Ketahanan pangan merupakan salah satu prioritas dalam pembangunan baik secara nasional, provinsi maupun lingkup kabupaten. Food and Agriculture Organization (2015) merumuskan empat dimensi yang harus diperhatikan keberlanjutannya untuk mencapai ketahanan pangan, yaitu ketersediaan makanan (availability), akses yang terjangkau (access), penggunaan dan pemanfaatan makanan (utilization), dan stabilitas pasokan dan akses (stability).
Selanjutnya, FAO juga menyebutkan bahwa ketersediaan fisik pangan dapat merujuk pada βsisi pasokanβ ketahanan pangan yang ditentukan oleh tingkat produksi pangan, tingkat stok, dan perdagangan bersih. Namun demikian, pasokan makanan yang memadai di tingkat nasional atau internasional tidak dengan sendirinya menjamin keamanan pangan di tingkat rumah tangga karena kurangnya akses pangan. Sementara itu, pemanfaatan makanan berkaitan dengan gizi individu yang dalam hal ini umumnya dipahami sebagai cara tubuh memanfaatkan berbagai nutrisi dalam makanan. Terakhir, stabilitas mengacu pada kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhan secara berkala, bukan hanya untuk hari ini saja. Agar tujuan ketahanan pangan dapat terwujud, keempat dimensi ini harus dipenuhi secara bersamaan.
Permasalahan ketahanan pangan saat ini adalah masih kurangnya peningkatan komoditas unggulan pertanian di setiap daerah, serta sistem cadangan dan distribusi pasokan bahan pangan yang berjalan kurang efisien. Dengan adanya masalah tambahan, ketahanan pangan menjadi sangat penting sekaligus rentan pada situasi bencana, termasuk bencana wabah penyakit seperti pandemi Coronavirus Disease 19 (COVID-19).
Analisis ketahanan merupakan informasi bagi para pengambil keputusan untuk secara cepat dalam mengidentifikasi daerah yang lebih rentan, dimana investasi dari berbagai sektor seperti pelayanan jasa, pembangunan manusia dan infrastruktur yang berkaitan dengan ketahanan pangan dapat memberikan dampak yang lebih baik terhadap penghidupan, ketahanan pangan dan gizi masyarakat pada tingkat desa.
Pengembangan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan atau Food Security And Vunerability Atlas (FSVA) tingkat desa merupakan hal yang sangat penting, dimana kondisi ekologi, kondisi iklim yang dinamis dan keragaman sumber penghidupan masyarakat menunjukkan adanya perbedaan situasi ketahanan pangan dan gizi di masing-masing wilayah. FSVA Kabupaten akan menjadi alat yang sangat penting dalam perencanaan dan pengambilan keputusan untuk mengurangi kesenjangan ketahanan pangan terutama dalam menghadapi Pandemi COVID-19 di Kabupaten Kuningan.
23 Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : a. bagaimana kondisi ketahanan dan
kerentanan pangan di Kabupaten Kuningan?
b. bagaimana hubungan ketahanan pangan dan kerentanan pangan di Kabupaten dalam menghadapi pandemi COVID 19? Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. mengetahui kondisi ketahanan dan
kerentanan pangan di Kabupaten Kuningan;
b. mengetahui hubungan ketahanan pangan dan kerentanan pangan di Kabupaten dalam menghadapi pandemi COVID 19. Sasaran
Sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. tersedianya informasi tentang ketahanan
dan kerentanan pangan sebagai instrumen untuk monitoring ketahanan pangan Kabupaten Kuningan; dan b. tersedianya rekomendasi tentang
ketahanan pangan dalam menghadapi pandemi COVID 19.
