• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Praktek Pemberian ASI, Pola Konsumsi Pangan, dan Fasilitas Belajar terhadap Kecerdasan Logika-Matematika Anak SDN 09 Pagi Jakarta Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Praktek Pemberian ASI, Pola Konsumsi Pangan, dan Fasilitas Belajar terhadap Kecerdasan Logika-Matematika Anak SDN 09 Pagi Jakarta Utara"

Copied!
189
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

AULIA MASRUROH. Correlation Between Breast-Feeding Practice, Food Consumption Patterns, and Learning Facilities with Logical-Mathematic Intelligence of Students at SDN 09 Pagi Jakarta Utara. Under supervision of ALI KHOMSAN.

The aims of study was to know correlation between practice of breast-feeding, food consumption patterns, and learning facilities with logical-mathematic intelligence of students at SDN 09 Pagi Jakarta Utara. The study design used cross-sectional study. The total sample consists of 38 students of 4th grade. There was significant correlation between breast-feeding duration (p=0.000), exclusive breast-feeding duration (p=0.000), and mother‟s education (p=0.031) with IQ, while energy adequacy level (p=0.039), protein adequacy level (p=0.017), animal protein consumption frequency (p=0.000), doing homework at home (p=0.000), repeating the lesson (p=0.000), studying accompanied by parents (p=0.000), owning learning room (p=0.000), owning school stationery (0.000), owning desk for studying (p=0.000), IQ (p=0.002), and age (p=-0.042) had significant and positive correlation with students mathematic report score. There was significant correlation between protein adequacy level (p=0.033), animal protein consumption frequency (p=0.000), doing homework at home (p=0.000), repeating the lesson (p=0.000), studying accompanied by parents (p=0.000), owning learning room (p=0.000), owning school stationery (p=0.000), owning desk for studying (p=0.000), and IQ (p=0.011) with students‟ mathematic learning test result. There was no significant correlation between nutritional status (p=0.301), sex (p=0.061), pocket money (p=0.826), father‟s education (p=0.825), mother‟s education (p=0.205), and family‟s income (p=0.865) with mathematic report score. There was no correlation between energy sufficient level (p=0.073), nutritional status (p=0.807), sex (p=0.078), pocket money (p=0.789), age (p=0.097), father‟s education (p=0.995), mother‟s education (p=0.090), family‟s income (p=0.596) with students learning test result.

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hakikat manusia pada umumnya tidak bisa lepas dari orang lain, begitu pula dengan anak manusia banyak memerlukan pertolongan dari kedua orangtua. Peran orangtua sangat dominan terutama ibu. Ibu yang mengandung, melahirkan, menyusui, membesarkan, dan membimbing. Dalam hal menyusui, seorang ibu harus pandai dan selektif terutama dalam memanfaatkan karunia illahi yaitu dengan memberikan ASI pada anaknya. Selain itu, ibu juga harus selektif dalam memilih makanan yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan anaknya, karena anak merupakan asset bangsa, pewaris sekaligus sebagai generasi penerus bangsa. Oleh sebab itu anak diharapkan dapat tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya sehingga menjadi orang dewasa yang sehat secara fisik, mental, sosial, dan emosionalnya dapat berkembang secara optimal sehingga menjadi SDM yang berkualitas. Menurut Bierley dalam Megawangi et al. (2005) menyatakan bahwa bukti dari penelitian otak menunjukkan potensi, fleksibilitas, dan kelenturan otak anak-anak menggambarkan dengan jelas akan pentingnya masa-masa prasekolah dan sekolah dasar.

Menurut WHO-UNICEF pada tahun 2002 dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding menerapkan cara pemberian makan pada bayi yang baik dan benar yaitu menyusui bayi secara eksklusif sejak lahir sampai dengan umur 6 bulan dan meneruskan menyusui anak sampai umur 24 bulan dan mulai umur 6 bulan, bayi mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Data Susenas (2007-2008) cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi 0–6 bulan di Indonesia menunjukkan penurunan dari 62.2% (2007) menjadi 56.2% (2008). Sedangkan cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai 6 bulan turun dari 28.6% (2007) menjadi 24.3% (2008). Sementara jumlah bayi di bawah enam bulan yang diberi susu formula meningkat dari 16.7 persen pada 2002 menjadi 27.9 persen pada 2003 (Riskesdas 2010).

(3)

12% bulan kelima dan hanya 6% pada bulan keenam bahkan lebih dari 200.000 bayi atau 5% dari populasi bayi di Indonesia saat itu tidak disusui sama sekali (Kamalia 2005).

Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) dari 1997 hingga 2002, jumlah bayi usia enam bulan yang mendapatkan ASI eksklusif menurun dari 7.9% menjadi 7.8%. Sementara itu, hasil SDKI 2007 menunjukkan penurunan jumlah bayi yang mendapatkan ASI eksklusif hingga 7.2%. Pada saat yang sama, jumlah bayi di bawah enam bulan yang diberi susu formula meningkat dari 16.7% pada 2002 menjadi 27.9% pada 2007. UNICEF menyimpulkan, cakupan ASI eksklusif enam bulan di Indonesia masih jauh dari rata-rata dunia, yaitu 38% (Riskesdas 2010).

Pemberian ASI sejak bayi lahir akan berkembang menjadi anak yang cerdas. Kandungan asam lemak omega-3 dan omega-6 yang terkandung di dalam ASI sangat berperan dalam penyusunan sel-sel otak (Khomsan & Ridhayani 2008). Penelitian oleh James W. Anderson, seorang ahli dari universitas Kentucky menunjukkan bahwa kemampuan otak pada bayi yang diberi ASI lebih baik daripada bayi yang diberi susu buatan pabrik. Berdasarkan hasil penelitian ditetapkan bahwa ASI yang diberikan hingga 6 bulan bermanfaat bagi kecerdasan bayi, dan anak yang disusui kurang dari 8 minggu tidak memberi manfaat pada IQ (Yahya 2005 dalam Mindasa 2007). Mencapai tumbuh kembang yang optimal dibutuhkan zat gizi yang adekuat melalui pemberian makanan yang sesuai dengan tingkat kemampuan konsumsi anak, tepat jumlah (kuantitas) dan tepat mutu (kualitas), oleh karena kekurangan maupun kelebihan zat gizi, akan menimbulkan gangguan kesehatan, status gizi maupun tumbuh kembang (Samsuddin 2002 dalam Nilawati 2006). Menurut Brown dan Pollit (1996) menyatakan bahwa pengaruh asupan zat gizi terhadap gangguan perkembangan anak melalui menurunnya status gizi. Status gizi yang kurang tersebut akan menimbulkan kerusakan otak, sakit, dan penurunan pertumbuhan fisik. Ketiga keadaan ini akan berpengaruh terhadap perkembangan intelektual. Gangguan perkembangan yang tidak normal antara lain ditandai dengan lambatnya kematangan sel-sel syaraf, lambatnya gerakan motorik, kurangnya kecerdasan dan lambatnya respon sosial.

(4)

Kecerdasan setiap orang berbeda-beda, ada yang cepat memahami apa yang dipelajari dan ada juga yang lamban dalam memahami apa yang dipelajari. Kecerdasan setiap orang dapat dilihat dari hasil yang dicapai atau biasa disebut dengan prestasi. Prestasi belajar setiap orang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat intelegensi dan fasilitas belajar (Suryabrata 2005). Hasil dari intelegensi setiap orang khususnya siswa dapat diperoleh dengan cara mengukur intelegensi atau biasa disebut dengan tes IQ.

Pemenuhan fasilitas belajar yang baik dapat mendorong siswa untuk rajin belajar. Fasilitas belajar sangat mempengaruhi prestasi belajar siswa karena pemenuhan fasilitas belajar yang memadai dan lengkap akan mendorong siswa untuk mendapat hasil yang maksimal (Suryabrata 2005). Berdasarkan persentase cakupan ASI yang masih rendah dan ada atau tidak hubungannya dengan kecerdasan anak, serta ada atau tidak hubungannya konsumsi pangan dan fasilitas belajar terhadap prestasi belajar anak, peneliti tertarik untuk mempelajari hubungan praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, dan fasilitas belajar terhadap kecerdasan logika matematika anak di SDN 09 Pagi Jakarta Utara.

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, dan fasilitas belajar terhadap kecerdasaan logika-matematika anak SDN 09 Pagi Jakarta Utara.

Tujuan Khusus

1. Mengetahui karakteristik orangtua (usia, besar keluarga, tingkat pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan) dan siswa di SDN 09 Pagi Jakarta Utara (usia, jenis kelamin, uang saku, dan status gizi).

2. Mempelajari praktek pemberian ASI di SDN 09 Pagi Jakarta Utara (praktek ASI dan alasannya, durasi pemberian ASI, pemberian susu non-ASI).

3. Mengetahui kecerdasan logika-matematika siswa di SDN 09 Pagi Jakarta Utara (IQ dan prestasi belajar matematika).

4. Mengidentifikasi kebiasaan konsumsi pangan siswa. 5. Mengidentifikasi fasilitas belajar siswa.

(5)

Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, dan fasilitas belajar berhubungan dengan kecerdasan logika-matematika.

Kegunaan

(6)

TINJAUAN PUSTAKA

Praktek Pemberian ASI (0 - 2 Tahun)

ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi. ASI mengandung semua zat gizi dalam susunan dan jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi selama enam bulan (Roesli 2000). ASI merupakan jaringan kehidupan yang tidak terstruktur, seperti darah, dan dapat mentransportasikan zat gizi yang digunakan untuk sistem biokimia, memperkuat sistem imunitas dan menghancurkan pathogen (Riordan 2005). Menurut Muchtadi (2002) ASI merupakan makanan satu-satunya yang eksklusif bagi bayi di tahun pertama kehidupannya.

