• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi. ASI mengandung semua zat gizi dalam susunan dan jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi selama enam bulan (Roesli 2000). ASI merupakan jaringan kehidupan yang tidak terstruktur, seperti darah, dan dapat mentransportasikan zat gizi yang digunakan untuk sistem biokimia, memperkuat sistem imunitas dan menghancurkan pathogen (Riordan 2005). Menurut Muchtadi (2002) ASI merupakan makanan satu-satunya yang eksklusif bagi bayi di tahun pertama kehidupannya.

ASI juga merupakan makanan yang paling ideal bagi bayi karena mempunyai nilai gizi yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan bayi yang dibuat oleh manusia ataupun yang berasal dari susu hewan, seperti susu sapi, susu kerbau, atau susu kambing (Krisnatuti et al. 2006). Eckhardt et al. (2001) menyatakan bahwa pemberian ASI secara penuh selama minimal empat bulan pertama dapat meningkatkan pertumbuhan fisik bayi. Pemberian ASI dapat menumbuhkan kasih sayang dan ikatan emosional antara ibu dan bayinya, yang sangat mempengaruhi tumbuh kembang dan kecerdasan anak di kemudian hari (Sulistijani dan Herlianty 2003).

ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI kepada bayi secara langsung oleh ibunya dan tidak diberikan makanan cair atau padat lainnya kecuali obat tetes atau sirup yang berisi suplemen vitamin, mineral, atau obat (Gibney et al. 2005). ASI eksklusif yakni memberikan ASI saja sampai anak berusia 6 bulan kini semakin sulit dipraktikkan oleh ibu-ibu di perkotaan. Kesibukan karir menjadi hambatan utama seorang ibu untuk menyusui anaknya dengan sempurna. Selain itu, ada juga ibu-ibu yang tidak bisa menyusui anaknya karena putting tidak keluar, produksi ASI kurang, dan lain-lain (Khomsan 2004). Pentingnya pemberian ASI telah dicanangkan oleh Departemen Kesehatan RI dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) sejak tahun 1990an, mulai dengan kampanye pemberian ASI eksklusif 4 bulan, kemudian dilanjutkan dengan kampanye pemberian ASI ekslusif selama 6 bulan.

Menurut petunjuk Bina Gizi Masyarakat, pengertian ASI eksklusif adalah hanya memberikan ASI saja sampai bayi berumur 6 bulan. Bahkan pemberian ASI harus dilanjutkan sampai anak berumur 2 tahun yang tentunya disertai dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai (Nurmiati dan Besral 2008). Pertemuan bersama antara perwakilan WHO dan UNICEF pada tahun 1990 di

Italia menghasilkan Deklarasi Innocenti tentang Perlindungan, Promosi, dan Dukungan pada Pemberian ASI. Deklarasi tersebut mendefinisikan bahwa pemberian makanan bayi yang optimal adalah pemberian ASI eksklusif mulai dari saat lahir hingga bayi berusia 4-6 bulan dan terus berlanjut hingga tahun kedua kehidupan, sementara makanan tambahan yang sesuai baru diberikan ketika bayi berusia 6 bulan (Gibney et al. 2005). Dukungan pemerintah Indonesia terhadap hal tersebut diwujudkan dalam berbagai kegiatan seperti Gerakan Nasional Perancangan PP-ASI serta Gerakan Rumah Sakit dan Puskesmas Sayang Bayi (Depkes RI 2004). Roesli (2000) menjelaskan bahwa ASI sebagai makanan tunggal yang memenuhi kebutuhan bayi normal sampai usia 6 bulan. Setelah usia 6 bulan, bayi harus mulai diberikan makanan padat, tetapi ASI dapat diteruskan sampai usia 2 tahun atau lebih.

