• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penciptaan Manusia Dari Unsur Materi dan Non Materi

Al-Qur’an telah menceritakan bagaimana Allah SWT. manciptakan manusia dari unsur materi dan non materi, setelah melewati beberapa tahap pembentukan: dari debu menjadi tanah, lalu menjadi lumpur hitam yang diberi bentuk, kemudian menjadi tanah liat kering, setelah

itu Allah meniupkan roh-Nya, maka terciptalah Adam AS.15 Sebagaimana firman Allah:

Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:

“Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk, Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.

Dalam hadis juga dijelaskan tentang penciptaan manusia yang berasal dari materi dan ruh, sebagaimana dalam matan hadis berikut ini:

Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasulullah saw berkata, “Tiap-tiap kalian dipadukan penciptaannya di dalam perut ibunya 40 hari sebagai nuthfah kemudian menjadi ‘alaqah seperti itu juga (40) hari, kemudian menjadi mudhghah

15 Muhammad Utsman Najati, Psikologi Qur’ani, Psikologi dalam Prespektif Al-Qur’an, (Surakarta: Aulia Press, 2008), h. 273.

ﹴﺐﻫﻭ ﹺﻦﺑ ﺪﻳﺯ ﻦﻋ ﹺﺶﻤﻋﹶﺄﹾﻟﺍ ﻦﻋ ﹺﺹﻮﺣﹶﺄﹾﻟﺍ ﻮﺑﺃﹶ ﺎﻨﹶﺛﱠﺪﺣ ﹺﻊﻴﹺﺑﱠﺮﻟﺍ ﻦﺑ ﻦﺴﺤﹾﻟﺍ ﺎﻨﹶﺛﱠﺪﺣ

ﻕﻭﺪﺼﻤﹾﻟﺍ ﻕﺩﺎﱠﺼﻟﺍ ﻮﻫﻭ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﺎﻨﹶﺛﱠﺪﺣ ﻪﻠﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﻚﻟﹶﺫ ﹶﻞﹾﺜﻣ ﹰﺔﹶﻘﹶﻠﻋ ﹸﻥﻮﹸﻜﻳ ﱠﻢﹸﺛ ﺎﻣﻮﻳ ﲔﻌﺑﺭﹶﺃ ﻪﱢﻣﹸﺃ ﹺﻦﹾﻄﺑ ﻲﻓ ﻪﹸﻘﹾﻠﺧ ﻊﻤﺠﻳ ﻢﹸﻛﺪﺣﹶﺃ ﻥﹺﺇ ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﻪﹶﻟ ﹸﻝﺎﹶﻘﻳﻭ ﺕﺎﻤﻠﹶﻛ ﹺﻊﺑﺭﹶﺄﹺﺑ ﺮﻣﺆﻴﹶﻓ ﺎﹰﻜﹶﻠﻣ ﻪﻠﻟﺍ ﹸﺚﻌﺒﻳ ﱠﻢﹸﺛ ﻚﻟﹶﺫ ﹶﻞﹾﺜﻣ ﹰﺔﻐﻀﻣ ﹸﻥﻮﹸﻜﻳ ﱠﻢﹸﺛ

ﺡﻭﱡﺮﻟﺍ ﻪﻴﻓ ﺦﹶﻔﻨﻳ ﱠﻢﹸﺛ ﺪﻴﻌﺳ ﻭﺃﹶ ﱞﻲﻘﺷﻭ ﻪﹶﻠﺟﹶﺃﻭ ﻪﹶﻗﺯﹺﺭﻭ ﻪﹶﻠﻤﻋ ﺐﺘﹾﻛﺍ…

#sŒÎ*sù ∩⊄∇∪ 5βθãΖó¡¨Β :*yϑym ô⎯ÏiΒ 9≅≈|Áù=|¹ ⎯ÏiΒ #\t±o0 7,Î=≈yz ’ÎoΤÎ) Ïπs3Íׯ≈n=yϑù=Ï9 y7•/u‘ tΑ$s% øŒÎ)uρ ∩⊄®∪ t⎦⎪ωÉf≈y™ …çμs9 (#θãès)sù ©Çrρ•‘ ⎯ÏΒ ÏμŠÏù àM÷‚xtΡuρ …çμçF÷ƒ§θy™

seperti itu juga (40) hari. Sesudah itu diutuslah malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya….”.16

Dengan demikian, sifat penciptaan manusia merupakan perpaduan antara sifat materi dan sifat ruh, antara sifat hewan dan sifat malaikat, antara kebutuhan-kebutuhan dan motif fisik instinktif yang penting untuk hidup dan keberlangsungan hidupnya, yang juga dimiliki hewan. Selain itu, manusia juga merupakan perpaduan antara sifat-sifat tuhan dan motif spiritual yang penting untuk kemajuan mental dan spiritualnya, serta mewujudkan kesempurnaan insaniah yang membuatnya berhak dijadikan sebagai khalifah di bumi.17

Baharuddin menjelaskan, dalam konteks diri manusia bermakna satu keseluruhan yang utuh, namun dalam tampilannya selalu menyodorkan sisi tertentu, seperti: jismiyah (fisik), nafsiah (psikis), dan ruhaniah (spritual-transendental). Masing-masing sisi ini menampilkan karakreristiknya.18

Sejalan dengan hal di atas, Al-Ghazali dalam bukunya Mi’râj

al-Sâlikîn19 menjelaskan tentang manusia terdiri dari al-nafs, al-rûh dan

al-jism. Pertama, Al-jism (tubuh) adalah bagian yang paling tidak sempurna

pada manusia. Ia terdiri atas unsur-unsur materi, yang pada suatu saat komposisinya bisa rusak. Karena itu ia tidak mempunyai sifat kekal. Disamping itu, al-jism tidak mempunyai daya sama sekali. Ia hanya mempunyai prinsip alami yang memperlihatkan bahwa ia tunduk kepada kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Tegasnya, al-jism tanpa

al-rûh dan al-nafs adalah benda mati.