ASI juga merupakan makanan yang paling ideal bagi bayi karena mempunyai nilai gizi yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan bayi yang dibuat oleh manusia ataupun yang berasal dari susu hewan, seperti susu sapi, susu kerbau, atau susu kambing (Krisnatuti et al. 2006). Eckhardt et al. (2001) menyatakan bahwa pemberian ASI secara penuh selama minimal empat bulan pertama dapat meningkatkan pertumbuhan fisik bayi. Pemberian ASI dapat menumbuhkan kasih sayang dan ikatan emosional antara ibu dan bayinya, yang sangat mempengaruhi tumbuh kembang dan kecerdasan anak di kemudian hari (Sulistijani dan Herlianty 2003).

ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI kepada bayi secara langsung oleh ibunya dan tidak diberikan makanan cair atau padat lainnya kecuali obat tetes atau sirup yang berisi suplemen vitamin, mineral, atau obat (Gibney et al. 2005). ASI eksklusif yakni memberikan ASI saja sampai anak berusia 6 bulan kini semakin sulit dipraktikkan oleh ibu-ibu di perkotaan. Kesibukan karir menjadi hambatan utama seorang ibu untuk menyusui anaknya dengan sempurna. Selain itu, ada juga ibu-ibu yang tidak bisa menyusui anaknya karena putting tidak keluar, produksi ASI kurang, dan lain-lain (Khomsan 2004). Pentingnya pemberian ASI telah dicanangkan oleh Departemen Kesehatan RI dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) sejak tahun 1990an, mulai dengan kampanye pemberian ASI eksklusif 4 bulan, kemudian dilanjutkan dengan kampanye pemberian ASI ekslusif selama 6 bulan.

(7)

Italia menghasilkan Deklarasi Innocenti tentang Perlindungan, Promosi, dan Dukungan pada Pemberian ASI. Deklarasi tersebut mendefinisikan bahwa pemberian makanan bayi yang optimal adalah pemberian ASI eksklusif mulai dari saat lahir hingga bayi berusia 4-6 bulan dan terus berlanjut hingga tahun kedua kehidupan, sementara makanan tambahan yang sesuai baru diberikan ketika bayi berusia 6 bulan (Gibney et al. 2005). Dukungan pemerintah Indonesia terhadap hal tersebut diwujudkan dalam berbagai kegiatan seperti Gerakan Nasional Perancangan PP-ASI serta Gerakan Rumah Sakit dan Puskesmas Sayang Bayi (Depkes RI 2004). Roesli (2000) menjelaskan bahwa ASI sebagai makanan tunggal yang memenuhi kebutuhan bayi normal sampai usia 6 bulan. Setelah usia 6 bulan, bayi harus mulai diberikan makanan padat, tetapi ASI dapat diteruskan sampai usia 2 tahun atau lebih.

Kandungan Gizi ASI

ASI lebih unggul dibandingkan makanan lain untuk bayi seperti susu formula, karena kandungan protein pada ASI lebih rendah dibandingkan pada susu sapi sehingga tidak memberatkan kerja ginjal, jenis proteinnya pun mudah dicerna. Selain itu, ASI mengandung lemak dalam bentuk asam amino esensial, asam lemak jenuh, trigliserida rantai sedang, dan kolesterol dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan bayi (Brown et al. 2005). Perbandingan kontribusi energi dari zat gizi makro pada ASI dan formula lain disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kontribusi energi dari zat gizi makro pada ASI dan formula lain Zat Gizi Makro ASI Formula Susu Sapi Formula Susu Kedelai

(Kalori) (Kalori) (Kalori)

Protein 7% 9-12% 11-13%

Karbohidrat 38% 41-43% 39-45%

Lemak 55% 48-50% 45-49%

Sumber: Brown et al. 2005

Durasi Pemberian ASI

(8)

Eastwood (2003) menyatakan pada usia 4-6 bulan bayi membutuhkan makanan MP-ASI karena hanya sedikit ibu yang mampu memproduksi ASI secara cukup untuk kebutuhan bayi sampai usia 6 bulan. Penelitian Wigati (2005) menunjukkan bahwa pemenuhan zat-zat gizi yang dibutuhkan untuk mengotimalkan kecerdasan pada periode tumbuh otak adalah melalui pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan diteruskan sampai waktu ideal (24 bulan). Menurut Nurmiati dan Besral (2008) menyatakan bahwa ketahanan hidup bayi yang mendapatkan ASI dengan durasi >6 bulan 33.3 kali lebih baik daripada bayi yang mendapatkan ASI dengan durasi <4 bulan. Menurut Widagdo et al. (2000) menyatakan bahwa lama pemberian ASI sebagian besar sampai 2 tahun (50%). Anak yang diberi ASI sampai 4 bulan hanya sedikit (6%), hal ini disebabkan umur anak yang baru mencapai 4 bulan dan adanya ibu dengan jumlah ASI sedikit dan sibuk bekerja.

Manfaat ASI bagi Kecerdasan Otak Anak

Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Alan Lucas dan para koleganya di Institute for Child Care di Great Ormond Street Hospital, London menunjukkan bahwa anak-anak yang pada masa bayi menerima setidaknya sedikit ASI memiliki nilai tes IQ yang lebih tinggi dibanding yang hanya mendapat formula standar (Julianto 2010). Penelitian yang dilakukan tahun 1992 di Flinders Medical Center terhadap 32 bayi usia enam bulan menemukan, bayi-bayi yang diberi ASI, kecerdasan mentalnya 40 persen lebih tinggi dibanding bayi-bayi yang mendapat susu non-ASI. Kecerdasan mental pada bayi yang disusui dengan ASI memperlihatkan bayi tersebut tumbuh menjadi orang yang lebih cerdas (Pambudy 2010).

(9)

belajar-mengajar di kelas menyatakan anak-anak yang diberikan ASI memiliki kemampuan akademik lebih tinggi dalam membaca dan menulis, dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mendapat ASI (Perkins & Vannais 2004).

Riordan (2005) menjelaskan ASI dapat meningkatkan perkembangan otak, anak yang disusui lebih pintar dibandingkan anak yang tidak disusui. Komposisi ASI yang mengandung protein yang tinggi, memiliki perbandingan antara whey dan casein yang sesuai untuk bayi. ASI mengandung whey lebih banyak yaitu 63:65, sehingga protein ASI lebih mudah dicerna dibandingkan dengan susu sapi. ASI juga mengandung taurin, Dexosahexsanoid Acid (DHA) dan Arachhidonic Acid (AA). Taurin adalah sejenis asam amino kedua yang berperan penting sebagai neuro-transmitter dan proses maturasi sel otak (Depkes 2001).

Pusat Kedokteran RS Anak Cincinnati di Amerika Serikat melakukan penelitian, dengan membandingkan bayi yang diberi ASI dengan bayi yang diberi susu buatan pabrik. James W Anderson mendapatkan hasil, bahwa IQ (tingkat kecerdasan) bayi yang diberi ASI lebih tinggi lima angka dari bayi lainnya (Sara 2006).

Praktek Pemberian Susu Formula

Muchtadi (2002) menyatakan bahwa susu formula adalah susu bayi yang berasal dari susu sapi yang telah diformulasikan sedemikan rupa sehingga komposisinya mendekati ASI. Susu formula dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu susu formula adaptasi, susu formula awal, dan susu formula lanjutan. Susu formula adaptasi (adapted formula), adapted berarti disesuaikan dengan keadaan fisiologis bayi. Komposisinya sangat mendekati ASI sehingga cocok untuk digunakan bayi yang baru lahir sampai berumur 4 bulan. Susu formula awal (Complete starting formula), memiliki susunan zat gizi yang lengkap dan dapat diberikan sebagai formula permulaan. Kadar protein dan mineral susu formula ini lebih tinggi dari susu formula adaptasi. Susu formula lanjutan ( follow-up formula), diberikan bagi bayi berumur 6 bulan ke atas. Kandungan protein dan mineralnya lebih tinggi daripada susu formula sebelumnya.

(10)

tidak mau ASI, anak sudah disapih, anak ditinggal bekerja, anjuran dari paramedis atau bidan (Fitrisia 2002).

Adanya beragam kekuatan sosial yang mendorong ibu-ibu untuk memberikan ASI dan susu botol kepada bayinya. Kekuatan sosial yang mendukung pemberian ASI kepada bayi antara lain sikap ibu yang alami, pertimbangan ekonomi, konservasi sumber daya dan lingkungan, kritikan terhadap industri makanan bayi, pengetahuan ilmiah baru dan perhatian lembaga internasional dan nasional (WHO, UNICEF, ILO, FAO, dan International Pediatric Assosiacion). Kekuatan sosial yang mendorong para ibu menyusui bayinya dengan susu botol adalah struktur keluarga dan peranan ibu, meningkatnya urbanisasi, dan sikap komersialisme pengusaha makanan bayi.

