskan tikar, mengungkapkan alasan merantai :

….ia (Yusuf) sudah menghabiskan sekitar 20 tahun umurnya dalam gubuk ini dengan hanya beralaskan tikar. Saya telah berusaha berbagai cara untuk mengakhiri deritanya, namun hingga kini upaya-upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Padahal satu unit rumah dan sebidang petak sawah telah dijual sekitar tahun 80-an untuk biaya berobat. Namun karena sudah tidak mempunyai biaya lagi, maka saya terpaksa merantai kaki anak saya, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terhadap keluarga dan orang lain. Awalnya saya tidak merantainya, saya tidak tega melihatnya menderita. Tindakan ini terpaksa saya lakukan, setelah pada suatu hari dia mencekek saya hingga tak berdaya. Beruntung ketika itu ada tetangga yang melihat dan menolong saya” (dikutip dari Serambi, 12 Januari 2009).

Penanganan penderita gangguan jiwa dengan cara merantai, mengurung dan memasung sudah ada sejak lama. Dalam masyarakat non-Barat, jika penderita gangguan jiwa tidak bersifat galak, lebih sering diberi kebebasan gerak dalam masyarakat mereka, kebutuhan-kebutuhan dipenuhi oleh anggota keluarga mereka. Tetapi, seseorang penderita gangguan jiwa yang sakit gawat, dapat dipelihara di rumah tanpa mengganggu kehidupan rutin rumah tangganya maupun kehidupan masyarakatnya. Seorang yang “gila” yang mengganggu akan dibawa ke suatu dukuh di semak-semak untuk beberapa hari atau dikunci dikamarnya. Sebuah pintu khusus (2x2 kaki) dibuat di dalam rumah, cukup untuk menyodorkan makanan saja bagi penderita (Anderson, 2005:107-108).

Jadi, dari hasil ungkapan-ungkapan informan dan analisis yang dilakukan maka pola penanganan gangguan jiwa dimasyarakat adalah membawa penderita atau keluarga yang terkena gangguan jiwa kepada dukun/paranormal (pengobatan secara personalistik). Dukun adalah orang pertama yang didatangi untuk mengetahui penyebab-penyebab si anak menderita gangguan jiwa dan metode pengobatan yang dilakukan pun sesuai dengan anjuran dukun tersebut. Miah diobati oleh dukun dengan metode ‘disembur’ dengan air, lalu Iyan diobati dengan metode ‘memenuhi nazarnya

Dokumen terkait