SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh:
MISYKA NADZIRATUL HAQ NIM: 1110101000020
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
ii
Skripsi, Juni 2014
MISYKA NADZIRATUL HAQ, NIM: 1110101000020
Analisis Faktor Resiko Pencemaran Bahan Toksik Boraks Pada Bakso Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014
(XIII + 101 halaman, 13 tabel, 6 lampiran)
ABSTRAK
Boraks merupakan salah satu bahan tambahan pangan berbahaya yang dilarang penggunaannya dalam makanan. Penggunaannya pada makanan dapat merusak otak serta dapat menimbulkan gangguan pada pencernaan hingga kematian. Namun penggunaannya masih ditemukan di beberapa makanan salah satunya pada bakso. Kegunaannya adalah untuk memperbaiki tekstur serta dapat mengawetkan bakso. Jika ditemukan adanya kandungan boraks pada suatu makanan, maka dapat dikatakan makanan tersebut telah tercemar dengan boraks. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor resiko yang dapat menyebabkan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014. Desain studi pada penelitian ini adalah cross sectional dengan menggunakan kuesioner serta pemeriksaan laboratorium secara kualitatif. Populasi adalah semua pedagang bakso yang menetap di Kelurahan Ciputat. Metode penarikan sampel adalah sampel jenuh.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 14 responden (41,2%) yang tingkat pengetahuannya rendah selain itu terdapat 7 responden (20,6%) yang memiliki sikap positif terhadap penggunaan bahan toksik boraks, dan terdapat 7 responden (20,6%) yang melakukan praktik pembuatan bakso yang tidak baik. Dari hasil uji laboratorium dengan menggunakan food security kit
didapatkan 10 bakso (29,4%) yang positif tercemar bahan toksik boraks. Dari hasil analisis dengan menggunakan Chi-square
ditemukan tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan pengelola bakso dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat dengan p value 0,467. Ada hubungan antara sikap pengelola bakso dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat (p value = 0,014). Ada hubungan antara praktik pengelola bakso dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat (p value 0,009)
iii
Undergraduate thesis, June 2014
MISYKA NADZIRATUL HAQ, NIM: 1110101000020
Risk Factor Analysis of Borax Toxic Compound in Meatballs in Ciputat Village 2014
(XIII + 101 pages, 13 tables, 6 attachments)
ABSTRACT
Borax is one of harmfulfood additives that is forbidden to be used. Its use in food can damage brain and digestive system and may even lead to death. However, we still found borax compound in food, such as in meatballs. It is usedto add a firm rubbery texture to meatballs, or as a preservative. The aim of this research was to analyze risk factor of borax contamination in meatballs in Ciputat Village. This research used cross sectional study with quetionnaire and qualitative laboratory test. Population was all of the meatballs producers who located. Samples were taken by saturated sampling.
The results showed that there are 14 respondents (41,2%) who have poor knowledge, 7 respondents (20,6%) who have positive attitude toward borax uses, and 7 respondents (20,6%) who have bad practice toward borax uses. Laboratory examination by food security kit showed that there are 10 samples (29,4%) positively contaminated by borax. The results of Chi-square analysis indicates that there is no signifficant relation between knowledge levels and borax contamination of meatballs in Ciputat Village (pvalue = 0,467). There is relation between posistve attitude and borax contamination of meatballs in Ciputat Village (pvalue = 0,014). There is relation between meatball producer practice and borax contamination of meatballs in Ciputat Village (pvalue = 0,009).
To overcome the food contamination, government is expected to improve supervision of food additives product which is sold in market. People could be more selective whenever they want to buy food product so that they would be spared from its negative effect.
Key word: Risk Factor, Knowledge, Attitude, Practice, Borax
vi
Nama Lengkap : Misyka Nadziratul Haq
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 18 Oktober 1992
Warganegara : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Komplek Pelni Blok H2 No. 13 RT 04/019
Cimanggis – Depok 16418
Telepon : 0812 - 87693848
Email : miskanh@gmail.com
Pendidikan Formal:
1. SDI PB Soedirman (1998 – 2004)
2. SMPIT Nurul Fikri (2004 – 2007)
3. SMAIT Nurul Fikri (2007 – 2010)
4. Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan
vii
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT berkat rahmat-Nya serta dorongan yang kuat, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Faktor Resiko
Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso di Kelurahan Ciputat
Tahun 2014”. Shalawat serta salam selalu terjunjung kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan akan iman dan pengetahuan ke zaman terang benderang akan ilmu pengetahuan.
Penelitian ini ditujukan untuk memenuhi persyaratan jenjang pendidikan S-1 pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penulisan skripsi ini, banyak pihak yang telah membantu penulis. Baik itu bantuan moril, amteri, dorongan serta bimbingan dari berbagai pihak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. (hc). dr. M.K. Tajudin, Sp. And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Ibu Febrianti, SP, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat
viii
5. Keluarga yang paling penulis sayangi (Mama, Sarah, Afi, Caca) atas dukungan dan kasih sayang yang tidak ada habisnya kepada penulis.
6. Teman - teman penulis, Jeni, Hani, Huna, Nurin, Indun, Amel, Upid, Indun, Cesi, Mardi, Ilham, Agung, Supri,
Rizka, Tuti, Bayu, Sofda, jama’ah Kesling 2010 & 2011 serta kesmas 2010 atas semangat dan bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Rekan - rekan yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas dukungan dan bantuannya dalam penulisan skripsi ini.
Dengan tersusunnya skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan-, oleh karna itu penulis mengharapkan saran, kritik dan bimbingan yang bisa membangun sehingga dapat mempebaiki skripsi ini, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Ciputat, 5 Juni 2014
ix
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI... ix
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 4
1.3 Pertanyaan Penelitian... 6
1.4 Tujuan ... 6
1.4.1 Tujuan Umum ... 6
1.4.2 Tujuan Khusus ... 7
1.5 Manfaat ... 7
1.5.1 Manfaat Bagi Pemerintah ... 7
1.5.2 Manfaat Bagi Masyarakat ... 8
1.5.3 Manfaat Bagi Peneliti ... 8
1.6 Ruang Lingkup ... 8
x
2.1 Pangan ... 9
2.2 Keamanan Pangan ... 10
2.3 Foodborne Disease ... 12
2.4 Pencemaran Bahan Toksik pada Makanan ... 12
2.5 Bahan Tambahan Pangan ... 14
2.5.1 Definisi Bahan Tambahan Pangan ... 14
2.5.2 Fungsi Bahan Tambahan Pangan ... 15
2.5.3 Jenis Bahan Tambahan Pangan ... 16
2.5.4 Golongan Bahan Tambahan Pangan ... 17
2.5.5 Bahan Tambahan Pangan yang Tidak Diizinkan ... 18
2.6 Zat Pengawet ... 19
2.7 Boraks ... 22
2.7.1 Kegunaan Boraks ... 25
2.7.2 Pengawet Boraks pada Makanan ... 25
2.7.3 Dampak Boraks Terhadap Kesehatan ... 26
2.8 Bakso ... 28
2.8.1 Komposisi Bakso ... 31
2.8.2 Zat kimia yang ditambahkan pada bakso ... 31
2.8.3 Pembuatan Bakso ... 32
2.9 Boraks pada Bakso ... 34
2.10 Perilaku ... 34
xi
2.10.2 Sikap ... 39
2.10.3 Tindakan ... 41
2.11 Pedagang ... 41
2.11.1 Definisi Pedagang ... 42
2.12 Kerangka Teori ... 43
BAB III KERANGKA KONSEP ... 45
3.1 Kerangka Konsep... 45
3.2 Hipotesis ... 46
3.3 Definisi Operasional ... 47
BAB IV METODE PENELITIAN ... 50
4.1 Desain Studi ... 50
4.2 Lokasi Penelitian ... 50
4.3 Populasi ... 51
4.4 Sampel ... 51
4.5 Jenis Data ... 51
4.6 Pengumpulan Data ... 52
4.7 Teknik Sampling Boraks pada Bakso ... 52
4.8 Pengolahan Data ... 53
