BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
B. Uji Pendahuluan
Penelitian ini menggunakan karbon tetraklorida sebagai hepatotoksin.
Penentuan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida bertujuan untuk mengetahui
yaitu steatosis, ditandai dengan adanya peningkatan aktivitas serum ALT dan AST. Berdasarkan penelitian Janakat dan Al-Merie (2002) dosis karbon
tetrakloriada sebesar 2 mL/kgBB mampu menimbulkan efek hepatotoksik pada
tikus, dimana pemberian dosis rendah karbon tetraklorida hanya menyebabkan
kerusakan ringan berupa perlemakan hati (steatosis) (Timbrell, 2009). 2. Penentuan waktu pencuplikan darah hewan uji
Tujuan dari penentuan waktu pencuplikan darah hewan uji yaitu untuk
mengetahui waktu optimal dimana karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB dapat
menunujukkan peningkatan aktivitas serum ALT dan AST tertinggi pada tikus.
senyawa karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB dipejankan dengan selang waktu
pengambilan darah 0, 24, 48 dan 72 jam. Data pengujian aktivitas ALT
masing-masing tersaji pada Tabel III dan Gambar 3.
Tabel III. Rata-rata aktivitas serum ALT tikus setelah induksi karbon tetraklorida dosis 2
mL/kgBB pada selang waktu 0, 24, 48 dan 72 jam
Selang waktu (jam) Purta aktivitas ALT ± SE (U/L)
0 65,0 ± 6,5
24 203,8 ± 5,8
48 79,4 ± 4,3
72 54,0 ± 2,1
Gambar 4. Diagram batang rata-rata aktivitas serum ALT tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB
pada selang waktu 0, 24, 48, 72 jam
Dari hasil analisis uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan bahwa data aktivitas ALT memiliki distribusi normal dengan signifikansi masing-masing
0,642 (p>0,05); 0,924 (p>0,05); 0,816 (p>0,05); 0,888 (p>0,05), sehingga
dilanjutkan dengan analisis pola searah (One Way ANOVA) menunjukkan variansi data homogen dengan signifikansi 0,208 (p>0,05), sehingga dilanjutkan uji
Scheffe untuk mengetahui kebermaknaan perbedaan antar kelompok, ditunjukkan pada Tabel IV
.
Tabel IV. Hasil uji Scheffe aktivitas ALT tikus terinduksi karbon tetraklorida dosis 2
mL/kgBB pada pencuplikan darah jam 0, 24, 48 dan 72 jam Waktu pencuplikan
(jam) Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-48 Jam ke-72
Jam ke-0 - BB TB TB
Jam ke-24 BB - BB BB
Jam ke-48 TB BB - BB
Jam ke-72 TB BB BB -
Pada Tabel I, terlihat aktivitas serum ALT paling tertinggi pada jam ke
24 yaitu 203,8 ± 5,8 U/l peningkatan ALT tersebut signifikan dan berbeda
bermakna dibandingkan dengan jam ke-0, 48 dan 72, pada jam ke-48 aktivitas
ALT mengalami penurunan yang berbeda tidak bermakana terhadap jam ke-0
(79,4 ± 4,3 U/l) menunjukkan bahwa aktivitas ALT jam ke-48 sudah mulai
kembali normal. Sedangkan aktivitas ALT jam ke-72 mengalami penurunan yang
berbeda bermakana dengan aktivitas ALT jam 48 (54 ± 2,1 U/l) hal tersebut
menunjukkan bahwa penurunan aktivitas ALT sudah kembali normal seperti
semula, dapat dilihat pula aktivitas jam 72 dibandingkan aktivitas ALT jam
ke-0 (65 ± 6,5) memiliki hasil uji Scheffe tidak berbeda bermakna.
Data pengujian dan gambar diagram aktivitas serum AST tersaji dalam
Tabel V dan Gambar 5.
Tabel V. Rata-rata aktivitas serum AST tikus setelah induksi karbon tetraklorida dosis 2
mL/kgBB pada selang waktu 0, 24, 48 dan 72 jam
Selang waktu (jam) Purta aktivitas AST ± SE (U/L)
0 94,4 ± 4,5
24 493,4 ± 7,4
48 194,2 ± 10,4
72 103,8 ± 1,7
Gambar 5. Diagram batang rata-rata aktivitas serum AST tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24, 48, 72 jam
Data aktivitas AST tikus terinduksi karbon tetraklorida disis 2 mL/kgBB,
menunjukkan bahwa distribusi normal yaitu hasil analisis menggunakan uji
Kolmogorove-Smirnov jam ke-0, 24, 48 dan 72 diperoleh signifikansi masing-masing 0,925 (p>0,05); 0,992 (p>0,05); 0,972 (p>0,05) dan 0,990 (p>0,05).
