• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan globalisasi telah dengan nyata melanda kehidupan. Suka atau pun tidak suka, umat Islam harus menghadapinya dengan segala implikasinya. Ciri-ciri kehidupan global antara lain : Pertama , terjadi pergeseran dari konflik ideologi dan politik ke arah persaingan perdagangan, investasi, dan informasi dari keseimbangan kekuatan (balance of power) ke arah keseimbangan kepentingan (balance of interest). Kedua, hubungan anatar negara/bangsa secara struktural berubah dari sifat ketergantungan (dependency) ke arah saling ketergantungan (interdependency), hubungan yang bersifat primordial berubah menjadi sifat tergantung kepada posisi tawar menawar (bargaining position). Ketiga, batas-batas geografis hampir kehilangan arti operasionalnya. Kekuatan suatu negara ditentukan oleh kemampuannya memanfaatkan keunggulan komparatif (comparative advantage). Keempat, persaingan antar negara sangat diwarnai oleh perang penguasaan teknologi tinggi. Setiap negara terpaksa menyediakan dana yang besar bagi penelitian dan pengembangan. Kelima, terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistik, efisien, tidak menghargai nilai dan norma yang secara ekonomi tidak efisien.

Pergaulan global dengan cirinya seperti diuraikan di atas, di samping mendatangkan sejumlah kemudahan bagi manusia, juga mendatangkan

2

sejumlah efek negatif yang dapat merugikan dan mengancam kehidupan. Di antara dampak negatif tersebut adalah: Pertama , pemiskinan nilai spiritual. Tindakan sosial yang tidak berimplikasi materi (tidak produktif) dianggap sebagai tindakan tidak rasional. Kedua, kejatuhan manusia dari makhluk spiritual menjadi makhluk material, yang menyebabkan nafsu hayawaniyyah menjadi pemandu kehidupan manusia. Ketiga, peran agama digeser menjadi urusan akhirat sedang urusan dunia menjadi urusan sains (sekularistik). Keempat, Tuhan hanya hadir dalam pikiran, lisan dan tulisan, tetapi tidak hadir dalam perilaku dan tindakan. Kelima, gabungan ikatan primodial dengan sistem politik modern melahirkan nepotisme, birokratisme, dan otoriterisme. Keenam, Individualistik. Keluarga pada umumnya kehilangan fungsinya sebagai unit terkecil pengambil keputusan. Seseorang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, tidak lagi bertanggungjawab terhadap keluarga. Ikatan moral pada keluarga semakin lemah, dan keluarga dianggap sebagai lembaga teramat tradisional. Ketujuh, terjadinya frustasi eksistensial, dengan ciri-cirinya : a). Hasrat yang berlebihan untuk berkuasa (the will to power), bersenang-senang untuk berkuasa, bersenang-senang untuk mencari kenikmatan (the will of pleasure) yang biasanya tercermin dalam perilaku yang berlebihan untuk mengumpulkan uang (the will to money), untuk bekerja (the will to work), clan mengejar kenikmatan seksual (the will to sex); b). Kehampaan eksistensial berupa perasaan serba hampa, hidupnya tidak bermakna dan lain-lain, c). Neuroses nogenik, perasaan hidup tanpa arti, bosan, apatis, tidak mempunyai tujuan, dan sebagainya. Keadaan semacam ini

3

semakin melanda manusia, hari demi hari. Kedelapan , terjadinya ketegangan-ketegangan informasi di kota dan di desa, kaya dan miskin, konsumeris, kekurangan dan sebagainya.1

Paradigma Pendidikan Nasional yang buruk di Indonesia adalah paradigma pendidikan yang sekular-materialistik. Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik.2 Bila ada yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan nasional masih mewarisi sistem pendidikan feodal, maka watak sekuler-materialistik inilah yang paling utama, yang tampak jelas pada hilangnya nilai-nilai transedental pada semua proses pendidikan, mulai dari peletakan filosofi pendidikan, penyusunan kurikulum dan materi ajar, kualifikasi pengajar, proses belajar mengajar hingga budaya sekolah/kampus sebagai hidden kurikulum, yang sebenarnya berperan penting dalam penanaman nilai-nilai. Sistem pendidikan semacam ini terbukti telah gagal menghasilkan generasi cerdas, generasi peduli bangsa.