4.9 Analisis ... 54
4.10 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 55
BAB V HASIL PENELITIAN ... 58
xii
5.1.1 Jenis Kelamin ... 58
5.1.2 Usia ... 59
5.1.3 Pendidikan ... 59
5.2 Analisis Univariat ... 60
5.2.1 Gambaran Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ... 60
5.2.2 Gambaran Pengetahuan Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks ... 61
5.2.3 Gambaran Sikap Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks ... 62
5.2.4 Gambaran Praktik Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks ... 65
5.3 Analisis Bivariat ... 65
5.3.1 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ... 66
5.3.2 Hubungan Antara Sikap Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ... 67
5.3.3 Hubungan Antara Praktik Penggunaan Bahan Toksik Boraks dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ... 68
BAB VI PEMBAHASAN ... 69
6.1 Keterbatasan Penelitian ... 69
6.2 Analisis Univariat ... 70
6.2.1 Pengetahuan Pengelola Bakso Mengenai Penggunaan Bahan Toksik Boraks ... 70
xiii
6.2.3 Praktik Pengelolaan Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik
Boraks ... 77
6.2.4 Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ... 79
6.3 Analisis Bivariat ... 81
6.3.1 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ... 81
6.3.2 Hubungan Antara Sikap Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ... 86
6.3.3 Hubungan Antara Praktik Penggunaan Boraks dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ... 90
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 97
7.1 Kesimpulan ... 97
7.2 Saran ... 98
7.2.1 Saran Bagi Masyarakat ... 98
7.2.2 Saran Bagi Pemerintah ... 98
7.2.3 Saran Bagi Penelitian Selanjutnya ... 99
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Sifat Kimia Boraks ... 23
Tabel 2.2 Syarat Mutu Bakso ... 29
Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 47
Tabel 5.1 Distribusi Jenis Kelamin Pengelola Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ... 58
Tabel 5.2 Distribusi Usia Pengelola Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ... 59
Tabel 5.3 Distribusi Pendidikan Pengelola Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ... 60
Tabel 5.4 Gambaran Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ... 61
Tabel 5.5 Distribusi Pengetahuan Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ... 61
Tabel 5.6 Gambaran Sikap Pengelola Bakso Pada Beberapa Pernyataan ... 62
Tabel 5.7 Distribusi Sikap Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ... 64
Tabel 5.8 Distribusi Praktik Pengelola Bakso Terhadap Penggunaan Bahan Toksik Boraks Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ... 65
Tabel 5.9 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso ... 66
Tabel 5.10 Hubungan Antara Sikap Pengelola dengan Pencemaran Bahan Toksik Boraks pada Bakso di Kelurahan Ciputat Tahun 2014 ... 67
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Pengambilan Data
Lampiran 2 Kuesioner
Lampiran 3 Form Hasil Uji Kualitatif Boraks
Lampiran 4 Output Uji Validitas dan Reliabilitas
Lampiran 5 Output Analisis Data
1 1.1 Latar Belakang
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.33 tahun 2012
tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP) dikatakan bahwa salah satu zat
aditif yang dilarang digunakan dalam makanan adalah asam borat dan
senyawanya (termasuk boraks), dan makanan yang mengandung bahan
tersebut dinyatakan sebagai makanan berbahaya. Namun pada kenyataannya
boraks masih digunakan sebagai bahan tambahan pangan salah satunya di
Kanada. Canadian Food Inspection Agent (CFIA) menemukan bahwa boraks telah dijual sebagai bahan tambahan pangan. CFIA menyatakan
bahwa boraks dapat menimbulkan penyakit bawaan makanan. Oleh karena
itu, CFIA melarang boraks untuk digunakan pada makanan (CFIA, 2004).
Hal ini didukung dengan pernyataan The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) yang memperkirakan bahwa terdapat 128.000 warga Amerika Serikat menjalani perawatan rumah sakit dan 3000 orang
meninggal setiap tahunnya dikarenakan penyakit bawaan makanan.
Penyakit bawaan makanan merupakan indikasi dari adanya masalah pada
keamanan pangan. Salah satu yang menyebabkan suatu makanan dikatakan
Salah satu makanan yang sering ditambahkan boraks adalah bakso.
Bakso adalah jenis makanan yang sangat populer dan sangat digemari
masyarakat. Bakso dapat ditemui mulai dari restoran hingga pedagang keliling (Deptan, 2009). Keberadaan boraks pada bakso berfungsi untuk
memperbaiki tekstur bakso serta dapat meningkatkan daya simpan. Dengan
adanya keberadaan boraks pada bakso perlu dikhawatirkan dampak yang
akan dihasilkan dari hal tersebut seperti gangguan otak, hati, dan ginjal.
Dalam jumlah banyak, boraks menyebabkan demam, anuria, merangsang
sistem saraf pusat, menimbulkan depresi, apatis, sianosis, tekanan darah
turun, kerusakan ginjal, pingsan, koma, bahkan kematian. Dari dampak
yang dihasilkan, boraks dapat dikatakan sebagai bahan toksik dikarenakan
efek racunnya terhadap kesehatan (Windayani, 2010). Dengan demikian
makanan yang telah terkontaminasi boraks dapat disebut makanan yang
telah tercemar oleh bahan toksik (Nurmaini, 2001). Terdapat dosis dimana
tidak akan terjadi dampak negatif yang membahayakan kesehatan manusia
yang mengkonsumsi suatu makanan yang mengandung boraks atau No Observed Adverse Effect Level (NOAEL) adalah sebesar 8,8 mg/kg berat badan per-hari (EPA, 2006). Walaupun demikian, mengingat dampaknya
yang bersifat kumulatif dan berbahaya, maka penggunaan boraks tidak sama
sekali dianjurkan dan diperbolehkan pada makanan. Hal ini sesuai dengan
Standar Nasional Indonesia (SNI) dalam SNI 01-3818-1995 menyatakan
Penggunaan boraks juga ditemukan di Indonesia, seperti yang
dinyatakan oleh Surveilan Keamanan Pangan Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM) RI tahun 2009 bahwa penggunaan bahan toksik boraks
pada makanan di Indonesia telah mencapai 8,80%. Selain itu, di Tangerang
ditemukan sebanyak 25 sampel bakso positif mengandung boraks (25%) dan
rata-rata kandungan boraksnya adalah 806,86 mg/kg (Windayani, 2010).
Penggunaan boraks pada makanan dapat mengakibatkan pencemaran
makanan. Pencemaran makanan perlu dicegah dengan cara mengetahui
faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya pencemaran tersebut. Usaha
untuk mengetahui faktor resiko yang mempengaruhi pengolahan makanan
dapat mencegah terjadinya pencemaran makanan. Hal ini sesuai dengan
Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP). HACCP adalah suatu sistem kontrol dalam upaya pencegahan terjadinya masalah yang
didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis di dalam tahap penanganan dan
proses produksi. HACCP merupakan salah satu bentuk manajemen resiko
yang dikembangkan untuk menjamin keamanan pangan dengan pendekatan
pencegahan (preventive) yang dianggap dapat memberikan jaminan dalam menghasilkan makanan yang aman bagi konsumen (IPB, 2005)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sugiyatmi (2006) yang
dilakukan terhadap pedagang makanan tradisional di Semarang, faktor
resiko terjadinya pencemaran pada makanan antara lain pendidikan,
pengetahuan, sikap, dan praktik pembuat makanan. Didapatkan hasil yang
pencemaran pada makanan. Berdasarkan penelitian tersebut dapat dikatakan
bahwa pengetahuan, sikap dan perilaku merupakan faktor resiko dari
terjadinya pencemaran pada makanan jajanan. Pencemaran pada makanan
ditemukan pula di Pasar Ciputat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Rusli (2009) ditemukan 4 dari 5 sampel mie mengandung boraks,
dengan adanya kandungan boraks pada mie tersebut dapat dikatakan bahwa
telah terjadi pencemaran pada makanan di Pasar Ciputat. Hal ini tidak
menutup kemungkinan meluasnya pencemaran pada makanan ke wilayah
Kelurahan Ciputat, mengingat Pasar Ciputat ini terletak di Kelurahan
Ciputat.