Gambar 1 : Kerangka Pemikiran Kerangka Pemikiran
24
Metodologi Penelitian
Pendekatan Penelitian Jenis Penelitian
Jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi kasus (case study), yaitu penelitian yang dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu masalah yang menjadi objek penelitian, Data-data dalam bentuk angka yang terukur (data kuantitatif)
diolah dengan perhitungan dengan terkomputerisasi melalui analisis Sistem Informasi Geografis dan analisis statistik. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data sekunder yang meliputi data-data mengenai kondisi fisik dan sosial-ekonomi. Adapun rincian data yang akan digunakan anta lain berupa :
Tabel 1. Indikator FSVA Kabupaten 2019
Indikator Definisi Sumber Data
A. Aspek Ketersediaan Pangan
Rasio luas baku lahan sawah terhadap luas wilayah desa
Luas baku lahan sawah dibandingkan luas wilayah desa
BPS; Pusat Data Informasi Kementan 2018
Rasio jumlah sarana dan prasarana penyedia pangan terhadap jumlah rumah tangga
Jumlah sarana dan prasarana ekonomi (pasar, minimarket, toko, warung, restoran dll) dibandingkan jumlah rumah tangga desa
Potensi Desa 2018, BPS Jumlah Rumah Tangga 2018 dari Proyeksi Sensus Penduduk (SP) 2010
B. Aspek Akses terhadap Pangan
Rasio jumlah penduduk dengan tingkat kesejahteraan terendah terhadap jumlah penduduk desa
Jumlah penduduk dengan status kesejahteraan terendah (penduduk dengan tingkat kesejahteraan pada Desil 1) dibandingkan jumlah penduduk desa
Data Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin (SK.71/2018)
Jumlah Rumah Tangga 2018 dari Proyeksi SP 2010
Desa yang tidak memiliki akses penghubung memadai melalui darat, air maupun udara
Desa yang tidak memiliki akses penghubung memadai dengan kriteria: (1) Desa dengan sarana transportasi darat tidak dapat dilalui sepanjang tahun; (2) Desa dengan sarana transportasi air atau udara namun tidak tersedia angkutan umum
Potensi Desa 2018, BPS
C. Aspek Pemanfaatan Pangan
Rasio jumlah rumah tangga tanpa akses air bersih terhadap jumlah rumah tangga
Jumlah rumah tangga desil 1 s/d 4 dengan sumber air bersih tidak terlindung dibandingkan jumlah rumah tangga desa
Data Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin (SK.71/2018)
Rasio jumlah penduduk desa per tenaga kesehatan terhadap kepadatan penduduk
Jumlah tenaga kesehatan terdiri atas: 1) Dokter umum/spesialis; 2) dokter gigi; 3) bidan; 4) tenaga kesehatan lainnya (perawat, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi,
apoteker/asisten apoteker)
dibandingkan jumlah penduduk desa
Potensi Desa 2018, BPS Jumlah penduduk 2018 dari Proyeksi SP 2010
25 Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan melalui dua tahapan yakni pengolahan data pada indikator individu dan pengolahan data pada indikator komposit. Pengolahan data dirinci sebagai berikut:
1. Analisis Indikator Individu
Analisis indikator individu dilakukan dengan mengelompokkan indikator individu kedalam beberapa kelas berdasarkan metode sebaran empiris. Sementara itu data kategorik mengikuti standar pengelompokkan yang sudah ditetapkan oleh BPS.
2.
Analisis KompositMetodologi yang diadopsi untuk analisis komposit adalah dengan menggunakan metode pembobotan. Metode pembobotan digunakan untuk menentukan tingkat kepentingan relatif indikator terhadap masing-masing aspek ketahanan pangan. Metode pembobotan dalam penyusunan FSVA mengacu pada metode yang dikembangkan oleh The
Economist Intelligence Unit (EIU)
dalam penyusunan Global Food Security Index (EIU 2016 dan 2017) dan International Food Policy Research Institute (IFPRI) dalam penyusunan Gobal Hunger Index.