Sistem pendidikan sekuler-materialistik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan, pandangan-pandangan dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Maka, di tengah-tengah sistem

1

Alaydroes, Kata Pengantar Standar Mutu Sekolah Islam Terpadu, JSIT, 2010, v-vi.

2

https://blogbahrul,wordpress.com, Telaah Kritis Paradigma Pendidikan, diakses Sabtu, 4 April 2015 pukul 09.36.

4

sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan yang materialistik.

Hal ini dapat terlihat antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi : Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagamaan,3 dan khusus dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia yang sholeh yang berkepribadian sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.

Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institusi agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama (sekarang Kementrian Agama); sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (IPTEK) dilakukan oleh Depdiknas dipandang tidak ada hubungannya dengan agama.

Muhammad Cholil Nafis menguraikan bahwa dikotomi ilmu-ilmu agama (al„ulum al diniyyah atau religious sciences) dengan ilmu-ilmu umum (al „ulum al tajribiyyah atau general sciences) sampai saat ini „iklim‟

3

5

pemisahan itu tetap terasa, dan bahkan menjadi haluan pendidikan di negara kita. Ilmu-ilmu Islam, misalnya, ia berada di bawah Kemenag (Kementrian Agama), sedang ilmu-ilmu umum berada di bawah Kemendikbud (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan). Dikotomi tidak hanya pada ke mana dua alur pendidikan ini berkiblat, tapi juga berpengaruh pada fasilitas, pengakuan, dan anggaran dana dari APBN.4

Pendidikan sekular-materialistik melahirkan orang yang menguasai sains-teknologi melalui pendidikan umum . Akan tetapi, pendidikan semacam itu terbukti gagal membentuk kepribadian peserta didik dan penguasaan ilmu

agama. Banyak lulusan pendidikan umum yang „buta agama‟ dan rapuh

kepribadiannya. Sebaliknya, mereka yang belajar di lingkungan pendidikan agama menguasai ilmu agama dan kepribadiannya bagus, tetapi kurang menguasai sains dan teknologi. Sehingga, sektor-sektor ini diisi orang awam. Sedang yang mengerti agama membuat dunianya sendiri, karena tidak mampu terjun ke sektor modern.

Keterpurukan kualitas dan kuantitas pendidikan di Indonesia, secara umum memudarnya kecemerlangan pendidikan Islam (the decline of Islamic learning), telah terjadi sejak ratusan tahun silam. Salah satu sebab utama layunya intelektualisme Islam adalah saat dunia pendidikan Islam terjadi dikotomi keilmuan; terbelahnya ilmu agama (al „ulum al diniyyah atau religious sciences) dengan ilmu umum (al „ulum al tajribiyyah atau general

4

http://info-umat.blogspot.com/2013/06/meretas-dikotomi-ilmu-agama-dengan-ilmu.html Muhammad Cholil Nafis, Orasi Ilmiah pada acara Wisuda Sarjana Institut Pembina Rohani Islam Jakarta (IPRIJA) tanggal 3 Juni 2013 , diakses tanggal 24 Maret 2015 pukul 15.45.

6

sciences), dikotomi antara wahyu dan alam, serta dikotomi antara naqli dan aqli.

Dikotomi pertama telah melanggengkan supremasi ilmu-ilmu agama yang berjalan secara monokotik. Dikotomi kedua telah menyebabkan kemiskinan penelitian empiris dalam pendidikan Islam. Dikotomi yang terakhir telah menjauhkan filsafat dari pendidikan Islam.5 Dunia pendidikan Islam terjebak pada sistem dikotomik yang sangat parah berdampak pada sekularisasi dan sakralisasi pendidikan umum. Sekularisasi bermakna bahwa pendidikan telah melepaskan dirinya dari agama. Agama diartikan sebagai sesuatu yang hanya berhubungan dengan masalah ibadah ritual, atau pun hal-hal yang berkaitan dengan urusan muamalah yang sempit. Agama tidak ada hubungannya dengan IPTEK terlebih lagi kepada ilmu sosial, hukum, politik dan budaya. Sedangkan madrasah dan pesantren terlalu asyik dengan kajian-kajian „kitab kuning‟ (ajaran Islam klasik yang membahas fiqih, hadis atau

pun tafsir) dan kurang optimal kepeduliannya dengan perkembangan zaman, kemajuan sains dan teknologi yang sesungguhnya relevan untuk diketahui, dipahami bahkan dikuasai. Islam hanyalah sebuah “agama” bukan “ad-Din

yang makna hakikinya melingkupi seluruh aturan hidup dan kehidupan (minhajul hayah). Dengan cara pandang seperti itu berakibat bahwa pendidikan Islam terjebak pada lingkup yang sempit dan lepas dari segala urusan memakmurkan dunia.