Berdasarkan paparan tersebut, timbul ketertarikan dari peneliti untuk
melakukan penelitian terhadap faktor resiko yang dalam hal ini adalah
pengetahuan, sikap dan praktik pada pengelola bakso terhadap pencemaran
bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat tahun 2014.
1.2 Perumusan Masalah
Boraks merupakan racun bagi semua sel. Pengaruhnya terhadap
organ tubuh tergantung konsentrasi yang dicapai dalam organ tubuh. Bila
mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks tidak langsung berakibat
buruk terhadap kesehatan, tetapi senyawa tersebut diserap dalam tubuh
secara kumulatif, disamping melalui saluran pencemaran boraks dapat
diserap melalui kulit. Konsumsi boraks yang tinggi dalam makanan dan
testis serta akan menyebabkan timbulnya gejala pusing, muntah, mencret
dan kram perut. Boraks dapat mempengaruhi alat reproduksi, selain itu juga
dapat mempengaruhi metabolisme enzim (BPOM,2004).
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, boraks memiliki dampak
yang berbahaya bagi kesehatan. Namun penggunaannya masih dilakukan
oleh masyarakat. Salah satunya di Tangerang ditemukan sebanyak 25
sampel bakso positif mengandung boraks (25%) dan rata-rata kandungan
boraksnya adalah 806,86 mg/kg (Windayani, 2010). Kemudian selain itu
ditemukan pula di Kota Tangerang Selatan, lebih tepatnya di Kelurahan
Ciputat, ditemukan 4 dari 5 sampel mie mengandung boraks (Rusli, 2009).
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa penggunaan bahan
toksik boraks pada makanan semakin meluas, padahal sebenarnya sudah
terdapat peraturan yang melarang penggunaan boraks pada makanan sebagai
bahan tambahan.
Tentunya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat
masih menggunakan bahan berbahaya tersebut pada makanan yang
berakibat pada pencemaran makanan. Penelitian sebelumnya telah
dilakukan terhadap mie, namun tidak menutup kemungkinan dapat
ditemukannya bahan berbahaya tersebut pada makanan lain. Sehingga
peneliti tertarik untuk menganalisis faktor resiko yang berasal dari perilaku
atas terjadinya pencemaran bahan toksik boraks yang pada penelitian ini
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Apakah terdapat pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di
Kelurahan Ciputat?
2. Bagaimana tingkat pengetahuan pengelola bakso di Kelurahan Ciputat
mengenai bahaya boraks dalam penggunaannya pada bakso terhadap
kesehatan?
3. Bagaimana sikap pengelola bakso di Kelurahan Ciputat terhadap
penggunaan bahan toksik boraks pada dalam pengolahan bakso?
4. Bagaimana praktik penggunaan bahan toksik boraks pada pengelola
bakso di Kelurahan Ciputat?
5. Bagaimana hubungan antara tingkat pengetahuan pengelola dengan
pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat?
6. Bagaimana hubungan antara sikap pengelola dengan pencemaran bahan
toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat?
7. Bagaimana hubungan antara praktik penggunaan bahan toksik boraks
dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan
Ciputat?
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor
resiko pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi adanya pencemaran bahan toksik boraks pada
bakso di Kelurahan Ciputat
2. Mengetahui tingkat pengetahuan pengelola terhadap
penggunaan bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan
Ciputat.
3. Mengetahui sikap pengelola terhadap penggunaan bahan toksik
boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat.
4. Mengetahui praktik pengelola terhadap penggunaan bahan
toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat.
5. Mengetahui adanya hubungan antara tingkat pengetahuan
pengelola dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso
di Kelurahan Ciputat.
6. Mengetahui adanya hubungan antara sikap pengelola dengan
pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan
Ciputat.
7. Mengetahui adanya hubungan antara praktik penggunaan
bahan toksik boraks dengan pencemaran bahan toksik boraks
pada bakso di Kelurahan Ciputat.
1.5 Manfaat
1.5.1 Manfaat Bagi Pemerintah
Sebagai masukan bagi BPOM untuk memperbaiki upaya
melakukan intervensi kepada para pedagang khususnya pedagang
bakso yang beredar di pasaran.
1.5.2 Manfaat Bagi Masyarakat
Sebagai informasi agar masyarakat lebih berhati-hati dan
lebih cermat dalam memilih dan mengonsumsi makanan yang
beredar di pasaran serta meningkatkan proteksi terhadap
keberadaan boraks pada makanan yang dikonsumsi.
1.5.3 Manfaat Bagi Peneliti
Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan keterampilan peneliti serta dapat mengaplikasikan
ilmu yang telah dipelajari selama di perkuliahan.
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor resiko pencemaran
bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat yang dilaksanakan
pada bulan April - Mei 2014 dengan sasaran penelitian adalah pedagang
bakso di wilayah Kelurahan Ciputat.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan cross sectional atau potong lintang. Dalam pengumpulan data primer pencemaran toksik boraks, peneliti menggunakan alat Food Security Kit dari Laboratorium Kesehatan Lingkungan FKIK untuk menguji kandungan boraks yang ada pada bakso,
sedangkan untuk pengetahuan, sikap serta praktik penggunaan bahan toksik
9 2.1 Pangan
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air,
baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai
makanan ataupun minuman bagi konsumsi manusia. Termasuk di dalamnya
adalah bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan
atau minuman (Saparinto et al, 2006).
Kualitas pangan dapat ditinjau dari aspek mikrobiologis, fisik (warna,
bau, rasa dan tekstur) dan kandungan gizinya. Pangan yang tersedia secara
alamiah tidak selalu bebas dari senyawa yang tidak diperlukan oleh tubuh,
bahkan dapat mengandung senyawa yang merugikan kesehatan orang yang
mengkonsumsinya. Senyawa-senyawa yang dapat merugikan kesehatan dan
tidak seharusnya terdapat di dalam suatu bahan pangan dapat dihasilkan
melalui reaksi kimia dan biokimia yang terjadi selama pengolahan maupun
penyimpanan, baik karena kontaminasi ataupun terdapat secara alamiah.
Selain itu sering dengan sengaja ditambahkan bahan tambahan pangan
(BTP) atau bahan untuk memperbaiki tekstur, warna dan komponen mutu
Berdasarkan cara perolehannya, pangan dapat dibedakan menjadi 3
(Saparinto et al, 2006) : 1. Pangan Segar
Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan.
Pangan segar dapat dikonsumsi langsung ataupun tidak langsung.
2. Pangan Olahan
Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses
pengolahan dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa
bahan tambahan. Contoh: teh manis, nasi, pisang goreng dan
sebagainya. Pangan olahan bisa dibedakan lagi menjadi pangan
olahan siap saji dan tidak siap saji.
3. Pangan Olahan Tertentu
Pangan olahan tertentu adalah pangan olahan yang
diperuntukkan bagi kelompok tertentu dalam upaya memelihara
dan meningkatkan kualitas kesehatan. Contoh: ekstrak tanaman
stevia untuk penderita diabetes, susu rendah lemak untuk orang
yang menjalani diet rendah lemak dan sebagainya.