Karakteristik Keluarga dan Siswa Besar Keluarga

Besar Keluarga mempunyai pengaruh pada konsumsi pangan, jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar empat kali lebih besar jika dibandingkan pada keluarga kecil. Pada keluarga dengan keadaan ekonomi kurang, jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak, juga kebutuhan primer seperti pangan, sandang, dan perumahan pun tidak terpenuhi (Berg 1986). Menurut Suhardjo (1996), semakin banyak anggota keluarga, maka makanan untuk setiap orang akan berkurang. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa pendapatan per kapita dan pengeluaran pangan menurun dengan peningkatan besar keluarga (Sanjur 1982).

Pendidikan

(11)

jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik. Tingkat pendidikan orangtua yang lebih tinggi akan lebih memberikan stimulasi lingkungan (fisik, sosial, emosional, dan psikologis) bagi anak-anaknya dibandingkan dengan orangtua yang tingkat pendidikannya rendah.

Pendapatan

Pendapatan adalah jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh seseorang dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaan yang dinyatakan dalam pendapatan per kapita. Pendapatan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain, seperti pendidikan, perumahan, kesehatan, dan lain-lain (Hardinsyah 1997). Hapsari (2005) menjelaskan bahwa orang tua yang berasal dari keadaan ekonomi baik, akan memiliki lebih banyak waktu untuk membimbing anak karena tidak lagi memikirkan keadaan ekonomi.

Jenis Pekerjaan

Besar pendapatan yang diterima oleh individu akan dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang dilakukan. Tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar (Suhardjo 1989).

Uang Saku

Uang saku merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu seperti keperluan harian, mingguan, dan bulanan. Perolehan uang saku menjadi suatu kebiasaan sehingga diharapkan anak dapat belajar bertanggung jawab untuk mengelola uang saku yang dimiliki (Napitu 1994).

Status Gizi

(12)

akan menyebabkan glukosa darah ke otak berkurang sehingga anak tidak konsentrasi dalam belajar dan daya ingat rendah sehingga prestasi belajar pun rendah (Soekirman 2002).

WHO (1995) merekomendasikan z-score untuk mengevaluasi data antropometri anak, khususnya di negara berkembang, karena anak yang berada jauh di bawah persentil data acuan dapat diklasifikasikan secara akurat. Penentuan status gizi seseorang diukur dengan menggunakan metode antropometri melalui perhitungan indeks IMT/U. Indeks IMT/U ini digunakan untuk seseorang yang berusia 9-24 tahun berdasarkan nilai z-score. Seseorang dikatakan kurus bila -3 SD ≤ z ≤ -2 SD, normal bila -2 SD ≤ z ≤ +1 SD, kegemukan bila +1 SD ≤ z≤ +2 SD, dan obesitas bila z ≥ +2 SD (WHO 2007).

IMT =

Pola Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi (dimakan) oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Tujuan mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi tertentu yang diperlukan oleh tubuh. Konsumsi pangan berkaitan dengan masalah gizi dan kesehatan, masalah pengupahan (kebutuhan hidup minimal), ukuran kemiskinan, serta perencanaan ketersediaan dan produksi pangan daerah (Hardinsyah et al 2002).

(13)

Makanan yang anak-anak konsumsi sebaiknya mengandung sekurang-kurangnya tiga zat gizi. Jumlah makanan yang mereka butuhkan tergantung pada ukuran tubuh, umur, dan aktivitas tubuhnya. Jika anak-anak hanya menunggu jam makan keluarga, mereka sering merasa lapar, ada baiknya anak diberi makanan selingan atau memberi makan dengan frekuensi yang lebih sering (Nasution dan Riyadi 1994).

Kecukupan pangan dapat diukur secara kualitatif maupun kuantitatif. Parameter kualitatif meliputi nilai sosial, ragam jenis, bahan makanan, dan cita rasa, sedangkan parameter kuantitatif adalah komposisi zat gizi. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (AKG) atau Recomended Dietary Allowances (RDA) adalah banyaknya masing-masing zat gizi esensial yang harus dipenuhi dari makanan mencakup hampir semua orang sehat untuk mencegah defisiensi zat gizi. AKG dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, berat badan, tinggi badan, dan genetika (FKMUI 2009). Berikut ini adalah tabel Tingkat Kecukupan Energi dan zat gizi lainnya.

Tabel 2 Klasifikasi Tingkat Kecukupan Energi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi lain Zat gizi Klasifikasi Tingkat Kecukupan Energi dan protein Defisit berat ≤70% kebutuhan

Defisit sedang 70-79% kebutuhan Defisit ringan 80-89%

Normal 90-119%

Diatas angka kebutuhan ≥ 120% Vitamin dan mineral Kurang ≤ 77% angka kecukupan

Cukup ≥ 77% angka kecukupan Sumber: Gibson 2005

Metode Pengukuran Konsumsi Makanan

(14)

Metode Frekuensi Makanan (Food Frequency)

Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan, atau tahun. Kelebihan metode frekuensi makanan yaitu: relatif murah, dapat dilakukan sendiri oleh responden, tidak membutuhkan latihan khusus, dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan makan. Sedangkan kekurangannya yaitu: tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi sehari, sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data, cukup menjemukan bagi pewawancara, perlu membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan yang akan masuk dalam daftar kuesioner, responden harus jujur dan mempunyai motivasi tinggi. Kuesionernya mempunyai dua komponen utama yaitu daftar pangan dan frekuensi penggunaan pangan (Supariasa 2002). Frekuensi konsumsi pangan dikelompokkan menjadi empat yaitu sering (≥5 kali/minggu), kadang-kadang (3-4 kali/minggu), jarang (1-2 kali/minggu), dan tidak pernah (0 kali/minggu).

Metode Mengingat-ingat (Food Recall Method)

Prinsipnya metode ini dilakukan dengan cara mencatat jenis dan jumlah bahan yang dikonsumsi pada masa lalu (biasanya 24 jam yang lalu) melalui wawancara. Penaksiran jumlah pangan yang dikonsumsi diawali dengan menanyakan dalam bentuk ukuran rumah tangga (URT) seperti potong, ikat, gelas, piring, atau alat lain yang biasa digunakan di rumah tangga. Selanjutnya dikonversi ke dalam satuan gram. Agar diperoleh hasil yang teliti maka perlu dilatih sebelumnya mengenai penggunaan URT dan mengkonversikannya ke satuan berat (Hardinsyah et al 2002).

(15)

Kebiasaan Makan

Kebiasaan makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengonsumsi sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologi, psikologi, dan sosial budaya (Sanjur 1982). Menurut Wirakusumah (1994) kebiasaan makan keluarga menjadi contoh bagi generasi muda dalam keluarga tersebut. Kebiasaan makan adalah faktor penting yang mempengaruhi status gizi dan kesehatan. Variasi makanan diperkirakan dapat mengurangi risiko terhadap penyakit dan dapat mencegah penyakit. Kebiasaan makan mencerminkan terjadinya kelebihan asupan dan penyakit akibat gizi (Atmarita 2004).

Kebiasaan makan yang tergesa-gesa, termasuk kurang mengunyah akan membawa efek yang kurang menguntungkan bagi pencernaan dan mengakibatkan cepat merasa lapar kembali. Rasa lapar yang sering muncul akan berakibat pada konsumsi makanan yang tidak tepat pada waktunya dan bertambahnya intik makanan. begitu pula jika frekuensi makan tidak teratur, jarak antara dua waktu makan yang terlalu panjang menyebabkan adanya kecendrungan untuk makan lebih banyak dan melebihi kebutuhan (Wirakusumah 1994). Faktor kebiasaan makan, disamping faktor genetik, lingkungan, perilaku dan sosial budaya adalah faktor utama yang menjadi pemicu ketidakmampuan tersebut (Blackburn 2001).

Perkembangan Kecerdasan Anak

(16)

Perkembangan mempunyai arti suatu pola perubahan (change) atau pergerakan (movement) yang dimulai dari periode konsepsi (di dalam kandungan) dan berlangsung terus-menerus sepanjang siklus hidup (life cycle). Perkembangan meliputi pertumbuhan dengan pola pergerakan yang kompleks karena merupakan hasil dari beberapa proses yang simultan yaitu proses biologi, kognitif, dan sosial. Ketiga proses ini saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya (Santrock 1975 dalam Hurlock 1999).

Perkembangan fisik seseorang telah dimulai sejak masih berupa janin dalam kandungan dan sedikit demi sedikit berhenti sekitar 21 tahun. Perkembangan otak seseorang telah dimulai sejak janin masih berusia 3 bulan dalam kandungan ibu dan mengalami laju sangat pesat selama 3 tahun pertama setelah lahir. Pada usia tujuh bulan, perkembangan otak mencapai lebih dari 95 persen. Sejak usia tujuh bulan sampai mencapai usia dewasa, perkembangan otak berjalan sangat lambat sampai mencapai puncaknya pada usia 20-21 tahun pada pria selanjutnya, secara kontinu otak mengalami penyusutan berat dengan tingkat rata-rata 1 gram setiap tahun (Winarno dan Ong 2007).

Pencapaian suatu kemampuan pada setiap anak bisa berbeda-beda, namun demikian ada patokan umur tentang kemampuan apa saja yang perlu dicapai seorang anak pada umur tertentu. Perkembangan pada anak meliputi perkembangan gerakan (motorik), perkembangan komunikasi aktif dan pasif, perkembangan kecerdasan (kognisi), dan perkembangan kemampuan menolong diri sendiri dan kemampuan sosialisasi (Depkes 1997).

