Ketersediaan bahan baku untuk industri kehutanan saat ini belum mencukupi, sehingga mendorong para silvikulturis mencari cara untuk mempercepat pertumbuhan pohon terutama jenis-jenis yang laju pertumbuhannya lambat namun diketahui memiliki sifat dan karakteristik yang baik. Salah satu jenis yang pertumbuhannya dipercepat adalah jati (Tectona grandis) karena kayunya awet, kuat dan memiliki corak (kesan dekoratif) yang indah sehingga banyak diminati meski harganya tinggi. Upaya untuk membangun bank klon jati merupakan program utama perhutananan klonal saat ini (Rimbawanto & Suharyanto 2005). Jati-jati hasil klon sudah banyak dikembangkan mulai dari klon asal luar negeri seperti Thailand hingga lokal khususnya Jawa, Muna dan Lampung.
Menurut Leksono (2009); Rimbawanto (2003), percepatan pertumbuhan secara generatif, tanaman jati yang dihasilkan memiliki sifat yang lebih baik dibandingkan sifat induknya meski terbatas pada sifat-sifat yang dikendalikan oleh gen tunggal seperti ketahanan terhadap hama dan penyakit. Menurut Zobel & Talbert (1984), pertumbuhan pohon tidak hanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau faktor genetik saja tetapi juga oleh interaksi keduanya.
Penelitian yang dilakukan oleh Mahfudz et al. (2006) dan Wijayanto (2007) menyimpulkan bahwa jati dengan klon yang sama menghasilkan pertumbuhan diameter dan tinggi pohon yang bervariasi meski ditanam pada lokasi yang sama. Lebih lanjut dikemukakan bahwa variabilitas kedua parameter pertumbuhan tersebut juga dipengaruhi oleh umur tanaman dan jarak tanam.
Parameter kualitas kayu yang sering dipakai hingga saat ini adalah kerapatan dan berat jenis (BJ) kayu. Hubungan antara percepatan pertumbuhan dengan kerapatan atau BJ kayu masih terus diperdebatkan. Menurut para peneliti seperti DeBell et al. (2002); Koga & Zhang (2002); Bowyer et al. (2003); Okuyama et al. (2003), kerapatan kayu tidak dipengaruhi oleh percepatan pertumbuhan atau umur, sedangkan Zobel & van Buijtenen (1989); Lei et al.
(1997) menyatakan hal yang sebaliknya dimana kecepatan pertumbuhan mempengaruhi nilai kerapatan dan BJ kayu pada umur tanaman yang sama.
Variasi nilai kerapatan kayu sangat dipengaruhi oleh tipe, proporsi dan dimensi sel serta kerapatan dinding sel. Menurut Saranpää (2003), pertumbuhan pohon terkait dengan pembentukan lapisan-lapisan penyusun dinding sel, dimana tiap lapisan memiliki kerapatan yang berbeda. Kerapatan dinding sel akan meningkat pada saat kandungan selulosa dan derajat kristalinitas selulosa meningkat.
Kerapatan dinding sel berkonstribusi pada nilai kerapatan dan BJ kayu secara keseluruhan. Kerapatan dinding sel juga mempengaruhi sifat mekanis kayu terutama kekakuan. Menurut Armstrong (2005), kekuatan kayu dipengaruhi oleh sudut mikrofibril (microfibril angle/MFA) dan tebal dinding sel. Bahkan disebutkan pula bahwa MFA dan porsi daerah kristalin selulosa merupakan faktor utama yang mempengaruhi sifat fisik kayu (khususnya kerapatan dan kembang susut), sifat mekanis kayu (terutama keteguhan tarik/tensile strength dan kekakuan/stiffness), dan kandungan kimiawi kayu (Stuart & Evans (1994); Butterfield (2003); Peura et al. (2008)). MFA dan daerah kristalin selulosa merupakan struktur nano dinding sel. Kedua parameter tersebut perlu dikaji secara mendalam terutama kaitannya dengan penggunaan kayu yang dihasilkan oleh pohon-pohon yang dipercepat pertumbuhannya.