2.2 Keamanan Pangan
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain
yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.
pertumbuhan, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta
peningkatan kecerdasan masyarakat (Cahyadi, 2008).
Keamanan pangan muncul sebagai suatu masalah yang dinamis
seiring dengan berkembangnya peradaban manusia dan kemajuan ilmu dan
teknologi, maka diperlukan suatu sistem dalam mengawasi pangan sejak
diproduksi, diolah, ditangani, diangkut, disimpan dan didistribusikan serta
dihidangkan kepada konsumen. Toksisitas mikrobiologik dan toksisitas
kimiawi terhadap bahan pangan dapat terjadi pada rantai penanganan
pangan dari mulai saat pra-panen, pascapanen/pengolahan sampai saat
produk pangan didistribusikan dan dikonsumsi (Seto, 2001).
Sistem pangan yang ada saat ini meliputi segala sesuatu yang
berhubungan dengan peraturan, pembinaan atau pengawasan terhadap
kegiatan atau proses produksi makanan dan peranannya sampai siap
dikonsumsi manusia. Setiap orang yang bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan produksi pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku
(Saparinto et al, 2006).
Keamanan pangan merupakan aspek yang sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari. Kurangnya perhatian terhadap hal ini telah sering
mengakibatkan terjadinya dampak berupa penurunan kesehatan
konsumennya, mulai dari keracunan makanan akibat tidak higienisnya
akibat penggunaan bahan tambahan (food additive) yang berbahaya (Syah, 2005).
2.3 Foodborne Disease
Foodborne disease adalah penyakit bawaan makanan. Makanan dapat membuat orang menjadi sehat atau sakit. Makanan yang sehat
membuat tubuh menjadi sehat namun, makanan yang sudah tecemar dapat
menyebabkan penyakit. Oleh karena itu, makanan dan minuman yang
dikonsumsi haruslah terjamin baik dari segi kualitas dan kuantitasnya.
Penyakit bawaan makanan ini terdiri dari tiga kategori yaitu,
penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme termasuk parasit yang
menginvasi dan bermultiplikasi dalam tubuh, penyakit yang disebabkan oleh
toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang berkembang biak di
saluran pencernaan dan penyakit yang disebabkan oleh konsumsi makanan
yang terkontaminasi dengan bahan kimiawi yang beracun atau mengandungi
toksin alami atau toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang terdapat
dalam makanan yang dikonsumsi (Sockett, 2001).
2.4 Pencemaran Bahan Toksik pada Makanan
Pencemaran pada makanan adalah pencemaran yang disebabkan oleh
masuknya suatu bahan baik secara sengaja maupun tidak sengaja yang akan
mempengaruhi kualitas makanan itu sendiri (Nurmaini, 2001). Salah satu
penyebab pencemaran pada makanan adalah adanya penambahan zat atau
toksik adalah bahan beracun dan dapat menimbulkan efek yang tidak
diinginkan (adverse effect) terhadap organisme hidup (New York Health, 2013).
Pencemaran bahan toksik pada makanan dapat terjadi dengan cara
sengaja atau tidak sengaja. Pencemaran bahan toksik pada makanan yang
terjadi dengan cara sengaja, terjadi karena bahan pencemar secara sengaja
diberikan kepada makanan sebagai bahan tambahan. Pencemaran boraks
yang dilarang pada makanan merupakan contoh pencemaran bahan toksik
pada makanan yang terjadi dengan sengaja. Pada kejadian itu pembuat
makanan dengan tujuan tertentu sengaja menambahkan boraks pada
makanan yang dibuatnya. Pencemaran bahan toksik pada makanan yang
terjadi dengan tidak sengaja, terjadinya pencemaran karena adanya bahan
pencemar pada makanan tidak sengaja diberikan oleh pembuat makanan.
Sebagai contoh, pencemaran pestisida pada makanan. Dalam hal ini
pembuat makanan tidak sengaja memberikan pestisida kepada makanan
yang dibuatnya. Pencemaran dapat terjadi mungkin karena air atau alat-alat
yang digunakan untuk mengolahnya mengandung pestisida (Sugiyatmi,
2006)
Dalam Permenkes RI No. 33 tahun 2012 disebutkan ada 19 bahan
yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dan dilarang penggunaannya
dalam makanan. Di antara bahan-bahan tersebut adalah asam borat dan
2.5 Bahan Tambahan Pangan
2.5.1 Definisi Bahan Tambahan Pangan
BTP adalah bahan yang ditambahkan dengan sengaja ke
dalam makanan dalam jumlah kecil dengan tujuan untuk
memperbaiki penampakan, cita rasa, tekstur dan memperpanjang
daya simpan. Selain itu, juga dapat meningkatkan nilai gizi seperti
protein, mineral dan vitamin (Widyaningsih et al, 2006).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.33 Tahun
2012, bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke
dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.
Penggunaan bahan tambahan pangan dalam proses produksi
pangan perlu diwaspadai bersama, baik oleh produsen maupun oleh
konsumen. Dampak penggunaanya dapat berakibat positif maupun
negatif bagi masyarakat. Penyimpangan dalam penggunaannya
akan membahayakan kita bersama, khususnya generasi muda
sebagai penerus pembangunan bangsa. Di bidang pangan kita
memerlukan sesuatu yang lebih baik untuk masa yang akan datang,
yaitu pangan yang aman untuk dikonsumsi, lebih bermutu, bergizi
dan lebih mampu bersaing dalam pasar global. Kebijakan
keamanan pangan (food safety) dan pembangunan gizi nasional
nasional, termasuk pengunaan bahan tambahan pangan (Cahyadi,
2008).
2.5.2 Fungsi Bahan Tambahan Pangan
Fungsi dasar bahan tambahan pangan yaitu (Hughes, 1987):
1. Untuk mengembangkan nilai gizi suatu makanan.
Biasanya untuk makanan diet dengan jumlah secukupnya. Di
banyak negara, termasuk Amerika dan Inggris, nutrisi tertentu
harus ditambahkan ke dalam makanan pokok berdasarkan
peraturan mereka.
2. Untuk mengawetkan dan memproduksi makanan.
Demi kesehatan kita dan untuk mencegah penggunaan bumbu
dengan masa singkat dan fluktuasi harga, sangatlah penting
makanan itu dibuat mampu menahan pengaruh racun dalam
jangka waktu selama mungkin.
3. Menolong produksi
Fungsi ini memiliki peranan yang penting untuk menjamin
bahwa makanan diproses seefisien mungkin dan juga dapat
menjaga keadaan makanan selama penyimpanan.
4. Untuk memodifikasi pandangan kita.
Bahan tambahan ini mengubah cara kita memandang, mengecap,
mencium, merasa dan bahkan mendengar bunyi makanan yang
kita makan (kerenyahan). Ada dua alasan utama mengapa
misalnya makanan dengan bahan dan bentuk yang kurang bagus
dapat dibuat lebih menarik dengan meniru produksi yang lebih
berkualitas. Kedua, adalah karena permintaan publik, misalnya
dalam masakan modern dimana bahan makanan dasar
dimodifikasi.
2.5.3 Jenis Bahan Tambahan Pangan
Pada umumnya bahan tambahan pangan dibagi menjadi dua
bagian besar, yaitu (Winarno, 1992):
1. Aditif sengaja yaitu aditif yang diberikan dengan sengaja
dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk
meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan
keasaman atau kebasaan, memantapkan bentuk atau rupa dan
lain sebagainya.
2. Aditif tidak sengaja yaitu aditif yang terdapat dalam makanan
dalam jumlah sangat kecil sebagai akibat dari proses
pengolahan.