Kecerdasaan adalah kemampuan belajar disertai kecakapan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya. Kemampuan ini sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya intelegensi yang normal selalu menunjukkan kecakapan sesuai dengan tingkat perkembangan sebaya. Semakin tinggi kemampuan intelegensi seseorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk mencapai prestasi yang tinggi. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan intelegensi seseorang siswa maka semakin kecil peluangnya untuk mencapai prestasi yang tinggi (Hawadi 2001). Oleh karena itu, intelegensi yang baik atau kecerdasan yang tinggi merupakan faktor yang sangat penting bagi seorang anak dalam usaha belajar.

(17)

kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik-jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan antarpribadi, kecerdasan intrapribadi, kecerdasan naturalis.

Kecerdasan linguistik adalah kemampuan menggunakan kata-kata secara efektif, baik untuk mempengaruhi maupun memanipulasi. Kehidupan sehari-hari kecerdasan linguistik bermanfaat untuk berbicara, mendengarkan, membaca, dan menulis. Pekerjaan yang mengutamakan kecerdasan ini antara lain: guru, orator, bintang film, presenter TV, pengacara, penulis, dan sebagainya.

Kecerdasan Logis-Matematis melibatkan ketrampilan mengolah angka dan atau kemahiran menggunakan logika atau akal sehat. Kehidupan sehari-hari kecerdasan ini bermanfaat untuk menganalisa laporan keuangan, memahami perhitungan utang nasional, atau mencerna laporan sebuah penelitian. Pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan ini antara lain: akuntan pajak, programmer, ahli matematika, ilmuwan, dan sebagainya.

Kecerdasan Spasial melibatkan kemampuan seseorang untuk memvisualisasikan gambar di dalam kepala (dibayangkan) atau menciptakannya dalam bentuk dua atau tiga dimensi. Kecerdasan ini dalam kehidupan sehari-hari sangat dibutuhkan, misalnya: saat menghias rumah atau merancang taman, menggambar atau melukis,menikmati karya seni, dan sebagainya. Pekerjaan yang mengutamakan kecerdasan spasial antara lain: arsitek, pematung/ pemahat, penemu, designer, dan sebagainya.

Kecerdasan Kinestetik-Jasmani adalah kecerdasan seluruh tubuh dan juga kecerdasan tangan. Kecerdasan ini dalam kehidupan sehari-hari sangat diperlukan, misalnya: membuka tutup botol, memasang lampu di rumah, memperbaiki mobil, olah raga, dansa, dan sebagainya. Jenis pekerjaan yang menuntut kecerdasan ini antara lain: atlet, penari, pemain pantomim, aktor, penjahit, ahli bedah, dan sebagainya.

Kecerdasan Musikal melibatkan kemampuan menyanyikan lagu, mengingat melodi musik, mempunyai kepekaan akan irama, atau sekedar menikmati musik. Kehidupan sehari-hari, kecerdasan ini banyak manfaatnya dalam segala hal, misalnya saat menyanyi, memainkan alat musik, menikmati musik di TV / radio, dan sebagainya. Pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan ini antara lain: penyanyi, pianis / organis, disc jokey (DJ), teknisi suara, tukang stem piano, dan lain-lain.

(18)

dan pekerjaan, kecerdasan ini dinilai mutlak diperlukan dan seringkali disebut sebagai "yang lebih penting" dari kecerdasan lainnya untuk dapat sukses dalam hidup. Kecerdasan antarpribadi ini melibatkan banyak hal, misalnya kemampuan berempati, kemampuan memanipulasi, kemampuan "membaca orang", kemampuan berteman, dan sebagainya. Segala jenis pekerjaan yang berhubungan dengan orang lain pastilah membutuhkan kecerdasan ini, terutama publik figure, pemimpin, guru, konselor, dan lain-lain.

Kecerdasan Intrapribadi adalah kecerdasan memahami diri sendiri, kecerdasan untuk mengetahui “siapa diri saya sebenarnya”, untuk mengetahui “apa kekuatan dan kelemahan saya”. Kecerdasan ini merupakan kecerdasan untuk bisa merenungkan tujuan hidup sendiri dan untuk mempercayai diri sendiri. Pekerjaan yang menuntut kecerdasan Intrapribadi antara lain: wirausaha, konselor, terapis, dan lain-lain.

Kecerdasan Naturalis melibatkan kemampuan mengenali bentuk-bentuk alam di sekitar kita. Kehidupan sehari-hari, seseorang membutuhkan kecerdasan ini untuk berkebun, berkemah, atau melakukan proyek ekologi. Pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan naturalis antara lain: ahli biologi, dokter hewan, dan lain-lain.

Tingkat Kecerdasan Anak

Menurut Gani (1984) dalam Agustina (2003), cara mengukur kecerdasan anak dapat dilakukan dengan beberapa alternatif, yaitu pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran langsung dapat dilakukan dengan psikotes yang menghasilkan ukuran taraf kecerdasan (IQ). Pengukuran tidak langsung dapat dilakukan dengan memantau prestasi akademik para murid. Beberapa penelitian membuktikan bahwa berhasil tidaknya pertumbuhan dan perkembangan seseorang anak tidak bisa lepas dari sinergi faktor gizi, kesehatan, intelektual, emosional, dan spiritual secara sinergis.

(19)

kemampuan untuk berhitung, beranalogi, berimajinasi, dan memiliki daya kreasi serta inovasi (Boeree 2003).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IQ Anak

Tinggi rendahnya IQ seorang anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. IQ dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: (1) Faktor Genetik, kecerdasan dapat diturunkan melalui gen-gen dalam kromosom. Oleh karena itu, ayah-ibu yang cerdas akan melahirkan anak yang cerdas pula (Boeree 2003); (2) Faktor Gizi, gizi yang baik sangat penting untuk pertumbuhan sel-sel otak, terutama pada saat hamil dan pada waktu bayi, di mana sel-sel otak sedang tumbuh dengan pesatnya. Kekurangan gizi pada saat pertumbuhan, bisa berakibat berkurangnya jumlah sel-sel otak dari jumlah yang normal. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kerja otak tersebut di kemudian hari. Penelitian yang dilakukan oleh Wibowo et al. (1995), telah membuktikan bahwa status gizi anak mempunyai dampak positif terhadap inteligensinya; (3) Faktor Lingkungan, lingkungan yang baik adalah lingkungan yang dapat memberikan kebutuhan mental bagi anak. Kebutuhan mental meliputi kasih sayang, rasa aman, pengertian, perhatian, penghargaan serta rangsangan intelektual. Kekurangan rangsangan intelektual pada masa bayi dan balita dapat menyebabkan hambatan pada perkembangan kecerdasannya. Faktor lingkungan lain yang juga mempunyai efek positif terhadap kecerdasan anak antara lain: hubungan orang tua dan anak, tingkat pedidikan ibu, dan riwayat sosial-budaya (Wibowo et al. 1995). Menurut Mc Wayne (2004), anak yang tumbuh dengan penghasilan orang tua yang rendah mempunyai risiko tertundanya perkembangan kognitif yang lebih tinggi dibandingkan anak yang tumbuh dengan penghasilan orang tua yang tinggi.

Prestasi Belajar

(20)

Menurut Hawadi (2001), prestasi belajar merupakan gambaran penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang diberikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar anak dapat berasal dari dalam dirinya sendiri (faktor internal), maupun dari luar dirinya (faktor eksternal). Faktor internal meliputi kecerdasan/intelegensi, bakat, minat, dan motivasi, sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Motivasi berprestasi merupakan salah satu faktor yang berperan pencapaian prestasi seseorang. Motivasi berprestasi berhubungan dengan kebutuhan untuk berprestasi yang mengarahkan tingkah laku seseorang dalam bertindak untuk mencapai prestasi. Selain itu, motivasi berprestasi merupakan kekuatan yang berhubungan dengan pencapaian beberapa standar keunggulan yang merupakan suatu dorongan yang terdapat di dalam diri seseorang untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya (MC Clelland 1976 dalam Setiawati 2007).

Menurut Rahayu (1976) dalam Rina (2008) menyatakan bahwa prestasi belajar anak dapat diukur melalui skor prestasi belajar dari beberapa mata pelajaran yang meliputi Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu pengetahuan Alam, dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Skor prestasi belajar merupakan hasil yang diwujudkan dalam bentuk angka (Soemantri 1978 dalam Agustina 2003).

Prestasi belajar siswa dapat diukur melalui skor prestasi belajar dari beberapa mata pelajaran. Skor prestasi belajar merupakan hasil yang diwujudkan dalam bentuk angka. Perubahan positif yang terjadi pada diri anak menunjukkan adanya hasil belajar (Winkel 1996).

Keluarga adalah tempat dimana anak memperoleh dasar dalam bentuk kemampuannya agar menjadi orang yang berhasil di masyarakat. Sejak dini anak perlu belajar disiplin waktu dan diri karena kebiasaan disiplin yang sudah terbentuk sejak dini akan memudahkan anak dalam pergaulan dan hubungan sosial. Kebiasaan disiplin diri dan disiplin waktu ini mendukung kelancaran perkembangan kognitif dan prestasi di sekolah (Gunarsa & Gunarsa 2006).

Proses dan Sarana Belajar

(21)

umumnya harus dimiliki oleh anak dalam proses belajar meliputi ruang belajar, meja belajar, lampu belajar, buku pelajaran, buku catatan, dan alat tulis.

Tersedianya sarana belajar yang memadai memungkinkan anak dapat belajar dengan baik, sehingga memungkinkan anak mencapai prestasi belajar yang baik. Menurut Darman (1984) dalam (Siregar 2003) bahwa salah satu faktor yang menentukan prestasi belajar adalah adanya fasilitas belajar yaitu perlengkapan belajar. Apabila kebutuhan dan perlengkapan belajar kurang terpenuhi dapat membawa akibat yang negatif, misal anak tidak bisa belajar dengan baik sehingga sulit diharapkan untuk mencapai prestasi yang tinggi.

Fasilitas belajar dapat mempengaruhi proses belajar seseorang. Kurangnya fasilitas menyebabkan siswa kurang dapat mengaktualisasikan kemampuan dasar yang dimilikinya, sehingga dapat menimbulkan kegagalan dalam prestasi akademiknya. Segala bentuk kegiatan belajar mutlak diperlukan alat-alat tulis. Semakin lengkap alat tulis yang dimilki maka semakin lancar proses belajarnya (Gunarsa & Gunarsa 2006).

(22)

KERANGKA PEMIKIRAN

ASI (Air Susu Ibu) merupakan makanan eksklusif bagi bayi. ASI tak dapat digantikan oleh makanan atau minuman lainnya, karena ASI mengandung zat gizi yang paling tepat, lengkap dan ideal bagi kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan bayi (Khasanah 2011). Pemberian ASI Eksklusif dapat mencegah bayi dari berbagai penyakit infeksi dan resiko penyakit lainnya karena ASI mengandung zat kekebalan tubuh. Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Alan Lucas dan para koleganya di Institute for Child Care di Great Ormond Street Hospital, London menunjukkan bahwa anak-anak yang pada masa bayi menerima setidaknya sedikit ASI memiliki nilai tes IQ yang lebih tinggi dibanding yang hanya mendapat formula standar (Julianto 2010). Penelitian yang dilakukan tahun 1992 di Flinders Medical Center terhadap 32 bayi usia enam bulan, menemukan bayi-bayi yang diberi ASI, kecerdasan mentalnya 40 persen lebih tinggi dibanding bayi-bayi yang mendapat susu non-ASI. Kecerdasan mental pada bayi yang disusui dengan ASI memperlihatkan bayi tersebut tumbuh menjadi orang yang lebih cerdas (Pambudy 2010). Penelitian lain juga telah membuktikan bahwa pemberian ASI meningkatkan perkembangan kognitif bayi dan meningkatkan IQ (Jacobson, Chiodo & Jacobson 1999). Konsumsi pangan dan praktek pemberian ASI dapat didukung dengan karakteristik orangtua dan karakteristik anak.

Karakteristik orangtua berhubungan dengan perkembangan kecerdasan otak anak. Menurut Hurlock (1999) menyatakan bahwa proses perkembangan anak dipengaruhi oleh bentuk, jenis, dan hubungan antara anggota keluarga, serta sikap dan tingkah laku anggota keluarga terhadap anak. Penghasilan orang tua yang rendah menyebabkan terhambatnya perkembangan kognitif anak (Mc Wayne 2004). Menurut Ariani & Purwantini (2010) dalam Paramitadewi (2010), menyatakan bahwa semakin besar pendapatan keluarga maka akan semakin banyak jumlah uang yang dibelanjakan untuk konsumsi. Karakteristik orangtua yang dianalisis hubungannya dengan kecerdasan logika matematika anak dalam penelitian ini antara lain usia, tingkat pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan. Selain itu, karakteristik anak seperti umur, jenis kelamin, dan uang saku juga menjadi variabel yang dianalisis hubungannya dengan kecerdasan logika matematika anak.

(23)

yang diberi ASI memiliki IQ lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang tidak diberi ASI. Oleh sebab itu kecerdasan anak yang dilihat dari aspek kecerdasan logika-matematika anak diteliti, meliputi IQ dan hasil prestasi belajar matematika (nilai raport matematika dan nilai tes hasil belajar matematika). Faktor luar yang juga berkaitan terhadap kecerdasan logika-matematika anak adalah fasilitas belajar. Intelegensi juga harus didukung oleh fasilitas belajar karena walaupun tingkat intelegensi tinggi namun pemenuhan fasilitas tidak lengkap maka prestasi yang dicapai tidak akan maksimal. Oleh sebab itu, hasil prestasi belajar matematika yang dihubungkan dengan fasilitas belajar diteliti.

Pertumbuhan dan perkembangan anak tidak lepas dari kebiasaan makan. Kebiasaan makan anak yang tidak teratur akan mengakibatkan konsumsi makan menjadi kurang teratur. Konsumsi pangan sangat berhubungan dengan status gizi anak. Jika konsumsi pangan anak tercukupi semua kebutuhan energi dan zat gizinya diharapkan akan menghasilkan status gizi yang baik dan terhindar dari masalah kesehatan kurang gizi. Sebaliknya, jika anak tidak tercukupi semua kebutuhan energi dan zat gizinya maka akan menghasilkan status gizi kurang dan rawan terhadap masalah kesehatan kurang gizi. Status gizi akan mempengaruhi tingkat kecerdasan anak dan kemampuan anak dalam menangkap pelajaran di sekolah, sehingga anak yang memiliki status gizi yang kurang, tidak optimal dalam menangkap pelajaran disekolah.

(24)

Keterangan :

= variabel yang diteliti = hubungan yang diteliti = variabel yang tidak diteliti = hubungan yang tidak diteliti

Gambar 1 Skema kerangka pemikiran Genetik

Karakteristi orangtua :

Usia

Pendidikan

Pekerjaan

Pendapatan

Karakteristik siswa :

Usia

Jenis Kelamin

Uang saku

Status Gizi

Konsumsi Pangan

Praktek Pemberian ASI

Praktek ASI dan alasan pemberian ASI, durasi pemberian ASI, pemberian susu non-ASI

Fasilitas Belajar

Kebiasaan Makan

Prestasi Belajar Matematika

(25)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu

Desain penelitian ini adalah cross sectional study, dilakukan di SDN 09 Pagi Pademangan Barat Jakarta Utara. Pemilihan lokasi sekolah dasar dilakukan secara purposive yaitu sekolah dasar yang sudah mempergunakan test IQ untuk mengukur tingkat kecerdasan anak. Pemilihan tersebut berdasarkan pertimbangan kemudahan dalam melakukan penelitian.Waktu pengambilan data berlangsung mulai bulan Mei-Juli 2011.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Populasi contoh dalam penelitian ini adalah siswa kelas 4 SDN 09 Pagi Pademangan Barat Jakarta Utara. Pemilihan populasi contoh dilakukan secara purposive berdasarkan izin dari pihak sekolah. Populasi contoh berjumlah 41 siswa, namun yang termasuk kriteria inklusi berjumlah 38 siswa, sehingga jumlah contoh yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 38 siswa. Kriteria inklusi dalam penarikan contoh penelitian ini yaitu 1) telah melakukan tes IQ untuk mengukur tingkat kecerdasan, 2) bersedia diwawancara, 3) bersedia memberikan keterangan yang lengkap, jelas, dan benar.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik sosial ekonomi keluarga, karakteristik siswa, recall konsumsi pangan, FFQ, kebiasaan makan, fasilitas belajar, dan praktek pemberian ASI. Frekuensi konsumsi contoh yang ditampilkan untuk melihat pola kebiasaan makan dan dilakukan dengan metode recall 2 x 24 jam serta FFQ. Data sekunder mencakup keadaan umum sekolah, tingkat kecerdasan (IQ), hasil prestasi belajar matematika (nilai rapor matematika dan tes hasil belajar matematika). Tingkat kecerdasan (IQ) yang diperoleh adalah tes IQ siswa pada saat pengukuran tes kecerdasan di kelas 4 semester satu di SDN 09 Pagi Pademangan Barat, sedangkan data hasil prestasi belajar matematika yang diperoleh adalah nilai rapor matematika dan tes hasil belajar matematika kelas 4 semester satu.

(26)

mengukur berat badan adalah timbangan injak, sedangkan alat yang digunakan untuk mengukur tinggi badan adalah microtoise dengan ketelitian 0.1 cm. Data karakteristik sosial ekonomi keluarga (umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan keluarga per bulan) serta praktek pemberian ASI dikumpulkan dengan memberikan kuesioner yang diisi oleh orangtua siswa.

Data praktek pemberian ASI contoh diperoleh dengan memberikan kuesioner yang diisi oleh orangtua contoh. Kuesioner praktek pemberian ASI berisi informasi tentang praktek pemberian ASI eksklusif dan alasannya, durasi pemberian asi dan asi eksklusif, pemberian susu non ASI, dan mulai diberikan susu non ASI.

Data kebiasaan makan meliputi frekuensi makan lengkap setiap hari, kebiasaan sarapan pagi, kebiasaan minum susu, kebiasaan mengkonsumsi lauk hewani, kebiasaan mengkonsumsi lauk nabati, kebiasaan mengkonsumsi sayur dan buah, kebiasaan membawa bekal ke sekolah, kebiasaan membawa air minum ke sekolah, dan kebiasaan jajan di sekolah. Siswa diminta untuk menjawab pertanyaan terbuka mengenai makanan jajanan yang sering dibeli. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dengan menggunakan metode wawancara.

Data konsumsi pangan contoh dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dengan metode recall 2 x 24 jam. Data konsumsi pangan meliputi jenis dan jumlah konsumsi pangan yang dikonsumsi selama 2 hari. Menurut Supariasa et al. (2001) bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intik harian individu.