5 Abdurrahman Mas‟ud, Menggagas Format Pendidikan NonDikotomik, Yogyakarta: Gama Media, 2003, 8-9.

7

Di samping krisis paradigma di atas, pendidikan Islam terutama di Indonesia juga mengalami krisis pengembangan, semisal Muhammadiyah , lebih banyak menekankan pada aspek kuantitatif, belum menajam pada aspek pembangunan mutu (kualitatif). Hal ini yang dikritisi oleh warga Muhammadiyah dan simpatisannya.6 Dari berbagai tolok ukur (fasilitas, manajemen, SDM, kurikulum) rata-rata pendidikan Islam belum duduk dalam

barisan “papan atas”. Pendidikan Islam mengalami kekurangan SDM (sumber

daya pemikiran), pendanaan, sumber-sumber belajar, juga kurang didukung oleh riset dan pengembangan.

Dari latar belakang globalisasi, sekularisasi dan berbagai macam krisis di dunia pendidikan Islam maka munculah pemikiran dari berbagai elemen anak bangsa ini untuk melahirkan lembaga pendidikan Islam berkualitas, baik berlabel Sekolah Dasar Islam Terpadu, Sekolah Dasar Unggulan atau Sekolah Dasar Islam Plus di tengah situasi politik menjelang reformasi. Hal tersebut menunjukkakan adanya kesadaran dan kebangkitan dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam.

Angin reformasi merupakan titik awal politik yang positif bagi reformasi pendidikan, sebagaimana dinyatakan oleh Michael : positive politic is not a sure fire way out of the dilemmas of change, and it is not risk free, but it is a much more powerful and satisfying route to reform.7 Lebih lanjut

6

Farid Nasution, “Organisasi Sosial Keagamaan dan Keberadaan Pendidikan Islam di Indonesia (kasus Muhammadiyah)”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan volume 8, Maret, no 35 (Maret 2002), 284.

7

Michael G.Fullan & Suzanne Stiegelbauer, The New Meaning of Educational Change, Amsterdam:Teacher College Press,t.th, 347

8

Michael menyatakan bahwa sekolah adalah pusat perubahan, melalui sekolah lah perubahan bisa diwujudkan,

another dilemma in educational reform concern uniformity vs.variation of solutions. Neither centralization nor decentralization seems to work. Meaning cannot be masterminded at a global level. It is found through small-scale pursuits of significant personal and organizational goals. The school is the "center" of change.”8

Islam dalam arti ad Din adalah Islam sebagai minhajul hayah (sistem penataan hidup dan kehidupan), tidak mengenal dikotomi termasuk dalam bidang pendidikan. Semuanya terintegrasi secara harmonis karena ilmu itu berasal dari satu sumber yaitu Allah SWT. Lembaga pendidikan Islam di era menjelang reformasi banyak bermunculan Sekolah Islam Terpadu, Sekolah Dasar Islam Plus dan masih banyak yang bertahan dengan nama awal didirikan, SD Islam. Sebenarnaya Sekolah Dasar dengan tambahan kata

“Islam” sudah cukup menggambarkan sebuah lembaga pendidikan dasar umum yang bercirikhas keagamaan terutama Islam. Namun dilatar-belakangi situasi politik di atas lahirlah lembaga-lembaga pendidikan (sekolah) umum yang menyesuaikan dengan situasi yang berkembang.