Bila dilihat dari asalnya, aditif dapat berasal dari sumber
alamiah seperti lesitin, asam sitrat, dan lain sebagainya, dapat juga
disintesis dari bahan kimia yang mempunyai sifat serupa dengan
bahan alamiah yang sejenis, baik susunan kimia maupun sifat
metabolismenya seperti misalnya β-karoten, asam askorbat, dan
yaitu lebih pekat, lebih stabil, dan lebih murah. Walaupun demikian
ada kelemahannya yaitu sering terjadi ketidaksempurnaan proses
sehingga mengandung zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan, dan
kadang-kadang bersifat karsinogenik yang dapat merangsang
terjadi kanker pada hewan atau manusia.
2.5.4 Golongan Bahan Tambahan Pangan
Menurut PERMENKES RI No. 33 tahun 2012, bahan
tambahan pangan yang digunakan dalam pangan terdiri atas
beberapa golongan sebagai berikut:
1. Antibuih (Antifoaming agent); 2. Antikempal (Anticaking agent); 3. Antioksidan (Antioxidant);
4. Bahan pengkarbonasi (Carbonating agent); 5. Garam pengemulsi (Emulsifying salt); 6. Gas untuk kemasan (Packaging gas) 7. Humektan (Humectant);
8. Pelapis (Glazing agent); 9. Pemanis (Sweetener);
10.Pembawa (Carrier);
11.Pembentuk gel (Gelling agent); 12.Pembuih (Foaming agent);
15.Pengembang (Raising agent); 16.Pengemulsi (Emulsifier); 17.Pengental (Thickener); 18.Pengeras (Firming agent); 19.Penguat rasa (Flavour enhancer);
20.Peningkat volume (Bulking agent);
21.Penstabil (Stabilizer);
22.Peretensi warna (Colour retention agent);
23.Perisa (Flavouring);
24.Perlakuan tepung (Flour treatment agent); 25.Pewarna (Colour);
26.Propelan (Propellant); dan 27.Sekuestran (Sequestrant).
2.5.5 Bahan Tambahan Pangan yang Tidak Diizinkan
BTP yang tidak diizinkan atau dilarang digunakan dalam
makanan menurut PERMENKES RI No. 33 tahun 2012:
1. Asam borat dan senyawanya (Boric acid)
2. Asam salisilat dan garamnya (Salicylic acid and its salt)
3. Dietilpirokarbonat (Diethylpyrocarbonate, DEPC) 4. Dulsin (Dulcin)
5. Formalin (Formaldehyde)
7. Kalium klorat (Potassium chlorate) 8. Kloramfenikol (Chloramphenicol)
9. Minyak nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils)
10. Nitrofurazon (Nitrofurazone) 11. Dulkamara (Dulcamara) 12. Kokain (Cocaine)
13. Nitrobenzen (Nitrobenzene)
14. Sinamil antranilat (Cinnamyl anthranilate) 15. Dihidrosafrol (Dihydrosafrole)
16. Biji tonka (Tonka bean)
17. Minyak kalamus (Calamus oil) 18. Minyak tansi (Tansy oil) 19. Minyak sasafras (Sasafras oil)
2.6 Zat Pengawet
Zat pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah
atau menghambat tumbuhnya bakteri, sehingga tidak terjadi fermentasi
(pembusukan), pengasaman atau penguraian makanan karena aktifitas
jasad-jasad renik (bakteri) (Fardiaz, 2007). Zat pengawet terdiri dari senyawa
organik dan senyawa anorganik dalam bentuk asam dan garamnya.
1.Pengawet Organik
Zat pengawet organik lebih banyak dipakai daripada zat pengawet
terdegradasi sehingga mudah diekskresikan. Bahan pengawet
organik yang sering digunakan adalah: asam sorbat, asam
propianat, dan asam benzoat.
2.Pengawet Anorganik
Pengawet anorganik yang masih sering dipakai dalam bahan
makanan adalah: nitrit, nitrat dan sulfit (Rohman dan Sumantri,
2007).
Banyak cara yang telah dilakukan untuk mengawetkan bahan
pangan, misalnya pengalengan makanan, pengawetan (asinan/manisan)
dalam botol, pendinginan, pemanasan, pengeringan dan penggaraman.
Dalam melakukan pengawetan biasanya digunakan bahan kimia dan dewasa
ini penggunaannya semakin bertambah karena merupakan salah satu pilihan
yang menguntungkan bagi produsen makanan olahan.
Alasan produsen dalam penggunaan bahan pengawet adalah
(Fardiaz, 2007):
1. Kebutuhan teknis.
Dewasa ini banyak perubahan yang terjadi, misalnya
pengawet pada mentega, banyak digunakan asam sitrat dan
vitamin E dari pada butil hidroksi anisol (BHA) dan butil
hidroksi toluen (BHT).
2. Memperpanjang masa simpan.
Hal ini merupakan masalah yang sukar. Produsen dan
menginginkan produk lebih awet supaya tidak belanja
setiap hari dan produsen pun ingin makanan cukup waktu
untuk pendisribusian dan penjualannya.
3. Melengkapi teknik pengawetan.
Adanya pengawet membuat warna tetap selama masa
distribusi. Teknik pengawetan misalnya dengan pemanasan
menjadi lebih sempurna. Artinya untuk mengawetkan suatu
bahan tidak diperlukan suhu yang terlalu tinggi lagi.
4. Mengganti kehilangan antioksidan dan pengawet alami
secara proses. Pengawet juga berfungsi untuk menambah
antioksidan yang ada pada bahan makanan secara alami dan
oleh karena perlakuan pada prosesnya menjadi hilang atau
berkurang.
5. Menanggulangi masalah higienis.
Segi higienis dalam pabrik, jauh dari memadai. Bahan
pengawet dapat membantu membuat makanan tidak cepat
rusak, akibat sanitasi pabrik yang kurang baik.
6. Kebutuhan ekonomi
Bahan pengawet yang digunakan adalah sangat sedikit.
Tetapi untungnya sangat besar karena makanan menjadi
awet dan dapat disimpan dalam waktu lama.
Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan
memperlambat proses fermentasi, pengasaman atau penguraian yang
disebabkan oleh mikroba. Akan tetapi tidak jarang produsen
menggunakannya pada pangan yang relatif awet dengan tujuan untuk
memperpanjang masa simpan atau memperbaiki tekstur (Syah, 2005).
Pemakaian bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan karena
dengan bahan pengawet, bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan
mikroba, baik bersifat patogen yang dapat menyebabkan keracunan atau
gangguan kesehatan lainnya maupun mikrobial non patogen yang dapat
menyebabkan kerusakan bahan pangan, misalnya pembusukan. Namun dari
sisi lain, bahan pengawet pada dasarnya adalah senyawa kimia yang
merupakan bahan asing yang masuk bersama bahan pangan yang
dikonsumsi. Apabila pemakaian bahan pangan dan dosisnya tidak diatur dan
diawasi, kemungkinan besar akan menimbulkan kerugian bagi pemakainya,
baik yang bersifat langsung, misalnya keracunan; maupun yang bersifat
tidak langsung atau kumulatif, misalnya apabila bahan pengawet yang
digunakan bersifat karsinogenik (Cahyadi, 2008).
2.7 Boraks
Boraks atau dalam nama ilmiahnya dikenal sebagai sodium tetraboratedecahydrate (Na2B4O7·10H2O) merupakan bahan pengawet yang
dikenal masyarakat awam untuk mengawetkan kayu, antiseptik kayu dan
Tabel 2.1 Sifat Kimia Boraks Sifat Kimia Keterangan
Titik didih 320oC
Titik lebur 75oC
pH 9,5
Kelarutan 6 g/100 ml air
Sumber: BPOM, 2002
Dalam pasaran boraks biasa disebut dengan air bleng, garam bleng,
pijer atau cetitet. Masyarakat umumnya menggunakan boraks sebagai pengawet pada mie, bakso, lontong, kerupuk uli, makaroni, ketupat.
Tampilan fisik boraks adalah berbentuk serbuk kristal putih.
Boraks tidak memiliki bau jika dihirup menggunakan indera pencium serta
tidak larut dalam alkohol. Indeks keasaman dari boraks diuji dengan kertas
lakmus adalah 9,5, ini menunjukkan tingkat keasaman boraks cukup tinggi
(Bambang, 2008).
Asam borat atau boraks (boric acid) merupakan zat pengawet berbahaya yang tidak diizinkan digunakan sebagai campuran bahan
makanan. Boraks adalah senyawa kimia dengan rumus Na2B4O7 10H2O
normal. Dalam air, boraks berubah menjadi natrium hidroksida dan asam
borat (Syah, 2005).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 33 Tahun 2012,
asam borat dan senyawanya merupakan salah satu dari jenis bahan
tambahan makanan yang dilarang digunakan dalam produk makanan.
Karena asam borat dan senyawanya merupakan senyawa kimia yang
mempunyai sifat karsinogen. Meskipun boraks berbahaya bagi kesehatan
ternyata masih banyak digunakan oleh masyarakat sebagai bahan tambahan
makanan, karena selain berfungsi sebagai pengawet, boraks juga dapat
memperbaiki tekstur bakso dan kerupuk hingga lebih kenyal dan lebih
disukai konsumen (Mujianto, 2003).
Karekteristik boraks antara lain (Riandini, 2008):
1. Warna adalah jelas bersih
2. Kilau seperti kaca
3. Kristal ketransparanan adalah transparan ke tembus cahaya
4. Sistem hablur adalah monoklin
5. Perpecahan sempurna di satu arah
6. Warna lapisan putih
7. Mineral yang sejenis adalah kalsit, halit, hanksite,
colemanite, ulexite dan garam asam bor yang lain.
8. Karakteristik yang lain: suatu rasa manis yang bersifat
2.7.1 Kegunaan Boraks
Boraks bisa didapatkan dalam bentuk padat atau cair
(natrium hidroksida atau asam borat). Baik boraks maupun asam
borat memiliki sifat antiseptik dan biasa digunakan oleh industri
farmasi sebagai ramuan obat, misalnya dalam salep, bedak, larutan
kompres, obat oles mulut dan obat pencuci mata. Selain itu boraks
juga digunakan sebagai bahan solder, pembuatan gelas, bahan
pembersih/pelicin porselin, pengawet kayu dan antiseptik kayu
(Aminah dan Himawan, 2009).
Boraks juga dapat digunakan sebagai algaesida, fungisida,
herbisida dan insektisida. Boraks sering digunakan untuk
mengendalikan insekta seperti semut atau kecoa (EPA, 2006).
2.7.2 Pengawet Boraks pada Makanan
Meskipun bukan pengawet makanan, boraks sering pula
digunakan sebagai pengawet makanan. Selain sebagai pengawet,
bahan ini berfungsi pula mengenyalkan makanan. Makanan yang
sering ditambahkan boraks diantaranya adalah bakso, lontong, mie
2.7.3 Dampak Boraks Terhadap Kesehatan
Boraks merupakan racun bagi semua sel. Pengaruhnya
terhadap organ tubuh tergantung konsentrasi yang dicapai dalam
organ tubuh. Karena kadar tertinggi tercapai pada waktu diekskresi
maka ginjal merupakan organ yang paling terpengaruh dibandingkan
dengan organ yang lain. Bila mengkonsumsi makanan yang
mengandung boraks tidak langsung berakibat buruk terhadap
kesehatan, tetapi senyawa tersebut diserap dalam tubuh secara
kumulatif, disamping melalui saluran pencernaan boraks dapat
diserap melalui kulit. Konsumsi boraks yang tinggi dalam makanan
dan diserap dalam tubuh akan disimpan secara akumulatif dalam hati
otak dan testis serta akan menyebabkan timbulnya gejala pusing,
muntah, mencret dan kram perut. Boraks dapat mempengaruhi alat
reproduksi, selain itu juga dapat mempengaruhi metabolisme enzim
(BPOM,2004).
Menurut standar internasional WHO, dosis fatal boraks
berkisar 3-6 gram perhari untuk anak kecil dan bayi, untuk dewasa
sebanyak 15-20g per-hari dapat menyebabkan kematian. Tidak
adanya dampak negatif yang membahayakan kesehatan manusia
yang mengkonsumsi suatu makanan yang mengandung boraks atau
Menurut PERMENKES No.33 tahun 2012 tentang bahan
tambahan pangan, boraks merupakan bahan tambahan yang dilarang
karena 50% dari yang terabsorbsi diekresikan lewat urin, sedangkan
sisanya dieksresikan 3-7 hari/lebih.
Efek negatif dari penggunaan bahan toksik boraks dalam
pemanfaatannya yang salah pada kehidupan dapat berdampak sangat
buruk pada kesehatan manusia. Boraks memiliki efek racun yang
sangat berbahaya pada sistem metabolisme manusia sebagai halnya
zat-zat tambahan makanan lain yang merusak kesehatan manusia.
Keracunan kronis dapat disebabkan oleh absorpsi dalam
waktu lama. Akibat yang timbul diantaranya anoreksia, berat badan
turun, muntah, diare, ruam kulit, alposia, anemia dan konvulsi.
Penggunaan bahan toksik boraks apabila dikonsumsi secara
terus-menerus dapat mengganggu gerak pencernaan usus, kelainan pada
susunan saraf, depresi dan kekacauan mental. Dalam jumlah serta
dosis tertentu, boraks bisa mengakibatkan degradasi mental, serta
rusaknya saluran pencernaan, ginjal, hati dan kulit karena boraks
cepat diabsorbsi oleh saluran pernapasan dan pencernaan, kulit yang
luka atau membran mukosa (Saparinto et al, 2006).
Gejala awal keracunan boraks bisa berlangsung beberapa jam
toksis. Gejala klinis keracunan boraks biasanya ditandai dengan
hal-hal berikut (Saparinto et al, 2006):
1. Sakit perut sebelah atas, muntah dan mencret
2. Sakit kepala dan gelisah
3. Penyakit kulit berat
4. Muka pucat dan kadang-kadang kulit kebiruan
5. Sesak nafas dan kegagalan sirkulasi darah
6. Hilangnya cairan dalam tubuh
7. Degenerasi lemak hati dan ginjal
8. Otot-otot muka dan anggota badan bergetar diikuti dengan
kejang-kejang
9. Kadang-kadang tidak kencing dan sakit kuning
10. Tidak memiliki nafsu makan, diare ringan dan sakit kepala
2.8 Bakso
Bakso adalah makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh
dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati
atau serelia dengan atau tanpa penambahan makanan yang diizinkan (BSN,
1995). Biasanya istilah bakso tersebut diikuti dengan nama jenis dagingnya
seperti bakso ikan, bakso ayam, bakso sapi. Berdasarkan bahan bakunya
terutama ditinjau dari jenis daging dan jumlah tepung yang digunakan
dibedakan atas 3 yaitu: bakso daging yang dibuat dari daging yang sedikit
mengandung urat, misalnya daging penutup, pendasar gandik dengan
bakso urat adalah bakso yang dibuat dari daging yang banyak mengandung
jaringan ikat atau urat misalnya daging iga. Penambahan tepung pada bakso
urat lebih sedikit daripada jumlah daging yang digunakan; sedangkan bakso
aci adalah bakso yang jumlah penambahan jumlah tepungnya lebih banyak
dibanding dengan jumlah daging yang digunakan.