Data ukuran jenis dan frekuensi konsumsi pangan selama 1 bulan terakhir dikumpulkan dengan menggunakan Food Frequency Quotientnaire (Supariasa 2002). Ukuran (kemasan) pangan dikelompokkan berdasarkan ukuran rumah tangga (URT). Frekuensi konsumsi pangan dikelompokkan menjadi empat yaitu sering (≥5 kali/minggu), kadang-kadang (3-4 kali/minggu), jarang (1-2 kali/minggu), dan tidak pernah (0 kali/minggu).

(27)

tempat belajar (meja belajar pribadi di rumah siswa), ruang belajar pribadi, memiliki buku pelajaran yang lengkap, dan memiliki alat-alat tulis. Data mengenai keadaan umum sekolah diperoleh melalui informasi baik lisan maupun tulisan dari pihak guru.

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia. Data yang dikumpulkan melalui wawancara dan pencatatan dikomputerasi dengan menggunakan perangkat lunak Microsft Excell 2007 dan SPSS 16.0 for Windows. Pengolahan data yang dilakukan berupa editing, coding, scoring, entry, dan analisis data. Statistik deskriptif menggambarkan tentang ringkasan data-data penelitian seperti mean dan standar deviasi. Hubungan antar variabel yang berupa data katagorik diuji menggunakan korelasi Spearman sedangkan untuk data numerik digunakan uji korelasi Pearson.

Data karakteristik sosial ekonomi terdiri atas jumlah anggota keluarga, usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan serta jenis pekerjaan. Jumlah anggota keluarga diklasifikasi menjadi 3 kelompok (≤4, 5, dan >5 orang). Usia orangtua diklasifikasi menjadi 3 kelompok yaitu dewasa muda (20-40), dewasa madya (41-65), dan dewasa tua (≥65). Tingkat pendidikan dibagi menjadi 4 golongan yaitu tidak tamat SD/ tamat SD, tamat SMP atau sederajat, tamat SMA atau sederajat, >SMA (akademik/ D3, Sarjana, dan Pasca Sarjana). Jenis pekerjaan orangtua dibagi menjadi dua bagian yaitu pekerjaan ibu dan ayah. Pekerjaan ibu dibagi menjadi 4 golongan yaitu pegawai, ibu rumah tangga, pedagang, dan lainnya. Pekerjaan ayah dibagi menjadi 4 golongan yaitu pegawai, wiraswasta, pedagang, dan lainnya. Tingkat pendapatan keluarga dibagi menjadi 3 golongan yaitu [1] < Rp 1.000.000, [2] Rp 1.000.000-Rp 2.000.000, [3] > Rp 2.000.000.

(28)

IMT =

Praktek pemberian ASI secara umum terdiri atas praktek ASI eksklusif dan alasannya, durasi pemberian ASI dan ASI Eksklusif. Selain itu, terdapat data praktek pemberian susu non-ASI dan mulai diberikan susu non ASI. Seluruh data tersebut diolah secara deskriptif kemudian hasilnya dianalisis untuk mengetahui hubungan antar variabel.

Data hasil prestasi belajar diperoleh melalui nilai rapor matematika dan tes hasil belajar matematika kelas 4 semester satu tahun ajaran 2010-2011. Selanjutnya nilai yang diperoleh dikelompokkan menjadi empat kategori prestasi belajar berdasarkan Pedoman Buku Rapor dari Depdiknas, yaitu kurang (<60), cukup (60-69), lebih dari cukup (70-79), dan baik (>80). Intelligence Quotient diperoleh dari hasil test IQ anak pada saat tes pengukuran tingkat kecerdasan kelas 4 semester satu di SDN 09 Pagi Jakarta Utara. Selanjutnya skor IQ yang diperoleh dikelompokkan menjadi delapan kategori berdasarkan Taraf Kecerdasan yaitu sangat kurang (<69), kurang (69-79), rata-rata kurang (80-89), sedang (90-109), rata-rata cerdas (110-119), cerdas (120-139), sangat cerdas (140-160), istimewa cerdas (> 160).

Data kebiasaan makan contoh dinilai dari 9 pertanyaan tentang : 1) frekuensi makan lengkap setiap hari; 2) kebiasaan sarapan pagi; 3) kebiasaan mengonsumsi susu; 4) kebiasaan mengonsumsi lauk hewani; 5) kebiasaan mengonsumsi lauk nabati; 6) kebiasaan mengonsumsi sayur dan buah; 7) kebiasaan membawa bekal ke sekolah; 8) kebiasaan membawa air minum; dan 9) kebiasaan jajan. Kriteria jawaban dibagi menjadi empat yaitu : 1) Selalu, jika konsumsinya 5-7 kali/minggu; 2) Kadang-kadang, jika konsumsinya 3-4 kali/minggu; 3) Jarang, jika konsumsinya 1-2 kali/ minggu; 4) Tidak pernah.

Data konsumsi pangan individu yang dikumpulkan ditabulasi dan kemudian dirata-ratakan per bahan pangan hingga diperoleh rata-rata per kelompok. Selanjutnya dikonversi ke dalam bentuk energi, protein, lemak, dan karbohidrat dengan menggunakan Daftar Konversi Bahan Makanan (DKBM 2008). Konversi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Kgij = {(Bj/100) x Gij x (BDDj/100)} Keterangan :

(29)

Gij = Kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan makanan-j BDDj = Bagian bahan makanan-j yang dapat dimakan

Angka kecukupan energi contoh, dihitung dengan menggunakan rumus menurut sebagai berikut :

AKGi = {(88.5-61.9 x Usia) + (26.7 x BB x 1.31) + 90.3TB +25} Keterangan :

AKGi = angka kebutuhan energi U = usia contoh (tahun) BB = berat badan contoh (kg) TB = tinggi badan contoh (cm)

Setelah konsumsi energi dan zat-zat gizi diketahui, serta angka kebutuhan dan kecukupan contoh juga diketahui, selanjutnya dihitung Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) terutama energi dan protein bagi setiap individu dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

TKGi = Ki / AKGi x 100% Keterangan :

TKGi = tingkat kecukupan zat gizi i Ki = konsumsi zat gizi i

AKGi = angka kebutuhan/kecukupan gizi berdasarkan berat badan

Definisi Operasional

Contoh adalah siswa-siswai kelas 4 SDN 09 Pagi Jakarta Utara yang sudah melakukan tes IQ sebagai pengukuran tingkat kecerdasan.

Fasilitas Belajar adalah cara dan sarana belajar yang dapat memperlancar prestasi belajar siswa kelas 4 SDN 09 Pagi Jakarta Utara.

Sarana belajar adalah sarana dan prasarana yang memudahkan dan memperlancar prestasi belajar siswa seperti ruang belajar pribadi, meja belajar pribadi, alat belajar, media belajar, dan les.

Proses Belajar adalah kegiatan belajar siswa yang dapat memperlancar prestasi akademik siswa seperti mengerjakan PR di rumah, mengulang kembali pelajaran di rumah, dan belajar ditemani orangtua.

(30)

Intelligence Quotient atau IQ adalah skor atau nilai hasil pengukuran intelegensi yang diperoleh dari beberapa tes yang bertujuan untuk mengukur tingkat kecerdasan anak.

Karakteristik siswa adalah ciri-ciri yang dimilki siswa yang meliputi usia, jenis kelamin, uang saku, dan status gizi.

Karakteristik sosial ekonomi keluarga adalah ciri-ciri yang dimilki ibu dan ayah, meliputi usia, tingkat pendidikan, pendapatan keluarga per bulan, dan pekerjaan.

Kebiasaan makan adalah frekuensi pangan serta cara contoh memilih dan mengkonsumsi makanan yang terjadi dalam jangka waktu tertentu dan dilakukan secara kontinu.

Kecerdasan logika-matematika adalah kecerdasan yang diukur melalui tes Intellegence Quation (IQ) dan hasil prestasi belajar (nilai raport matematika dan tes hasil belajar matematika).

Konsumsi Pangan adalah data mengenai jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh contoh melaui metode food recall 2x24 jam.

Praktek ASI adalah pemberian ASI kepada bayi selama 2 tahun pertama kehidupannya.

Praktek pemberian ASI adalah riwayat pemberian ASI oleh ibu pada bayinya yang mencakup praktek ASI eksklusif dan alasannya, durasi pemberian ASI dan ASI ekkslusif, dan pemberian susu non ASI.

Praktek pemberian susu non-ASI adalah praktek pemberian susu formula yang diberikan ibu kepada anak, meliputi praktek susu formula dan waktu pertama kali pengenalan.

Status gizi anak adalah contoh yang berstatus gizi kurus (-3 SD ≤ z ≤ -2 SD), normal (-2 SD ≤ z ≤ +1 SD), kegemukan (+1 SD ≤ z ≤ +2 SD), dan obesitas (z ≥ +2 SD).

Pekerjaan Orangtua adalah jenis pekerjaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu untuk memenuhi kebutuhan keluarga, meliputi pegawai, wiraswasta, pedagang, dan ibu rumah tangga.

Pendidikan orangtua adalah jenjang pendidikan formal terakhir ibu dan ayah yang telah ditamatkan.

(31)

Uang Saku adalah jumlah uang dalam rupiah yang diterima anak per bulan yang digunakan untuk membeli makanan dan non makanan.

Usia contoh adalah jumlah tahun durasinya anak hidup yang diperoleh dari selisih tanggal kelahiran dengan tanggal pengukuran status gizi.