Lahirnya Sekolah Islam Terpadu berawal dari lima satuan sekolah dasar yang berdiri pada 1993 di wilayah Jabodetabek, Sekolah Islam Terpadu (SIT) telah berkembang pesat di seluruh Indonesia. Kelima sekolah yang menjadi cikal bakal model penyelengaraan SIT itu, yakni SDIT Nurul Fikri Depok, SDIT Al Hikmah Jakarta Selatan, SDIT Iqro Bekasi, SDIT Ummul

8

Michael G.Fullan & Suzanne Stiegelbauer, The New Meaning of Educational Change, Amsterdam: Teacher College Press , t.th, 347 .348

9

Quro Bogor, dan SDIT Al Khayrot Jakarta Timur. Sejak saat itu, SIT terus bermunculan dan berkembang. Hingga 2013, jumlah sekolah yang berada dalam Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) Indonesia mencapai 1.926 unit sekolah. Yakni, terdiri atas 879 unit TK, 723 unit SD, 256 unit SMP, dan 68 unit SMA.9 Konsep dan filosofi Sekolah Islam Terpadu adalah mengintegrasikan model pendidikan keagamaan, pesantren dengan model pendidikan umum pada sekolah-sekolah umum.

Di Kabupaten Semarang terdapat 4 buah SDIT dalam jaringan Sekolah Islam Terpadu yaitu SDIT Permata Bunda Bawen (adalah metamorfosis dari SD Islam Bawen) , SDIT Nurul Islam Tengaran, SDIT Cahaya Umat Bergas,

dan SDIT Ar Rahmah Ambarawa, dan satu SDIT Ibnu Mas‟ud Ambarawa di

luar JSIT, sedangkan SD Islam yang lain tidak menyematkan kata Terpadu seperti SD Islam Istiqomah Ungaran, tetapi ada yang berlabel Plus seperti SD Islam Plus Haji Soebandi Bawen di bawah Yayasan Haji Soebandi yang sejak berdiri tahun 2004 menamakan diri SDIT Haji Soebandi hingga tahun 2008, berubah menjadi SD Islam Plus, itu semua menggambarkan menggeliatnya lembaga pendidikan Islam.

Hal lain yang menguatkan posisi lembaga-lembaga Islam baik yang berlabel Terpadu , Unggulan ataupun Plus, dalam mewujudkan visi-misinya adalah lahirnya UUD 1945 yang telah diamandemen, UU Sisdiknas, dan PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) setidaknya telah membawa perubahan paradigma pendidikan dari corak sentralistis menjadi

9

www.republika.co.id, 10 tahun JSIT membangun Sekolah Islam Terpadu lewat SIT, diakses Ahad 10 Pebruari 2015 pukul 04.10.

10

desentralistis. Sekolah-sekolah atau satuan pendidikan berhak mengatur kurikulumnya sendiri yang dianggap sesuai dengan karakteristik sekolahnya.10 Berdasarkan regulasi tersebut, cukup menjadi jaminan bagi masing masing lembaga pendidikan Islam untuk mengembangkan kurikulum integratif yang lebih familier dengan kurikulum terpadu sebagai jawaban atas tantangan dikotomi maupun sekularisasi.

Dari SD Islam yang ada di wilayah Kabupaten Semarang baik yang

berpredikan “Islam” saja, “terpadu” maupun “plus” sepanjang pengetahuan

penulis semua sangat diminati di lingkungan masyarakat masing-masing, dengan pertumbuhan jumlah siswa yang cukup signifikan. Tentu ada yang menarik bagi masyarakat dalam memasukkan anaknya ke lembaga tersebut, sudah barang tentu karakter keagamaan yang khas dari para siswa lulusannya, akhlak dan ibadahnya, hafalannya berpadu dengan prestasi akademiknya.

Untuk menghasilkan kualitas pendidikan yang agamis di sekolah umum (non madrasah) tentunya kita perlu menelisik dari sisi kurikulum yang diberlakukan di sekolah tersebut. Kurikulum dalam sistem persekolahan merupakan rencana yang memberi pedoman atau pegangan dalam proses kegiatan belajar mengajar. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Kurikulum juga merupakan suatu rencana pendidikan, memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup dan urutan isi, serta proses pendidikan.11`

10

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), 2005

11

Nana Saodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, Bandung: Rosdakarya, 1999, 4.

11

Kurikulum yang baik harus selalu berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan zaman. Sekolah Islam Terpadu yang rata-rata berdiri tahun 2000-an saat itu menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) selanjutnya disempurnakan dengan KTSP dan Kurikulum 2013. Apa dan bagaimana kurikulum integratif yang dilaksanakan di SD Islam Istiqomah Ungaran, SDIT Cahaya Ummat Bergas dan SD Islam Plus Haji Soebandi Bawen, merupakan hal yang menarik untuk diteliti lebih mendalam mengingat animo masyarakat terhadap lembaga tersebut semakin meningkat, apalagi kurikulum terpadu mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang tidak sekuler.

