Hakikat manusia pada umumnya tidak bisa lepas dari orang lain, begitu pula dengan anak manusia banyak memerlukan pertolongan dari kedua orangtua. Peran orangtua sangat dominan terutama ibu. Ibu yang mengandung, melahirkan, menyusui, membesarkan, dan membimbing. Dalam hal menyusui, seorang ibu harus pandai dan selektif terutama dalam memanfaatkan karunia illahi yaitu dengan memberikan ASI pada anaknya. Selain itu, ibu juga harus selektif dalam memilih makanan yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan anaknya, karena anak merupakan asset bangsa, pewaris sekaligus sebagai generasi penerus bangsa. Oleh sebab itu anak diharapkan dapat tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya sehingga menjadi orang dewasa yang sehat secara fisik, mental, sosial, dan emosionalnya dapat berkembang secara optimal sehingga menjadi SDM yang berkualitas. Menurut Bierley dalam Megawangi et al. (2005) menyatakan bahwa bukti dari penelitian otak menunjukkan potensi, fleksibilitas, dan kelenturan otak anak-anak menggambarkan dengan jelas akan pentingnya masa-masa prasekolah dan sekolah dasar.
Menurut WHO-UNICEF pada tahun 2002 dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding menerapkan cara pemberian makan pada bayi yang baik dan benar yaitu menyusui bayi secara eksklusif sejak lahir sampai dengan umur 6 bulan dan meneruskan menyusui anak sampai umur 24 bulan dan mulai umur 6 bulan, bayi mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Data Susenas (2007-2008) cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi 0–6 bulan di Indonesia menunjukkan penurunan dari 62.2% (2007) menjadi 56.2% (2008). Sedangkan cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai 6 bulan turun dari 28.6% (2007) menjadi 24.3% (2008). Sementara jumlah bayi di bawah enam bulan yang diberi susu formula meningkat dari 16.7 persen pada 2002 menjadi 27.9 persen pada 2003 (Riskesdas 2010).
Berdasarkan hasil penelitian UNICEF di Indonesia setelah krisis ekonomi dilaporkan bahwa hanya 14% bayi yang disusui dalam 12 jam setelah kelahiran. Kolostrum dibuang oleh kebanyakan ibu karena dianggap kotor dan tidak baik bagi bayi. UNICEF juga mencatat penurunan yang tajam dalam menyusui berdasarkan tingkat umur diketahui bahwa 63% sejumlah bayi disusui hanya pada bulan pertama, 45% bulan kedua, 30% bulan ketiga, 19% bulan keempat,
12% bulan kelima dan hanya 6% pada bulan keenam bahkan lebih dari 200.000 bayi atau 5% dari populasi bayi di Indonesia saat itu tidak disusui sama sekali (Kamalia 2005).
Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) dari 1997 hingga 2002, jumlah bayi usia enam bulan yang mendapatkan ASI eksklusif menurun dari 7.9% menjadi 7.8%. Sementara itu, hasil SDKI 2007 menunjukkan penurunan jumlah bayi yang mendapatkan ASI eksklusif hingga 7.2%. Pada saat yang sama, jumlah bayi di bawah enam bulan yang diberi susu formula meningkat dari 16.7% pada 2002 menjadi 27.9% pada 2007. UNICEF menyimpulkan, cakupan ASI eksklusif enam bulan di Indonesia masih jauh dari rata-rata dunia, yaitu 38% (Riskesdas 2010).