Kandungan Gizi ASI

ASI lebih unggul dibandingkan makanan lain untuk bayi seperti susu formula, karena kandungan protein pada ASI lebih rendah dibandingkan pada susu sapi sehingga tidak memberatkan kerja ginjal, jenis proteinnya pun mudah dicerna. Selain itu, ASI mengandung lemak dalam bentuk asam amino esensial, asam lemak jenuh, trigliserida rantai sedang, dan kolesterol dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan bayi (Brown et al. 2005). Perbandingan kontribusi energi dari zat gizi makro pada ASI dan formula lain disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kontribusi energi dari zat gizi makro pada ASI dan formula lain Zat Gizi Makro ASI Formula Susu Sapi Formula Susu Kedelai

(Kalori) (Kalori) (Kalori)

Protein 7% 9-12% 11-13%

Karbohidrat 38% 41-43% 39-45%

Lemak 55% 48-50% 45-49%

Sumber: Brown et al. 2005

Durasi Pemberian ASI

WHO pada tahun 1991 merekomendasikan durasi pemberian ASI eksklusif pada bayi selama periode 4-6 bulan pertama. Tahun 2001, WHO menetapkan durasi pemberian ASI eksklusif yang optimal adalah selama 6 bulan (Gibney et al. 2005). Fawtrell et al. (2007) mendukung hal ini melalui hasil penelitian yang menyatakan bahwa durasi ASI eksklusif selama 6 bulan lebih optimal dibandingkan 3-4 bulan. The U.S Surgeon General merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan meneruskan ASI sampai 12 bulan, dengan pengenalan makanan padat pada usia 4-6 bulan (Brown et al. 2005).

Eastwood (2003) menyatakan pada usia 4-6 bulan bayi membutuhkan makanan MP-ASI karena hanya sedikit ibu yang mampu memproduksi ASI secara cukup untuk kebutuhan bayi sampai usia 6 bulan. Penelitian Wigati (2005) menunjukkan bahwa pemenuhan zat-zat gizi yang dibutuhkan untuk mengotimalkan kecerdasan pada periode tumbuh otak adalah melalui pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan diteruskan sampai waktu ideal (24 bulan). Menurut Nurmiati dan Besral (2008) menyatakan bahwa ketahanan hidup bayi yang mendapatkan ASI dengan durasi >6 bulan 33.3 kali lebih baik daripada bayi yang mendapatkan ASI dengan durasi <4 bulan. Menurut Widagdo et al. (2000) menyatakan bahwa lama pemberian ASI sebagian besar sampai 2 tahun (50%). Anak yang diberi ASI sampai 4 bulan hanya sedikit (6%), hal ini disebabkan umur anak yang baru mencapai 4 bulan dan adanya ibu dengan jumlah ASI sedikit dan sibuk bekerja.

Manfaat ASI bagi Kecerdasan Otak Anak

Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Alan Lucas dan para koleganya di Institute for Child Care di Great Ormond Street Hospital, London menunjukkan bahwa anak-anak yang pada masa bayi menerima setidaknya sedikit ASI memiliki nilai tes IQ yang lebih tinggi dibanding yang hanya mendapat formula standar (Julianto 2010). Penelitian yang dilakukan tahun 1992 di Flinders Medical Center terhadap 32 bayi usia enam bulan menemukan, bayi-bayi yang diberi ASI, kecerdasan mentalnya 40 persen lebih tinggi dibanding bayi-bayi yang mendapat susu non-ASI. Kecerdasan mental pada bayi yang disusui dengan ASI memperlihatkan bayi tersebut tumbuh menjadi orang yang lebih cerdas (Pambudy 2010).

Penelitian lain juga telah membuktikan bahwa pemberian ASI meningkatkan perkembangan kognitif bayi dan meningkatkan IQ (Jacobson, Chiodo & Jacobson 1999). Tim peneliti di Universitas McGill, Kanada, menemukan bahwa bayi yang mendapat ASI memiliki hasil lebih baik pada tes Intelligent Quotient (IQ) pada usia enam tahun (Perkins & Vannais 2004). Berdasarkan laporan Archives of General Psychiatry, para ilmuwan asal Kanada menemukan fakta bahwa bayi-bayi yang diberi ASI Eksklusif selama tiga bulan pertama, walaupun banyak di antaranya juga mendapat ASI sampai dua belas bulan, mencapai angka rata-rata 5.9 dalam tes IQ. Selain itu, penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa guru-guru yang selalu mengamati kegiatan belajar-

mengajar di kelas menyatakan anak-anak yang diberikan ASI memiliki kemampuan akademik lebih tinggi dalam membaca dan menulis, dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mendapat ASI (Perkins & Vannais 2004).