Langkah-langkah perhitungan analisis komposit adalah sebagai berikut: a. Standarisasi nilai indikator dengan
menggunakan z-score dan distance to scale (0 β 100);
b. Menghitung skor komposit kabupaten dengan cara menjumlahkan hasil perkalian antara masing-masing nilai indikator yang sudah distandarisasi dengan bobot indikator, dengan rumus:
π(π) = β πππΏππ π
π=π Dimana:
Yj : Skor komposit kabupaten/kota ke-j ai : Bobot masing-masing indikator Xij :Nilai standarisasi masing-masing indikator pada kabupaten/kota ke-j
Besaran bobot masing-masing indikator dibagi sama besar untuk setiap aspek ketahanan pangan, karena setiap aspek memiliki peran yang sama besar terhadap penentuan ketahanan pangan wilayah. Bobot untuk setiap indikator mencerminkan signifikansi atau pentingnya indikator tersebut dalam menentukan tingkat ketahanan pangan suatu wilayah.
Tabel 2 Bobot Indikator Individu
No Indikator Bobot
1. Rasio luas baku lahan sawah terhadap luas wilayah desa 1/6 2. Rasio jumlah sarana dan prasarana penyedia pangan terhadap
jumlah rumah tangga
1/6
Sub Total 1/3
3. Rasio jumlah penduduk dengan tingkat kesejahteraan terendah terhadap jumlah penduduk desa
1/6 4. Desa yang tidak memiliki akses penghubung memadai 1/6
Sub Total 1/3
5. Rasio jumlah rumah tangga tanpa akses air bersih terhadap jumlah rumah tangga
1/6 6. Rasio jumlah penduduk desa per tenaga kesehatan terhadap
kepadatan penduduk
1/6
26 c. Mengelompokkan desa/kelurahan ke
dalam enam kelompok prioritas berdasarkan cut off point komposit. Skor komposit yang dihasilkan pada
masing-masing wilayah
dikelompokkan ke dalam enam kelompok berdasarkan cut off point komposit. Cut off point komposit merupakan hasil penjumlahan dari masing-masing perkalian antara bobot indikator individu dengan cut off point indikator individu hasil standarisasi z-score dan distance to scale (0-100). Wilayah yang masuk ke dalam kelompok 1 adalah desa/kelurahan yang cenderung memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi daripada desa/kelurahan dengan kelompok diatasnya, sebaliknya wilayah pada kelompok 6 merupakan desa/kelurahan yang memiliki ketahanan pangan paling baik.
3. Analisis Korelasi Spearman
Langkah-langkah untuk menghitung korelasi antara variabel ketahan pangan dan variabel desa dengan PDP COVID-19 adalah :
a. menentukan formulasi hipotesis (H1 dan H0);
b. menentukan taraf nyata (Ξ± = 0,05) untuk menentukan tabel
c. menyusun tabel penolong untuk menentukan hitung;
d. menghitung nilai hitung dengan rumus :
Ο= 1 β (6βb)/(n (n^2-1)) Keterangan :
Ο : nilai korelasi rank spearman b : jumlah kuadrat selisih ranking
variabel x dan y atau RX β RY
n : jumlah sampel e. menurut kriteria pengujian :
bila hitung > tabel, maka H1 diterima bila hitung < tabel, maka H0 diterima f. melakukan uji signifikansi
menggunakan uji Z:
Z hitung = Ο/(β1/(n-1)) g. mengambil kesimpulan :
bila Z hitung > Z tabel, maka hubungan x dan y adalah signifikan. bila Z hitung < Z tabel, maka hubungan x dan y adalah tidak signifikan.
Wilayah Studi
Daerah yang dijadikan penelitian adalah wilayah administrasi Kabupaten Kuningan.
Tinjauan Pustaka
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012, tentang pangan, dijelaskan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produksi pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air baik yang dioleh maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Gizi adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi) dan penggunaan zat gizi makanan (utilisasi) yang dapat dinilai dengan berbagai cara yaitu melalui antropometri, konsumsi makanan, biokimia dan penilaian klinis. Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi pangan dan infeksi penyakit, yang mana antara status gizi kurang dan infeksi terdapat interaksi bolak-balik (Suharjo, 1996). Masih relatif tingginya masalah gizi masyarkat menunjukkan bahwa aspek kemampuan ekonomi atau daya beli berpengaruh paling dominan dalam
27 timbulnya masalah gizi masyarakat, disamping faktor kurangnya kesadaran akan gizi, kondisi sanitasi lingkungan dan keterbatasan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang kurang mampu (Karyadi dan Santoso, 1996).
Ketahanan Pangan menurut Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi Negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan. Terdapat tiga komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan rumah tangga yaitu kecukupan ketesediaan pangan, tercukupinya kebutuhan konsumsi, dan distribusi pangan yang merata
Fungsi subsistem ketersediaan ini menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk baik dari sisi jumlah, kualitas, keragaman maupun keamanan. Komponen ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan. Ketersediaan pangan menyangkut masalah produksi, stok, cadangan serta keseimbangan impor dan ekspor pangan, yang harus dikelola sedemikian rupa, sehingga walaupun produksi pangan sebagian bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, pangan yang tersedia bagi keluarga harus cukup volume dan jenisnya, serta stabil dari waktu ke waktu.
Komponen distribusi mencakup upaya memperlancar proses peredaran pangan antar wilayah dan antar waktu serta stabilitas pangan. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan daya akses masyarakat terhadap pangan yang cukup. Surplus pangan tingkat wilayah, belum menjamin kecukupan pangan bagi individu/ masyarakatnya.
Subsistem ini menyangkut aspek aksesibilitas secara fisik, ekonomi maupun sosial atas pangan secara merata sepanjang waktu. Akses pangan didefinisikan sebagai kemampuan rumah tangga untuk secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang cukup melalui berbagai sumber atau kombinasi cadangan pangan yang dimiliki, hasil produksi pangan dan bantuan pangan. Akses fisik berupa infrastruktur mauun kondisi sumberdaya alam dan lingkungan.
Subsistem konsumsi pangan berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan memenuhi kaidah mutu, keragaman dan keseimbangan gizi, keamanan dan halal serta efisiensi untuk mencegah pemborosan. Komponen konsumsi menyangkut pendidikan masyarakat agar mempunyai pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsi individu secara optimal sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Konsumsi pangan tanpa memperhatikan asupan gizi yang cukup dan berimbang tidak efektif bagi pembentukan manusia yang sehat, daya tahan tubuh yang baik, cerdas dan produktif (Thaha, dkk, 2000).
Ketiga komponen tersebut akan digunakan untuk mengukur ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Ukuran tingkat ketahanan pangan ditingkat rumah tangga dihitung bertahap dengan cara menggabungkan ketiga komponen indikator ketahanan pangan tersebut, untuk mendapatkan suatu indeks ketahanan pangan.
Pembahasan
Ketersediaan informasi ketahanan pangan yang akurat, komprehensif, dan tertata dengan baik sangat penting untuk mendukung upaya pencegahan dan penanganan kerawanan pangan dan gizi, karena dapat memberikan arah dan rekomendasi kepada pembuat keputusan dalam penyusunan program, kebijakan, serta pelaksanaan intervensi di tingkat pusat dan daerah. Penyediaan informasi diamanatkan
28 dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi yang mengamanatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk membangun, menyusun, dan mengembangkan Sistem Informasi Pangan dan Gizi yang terintegrasi.
FSVA merupakan peta tematik yang
menggambarkan visualisasi geografis dari hasil analisa data indikator kerentanan terhadap kerawanan pangan.
FSVA disusun menggunakan sembilan indikator yang mewakili tiga aspek ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, keterjangkauan dan pemanfaatan pangan. FSVA memberikan rekomendasi kepada pembuat keputusan dalam penyusunan kebijakan dan program intervensi baik di tingkat pusat dan daerah dengan melihat indikator utama yang menjadi pemicu terjadinya kerentanan terhadap kerawanan pangan.
Berikut ini disajikan hasil analisis enam indikator indivudu Kabupaten Kuningan.
No Indikator Individu Peta
1 Rasio Luas Baku Lahan Sawah terhadap Luas Wilayah
2. Rasio Jumlah Sarana dan Prasarana Penyedia Pangan terhadap Jumlah Rumah Tangga
29
No Indikator Individu Peta
3. Rasio Penduduk dengan Tingkat Kesejahteraan Terendah terhadap Jumlah Penduduk
4. Desa yang Tidak Memiliki Akses Penghubung Memadai
5. Rasio Jumlah Rumah Tangga tanpa Akses Air Bersih terhadap Jumlah Rumah Tangga
6. Rasio Jumlah Penduduk Desa per Tenaga Kesehatan terhadap Kepadatan Penduduk
30 Kajian ketahanan ditekankan kepada identifikasi pada permasalahan terkait kerentaan pangannya. Hal ini terkait juga dengan bagaimana fokus penanganan desa-desa yang menjadi sasaran kebijakan pemerintah daerah dalam mempersiapkan atau mengantisipasi bencana alam yang akan terjadi. Menurunkan tingkat kemiskinan, kerawanan pangan dan kesenjangan antar wilayah tetap merupakan tantangan yang besar bagi pihak perencana dan pengambil kebijakan. Luasnya wilayah, keanekaragaman budaya dan terkonsentrasinya penduduk miskin di daerah tertentu merupakan hambatan untuk menentukan tingkat kerentanan pangan mereka
Mellor (1978) berpendapat bahwa program ketenagakerjaan dan pemberian bantuan kepada orang miskin untuk memperbaiki status mereka sangat tidak efisien untuk mengatasi permasalahan yang ada. Edame, Ekpenyong, Fonta, & Ejc (2011) menambahkan, strategi adaptasi dan mitigasi yang efektif juga harus melewati kebijakan pembangunan yang baik, proaktif dan secara eksplisit menargetkan dampak pengembangan perubahan iklim dan energi terhadap masyarakat miskin.
Hasil analisis spasial nantinya dapat digunakan untuk menyusun kebijakan terkait dengan ketahanan pangan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ketahanan pangan maupun yang mengakibatkan kerawanan pangan dijadikan sebagai dasar dalam menyusun
kebutuhan wilayah.
Pemilihan kebijakan ketahanan pangan diharapkan mampu untuk meningkatkan pendapatan petani dan meningkatkan produksi pangan.
Berdasarkan hasil analisis, dari 376 desa
dan kelurahan di Kabupaten Kuningan, 56 desa masuk dalam prioritas 1/kerentanan
tinggi (14,89 %), 57 desa prioritas 2/kerentanan sedang (15,16 %) dan 75 desa prioritas 3/kerentanan rendah (19,95 %)
sementara sisanya adalah desa-desa dengan ketahanan pangan rendah, sedang, dan tinggi. Kecamatan yang
memiliki rasio lahan prioritas 1-3 sebagian besar tersebar di Kecamatan Darma yaitu sebanyak 18 desa.
Desa rentan terhadap kerawanan pangan Prioritas 1 secara umum disebabkan oleh:
(1) Rasio jumlah penduduk dengan tingkat kesejahteraan terendah, dan (2)
Rasio jumlah tenaga kesehatan. Desa rentan terhadap kerawanan pangan Prioritas 2 secara umum disebabkan
oleh: (1) Rasio jumlah rumah tangga tanpa akses air bersih, (2) Rasio luas baku
lahan sawah, dan (3) Rasio jumlah penduduk dengan tingkat kesejahteraan terendah. Sementara desa rentan terhadap kerawanan pangan Prioritas 3 secara umum disebabkan oleh: (1) Rasio jumlah rumah tangga tanpa akses air bersih, (2) Rasio luas baku lahan sawah, dan (3) Rasio jumlah penduduk dengan tingkat kesejahteraan terendah (FSVA Kabupaten Kuningan, 2019).