Pemberian ASI sejak bayi lahir akan berkembang menjadi anak yang cerdas. Kandungan asam lemak omega-3 dan omega-6 yang terkandung di dalam ASI sangat berperan dalam penyusunan sel-sel otak (Khomsan & Ridhayani 2008). Penelitian oleh James W. Anderson, seorang ahli dari universitas Kentucky menunjukkan bahwa kemampuan otak pada bayi yang diberi ASI lebih baik daripada bayi yang diberi susu buatan pabrik. Berdasarkan hasil penelitian ditetapkan bahwa ASI yang diberikan hingga 6 bulan bermanfaat bagi kecerdasan bayi, dan anak yang disusui kurang dari 8 minggu tidak memberi manfaat pada IQ (Yahya 2005 dalam Mindasa 2007). Mencapai tumbuh kembang yang optimal dibutuhkan zat gizi yang adekuat melalui pemberian makanan yang sesuai dengan tingkat kemampuan konsumsi anak, tepat jumlah (kuantitas) dan tepat mutu (kualitas), oleh karena kekurangan maupun kelebihan zat gizi, akan menimbulkan gangguan kesehatan, status gizi maupun tumbuh kembang (Samsuddin 2002 dalam Nilawati 2006). Menurut Brown dan Pollit (1996) menyatakan bahwa pengaruh asupan zat gizi terhadap gangguan perkembangan anak melalui menurunnya status gizi. Status gizi yang kurang tersebut akan menimbulkan kerusakan otak, sakit, dan penurunan pertumbuhan fisik. Ketiga keadaan ini akan berpengaruh terhadap perkembangan intelektual. Gangguan perkembangan yang tidak normal antara lain ditandai dengan lambatnya kematangan sel-sel syaraf, lambatnya gerakan motorik, kurangnya kecerdasan dan lambatnya respon sosial.
Inteligensi atau kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam arti kapasitas yang dimiliki individu sehingga memungkinkan seseorang untuk belajar, memecahkan masalah, dan melakukan tugas-tugas kognitif tingkat tinggi lainnya.
Kecerdasan setiap orang berbeda-beda, ada yang cepat memahami apa yang dipelajari dan ada juga yang lamban dalam memahami apa yang dipelajari. Kecerdasan setiap orang dapat dilihat dari hasil yang dicapai atau biasa disebut dengan prestasi. Prestasi belajar setiap orang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat intelegensi dan fasilitas belajar (Suryabrata 2005). Hasil dari intelegensi setiap orang khususnya siswa dapat diperoleh dengan cara mengukur intelegensi atau biasa disebut dengan tes IQ.
Pemenuhan fasilitas belajar yang baik dapat mendorong siswa untuk rajin belajar. Fasilitas belajar sangat mempengaruhi prestasi belajar siswa karena pemenuhan fasilitas belajar yang memadai dan lengkap akan mendorong siswa untuk mendapat hasil yang maksimal (Suryabrata 2005). Berdasarkan persentase cakupan ASI yang masih rendah dan ada atau tidak hubungannya dengan kecerdasan anak, serta ada atau tidak hubungannya konsumsi pangan dan fasilitas belajar terhadap prestasi belajar anak, peneliti tertarik untuk mempelajari hubungan praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, dan fasilitas belajar terhadap kecerdasan logika matematika anak di SDN 09 Pagi Jakarta Utara.
Tujuan Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, dan fasilitas belajar terhadap kecerdasaan logika-matematika anak SDN 09 Pagi Jakarta Utara.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik orangtua (usia, besar keluarga, tingkat pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan) dan siswa di SDN 09 Pagi Jakarta Utara (usia, jenis kelamin, uang saku, dan status gizi).
2. Mempelajari praktek pemberian ASI di SDN 09 Pagi Jakarta Utara (praktek ASI dan alasannya, durasi pemberian ASI, pemberian susu non-ASI).
3. Mengetahui kecerdasan logika-matematika siswa di SDN 09 Pagi Jakarta Utara (IQ dan prestasi belajar matematika).
4. Mengidentifikasi kebiasaan konsumsi pangan siswa. 5. Mengidentifikasi fasilitas belajar siswa.
6. Menganalisis hubungan antara praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, fasilitas belajar terhadap kecerdasan logika matematika anak.
Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, dan fasilitas belajar berhubungan dengan kecerdasan logika- matematika.
Kegunaan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pentingnya, praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, dan fasilitas belajar terhadap kecerdasan logika-matematika anak. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat pada umumnya serta Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan pada khususnya untuk lebih memperhatikan praktek pemberian ASI, konsumsi pangan, dan fasilitas belajar sehingga dapat meningkatkan kecerdasan logika matematika anak. Selain itu, informasi ini dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya.