• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

6.2.4 Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso

Hasil penelitian menemukan adanya 10 sampel bakso

(29,4%) yang mengandung boraks dan sebanyak 24 sampel bakso

(70,6%) tidak mengandung boraks. Hal ini menunjukkan bahwa

terdapat 10 sampel bakso yang tercemar boraks. Boraks merupakan

zat pengawet berbahaya yang tidak diizinkan digunakan sebagai

campuran bahan makanan. Boraks banyak digunakan masyarakat

sebagai bahan tambahan pada bakso, mie, lontong kerupuk,

Menurut Saparinto (2006), penggunaan bahan toksik boraks

pada makanan dapat berdampak buruk pada kesehatan manusia.

Boraks memiliki efek racun yang sangat berbahaya pada sistem

metabolisme manusia sama halnya dengan zat tambahan makanan

lain yang merusak kesehatan manusia. Senyawa boraks dapat masuk

ke dalam tubuh melalui pernapasan dan pencernaan atau absorbsi

melalui kulit yang luka atau membran mukosa. Saat sampai di

lambung, boraks akan diubah menjadi asam borat, sehingga gejala

keracunannya pun sama dengan asam borat. Setelah diabsorbsi, akan

terjadi kenaikan konsentrasi dan ion boraks dalam cairan

serebrospinal (Hamdani, 2010). Efek yang dapat terjadi antara lain

degradasi mental, gangguan pencernaan, serta gangguan reproduksi.

Selain itu, menurut Mujiyanto (2003), boraks juga merupakan

senyawa kimia yang mempunyai sifat karsinogen sehingga dapat

menyebabkan timbulnya kanker yang dapat berujung pada kematian.

Dengan adanya efek – efek tersebut, boraks seharusnya tidak lagi digunakan sebagai bahan tambahan pangan.

Penggunaan bahan toksik boraks sebagai bahan tambahan

pangan sebenarnya tidak diizinkan. Hal tersebut sudah tertera pada

PERMENKES RI No. 33 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa

boraks merupakan bahan tambahan pangan yang dilarang untuk

digunakan dalam produk makanan. Namun, boraks masih ditemukan

ditemukan oleh Rusli (2009) pada penelitiannya ditemukan

kandungan boraks pada 4 dari 5 sampel mie yang ditemukan di Pasar

Ciputat.

Menurut Sultan (2013), boraks yang diberikan pada makanan

terutama pada bakso akan membuat bakso tersebut sangat kenyal dan

tahan lama. Dengan begitu, pengelola bakso tidak perlu khawatir

baksonya akan kadaluarsa, dikarenakan adanya boraks tersebut yang

dapat meningkatkan daya tahan bakso. Menurut Oktavia (2012),

bakso yang tidak habis terjual pengelola masih dapat menjualnya

kembali untuk 3 hari berikutnya jika ditambahkan boraks pada saat

pembuatannya. Hal ini lah yang membuat masih maraknya

penggunaan bahan toksik boraks sebagai bahan tambahan pangan.

6.3 Analisis Bivariat

6.3.1 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso

Pengetahuan merupakan hasil penginderaan yang diperoleh

melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, raba, yang

memberikan informasi tertentu kepada seseorang dan menjadi

pengetahuannya. Penginderaan tersebut dapat bersumber dari

pengalaman yang ada, baik berupa pengalaman belajar, bekerja serta

aktivitas dan interaksi lain dalam kehidupan sehari-hari

Berdasarkan hasil uji Chi-Square didapatkan p value = 0,467 (α = 0,05) yang menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan pencemaran bahan toksik boraks pada

bakso. Green menyebutkan dalam Notoadmodjo (2003) bahwa

pengetahuan merupakan salah satu faktor penting yang

mempengaruhi perilaku seseorang. Pada penelitian ini ditemukan

tidak adanya hubungan antara pengetahuan pengelola dengan

pencemaran bahan toksik boraks pada bakso. Penelitian ini

berbanding terbalik dengan penelitian Oktavia (2012) yang

menyatakan adanya hubungan antara pengetahuan terhadap

penggunaan bahan toksik boraks (p value = 0,032)

Jika dilihat dari distribusi pengetahuan pada penelitian ini,

terdapat 20 responden (58,8%) berpengetahuan tinggi, dan 14

responden (41,2%) yang memiliki pengetahuan rendah. Hasil

tersebut mencerminkan bahwa pengetahuan yang dimiliki mayoritas

responden sebenarnya sudah cukup memadai. Cukup memadainya

pengetahuan responden tidak menutup kemungkinan ditemukannya

pencemaran boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat. Dengan

ditemukannya cemaran boraks pada bakso mencerminkan terdapat

adanya tindakan penggunaan bahan toksik boraks oleh pengelola

bakso sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa tidak selamanya

seseorang dengan pengetahuan yang tinggi dapat melakukan

dengan teori yang dikemukakan menurut Sarwono (1997) bahwa

pengetahuan yang positif atau tinggi tidak selamanya akan diikuti

dengan praktik yang sesuai.

Kemungkinan terjadinya masalah ini dikarenakan adanya

faktor-faktor lain yang membuat pengelola bakso tetap

menggunakan boraks sebagai bahan tambahan pangan meskipun

mereka mengetahui dampak yang akan terjadi ketika

menggunakanannya. Faktor tersebut dapat berupa motif ekonomi.

Menurut David (1985), kebutuhan individu menyebabkan keinginan

dan keinginan ini menimbulkan motivasi yang menyebabkan

seseorang melakukan suatu tindakan. Salah satu kebutuhan dari

pengelola bakso ini adalah kebutuhan finansial. Tentunya setiap

pedagang atau pengelola bakso ingin mencapai keuntungan yang

besar. Berbagai upaya dapat dilakukan oleh pengelola bakso untuk

mendapatkan target keuntungan usaha yang optimal. Bentuk upaya

tersebut dapat berupa modifikasi cara pembuatan bakso daging sapi

agar memiliki nilai sensorik yang digemari konsumen. Menurut

Mujiyanto (2003), bakso yang menggunakan boraks ini dipercaya

dapat memperbaiki tekstur bakso menjadi lebih kenyal dibandingkan

dengan yang tidak menggunakan boraks. Penggunaan bahan toksik

boraks pada bakso merupakan salah satu upaya yang dilakukan

pengelola untuk mendapatkan keuntungan yang lebih meskipun

berbahaya jika digunakan pada makanan. Atas dasar faktor inilah

pengelola bakso menggunakan boraks pada bakso yang dijajakannya.

Ketika pengelola bakso mencampurkan boraks ke dalam bakso,

maka bakso akan dapat disimpan lebih lama dan tekstur bakso akan

menjadi lebih baik. Hal inilah yang dapat menarik konsumen untuk

berdatangan.

Dengan tingginya pengetahuan responden yang mencapai

58,8% serta pencemaran boraks yang mencapai 29,4%

mencerminkan adanya ketidakpedulian dalam diri pengelola bakso

terhadap efek yang akan terjadi jika pengelola tetap menggunakan

boraks pada baksonya. Hal ini dapat membuktikan bahwa

pengetahuan tidak mempengaruhi terjadinya pencemaran boraks.

Pernyataan ini didukung oleh penelitian Lambok (2012) yang

menyatakan bahwa tidak ada perbedaan dari penggunaan bahan

toksik boraks antara responden yang berpengetahuan tinggi dan

rendah dikarenakan banyak dari mereka yang tidak peduli terhadap

efek bahaya yang disebabkan oleh penggunaan bahan toksik boraks

dalam bakso.