Riordan (2005) menjelaskan ASI dapat meningkatkan perkembangan otak, anak yang disusui lebih pintar dibandingkan anak yang tidak disusui. Komposisi ASI yang mengandung protein yang tinggi, memiliki perbandingan antara whey dan casein yang sesuai untuk bayi. ASI mengandung whey lebih banyak yaitu 63:65, sehingga protein ASI lebih mudah dicerna dibandingkan dengan susu sapi. ASI juga mengandung taurin, Dexosahexsanoid Acid (DHA) dan Arachhidonic Acid (AA). Taurin adalah sejenis asam amino kedua yang berperan penting sebagai neuro-transmitter dan proses maturasi sel otak (Depkes 2001).

Pusat Kedokteran RS Anak Cincinnati di Amerika Serikat melakukan penelitian, dengan membandingkan bayi yang diberi ASI dengan bayi yang diberi susu buatan pabrik. James W Anderson mendapatkan hasil, bahwa IQ (tingkat kecerdasan) bayi yang diberi ASI lebih tinggi lima angka dari bayi lainnya (Sara 2006).

Praktek Pemberian Susu Formula

Muchtadi (2002) menyatakan bahwa susu formula adalah susu bayi yang berasal dari susu sapi yang telah diformulasikan sedemikan rupa sehingga komposisinya mendekati ASI. Susu formula dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu susu formula adaptasi, susu formula awal, dan susu formula lanjutan. Susu formula adaptasi (adapted formula), adapted berarti disesuaikan dengan keadaan fisiologis bayi. Komposisinya sangat mendekati ASI sehingga cocok untuk digunakan bayi yang baru lahir sampai berumur 4 bulan. Susu formula awal (Complete starting formula), memiliki susunan zat gizi yang lengkap dan dapat diberikan sebagai formula permulaan. Kadar protein dan mineral susu formula ini lebih tinggi dari susu formula adaptasi. Susu formula lanjutan (follow- up formula), diberikan bagi bayi berumur 6 bulan ke atas. Kandungan protein dan mineralnya lebih tinggi daripada susu formula sebelumnya.

Susu formula biasanya diberikan sebagai makanan tambahan dan sebagai pengganti ASI (PASI). Susu formula sebagai makanan tambahan karena anak menangis terus atau karena ibu merasa ASInya kurang, sedangkan susu formula sebagai pengganti ASI (PASI) karena ASI tidak keluar atau anaknya

tidak mau ASI, anak sudah disapih, anak ditinggal bekerja, anjuran dari paramedis atau bidan (Fitrisia 2002).

Adanya beragam kekuatan sosial yang mendorong ibu-ibu untuk memberikan ASI dan susu botol kepada bayinya. Kekuatan sosial yang mendukung pemberian ASI kepada bayi antara lain sikap ibu yang alami, pertimbangan ekonomi, konservasi sumber daya dan lingkungan, kritikan terhadap industri makanan bayi, pengetahuan ilmiah baru dan perhatian lembaga internasional dan nasional (WHO, UNICEF, ILO, FAO, dan International Pediatric Assosiacion). Kekuatan sosial yang mendorong para ibu menyusui bayinya dengan susu botol adalah struktur keluarga dan peranan ibu, meningkatnya urbanisasi, dan sikap komersialisme pengusaha makanan bayi.

Karakteristik Keluarga dan Siswa Besar Keluarga

Besar Keluarga mempunyai pengaruh pada konsumsi pangan, jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar empat kali lebih besar jika dibandingkan pada keluarga kecil. Pada keluarga dengan keadaan ekonomi kurang, jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak, juga kebutuhan primer seperti pangan, sandang, dan perumahan pun tidak terpenuhi (Berg 1986). Menurut Suhardjo (1996), semakin banyak anggota keluarga, maka makanan untuk setiap orang akan berkurang. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa pendapatan per kapita dan pengeluaran pangan menurun dengan peningkatan besar keluarga (Sanjur 1982).

Pendidikan

Campbell (2002) menyatakan bahwa pendidikan formal sangat penting karena dapat membentuk pribadi dengan wawasan berpikir yang lebih baik. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal akan semakin luas wawasan berfikirnya, sehingga akan lebih banyak informasi yang diserap. Hal tersebut akan berdampak positif terhadap ragam pangan yang dikonsumsi (Soewondo & Saidi 1990). Tingkat pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak, termasuk didalamnya pemberian makan. Suhardjo (1996) mengatakan bahwa orang yang berpendidikan tinggi cenderung memilih makanan yang murah tetapi kandungan gizinya tinggi, sesuai dengan

jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik. Tingkat pendidikan orangtua yang lebih tinggi akan lebih memberikan stimulasi lingkungan (fisik, sosial, emosional, dan psikologis) bagi anak-anaknya dibandingkan dengan orangtua yang tingkat pendidikannya rendah.

Pendapatan

Pendapatan adalah jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh seseorang dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaan yang dinyatakan dalam pendapatan per kapita. Pendapatan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain, seperti pendidikan, perumahan, kesehatan, dan lain-lain (Hardinsyah 1997). Hapsari (2005) menjelaskan bahwa orang tua yang berasal dari keadaan ekonomi baik, akan memiliki lebih banyak waktu untuk membimbing anak karena tidak lagi memikirkan keadaan ekonomi.

Jenis Pekerjaan

Besar pendapatan yang diterima oleh individu akan dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang dilakukan. Tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar (Suhardjo 1989).

Uang Saku

Uang saku merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu seperti keperluan harian, mingguan, dan bulanan. Perolehan uang saku menjadi suatu kebiasaan sehingga diharapkan anak dapat belajar bertanggung jawab untuk mengelola uang saku yang dimiliki (Napitu 1994).

Status Gizi

Status gizi rendah disebabkan kurang asupan makanan. Makanan hanya mampu bertahan dalam lambung 6-8 jam, setelah itu lambung kosong karena sari-sari makanan telah diserap dan diedarkan ke seluruh tubuh, maka untuk memenuhi kebutuhannya akan terjadi pemecahan glikogen, sehingga terjadi deplesi jaringan yang kemudian menyebabkan perubahan biokimia, perubahan fungsional dan perubahan anatomis tubuh. Jika hal tersebut berlangsung lama

akan menyebabkan glukosa darah ke otak berkurang sehingga anak tidak konsentrasi dalam belajar dan daya ingat rendah sehingga prestasi belajar pun rendah (Soekirman 2002).

WHO (1995) merekomendasikan z-score untuk mengevaluasi data antropometri anak, khususnya di negara berkembang, karena anak yang berada jauh di bawah persentil data acuan dapat diklasifikasikan secara akurat. Penentuan status gizi seseorang diukur dengan menggunakan metode antropometri melalui perhitungan indeks IMT/U. Indeks IMT/U ini digunakan untuk seseorang yang berusia 9-24 tahun berdasarkan nilai z-score. Seseorang dikatakan kurus bila -3 SD ≤ z ≤ -2 SD, normal bila -2 SD ≤ z ≤ +1 SD, kegemukan bila +1 SD ≤ z≤ +2 SD, dan obesitas bila z ≥ +2 SD (WHO 2007).

IMT =

Pola Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi (dimakan) oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Tujuan mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi tertentu yang diperlukan oleh tubuh. Konsumsi pangan berkaitan dengan masalah gizi dan kesehatan, masalah pengupahan (kebutuhan hidup minimal), ukuran kemiskinan, serta perencanaan ketersediaan dan produksi pangan daerah (Hardinsyah et al 2002).

Konsumsi pangan sehari-hari bagi sebagian besar penduduk di negara- negara berkembang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: 1) Produksi pangan untuk keperluan rumah tangga, 2) Pengeluaran uang untuk keperluan pangan rumah tangga, 3) Tersedianya pangan yang dipengaruhi oleh produksi dan pengeluaran uang untuk keperluan pangan rumah tangga (Harper et al 1986). Kebutuhan zat gizi akan terjamin pemenuhannya dengan cara mengkonsumsi makanan yang beragam. Konsumsi pangan beragam akan memberikan mutu yang lebih baik daripada makanan yang dikonsumsi secara tunggal atau masing- masing pangan yang menyusunnya, hal ini terjadi karena adanya efek saling mengisi (Suhardjo 1989).