Untuk lebih jelasnya, dapat disajikan pada Tabel 3 berikut ini.
31 Tabel 3
Daftar Desa Kerentanan Pangan di Kabupaten Kuningan Tahun 2019
Kerentanan Pangan Tinggi Kerentanan Pangan Sedang Kerentanan Pangan Rendah
No Kecamatan Desa No Kecamatan Desa No Kecamatan Desa
1 Ciwaru 1 Sagaranten 1 Darma 1 Cimenga 1 Darma 1 Bakom 2 Karangkancana 2 Jabranti 2 Tugumulya 2 Gunungsirah 3 Maleber 3 Cipakem 3 Situsari 2 Kadugede 3 Margabakti
2 Kadugede 4 Cisukadana 4 Sindangjawa
3 Nusaherang 5 Jambar 3 Nusaherang 5 Windusari
4 Ciniru 6 Gunungmanik 4 Ciniru 6 Pinara
7 Rambatan 7 Pamupukan
8 Mungkaldatar 8 Longkewang
5 Hantara 9 Cikondang 5 Hantara 9 Tundagan
10 Pasiragung 10 Bunigeulis
6 Selajambe 11 Jamberama 11 Pakapasangirang
12 Padahurip 6 Selajambe 12 Bagawat
7 Subang 13 Situgede 7 Subang 13 Jatisari
8 Cilebak 14 Mandapajaya 14 Gunungaci
9 Karangkancana 15 Margacina 8 Cilebak 15 Legokherang
16 Tanjungkerta 16 Bungurberes
10 Cibingbin 17 Sukaharja 9 Ciwaru 17 Citikur 18 Bantarpanjang 10 Karangkancana 18 Karangkancana
11 Cimahi 19 Cimulya 19 Segong
20 Sukajaya 11 Cibingbin 20 Ciangir
12 Cidahu 21 Cihideunggirang 21 Dukuhbadag
32
Kerentanan Pangan Tinggi Kerentanan Pangan Sedang Kerentanan Pangan Rendah
No Kecamatan Desa No Kecamatan Desa No Kecamatan Desa
23 Cibulan 23 Randusari
13 Kalimanggis 24 Kalimanggiswetan 13 Luragung 24 Benda
25 Wanasaraya 14 Cimahi 25 Gunungsari
14 Ciawigebang 26 Sidaraja 26 Mekarjaya
27 Sukaraja 15 Cidahu 27 Kertawinangun
28 Padarama 28 Nanggela
15 Cipicung 29 Pamulihan 29 Jatimulya
16 Garawangi 30 Tembong 16 Kalimanggis 30 Kalimanggiskulon 17 Mandirancan 31 Randobawagirang 31 Cipancur
32 Partawangunan 33 Kertawana 17 Ciawigebang 34 Ciputat 35 Sukadana 18 Cipicung 36 Sukamukti 19 Maleber 37 Giriwaringin 38 Padamulya 20 Garawangi 39 Sukaimut 21 Kuningan 40 Citangtu 22 Kramatmulya 41 Gereba 23 Cigandamekar 42 Jambugeulis 24 Pasawahan 43 Singkup 44 Padabeunghar
33 Gambar 2
34
Pandemi COVID 19 di Kabupaten Kuningan
Kasus virus corona di Kabupaten Kuningan pertama kali muncul pada tanggal 14 Maret 2020 yang ditandai dengan
satu pasien dalam pengawasan (PDP) ditangani tim medis RSUD Linggarjati. Data wilayah sebaran COVID-19 di Kabupaten Kuningan dapat disajikan pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4
Data Wilayah Sebaran COVID-19
35 Gambar 3
Peta Wilayah Sebaran Covid-19 (Periode 02 Juni 2020)
36 Berdasarakan analisis statistik, diperoleh angka -,169 yang diartikan tidak ada korelasi antara desa-desa yang memiliki ketahanan pangan dengan desa-desa yang terdampak adanya COVID-19, bernilai negatif diartikan semakin tahan pangannya, maka desa-desa tersebut akan semakin tidak terkena COVID 19.