B. Rumusan Masalah

Sebagaimana dimaklumi, Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) adalah lembaga pendidikan dasar umum berciri khas keagamaan bukan madrasah. Perkembangan belasan tahun terakhir sejak berdirinya (tahun 2000- an) telah memperlihatkan perkembangan yang pesat di berbagai wilayah di Indonesia. Begitu pula dengan SD Islam Unggulan atau SD Islam Plus, tidak sedikit sekolah yang tutup namun sekolah Islam Terpadu maupun Sekolah Dasar Islam Plus dan Unggulan peserta didiknya terus bertambah. Menurut riset awal peneliti, salah satu faktor penting dari keberlangsungan sekolah-sekolah tersebut adalah penerapan kurikulum terpadu. Kurikulum terpadu sebagai ruhnya pendidikan Islam menarik untuk diteliti.

12

Rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep kurikulum integratif yang dikembangkan di Sekolah Dasar Islam Istiqomah Ungaran Barat, SD Islam Terpadu (SDIT) Cahaya Umat Bergas, dan SD Islam Plus Haji Soebandi Bawen Kab. Semarang ?

2. Bagaimana Implementasi kurikulum integrstif yang dilaksanakan di SD Islam Istiqomah Ungaran Barat, Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Cahaya Umat Bergas, dan SD Islam Plus Haji Soebandi Bawen Kab. Semarang ?

3. Bagaimana karakteristik kurikulum integratif yang dikembangkan di SD Islam Istiqomah Ungaran Barat, SD Islam Terpadu (SDIT) Cahaya Ummat dan SD Islam Plus Haji Soebandi Bawen Kab. Semarang ?

4. Apa saja faktor pendukung dan penghambat implementasi kurikulum integratif di SD Islam Istiqomah Ungaran, SDIT Cahaya Umat Bergas, dan SD Islam Plus Haji Soebandi Bawen Kab. Semarang?

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat penulis kemukakan tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mendiskripsikan konsep kurikulum integratif yang dikembangkan di SD Islam Istiqomah Ungaran Barat, Sekolah Dasar Islam Terpadu di SDIT Cahaya Umat Bergas, dan SD Islam Plus Haji Soebandi Bawen, Kab. Semarang.

13

b. Untuk mendiskripsikan implementasi kurikulum integratif di SD Islam Istiqomah Ungaran Barat, Sekolah Dasar Islam Terpadu ( SDIT) Cahaya Umat Bergas, dan SD Islam Plus Haji Soebandi Bawen Kab. Semarang.

c. Untuk mendiskripsikan karakteristik kurikulum integratif yang dikembangkan di SD Islam Istiqomah Ungaran Barat, SD Islam Terpadu (SDIT) Cahaya Ummat dan SD Islam Plus Haji Soebandi Bawen, Kab. Semarang.

d. Untuk menjelaskan apa saja faktor pendukung dan faktor penghambat implementasi kurikulum integratif pada SD Islam Istiqomah Ungaran Barat, Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Cahaya Umat Bergas, dan SD Islam Plus Haji Soebandi Bawen Kab.Semarang.

2. Signifikansi Penelitian a. Signifikansi Teoritis.

Adapun manfaat yang ingin dihasilkan dari penelitian ini secara teori adalah diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan konsep kurikulum pendidikan Islam terutama tentang konsep kurikulum integratif dan implementasinya, juga untuk memberi tambahan dokumentasi khasanah keilmuan pendidikan Islam. Di samping itu penelitian ini juga diharapkan dapat membuka jalan bagi riset-riset lanjutan mengenai kurikulum integratif di lembaga pendidikan Islam, sehingga akan lahir teori baru.

14 b. Signifikansi Praktis

Secara praktis penelitian ini dapat memberi manfaat kepada :

1) Para guru selaku praktisi pendidikan di Sekolah Dasar bercirikhas Keagamaan (Islam) baik SD Islam, SD Islam Terpadu maupun SD Islam Plus dan semua guru di lembaga pendidikan Islam (umumnya) bisa melaksanakan dan mengembangkan kurikulum Islam integratif dengan sebaik-baiknya.

2) Kepala Sekolah selaku leader akan berfungsi sebagai kontrol kinerja para guru dalam melaksanakan dan mengembangkan pelaksanaan kurikulum integratif di sekolah tersebut. Di samping itu kepala sekolah bersama komite dapat menentukan anggaran yang signifikan bagi terimplementasikannya kurikulum integratif di lembaga tersebut.