Makanan yang anak-anak konsumsi sebaiknya mengandung sekurang- kurangnya tiga zat gizi. Jumlah makanan yang mereka butuhkan tergantung pada ukuran tubuh, umur, dan aktivitas tubuhnya. Jika anak-anak hanya menunggu jam makan keluarga, mereka sering merasa lapar, ada baiknya anak diberi makanan selingan atau memberi makan dengan frekuensi yang lebih sering (Nasution dan Riyadi 1994).

Kecukupan pangan dapat diukur secara kualitatif maupun kuantitatif. Parameter kualitatif meliputi nilai sosial, ragam jenis, bahan makanan, dan cita rasa, sedangkan parameter kuantitatif adalah komposisi zat gizi. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (AKG) atau Recomended Dietary Allowances (RDA) adalah banyaknya masing-masing zat gizi esensial yang harus dipenuhi dari makanan mencakup hampir semua orang sehat untuk mencegah defisiensi zat gizi. AKG dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, berat badan, tinggi badan, dan genetika (FKMUI 2009). Berikut ini adalah tabel Tingkat Kecukupan Energi dan zat gizi lainnya.

Tabel 2 Klasifikasi Tingkat Kecukupan Energi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi lain Zat gizi Klasifikasi Tingkat Kecukupan Energi dan protein Defisit berat ≤70% kebutuhan

Defisit sedang 70-79% kebutuhan Defisit ringan 80-89%

Normal 90-119%

Diatas angka kebutuhan ≥ 120% Vitamin dan mineral Kurang ≤ 77% angka kecukupan

Cukup ≥ 77% angka kecukupan Sumber: Gibson 2005

Metode Pengukuran Konsumsi Makanan

Penilaian konsumsi makanan adalah salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi perorangan atau kelompok (Supariasa 2002). Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran konsumsi makanan menghasilkan dua jenis data konsumsi, yaitu bersifat kualitatif dan kuantitatif. Metode yang bersifat kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan. Frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah- Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak (Supariasa 2002)

Metode Frekuensi Makanan (Food Frequency)

Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan, atau tahun. Kelebihan metode frekuensi makanan yaitu: relatif murah, dapat dilakukan sendiri oleh responden, tidak membutuhkan latihan khusus, dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan makan. Sedangkan kekurangannya yaitu: tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi sehari, sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data, cukup menjemukan bagi pewawancara, perlu membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan yang akan masuk dalam daftar kuesioner, responden harus jujur dan mempunyai motivasi tinggi. Kuesionernya mempunyai dua komponen utama yaitu daftar pangan dan frekuensi penggunaan pangan (Supariasa 2002). Frekuensi konsumsi pangan dikelompokkan menjadi empat yaitu sering (≥5 kali/minggu), kadang-kadang (3-4 kali/minggu), jarang (1-2 kali/minggu), dan tidak pernah (0 kali/minggu).

Metode Mengingat-ingat (Food Recall Method)

Prinsipnya metode ini dilakukan dengan cara mencatat jenis dan jumlah bahan yang dikonsumsi pada masa lalu (biasanya 24 jam yang lalu) melalui wawancara. Penaksiran jumlah pangan yang dikonsumsi diawali dengan menanyakan dalam bentuk ukuran rumah tangga (URT) seperti potong, ikat, gelas, piring, atau alat lain yang biasa digunakan di rumah tangga. Selanjutnya dikonversi ke dalam satuan gram. Agar diperoleh hasil yang teliti maka perlu dilatih sebelumnya mengenai penggunaan URT dan mengkonversikannya ke satuan berat (Hardinsyah et al 2002).

Metode ini mempunyai kelemahan dalam tingkat ketelitiannya, karena keterangan-keterangan yang diperoleh adalah hasil ingatan responden. Namun, kelemahan ini dapat diatasi dengan memperpanjang waktu survei (lebih dari 1x24 jam). Kelebihan dari metode ini adalah murah dan sederhana. Metode ini direkomendasikan untuk survei konsumsi pangan dalam rangka memperoleh gambaran (representasi) dari populasi. Metode ini bisa digunakan untuk individu dan keluarga (Hardinsyah et al 2002).