Bakso sebagai salah satu produk industri pangan, memiliki standar
mutu yang telah ditetapkan. Adapun standar mutu bakso menurut SNI
01-3818-1995, dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Syarat Mutu Bakso
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan:
1.1 Bau Normal, khas daging
1.2 Rasa Gurih
1.3 Warna Normal
1.4 Tekstur Kenyal
2. Air % b/b Maks 70,0
3. Abu (dihitung atas dasar
bahan kering)
% b/b Maks. 3,0
4. Protein (N x 6,25)
dihitung atas dasar
bahan kering
Tabel 2.2 Lanjutan
Sumber: Standar Nasional Indonesia, 1995
5. Lemak % b/b Min. 2,0
6. Boraks - Tidak boleh ada sesuai
dengan SNI 7. Bahan tambahan
makanan
-
8. Cemaran logam
8.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 2.0
8.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks 20.0
8.3 Seng (Zn) mg/kg Maks 40.0
8.4 Timah mg/kg Maks 40.0
8.5 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,03
9. Cemaran arsen (As) mg/kg Maks. 0,5
10. Cemaran mikroba:
10.1 Angka lempeng
total
Koloni/g Maks. 1.0 x 105
10.2 Bakteri bentuk coli APM/g Maks. 10
10.3 E.coli APM/g Maks. 1.0 x 104
10.4 Enterococci Koloni/g Maks. 1 x 103
10.5 C.perfingens Koloni/g Maks. 1 x 102
10.6 Salmonella - Negatif
2.8.1 Komposisi Bakso
Dalam pembuatan bakso disamping daging diperlukan
bahan-bahan lain seperti:
1. Daging, daging dicuci bersih kemudian digiling sebagai
campuran pada saat pengulenan dengan tepung terigu
2. Tepung, yang digunakan umumnya tepung tapioka,
gandum, atau tepung aren, dapat digunakan secara sendiri
– sendiri maupun campuran, dalam jumlah 10 – 100% atau
lebih dari berat daging.
3. Pati, semakin tinggi kandungan patinya semakin rendah
mutu serta murah harganya.
4. Garam dapur dan bumbu, digunakan sebagai adonan
penyedap untuk mendapatkan rasa yang enak.
5. Es, digunakan untuk mempertahankan suhu rendah untuk
menghasilkan emulsi yang baik.
2.8.2 Zat kimia yang ditambahkan pada bakso
Pada pembuatan bakso zat kimia yang biasa ditambahkan
oleh pedagang seperti:
1. Benzoat, diperbolehkan dan aman dikonsumsi asalkan tidak
melebihi kadar yang ditentukan
2. Boraks, biasanya boraks dengan dosis 800-4000 ppm atau
untuk mendapatkan produk bakso yang kering, kesat atau
kenyal teksturnya.
3. Tawas, digunakan untuk mengeringkan sekaligus
mengeraskan permukaan
4. Titanium dioksida (TiO2), penambahan zat ini dalam
adonan bakso umumnya sekitar 0,5-1,0% dari berat adonan,
digunakan sebagai bahan pemutih untuk menghindarkan
terjadinya bakso berwarna gelap
5. STPP (Sodium Tri-polyphosphate), STPP secara umum
diijinkan dan telah banyak digunakan dalam makanan untuk
keperluan perbaikan tekstur dan meningkatkan daya
cengkram air (Pratomo, 2009)
2.8.3 Pembuatan Bakso
Pembuatan bakso terdiri dari persiapan bahan,
penghancuran daging, pencampuran bahan dan pembuatan adonan,
pencetakan dan pemasakan. Berikut penjelasan setiap tahapnya:
1. Persiapan
Persiapan bahan meliputi pemilihan daging dan
penyiangan bahan tambahan lainnya. Daging bisa dipilih
yang segar, bersih atau dibersihkan dari lemak permukaan
dan jaringan ikat atau urat.
2. Penghancuran daging
daging, sehingga protein yang larut dalam larutan garam
akan mudah keluar. Penghancuran daging untuk bakso
dapat dilakukan dengan cara mencacah, menggiling atau
mencincang sampai lumat.
3. Pencampuran bahan dan pembuatan adonan.
Pembuatan adonan dapat dilakukan dengan mencampur
seluruh bagian bahan kemudian menghancurkannya
sehingga membentuk adonan. Atau dengan
menghancurkan daging bersama-sama garam dan es batu
terlebih dulu, baru kemudian dicampurkan bahan-bahan
lain dengan alat yang sama atau menggunakan mixer.
4. Pemasakan bakso
Pemasakan bakso biasanya dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pertama, bakso dipanaskan dalam panci berisi air
hangat sekitar 600C sampai 800C, sampai bakso mengeras
dan mengambang di permukaan air. Pada tahap
selanjutnya bakso dipindahkan ke dalam panci lainnya
yang berisi air mendidih, kemudian direbus sampai
matang, biasanya sekitar 10 menit. Pemasakan bakso
dalam dua tahap tersebut dimaksudkan agar permukaan
produk bakso yang dihasilkan tidak keriput dan tidak
pecah akibat perubahan suhu yang terlalu cepat
2.9 Boraks pada Bakso
Pemakaian boraks untuk memperbaiki mutu bakso sebagai
pengawet telah diteliti pada tahun 1993. Di DKI Jakarta ditemukan 26%
bakso mengandung boraks, baik di pasar swalayan, pasar tradisional dan
pedagang makanan jajanan. Pada pedagang bakso dorongan ditemukan 7
dari 13 pedagang menggunakan boraks dengan kandungan boraks antara
0,01 – 0,6%.
Berikut ini cara pembuatan boraks pada bakso:
1. Daging yang sudah digiling halus oleh mesin penggiling
dimasukkan ke dalam wadah.
2. Setelah daging tersebut dicampurkan dengan sagu dan
bumbu lainnya, pengolah mencampurkan bahan bakso
dengan boraks
3. Setelah itu bakso dibentuk dan direbus kemudian
dikeringkan dan siap untuk dihidangkan (Eka, 2013)
2.10 Perilaku
Perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan
atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Perilaku manusia pada
hakikatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri.
Menurut Robert Kwick (1974) dalam Notoatmodjo (2003)
menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme
merupakan hasil dari pengalaman serta interaksi manusia dengan
lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan
tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon atau reaksi seorang
individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya.
Respon ini dapat bersifat pasif (berpikir, berpendapat, bersikap) maupun
aktif (melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan
dapat dirumuskan sebagai bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan
lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang
kesehatan. Perilaku aktif dapat dilihat, sedangkan perilaku pasif tidak
tampak, seperti pengetahuan, persepsi, atau motivasi. Beberapa ahli
membedakan bentuk-bentuk perilaku ke dalam tiga domain yaitu
pengetahuan, sikap, dan tindakan atau sering kita dengar dengan istilah
knowledge, attitude, practice (Sarwono, 2004).
2.10.1 Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera
yang dimilikinya. Menurut Notoatmojo (2003), pengetahuan itu
sendiri dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal. Pengetahuan
sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan
bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan
semakin luas pula pengetahuannya, namun bukan berarti seseorang
sebab pengetahuan tidak mutlak diperoleh melalui pendidikan formal
saja melainkan dapat diperoleh melalui pendidikan non formal.
Menurut Notoatmodjo, pengetahuan atau kognitif merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang
(overt behavior). Dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih melekat dari pada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan yang
cukup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat yaitu:
1. Tahu (Know)
Tahu dapat diartikan sebagai mengingat suatu materi yang
telah dipelajari sebelumnya. Yang termasuk kedalam
pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dan seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja
untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang
dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan,
mengidentifikasi serta menyatakan.