3) Pemerintah (Dinas Pendidikan), Yayasan Penyelenggara Pendidikan dan Organisasi Keagamaan yang menyelenggarakan persekolahan dalam memajukan lembaga pendidikan Islam secara umum agar terlahir kebijakan-kebijakan baru yang positif bagi pengembangan lembaga.

D. Telaah Pustaka

Sepanjang penelusuran yang penulis lakukan terdapat beberapa tesis maupun karya penelitian lainnya terkait konsep pendidikan dan kurikulum integratif pada berbagai lembaga pendidikan Islam, penelitian tersebut dapat penulis kemukakan sebagai berikut:

15

Wahidun, dalam tesisnya berjudul Manajemen Pengembangan Kurikulum Terpadu dengan Sistem Full Day School (Studi Kasus di SDIT Luqman Al Hakim Yogyakarta) mengemukakan bahwa pada tahap perecanaan pengembangan kurikulum terpadu dengan sistem full day school di SDIT Luqman Al Hakim meliputi latar belakang pengembangan kurikulum terpadu yang mengacu pada kurikulum terakhir berjalan kemudian dari pihak sekolah melakukan pengembangan–pengembangan. Landasan pengembangan kurikulum terpadu mencakup visi, misi, arah tujuan pengembangan, tujuan institusi, dan tujuan operasional. Dalam tahap pengorganisasian pengembangan kurikulum terpadu terdiri dari pengorganisasian tugas mengajar. Implementasi pengembangan kurikulum terpadu meliputi strategi dan media belajar yang diorientasikan dan mendukung kegiatan belajar mengajar termasuk sistem full day school dengan tetap menggunakan misi ke-IT-an. Sedangkan evaluasi pengembangan kurikulum meliputi evaluasi terhadap in put siswa baru dan evaluasi pelaksanaaan hasil belajar.12Tesis tersebut dilakukan Wahidun tahun 2000 dengan kurikulum yang berlaku adalah menjelang KBK, jauh sebelum KTSP, sedangkan penulis fokus pada pembahasan kurikulum terpadu di era pemberlakuan kurikulum 2013 dan KTSP yang masih diberlakukan di kelas tertentu pada tiga SD bercirikhas keagamaan yaitu SD Islam Istiqomah Ungaran Barat, SDIT Cahaya Umat Bergas, dan SD Islam Plus Haji Soebandi Bawen Kab. Semarang.

12 Wahidun, “Manajemen Pengembangan Kurikulum Terpadu dengan Sistem Full Day School (Studi Kasus di SDIT Luqman Al-Hakim Yogyakarta) “, Tesis, Program Pascasarjanan IAIN Sunan Kalijaga, 2000

16

Teguh Pramono, dalam tesis berjudul Pengembangan Kurikulum pada Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Luqman Al Hakim DIY tahun 2004, yang dikembangkan adalah kurikulum Berbasis kompetensi (KBK). Teguh Pramono menyimpulkan hasil penelitian pengembangan kurikulum yang dilaksanakan SDIT Luqman al-Hakim bermula dari menggabungkan dua buah kurikulum, yaitu kurikulum Sekolah Dasar (SD) dan kurikulum Madrasah Ibtidaiyah (MI) dengan memberikan nuansa Islam dalam setiap mata pelajaran. Inilah yang kemudian disebut pendidikan terpadu. Untuk mengakomodasi kurikulum tersebut SDIT Luqman al-Hakim menggunakan sistem full day school.13 Adapun perbedaan dengan penulis adalah bahwa Teguh Pramono adalah pengembangan kurikulum Islam Terpadu pada saat pemerintah memberlakukan kurikulum KBK (2004) sedangkan penulis fokus pada pembahasan kurikulum terpadu pada era pemberlakuan kurikulum 2013 dan KTSP yang masih diberlakukan di kelas tertentu.

Namira Umar, dalam Manajemen Kurikulum Sistem Full Day School Studi Kasus di MTs N 1 Malang tahun 2007 mengemukakan bahwa secara operasional, perencanaan kurikulum sistem full day school di MTsN Malang 1 selalu mempedomani kalender pendidikan, penyusunan program tahunan

Dokumen terkait