Kebiasaan Makan

Kebiasaan makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengonsumsi sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologi, psikologi, dan sosial budaya (Sanjur 1982). Menurut Wirakusumah (1994) kebiasaan makan keluarga menjadi contoh bagi generasi muda dalam keluarga tersebut. Kebiasaan makan adalah faktor penting yang mempengaruhi status gizi dan kesehatan. Variasi makanan diperkirakan dapat mengurangi risiko terhadap penyakit dan dapat mencegah penyakit. Kebiasaan makan mencerminkan terjadinya kelebihan asupan dan penyakit akibat gizi (Atmarita 2004).

Kebiasaan makan yang tergesa-gesa, termasuk kurang mengunyah akan membawa efek yang kurang menguntungkan bagi pencernaan dan mengakibatkan cepat merasa lapar kembali. Rasa lapar yang sering muncul akan berakibat pada konsumsi makanan yang tidak tepat pada waktunya dan bertambahnya intik makanan. begitu pula jika frekuensi makan tidak teratur, jarak antara dua waktu makan yang terlalu panjang menyebabkan adanya kecendrungan untuk makan lebih banyak dan melebihi kebutuhan (Wirakusumah 1994). Faktor kebiasaan makan, disamping faktor genetik, lingkungan, perilaku dan sosial budaya adalah faktor utama yang menjadi pemicu ketidakmampuan tersebut (Blackburn 2001).

Perkembangan Kecerdasan Anak

Kemampuan berpikir anak mula-mula berkembang melalui kelima inderanya, misalnya melihat warna-warna, mendengar suara atau bunyi, mengenal rasa dan lain-lain. Kemudian melalui kata-kata yang didengar dan diajarkan, anak mengerti bahwa segala hal itu ada namanya. Daya pikir dan pengertian mula-mula terbatas pada apa yang dilihat dan dipegang atau dimainkan. Melalui bermain-main serta ajaran yang diberikan orangtua atau orang lain, anak setahap demi setahap mengenal, mengerti lingkungannya, dan memiliki kemampuan memecahkan persoalan. Anak akan memiliki bermacam pengertian/konsep seperti: konsep tentang benda, warna, manusia, dan bentuk. Semua konsep atau pemikiran ini kemudian akan berkembang ke tingkat yang lebih tinggi, yang lebih abstrak dan majemuk, misalnya mengerti dan menggunakan konsep sama-berbeda, bertambah-berkurang, sebab akibat, dan lain-lain (Depkes 1997).

Perkembangan mempunyai arti suatu pola perubahan (change) atau pergerakan (movement) yang dimulai dari periode konsepsi (di dalam kandungan) dan berlangsung terus-menerus sepanjang siklus hidup (life cycle). Perkembangan meliputi pertumbuhan dengan pola pergerakan yang kompleks karena merupakan hasil dari beberapa proses yang simultan yaitu proses biologi, kognitif, dan sosial. Ketiga proses ini saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya (Santrock 1975 dalam Hurlock 1999).

Perkembangan fisik seseorang telah dimulai sejak masih berupa janin dalam kandungan dan sedikit demi sedikit berhenti sekitar 21 tahun. Perkembangan otak seseorang telah dimulai sejak janin masih berusia 3 bulan dalam kandungan ibu dan mengalami laju sangat pesat selama 3 tahun pertama setelah lahir. Pada usia tujuh bulan, perkembangan otak mencapai lebih dari 95 persen. Sejak usia tujuh bulan sampai mencapai usia dewasa, perkembangan otak berjalan sangat lambat sampai mencapai puncaknya pada usia 20-21 tahun pada pria selanjutnya, secara kontinu otak mengalami penyusutan berat dengan tingkat rata-rata 1 gram setiap tahun (Winarno dan Ong 2007).

Pencapaian suatu kemampuan pada setiap anak bisa berbeda-beda, namun demikian ada patokan umur tentang kemampuan apa saja yang perlu dicapai seorang anak pada umur tertentu. Perkembangan pada anak meliputi perkembangan gerakan (motorik), perkembangan komunikasi aktif dan pasif, perkembangan kecerdasan (kognisi), dan perkembangan kemampuan menolong diri sendiri dan kemampuan sosialisasi (Depkes 1997).

Kecerdasaan adalah kemampuan belajar disertai kecakapan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya. Kemampuan ini sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya intelegensi yang normal selalu menunjukkan kecakapan sesuai dengan tingkat perkembangan sebaya. Semakin tinggi kemampuan intelegensi seseorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk

Dokumen terkait