Pangan menjadi sektor penting di tengah pandemi Covid-19 yang melanda dunia, bahkan FAO telah mengingatkan bahwa dunia di ambang krisis pangan. Ancaman krisis pangan yang disinyalir FAO dapat diantisipasi manakala setiap rumah tangga mampu memproduksi bahan pangan dari pekarangan sendiri.
Berdasarkan hal tersebut, ketahanan pangan menjadi sangat penting, terutama terkait dengan kesiapan produksi pangan hingga pendistribusiannya. Untuk meningkatkan produksi pangan dan menjaga agar petani tetap berproduksi, Kementerian Pertanian dan Pemerintah Kabupaten Kuningan dapat memberikan stimulus diantaranya relaksasi KUR sektor pertanian, dan mempercepat bantuan sarana dan prasarana pertanian. Selain itu juga dapat dengan memberikan bantuan subsidi pengangkutan pangan dari daerah surplus ke daerah minus, sehingga pasokan pangan dapat menjangkau seluruh wilayah. Upaya ini bertujuan agar hasil panen petani dapat terserap pasar dengan harga yang wajar di tengah pandemi, sehingga petani tetap bersemangat menanam dan berproduksi.
Pilihan kebijakan lain yang dapat ditempuh dengan menggerakkan pasar mitra tani yang mampu memperpendek mata rantai distribusi, karena bahan pangan dipasok langsung dari petani melalui kegiatan Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM), sehingga konsumen mendapat pangan berkualitas dengan harga terjangkau.
Pemerintah Kabupaten Kuningan dapat mendorong kerja sama dengan Gojek dan atau penyedia jasa distribusi lainnya
semakin memudahkan masyarakat mendapat bahan pangan di tengah imbauan pemerintah untuk tetap di rumah. Selanjutnya dapat melakukan upaya untuk mewujudkan kemandirian pangan juga dilakukan optimalisasi pekarangan dan lahan melalui kegiatan Pertanian Keluarga dan Pekarangan Pangan Lestari (P2L). Kegiatan ini dinilai dapat membantu memenuhi kebutuhan pangan keluarga di tengah pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini.
Kesimpulan dan Rekomendasi
a. Terdapat 376 desa/kelurahan di Kabupaten Kuningan, 56 desa masuk dalam kerentanan pangan tinggi (14,89 %), 57 kerentanan pangan sedang (15,16 %) dan 75 kerentanan pangan rendah (19,95%), sementara sisanya adalah desa-desa dengan ketahanan pangan rendah, sedang, dan tinggi;
b. tidak ada korelasi antara desa-desa yang memiliki ketahanan pangan dengan desa-desa yang terdampak adanya COVID-19;
c. Pemerintah dapat memberikan stimulus diantaranya relaksasi KUR sektor pertanian, dan mempercepat bantuan sarana dan prasarana pertanian;
d. upaya dalam menggerakkan pasar mitra tani yang mampu memperpendek mata rantai distribusi;
e. mendorong untuk menjalin kerja sama dengan Gojek dan penyedia jasa distribusi lainnya semakin memudahkan masyarakat mendapat bahan pangan di tengah imbauan pemerintah untuk tetap di rumah; dan
f. optimalisasi pekarangan dan lahan melalui kegiatan Pertanian Keluarga dan Pekarangan Pangan Lestari (P2L).
Ucapan Terimakasih
Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung penelitian ini, terutama
37 kepada Tim Penyusun FSVA Kabupaten