Walaupun ditemukan tidak ada perbedaan antara pengelola

yang berpengetahuan rendah dan tinggi terkait penggunaan boraks,

pengetahuan merupakan faktor terpenting dari adanya perilaku

penggunaan boraks. Jika dibandingkan dengan sikap dan praktek,

pengetahuan memiliki hubungan yang sangat erat dengan perilaku.

Dengan adanya pengetahuan mengenai boraks dapat membuat

pengelola mempunyai pandangan yang membantu pengelola dalam

memilih keputusan dalam mencampur boraks dengan bakso. Seperti

yang telah diungkapkan Notoatmodjo (2003), terdapat 6 tingkatan

pengetahuan salah satunya adalah evaluasi. Pada kasus penggunaan

boraks, tingkat evaluasi berkaitan dengan kemampuan pengelola

untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap penggunaan

boraks, seperti perlu atau tidaknya boraks digunakan pada

pembuatan baksonya. Adanya pengetahuannya mengenai boraks

dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh pengelola bakso

atas dampak yang akan terjadi di kemudian hari. Selain itu,

pengetahuan juga merupakan salah satu faktor terbentuknya sebuah

sikap seseorang. Pengetahuan dapat mempengaruhi kesiapan

seseorang untuk bertingkah laku atau merespon sesuatu. Dengan

adanya pengetahuan, seseorang dapat menentukan sikap atas

rangsangan apa yang dihadapkan pada dirinya. Hal inilah yang

membuat pengetahuan dijadikan sebagai faktor yang paling penting

karena dengan adanya pengetahuan dapat mempengaruhi pengelola

dalam mengambil keputusan untuk berperilaku.

Merujuk pada pernyataan Lambok (2012), terlihat adanya

ketidakpedulian dalam diri responden terkait efek dari penggunaan

efek yang dihasilkan dari penggunaan bahan toksik boraks tentunya

dapat berakibat pada kesehatan masyarakat luas. Masyarakat sebagai

konsumen bakso berada pada posisi tidak mengetahui bahwa bakso

yang dikonsumsi memiliki kandungan boraks. Jika terus menerus

dikonsumsi, maka dapat menimbulkan dampak yang buruk pada

masyarakat. Salah satunya dampak yang akan terjadi adalah

keracunan makanan. Pada tahun 2011, telah terjadi keracunan

makanan pada 35 penduduk di Kota Bengkulu yang mengkonsumsi

makanan mengandung boraks. Peristiwa ini dinyatakan sebagai

kejadian luar biasa (KLB) oleh Dinas Kesehatan Bengkulu (Dinkes

Bengkulu, 2011). Terjadinya KLB ini dapat mengakibatkan

menurunnya status kesehatan masyarakat.

Terdapat beberapa cara agar terhindar dari mengkonsumsi

bakso yang mengandung boraks, salah satunya adalah dengan

mengenali ciri-ciri dari bakso tersebut. Bakso yang mengandung

boraks memiliki struktur yang kenyal dan lebih keras, memiliki daya

tahan lebih lama, warna cenderung keputihan, baunya menyengat,

bila dilemparkan ke lantai akan memantul seperti bola (BPOM RI,

2013).

6.3.2 Hubungan Antara Sikap Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso

Sikap (attitude) menurut Sarwono (2003) adalah kesiapan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku atau merespons sesuatu

baik terhadap rangsangan positif maupun rangsangan negatif dari

suatu objek rangsangan. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau

aktivitas. Akan tetapi sikap merupakan faktor predisposisi bagi

seseorang untuk berperilaku. Sikap merupakan reaksi atau respon

yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau

objek. Pada penelitian ini sikap digolongkan menjadi 2, yaitu sikap

negatif atau menolak dan sikap positif atau menyenangi.

Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan Chi-square didapatkan p value = 0,014 (α = 0,05) yang dapat dinyatakan

bahwa ada hubungan yang bermakna antara sikap pengelola dengan

pencemaran bahan toksik boraks pada bakso. Hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan Yunarni (1999) yang juga menyatakan

bahwa ada hubungan yang signifikan antara sikap dengan

keberadaan boraks pada bakso (p value = 0,032).