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Sekolah

Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas 4 di Sekolah Dasar Negeri 09 Pagi Pademangan Barat Jakarta Utara. Pemilihan sekolah dilakukan secara purposive, yaitu sekolah yang sudah mengadakan tes Intelligence Quotient untuk melihat skor kecerdasan seseorang. Siswa kelas 4 sengaja diambil karena siswa sudah dapat menjawab ataupun mengisi kuesioner yang diberikan dan jarak umur siswa kelas 4 tidak terlalu jauh dengan praktek pemberian ASI serta skor kecerdasan siswa kelas 4 bervariasi mulai dari cerdas sampai kurang. Siswa kelas 5 sengaja tidak diambil karena skor kecerdasan siswa kelas 5 kurang bervariasi dan jarak usia siswa terlalu jauh dengan praktek pemberian ASI. Siswa kelas 6 sengaja tidak diambil karena khawatir akan menganggu konsentrasi siswa dalam menghadapi ujian akhir, sedangkan siswa kelas 3, 2, dan 1 juga tidak diambil sebagai contoh karena siswa dianggap belum memiliki pemahaman yang cukup untuk mengisi kuesioner yang diberikan.

Sekolah Dasar Negeri 09 Pagi Pademangan Barat Jakarta Utara terletak di Jalan Budi Mulya Rt 010/ 015. Sekolah Dasar Negeri 09 Pagi Pademangan Barat Jakarta Utara dipimpin oleh kepala sekolah yaitu Subiyat Edy A.P., S.Pd. MM. Jumlah guru/ staf pengajarnya ada 17 orang. Para guru tersebut dibantu oleh dua orang penjaga.

Jumlah siswa kelas 4 seluruhnya ada 41 orang, terdiri atas 24 laki-laki dan 17 perempuan. Waktu belajarnya dimulai dari pukul 07.00 s.d pukul 12.00 untuk kelas 4, 5, dan 6. Fasilitas yang dimilki oleh sekolah meliputi fasilitas fisik, lahan, dan non fisik. Fasilitas fisik yang dimilki meliputi ruang kelas, ruang guru, kantin, laboratorium komputer, tempat ibadah, gudang, toilet, perpustakaan. Fasilitas lahan yang ada terdiri atas lapangan olahraga dan taman. Fasilitas non fisik/ ekstrakurikuler yang ada di sekolah meliputi pramuka, seni tari, paskibra, qasidah, seni musik, futsal.

Karakteristik Siswa

(33)
[image:33.595.134.470.94.414.2]

Tabel 3 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik individu

Karakteristik individu n %

Jenis Kelamin

Laki-Laki 21 55.3

Perempuan 17 44.7

Total 38 100

Usia Siswa

10-11 tahun 34 89.5

> 11 tahun 4 10.5

Total 38 100

Uang Saku

≤ Rp 5000 12 31.6

Rp 6000-Rp 10000 23 60.5 Rp 11000-Rp 15000 3 7.9

Total 38 100

Rata-Rata±SD 7566±3085

Status Gizi

Sangat Kurus 1 2.6

Kurus 3 7.9

Normal 29 76.3

Gemuk 5 13.2

Total 38 100

Rata-Rata±SD -0.06±1.75

Jenis Kelamin, Agama, dan Usia

Tabel 3 diketahui bahwa jumlah siswa laki-laki kelas 4 SD Negeri 09 lebih banyak dibandingkan jumlah siswa perempuan. Hal ini terlihat dari persentase jumlah siswa laki-laki (55.3%) dan jumlah siswa perempuan (44.7%). Siswa dalam penelitian ini berusia 10-13 tahun dan persentase terbesar pada usia antara 10 sampai 11 tahun (89.5%) dan >11 tahun (10.5%). Seluruh contoh yang diambil beragama islam.

Uang Saku Siswa

(34)

Status Gizi

Berdasarkan Tabel 3, status gizi siswa diukur dengan menggunakan indikator IMT/U. WHO (1995) merekomendasikan z-score untuk mengevaluasi data antropometri anak, khususnya di negara berkembang, karena anak yang berada jauh di bawah persentil data acuan dapat diklasifikasikan secara akurat.

Menurut WHO (2007), status gizi seseorang diukur dengan menggunakan metode antropometri melalui perhitungan indeks IMT/U. Indeks IMT/U ini digunakan untuk seseorang yang berusia 9-24 tahun berdasarkan nilai z-score. Seseorang dikatakan kurus bila -3 SD ≤ z ≤ -2 SD, normal bila -2 SD ≤ z ≤ +1 SD, kegemukan bila +1 SD ≤ z ≤ +2 SD, dan obesitas bila z ≥ +2 SD. Berdasarkan IMT/U terdapat siswa dengan status gizi kurus (-3 SD ≤ z ≤ -2 SD) dengan persentase sebesar 2.6%. Sebagian besar siswa (76.3%) tergolong dalam kategori normal (2 SD ≤ z ≤ +1 SD). Rata-rata z-score siswa adalah -0.06±1.75. Gizi kurang mempengaruhi pertumbuhan otak anak sehingga dapat mengganggu dalam proses belajar. Anak gizi kurang ada kecenderungan kurang gairah dan lincah, tertinggal dalam belajar, dan kurang tanggap terhadap lingkungannya sehingga dapat mengakibatkan terhambatnya perkembangan kecerdasan anak. Gizi kurang pada anak juga dapat mempengaruhi perkembangan mental dan kecerdasan anak (Judarwanto 2004).

Karakteristik Keluarga Siswa

Karakterisitk keluarga siswa yang dilihat berdasarkan besar keluarga, usia orangtua siswa, dan kondisi sosial ekonomi keluarga. Kondisi ekonomi keluarga terdiri dari tingkat pendidikan ayah dan ibu, pekerjaan ayah dan ibu, dan tingkat pendapatan keluarga

Besar Keluarga

(35)

dikonsumsi dalam keluarga. Keluarga kecil yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak akan memiliki hubungan yang amat erat antara orangtua dengan anak sehingga akan mempengaruhi sikap pengasuhan orangtua terhadap proses belajar, sedangkan keluarga besar yang terdiri atas empat anak atau lebih, orangtua cenderung untuk mengasuh anak dengan sikap otoriter sehingga terjadi persaingan antar anak yang dapat merangsang keinginan untuk berprestasi (Satiadarma dan Waruwu 2003). Besar keluarga siswa tersebar pada kelompok keluarga kecil (31.6%) dan 44.7% siswa termasuk dalam kategori keluarga sedang.

Usia Orangtua Siswa

[image:35.595.109.481.421.625.2]

Umur orang tua siswa dapat dikelompokkan ke dalam usia dewasa muda (20-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa akhir atau usia lanjut (>60 tahun) (Ghozaly 2011). Mayoritas usia ayah berada dalam rentang dewasa madya dengan usia antara 41 sampai 65 tahun (52.6%). Sementara itu, usia ibu berada dalam rentang dewasa muda dengan rentang usia antara 20 sampai 40 tahun (76.3%).

Tabel 4 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik keluarga siswa (n=38)

Karakteristik Keluarga Siswa n %

Besar Keluarga

≤ 4 orang 12 31.6

5 orang 17 44.7

> 5 orang 9 23.7

Umur Ayah

Dewasa Muda (20-40) 18 47.4 Dewasa Madya (41-65) 20 52.6 Dewasa Tua (>65) 0 0.0 Umur Ibu

Dewasa Muda (20-40) 29 76.3 Dewasa Madya (41-65) 9 23.7 Dewasa Tua (>65) 0 0.0

Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga

(36)
[image:36.595.111.491.192.594.2]

Menurut Engel et al. (1994), tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak semakin besar. Sebagian besar ayah siswa bekerja sebagai pegawai (31.5%), sedangkan sebagian besar ibu siswa bekerja sebagai ibu rumah tangga (71.1%).

Tabel 5 Sebaran siswa berdasarkan kondisi sosial ekonomi keluarga (n=38)

Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga n % Pendidikan Ayah

Tidak Tamat SD/ Tamat SD 7 18.4

SMP/Sederajat 7 18.4

SMA/Sederajat 19 50.0

> SMA 5 13.2

Pendidikan Ibu

Tidak Tamat SD/ Tamat SD 6 15.8

SMP/Sederajat 14 36.8

SMA/Sederajat 15 39.6

>SMA 3 7.8

Pekerjaan Ayah

Pegawai 12 31.5

Wiraswasta 9 23.7

Pedagang 9 23.7

Lainnya 8 21.1

Pekerjaan Ibu

Pegawai 5 13.2

Ibu Rumah Tangga 27 71.1

Pedagang 6 15.7

Lainnya 0 0

Pendapatan Keluarga

< Rp 1000000 19 50

Rp 1000000-Rp 2000000 10 26.3

>Rp 2000000 9 23.7

(37)

Praktek Pemberian ASI

Praktek Pemberian ASI yang diamati pada penelitian ini yaitu pemberian ASI, ASI eksklusif dan alasannya, susu formula, serta durasi pemberian ASI. ASI merupakan makanan yang paling ideal bagi bayi karena mempunyai nilai gizi yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan bayi yang dibuat oleh manusia ataupun yang berasal dari susu hewan, seperti susu sapi, susu kerbau, atau susu kambing (Krisnatuti et al. 2006). Susu formula adalah susu bayi yang berasal dari susu sapi yang telah diformulasikan sedemikan rupa sehingga komposisinya mendekati ASI (Muchtadi 2002).