Dalam kapasitasnya sebagai bagian dari keseluruhan sistem totalitas fisipsikis, maka aspek jismiyah mempunyai peranan penting sebagai sarana untuk mengaktualisasikan fungsi aspek nafsiah dan aspek

16 Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Bad’l Khalq, Bab Zakaral- Malaikah, Maktabah Syâmilah, No. Hadis 2969.

17 Muhammad Utsman Najati, Hadits dan Ilmu Jiwa, (Bandung: Pustaka, 1988),h.262.

ruhaniah dengan berbagai dimensinya. Dalam Al-Qur’an dijelaskan beberapa fungsi aspek jismiyah yang membantu cara kerja aspek psikis lainnya, diantaranya adalah:

1. Kulit (al-Jild) sebagai alat peraba (al-Lams) (QS. al-An’âm/ 6: 7), (QS. Yûsuf / 12 : 94);

2. Hidung (al-Anf) sebagai alat penciuman (al-Syûm) (QS. Yûsuf/ 12: 94);

3. Telinga (Uzun) sebagai alat pendengaran (Sam’) (QS. al-Isrâ’/17:36; al-Mu’minûn/ 23: 78; al-Sajadah/ 32: 9; al-Mulk/ 67: 23).

4. Mata (al-’Ain) berguna sebagai alat penglihatan (al-bashar) (QS. al-A’râf/ 7: 185; Yûnus / 10:101; al-Sajadah / 32: 27). 5. Lidah (lisân) dan kedua bibir syafatain) serta mulut

(al-famm) berguna sebagai alat pengucapan (al-qaul) yang berguna

untuk memperoleh dan menyebarkan informasi dan ilmu pengetahuan. (QS. Balad/ 90: 9-10; Thâha/ 20: 27-28; al-Fath/ 48: 11).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek jismiyah ini memiliki beberapa karakteristik, seperti: memilki bentuk, rupa, kuantitas, berkadar, bergerak, diam, tumbuh, kembang serta berjasad yang terdiri dari beberapa organ, dan bersifat material yang substansinya sebenarnya mati, dan lain-lain. Kehidupannya adalah karena adanya substansi lain, yaitu al-nafs dan al-rûh yang menjadikannya hidup, bergerak, tumbuh, dan berkembang. Jelasnya bahwa aspek jismiyah manusia ini sangat tunduk dan patuh kepada hukum-hukum dan prinsip sunnatullah. Ini disebabkan karena disamping keberadaan kehidupannya disebabkan substansi lain juga karena ia tidak memiliki pikiran, perasaan, kemauan, dan kebebasan, maka ia tergantung kepada sunnatullah. 20

19 Al-Ghazali, Mi’raj al-Salikin dalam M.Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, (Jakarta: Rajawali, 1988), h. 65.

Kedua, aspek nafsiyah adalah keseluruhan kualitas khas kemanusiaan,

berupa pikiran, perasaan, kemauan dan kebebasan. Aspek ini merupakan persentuhan antara aspek jismiyah dengan aspek ruhaniah. Aspek ini mewadahi kedua aspek yang saling berbeda, namun saling membutuhkan. Sebab aspek jismiyah akan hilang daya hidupnya apabila tidak memiliki aspek rûhaniah, aspek rûhaniah tidak akan terwujud secara kongkrit tanpa aspek jismiyah. Disinilah aspek nafsiyah berada, yaitu berada diantara dua aspek yang berbeda dan berusaha mewadahi kedua kepentingan yang berbeda. Aspek nafsiyah ini memiliki tiga dimensi, al-nafsu, al-aql, dan al-qalb. Ketiga dimensi inilah yang menjadi sarana bagi aspek nafsiah ini untuk mewujudkan peran dan fungsinya. Untuk lebih jelasnya akan dibahas pada makalah berikut.21

Ketiga, aspek rûhaniah, adalah aspek psikis manusia yang bersifat

spiritual dan transendental. Bersifat spiritual karena ia merupakan potensi luhur batin manusia. Potensi ini merupakan sifat dasar dalam diri manusia yang berasal dari rûh ciptaan Allah. Bersifat transendental karena merupakan dimensi psikis manusia yang mengatur hubungan manusia dengan yang maha transenden, yaitu Allah. Fungsi ini muncul dari dimensi al-fitrah. Berdasarkan hal itu, maka aspek ruhaniah ini memiliki dua dimensi psikis, yaitu dimensi rûh dan dimensi

al-fitrah. Dimensi al-rûh dan dimensi al-fitrah sebagai sisi

spiritutransendental merupakan sifat-sifat Allah yang tercakup dalam

al-asmâ’ul al-husnâ (nama-nama Allah yang berjumlah 99) yang menjadi

potensi luhur batin manusia. Aktualisasi potensi luhur batin tersebut manjadi wilayah empiris-historis keberadaannya sebagai aspek psikis manusia. Jadi, proses aktualisasi potensi luhur batin manusia itu merupakan sisi empirik dari transendensi sifat-sifat Allah dalam diri manusia.22

21 Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami..., h. 163