Berdasarkan hasil analisis univariat yang telah dilakukan dapat

diketahui bahwa 27 dari 34 pengelola bakso (79,4%) memiliki sikap

yang negatif atau tidak menyetujui penggunaan bahan toksik boraks

dalam proses pembuatan makanan terutama bakso. Sikap pengelola

bakso yang baik diperoleh dari pengalaman pengelola sendiri

maupun orang lain (lingkungan) baik itu keluarga maupun teman dan

kerabat pengelola bakso yang memiliki pengalaman mengenai

penggunaan bahan toksik boraks pada bakso. Pengalaman tersebut

toksik boraks. Lin (2011) dalam penelitiannya pada penjaja makanan

goreng menyatakan bahwa sikap penjual makanan yang baik

diperoleh dari pengalaman penjual makanan maupun orang lain

(lingkungan) baik itu keluarga maupun teman dan kerabat penjual

makanan yang memiliki pengalaman. Pengalaman tersebut

mempengaruhi sikap penjual makanan terhadap perilaku yang

dilakukannya.

Sikap merupakan faktor perdisposisi adanya perilaku

penggunaan bahan toksik boraks. Dapat dikatakan sikap memiliki

andil yang cukup besar dalam pengambilan keputusan penggunaan

boraks. Jika seseorang memperlihatkan sikap negatif terhadap

penggunaan bahan toksik boraks maka orang tersebut tidak akan

menggunakan boraks sebagai bahan tambahan pada makanannya,

dengan begitu tidak akan ditemukan kandungan boraks pada bakso

dan pada akhirnya tidak akan terjadi pencemaran bahan toksik

boraks pada bakso. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini yang

menemukan bahwa terdapat 22 responden (81,5%) yang memiliki

sikap negatif atau tidak menyetujui penggunaan bahan toksik boraks

yang baksonya negatif mengandung boraks.

Dari hasil penelitian yang telah didapatkan dapat tergambar

bahwa sikap yang dimiliki masyarakat mengenai boraks sudah

terbilang cukup baik. Dari pemaparan sebelumnya dapat dinyatakan

makanan. Dengan adanya sikap yang baik dapat mendukung

masyarakat untuk tidak menggunakan boraks pada makanan. Angka

keracunan pangan yang tadinya sebesar 18.144 kasus (BPOM RI,

2011) dapat diturunkan jika sikap yang dimiliki masyarakat di

Indonesia adalah sikap negatif atau menolak penggunaan bahan

toksik boraks. Agar sikap negatif ini dapat terwujud, masyarakat

harus dipaparkan pengetahuan mengenai dampak dari penggunaan

bahan toksik boraks pada kesehatan tubuh.

Adanya kandungan boraks pada makanan dapat menyebabkan

keracunan pangan. Menurut BPOM RI (2008), keracunan pangan

sudah menjadi kejadian luar biasa (KLB) yang menjadi keprihatinan

di tingkat nasional maupun global. Adanya KLB keracunan pangan

ini tentunya dapat mempengaruhi status kesehatan masyarakat

Indonesia. Adanya penggunaan boraks pada makanan ini ikut

berperan dalam terjadinya KLB keracunan pangan. Namun, sangat

disayangkan belum didapatkan data pasti mengenai besarnya

pengaruh penggunaan boraks pada keracunan pangan ini.

Salah satu yang dapat dilakukan dalam rangka mengendalikan

kasus keracunan pangan ini adalah dengan memperbaiki sikap yang

dimiliki masyarakat melalui penanaman pemahaman mengenai

bahaya boraks dengan mengadakan penyuluhan mengenai bahan

6.3.3 Hubungan Antara Praktik Penggunaan Boraks dengan

Dokumen terkait