Praktek Pemberian ASI Eksklusif

ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI kepada bayi secara langsung oleh ibunya dan tidak diberikan makanan cair atau padat lainnya kecuali obat tetes atau sirup yang berisi suplemen vitamin, mineral, atau obat (Gibney et al. 2005). Praktek ASI eksklusif relatif sedikit ditemukan di SDN 09. Hal ini terlihat dari persentase praktek ASI eksklusif yang jumlahnya hanya 36.8%. Alasan ibu tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya cukup bervariasi. Alasan tertinggi dikarenakan ASI tidak keluar (62.5%). Hal ini sesuai dengan penelitian Rachmadewi (2009) bahwa praktek pemberian ASI eksklusif di perdesaan lebih tinggi (41.9%) dibandingkan perkotaan (25.8%).

(38)
[image:38.595.119.488.97.285.2]

Tabel 6 Sebaran riwayat pemberian ASI eksklusif di SD Negeri 09 (n=38)

Variabel n %

Pemberian Asi Esklusif

Ya 14 36.8

Tidak 24 63.2

Alasan tidak diberikan ASI Eksklusif

Bayi Menangis 3 12.5

ASI Tidak Keluar 15 62.5

Ibu Bekerja 6 25

Durasi Pemberian ASI Eksklusif

≤ 2 bulan 22 57.9

3-4 bulan 2 5.3

4-6 bulan 14 36.8

Pemberian ASI

Penelitian Wigati (2005) menunjukkan bahwa pemenuhan zat-zat gizi yang dibutuhkan untuk mengotimalkan kecerdasan pada periode tumbuh otak adalah melalui pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan diteruskan sampai waktu ideal (24 bulan).The U.S Surgeon General merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan meneruskan ASI sampai 12 bulan, dengan pengenalan makanan padat pada usia 4-6 bulan (Brown et al. 2005).

Tabel 7 Sebaran siswa berdasarkan durasi pemberian ASI

Durasi pemberian ASI n %

< 4 bulan 23 60.5

4-8 bulan 1 2.6

8-12 bulan 4 10.5

> 12 bulan 10 26.3

Total 38 100

Rata-rata 7.42±8.34

(39)

duniawi (Berg 1986). Roesli (2000) menjelaskan bahwa ASI sebagai makanan tunggal yang memenuhi kebutuhan bayi normal sampai usia 6 bulan. Setelah usia 6 bulan, bayi harus mulai diberikan makanan padat, tetapi ASI dapat diteruskan sampai usia 2 tahun atau lebih.

Pemberian Susu Formula

Muchtadi (2002) mendefinisikan susu formula adalah produk berupa tepung susu (umumnya susu sapi) yang telah diformulasikan sedemikian rupa sehingga komposisinya mendekati air susu ibu.

Tabel 8 Sebaran siswa berdasarkan pemberian susu formula (n=38)

Variabel n %

Pemberian Susu Formula

Ya 26 68.4

Tidak 12 31.6

Mulai pemberian susu formula

< 6 bulan 24 63.2

≥ 6 bulan 14 36.8

(40)

Kecerdasan Logika Matematika

Kecerdasan Logika-Matematika adalah kemampuan menggunakan angka dengan baik dan melakukan penalaran yang benar. Kecerdasan ini meliputi kepekaan ada pola dan hubungan logis, serta fungsi logis (Gunawan 2003). Kecerdasan logika-matematika melibatkan ketrampilan mengolah angka dan atau kemahiran menggunakan logika atau akal sehat. Dalam kehidupan sehari-hari kecerdasan ini bermanfaat untuk menganalisa laporan keuangan, memahami perhitungan, atau mencerna laporan sebuah penelitian. Pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan ini antara lain: akuntan pajak, programmer, ahli matematika, ilmuwan, dan sebagainya (Gardner dalam Armstrong 2002). Menurut Gani (1984) dalam Agustina (2003), cara mengukur kecerdasan anak dapat dilakukan dengan beberapa alternatif, yaitu pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran langsung dapat dilakukan dengan psikotes yang menghasilkan ukuran taraf kecerdasan (IQ). Pengukuran tidak langsung dapat dilakukan dengan memantau prestasi akademik para murid. Kecerdasan logika matematika dapat diukur dengan menggunakan pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran langsung dengan menggunakan Intelligence Quetion (IQ) kelas 4 semester satu dan pengukuran tidak langsung dengan menggunakan prestasi belajar matematika yang dilihat dari nilai raport matematika dan tes hasil belajar matematika kelas 4 semester satu.

Nilai Intelligence Quotient Siswa

(41)
[image:41.595.116.473.129.314.2]

adanya kemampuan yang mudah dalam mempelajari sesuatu hal oleh seseorang yang memiliki tingkat intelegensi yang tinggi (Dalyono 2007).

Tabel 9 Sebaran siswa berdasarkan skor intelligence quotient

Skor Intelligence Quotient (IQ) n %

Sangat Kurang (<69) 0 0

Kurang (69-79) 11 28.9

Rata-rata Kurang (80-89) 12 31.6 Sedang (90-109) 11 28.9 Rata-rata Cerdas (110-119) 2 5.3

Cerdas (120-139) 2 5.3

Sangat Cerdas (140-160) 0 0 Istemewa Cerdas (> 160) 0 0

Total 38 100

Rata-Rata±SD 87.7±16.5

Prestasi Belajar Matematika

Prestasi belajar merupakan salah satu ukuran dari tingkat kecerdasan anak. Prestasi belajar siswa dapat diukur melalui skor prestasi belajar dari beberapa mata pelajaran. Hasil evaluasi tersebut diukur dengan menggunakan nilai rapor (Winkel 1996).

Tabel 10 Sebaran siswa berdasarkan prestasi belajar matematika (n=38)

Variabel n %

Nilai Raport Matematika

Kurang (<60) 8 21.1

Cukup (60-69) 15 39.5

Lebih dari cukup (70-79) 11 28.9

Baik (>80) 4 10.5

Rata-rata±SD 64.2±8.4

Tes hasil belajar

Kurang (<60) 18 47.4

Cukup (60-69) 7 18.4

Lebih dari cukup (70-79) 4 10.5

Baik (>80) 9 23.7

Rata-rata±SD 65.8±14.7

(42)

dalam kategori prestasi belajar yang baik sedangkan 39.5% (15 orang) dalam kategori prestasi belajar cukup. Rata-rata nilai raport matematika kelas 4 semester satu adalah 64.2 dengan standar deviasi 8.4. Sementara itu, nilai tes harian bersama (THB) matematika, hanya terdapat 23.7% (9 orang) siswa yang termasuk dalam kategori prestasi belajar yang baik sedangkan 47.4% (18 orang) dalam kategori prestasi belajar kurang. Rata-rata nilai tes harian bersama (THB) matematika kelas 4 semester satu adalah 65.8 dengan standar deviasi 14.7. Menurut Dalyono (2007), seseorang yang memiliki intelegensi yang baik (IQ tinggi) umumnya mudah belajar dan hasilnya pun cenderung baik. Sebaliknya orang yang intelegensi rendah, cenderung mengalami kesukaran dalam belajar, lambat berpikir, sehingga prestasi belajarnya pun rendah.

Kebiasaan Makan Siswa

Kebiasaan makan merupakan istilah yang menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata krama makan, distribusi makan antaranggota keluarga (Suhardjo 1989). Kebiasaan makan yang jelek dicerminkan dengan terjadinya kelebihan asupan dan penyakit akibat gizi (Atmarita 2005). Kebiasaan makan siswa yang dilihat adalah frekuensi makan, kebiasaan sarapan, kebiasaan minum susu, jumlah susu yang biasa diminum, jenis susu yang dikonsumsi, konsumsi pangan hewani, konsumsi pangan nabati, konsumsi sayuran, konsumsi buah, kebiasaan membawa bekal, kebiasaan membawa air minum ke sekolah, kebiasaan jajan di sekolah, dan jenis makanan yang sering dibeli.

Frekuensi Makan Sehari

Seseorang yang dianjurkan untuk makan secara teratur dan pada jam-jam tertentu, yaitu tiga kali sehari (Purwati, Rahayu, & Salimar 2002). Hal ini untuk menghindari makan secara berlebihan yang dapat menyebabkan seseorang mengalami kelebihan berat badan. Siswa yang diteliti sebagian besar terbiasa makan tiga kali sehari. Hal ini terlihat pada persentase tertinggi terdapat pada frekuensi makan tiga kali sehari sebesar 92.1%.

Tabel 11 Sebaran siswa berdasarkan frekeunsi makan

Frekuensi Makan sehari n %

2 kali 3 7,9

3 kali 35 92,1

(43)

Kebiasaan Sarapan

Sarapan merupakan kegiatan yang penting dilakukan, tetapi seringkali ditinggalkan dengan berbagai alasan. Sarapan memberikan energi pada seseorang untuk melakukan kegiatan di siang hari, namun terkadang seseorang malas untuk sarapan dengan alasan ingin kurus, terburu-buru atau malas makan (Wirakusumah 1994).

Tabel 12 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan sarapan

Kebiasaan Sarapan n %

Selalu 35 92.1

Kadang-kadang 3 7.9

Jarang 0 0.0

Tidak Pernah 0 0

Total 38 100

Tabel 12 menjelaskan tentang kebiasaan sa

Gambar

Tabel 3 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik individu
Tabel 4 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik keluarga siswa (n=38)
Tabel 5 Sebaran siswa berdasarkan kondisi sosial ekonomi keluarga (n=38)
Tabel 6  Sebaran riwayat pemberian ASI eksklusif di SD Negeri 09 (n=38)
+7

Referensi

Dokumen terkait