2. Memahami (Comprehention)
Memahami artinya sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan di
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi ataupun kondisi riil
(sebenarnya). Aplikasi ini dapat diartikan aplikasi atau
penggunaan hukum – hukum, rumus, metode, prisip dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis)
Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menyatakan
materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi
masih di dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada
kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (Syntesis)
Sintesis yaitu menunjukan pada suatu kemampuan untuk
melaksanakan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam
suatu keseluruhan yang baru atau dengan kata lain
merupakan suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi yang ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi merupakan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek berdasarkan
suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Nursalam
(2003):
1. Faktor Internal
a. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang
terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah
cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat
dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan
dan kebahagiaan. Pada umumnya makin tinggi
pendidikan seseorang makin mudah menerima
informasi. Pendidikan seseorang dapat diperoleh secara
formal, informal dan non formal. Pendidikan disebut
juga dengan pendidikan prasekolah dan berupa
rangkaian jenjang yang telah baku. Misalnya SD, SMP,
SMA dan PT (Perguruan Tinggi). Pendidikan non
formal lebih difokuskan pada pemberian keahlian dan
skil yang berguna untuk terjun ke masyarakat.
Sedangkan pendidikan informal merupakan pendidikan
yang berada disamping pendidikan formal dan non
formal. Menurut UU RI No.2 Tahun 1989 ada tiga
jenjang dari pendidikan yaitu pendidikan dasar jika
pendidikan ibu (SD dan SMP), menengah jika (SMA)
b. Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang
memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara
langsung maupun secara tidak langsung.
c. Umur
Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat
dilahirkan sampai berulang tahun. Sedangkan menurut
Huclok (1998) semakin cukup umur, tingkat
kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang
dalam berfikir dan bekerja.
2. Faktor Eksternal
a. Faktor lingkungan
Lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada di
sekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat
mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau
kelompok.
b. Sosial budaya
Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat
mempengaruhi sikap dalam menerima informasi.
2.10.2 Sikap
Sikap (attitude) menurut Sarwono (2003) adalah kesiapan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku atau merespons sesuatu
suatu objek rangsangan. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau
aktivitas. Akan tetapi sikap merupakan faktor predisposisi bagi
seseorang untuk berperilaku.
Sikap merupakan respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak langsung
dilihat akan tetapi harus ditafsirkan terlebih dahulu sebagai tingkah
laku tetutup.
Menurut Allport (1954) seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo
(2005), sikap memiliki pokok, yakni :
a. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
b. Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu konsep
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, antara lain :
a. Menerima
b. Merespon
c. Menghargai
d. Bertanggung jawab
Pengkategorian sikap terdiri dari:
a. Sikap positif, kecenderungan tindakan adalah mendekati,
menyenangi, menghadapkan objek tertentu.
b. Sikap negatif, terdapat kecenderungan untuk menjauhi,
menghindari, membenci, tidak menyukai objek tertentu
2.10.3 Tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan
(overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang
memungkinkan.
Tindakan dibedakan atas beberapa tingkatan :
a. Persepsi, merupakan mekanisme mengenal dan memilih
berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil.
b.Respon terpimpin, yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai
dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh.
c. Mekanisme, yaitu dapat melakukan sesuatu secara otomatis
tanpa menunggu perintah atau ajakan orang lain.
d.Adopsi, merupakan Suatu tindakan yang sudah berkembang
dengan baik, artinya tindakan itu telah dimodifikasikan
tanpa mengurangi kebenaran dari tindakan tersebut
(Notoatmodjo, 2007).
2.11 Pedagang
Pada penelitian ini, pengelola bakso yang dimaksud adalah pengelola
yang membuat sekaligus menjajakan bakso, sehingga pengelola dapat
2.11.1 Definisi Pedagang
Menurut Damsar (1997) pedagang adalah orang atau institusi
yang memperjualbelikan produk atau barang, kepada konsumen baik
secara langsung maupun tidak langsung. Pedagang dibedakan
menurut jalur distribusi yang dilakukan yaitu:
a. Pedagang distributor (tunggal) yaitu pedagang yang memegang
hak distribusi satu produk dari perusahaan tertentu.
b. Pedagang (partai) besar yaitu pedagang yang membeli suatu
produk dalam jumlah besar yang dimaksudkan untuk dijual
kepada pedagang lain.
c. Pedagang eceran, yaitu pedagang yang menjual produk
2.12 Kerangka Teori
Modifikasi sumber:
Winarno, 1994; Notoatmodjo, 2003; Nurmaini, 2001; Mulia, 2005; Sarwono, 2004
Menurut Mulia (2005) foodborne disease adalah penyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar.
Pencemaran makanan dapat disebabkan oleh sanitasi makanan yang buruk.
Sanitasi makanan yang buruk dapat disebabkan 3 faktor yakni; faktor fisik,
faktor kimia dan faktor biologi. Diantara 3 faktor tersebut, boraks masuk ke
kategori kimia. Boraks merupakan suatu jenis senyawa kimia yang bersifat
toksik sering digunakan sebagai bahan tambahan pada makanan (Winarno
1994). Adanya bahan toksik dalam makanan mengindikasikan bahwa
makanan tersebut telah tercemar. Menurut Nurmaini (2001), penggunaan
bahan toksik boraks pada makanan merupakan pencemaran bahan toksik
yang terjadi dengan cara sengaja atau terjadi karena bahan pencemar secara
sengaja diberikan kepada makanan sebagai bahan tambahan. Perilaku
menurut Notoatmodjo (2003) merupakan hasil dari pengalaman serta
interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk
pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan pemaparan tersebut maka
BAB III
3 KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Berdasarkan bagan pada kerangka teori dapat terlihat bahwa foodborne disease disebabkan oleh adanya makanan tercemar dan makanan tersebut dapat tercemar dikarenakan sanitasi yang buruk yang dapat disebabkan oleh
faktor fisik, kimia, dan biologi. Pada penelitian ini, faktor yang akan diteliti
adalah faktor kimia sesuai dengan tujuan dari penelitian ini adalah ingin
menganalisis pencemaran boraks pada makanan, dimana boraks merupakan
salah satu jenis senyawa kimia yang biasa ditambahkan pada makanan.
Makanan yang dimaksud pada penelitian adalah bakso. Penggunaan bahan
toksik boraks pada bakso di penelitian ini dilihat dari dari keberadaan
cemaran boraks pada bakso melalui uji laboratorium.
Sesuai dengan teori Notoatmodjo (2003) yang disesuaikan dengan
penelitian ini, penggunaan bahan toksik boraks oleh pengelola bakso
dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu: pengetahuan pengelola terkait bahaya boraks,
sikap pengelola terhadap penggunaan bahan toksik boraks, serta tindakan
yang dalam hal ini berupa praktik pengelola terhadap penggunaan bahan
toksik boraks dalam pengolahan bakso. Pada penelitian ini akan dilihat
bagaimana pengaruh dari pengetahuan, sikap dan praktik dari pengelola
bakso terhadap cemaran boraks yang terdapat pada bakso tersebut.
3.2 Hipotesis
1. Adanya hubungan antara tingkat pengetahuan pengelola dengan
pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat
2. Adanya hubungan antara sikap pengelola dengan pencemaran bahan
toksik boraks pada bakso di Kelurahan Ciputat
3. Adanya hubungan antara praktik penggunaan bahan toksik boraks
dengan pencemaran bahan toksik boraks pada bakso di Kelurahan
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Skala Ukur
1. Pengetahuan
pengelola terkait
bahaya boraks
Pemahaman dan
pengetahuan responden
tentang bahaya boraks.
Wawancara Kuesioner Tinggi: jika jawaban
benar ≥ 8 butir
soal
Rendah: jika jawaban
benar < 8 butir
soal. (Wijaya et al, 2013)