Kemudian dari hasil analisis pola searah (One Way ANOVA) diperoleh signifikansi 0,038 (p>0,05), hal tersebut menunjukkan variansi data yang tidak
homogen, sehingga dilakukan uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui keberbedaan tiap kelompok dari hasil uji didapat signifikasni 0,001 (p<0,05) menunjukkan
bahwa terdapat keberbedaan pada data kelompok. Dengan adanya hal tersebut maka di lanjutkan untuk uji Mann-Whitney untuk melihat kebermaknaan data yang ditunjukkan dalam Tabel. VI.
Tabel VI. Hasil uji Mann-Whitney aktivitas AST tikus terinduksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada pencuplikan darah jam 0, 24, 48 dan 72 jam
Waktu pencuplikan
(jam) Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-48 Jam ke-72
Jam ke-0 - BB BB TB
Jam ke-24 BB - BB BB
Jam ke-48 BB BB - BB
Jam ke-72 TB BB BB -
BB = Berbeda bermakna (p<0,05); TB = Berbeda tidak bermakna (p>0,05)
Dari Tabel. V dan Gambar.4 dapat dilihat aktivitas AST paling tinggi
terdapat pada jam ke-24, yaitu 493,4 ± 7,4 U/l yang menunjukkan adanya
perbedaan bermakna antara jam ke-0, 48 dan 72 (Tabel. VI). Jam ke-48 aktivitas
serum AST sudah terlihat mulai turun tetapi belum kembali seperti keadaan
normal ditunjukkan dengan perbedaan bermakna adengan jam ke-0. Kemudian
pada jam ke-72 aktivitas serum AST sudah kembali normal ditunjukkan dengan
adanya perbedaan tidak bermakna dengan jam ke-0.
Berdasarkan hasil aktivitas serum ALT dan AST tersebut maka pada
penelitian kali ini menggunkan waktu pengambilan darah pada jam ke-24 setelah
pemberian karbon tetraklorida.
3. Penetapan lama pemejanan infusa daun S. mahagoni
Menurut penelitian Windrawati (2013) mengenai efek hepatoprotektif
ekstrak metanol:air (50:50) daun Macaranga tanarius L. Menjelaskan bahwa perlakuan pemberian ekstrak metanol:air (50:50) daun Macaranga tanarius L. selama enam hari bertururt-turut kemudian di hari ke tujuh dilakukan pemejanan
senyawa hepatotoksin. Penetapan lama pemejanan infusa daun S. mahagoni dalam penelitian ini berdasar penelitian Windrawati (2013), yaitu dengan pemberian
infusa daun S. mahagoni selama enam hari berturut-turut dan dihari ke tujuh diberi hepatotoksin berupa senyawa karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB. Hal ini
dikarenakan penelitian menyerupai penelitian tersebut, dan merupakan skrinig
awal untuk melihat efek hepatoprotektif dari infusa daun S. mahagoni. 4. Penetapan dosis infusa daun S. mahagoni
Tujuan penetapan dosis infusa daun S. mahagoni, yaitu untuk menentukan besar dosis infusa daun S. mahagoni yang akan digunakan dalam penelitian ini. Dari hasil orientasi di dapat konsentrasi yang dapat dibuat adalah
40% tetapi dengan konsentrasi tersebut di dapat dosis tertinggi sebesar 10 g/kgBB
menimbulkan efek berupa kematian dari hewan uji setelah pemberian karbon
tetraklorida, maka penetapan dosis berdasar pada pembuatan infusa diturunkan
konsentrasi menjadi 20% dan dapat diberikan pada hewan uji secara peroral.
Dosis yang diperoleh dari konsentrasi 20% tersebut digunakan sebagai dosis
tertinggi infusa daun S. mahagoni. Dari hasil orientasi di dapatkan dosis tinggi infusa daun S. mahagoni yaitu sebesar 5 g/kgBB. Dosis terendah yang digunakan, yaitu menurut Badan Pengawas Obat dan Makan RI (2010) pembuatan infusa
secara umum, yaitu dengan konsentrasi 10% sehingga didapat dosis sebesar 2,5
g/kgBB. Penentuan dosis tengah yang digunakan merupakan faktor kelipatan dari
dosis tertinggi dan dosis rendah infusa daun S. mahagoni, sehingga di dapat dosis tengah sebesar 3,535 g/kgBB. Dosis infusa daun S. mahagoni yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2,5; 3,535 dan 5 g/kgBB.
C. Efek Hepatoprotektif Infusa Daun S. mahagoni Pada Tikus