Struktur nano dinding sel adalah struktur penyusun dinding sel yang baru dapat diamati dengan jelas menggunakan bantuan mikroskop elektron atau dengan
indirect tools lainnya seperti X-ray diffraktometer karena ukurannya yang sangat kecil (skala nanometer). Yang termasuk dalam struktur nano dinding sel adalah struktur fibril penyusun dinding sel serat (Booker & Sell 1998). Pengetahuan tentang karakteristik struktur nano dinding sel dari perlakuan silvikultur di lapangan sangat diperlukan untuk memanipulasi pertumbuhan agar dapat menghasilkan tumbuhan dengan kekuatan dinding sel sekaligus sifat mekanis yang superior. Penelitian tentang pengaruh pengaturan jarak tanam, variasi diameter rata-rata dan asal klon terhadap karakteristik struktur nano dinding sel kayu jati belum banyak dikaji. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi terkait dengan hal tersebut.
3
Masalah lain dari kayu jati yang dihasilkan oleh pohon-pohon yang dipercepat pertumbuhannya adalah berkurangnya keawetan alami kayu tersebut (Sumarni et al. 2005) karena kandungan tektokinon yang sangat rendah akibat proses pembentukan bagian kayu teras yang belum sempurna. Sebagaimana diketahui bahwa tektokinon inilah yang membuat kayu jati memiliki keawetan alami yang tinggi.
Upaya meningkatkan keawetan kayu telah banyak dilakukan dengan berbagai metode. Salah satunya melalui proses pengawetan kayu. Terkait dengan proses pengawetan yang dilakukan khususnya terhadap kayu jati klon, keberadaan bahan pengawet di dinding sel dan ikatan yang terjadi belum pernah dikaji dengan tuntas. Oleh karena itu, penelitian ini juga diarahkan untuk mengamati keberadaan bahan pengawet di dinding sel penyusun kayu jati melalui pendekatan struktur dan dimensi kristalin selulosa.
Perumusan Masalah
Program pemuliaan tanaman jati telah dimulai oleh Perum Perhutani sejak tahun 1981 dengan menetapkan areal produksi benih dan kebun benih semai, pemilihan pohon plus, melakukan uji provenans, uji keturunan, uji klon, serta pembangunan kebun benih klon dan bank klon (Wibowo 2005). Beberapa lokasi termasuk Cepu dan Madiun merupakan daerah pembangunan uji klon. Klon terbaik dari Cepu dan Madiun selanjutnya dibuat kebun pangkas. Pembuatan kebun pangkas yang berasal dari bud grafting dan stek pucuk dilakukan di beberapa daerah termasuk di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta.
Siregar et al. (2008) menelusuri sifat tanaman dengan menggunakan
random amplified polymorphic DNA (RAPD) untuk mengetahui pengaruh metode perkembangbiakan tanaman (biji, cabutan dan stek) terhadap variasi genetik. Hasilnya menunjukkan bahwa keragaman genetik pada stek adalah yang terendah karena stek bersumber dari sedikit ortet. Klon yang berasal dari satu ortet diharapkan memiliki variasi pertumbuhan yang sempit sehingga akan menghasilkan kayu dengan kualitas yang sama seperti induknya.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan jati klon masih menghasilkan variasi yang lebar. Hasil penelitian Mahfudz et al. (2006)
memperlihatkan bahwa tanaman jati klon Cepu umur 22 bulan memiliki tinggi dan diameter yang bervariasi antara 2.22 m sampai 4.07 m dan antara 2.29 cm sampai 4.36 cm. Penelitian Wijayanto (2007) memperlihatkan bahwa tanaman jati klon Cepu dan Madiun umur 47 bulan memiliki tinggi dan diameter yang bervariasi antara 5.54 m sampai 9.63 m dan antara 5.31 cm sampai 10.06 cm. Adanya variasi tinggi dan diameter tersebut mengindikasikan bahwa kualitas kayu yang dihasilkan kemungkinan akan berbeda. Apakah kualitas kayu yang dihasilkan akan lebih jelek atau lebih baik masih merupakan pertanyaan. Jika kualitas kayunya lebih baik atau sama, ini menandakan bahwa faktor fenotipe tidak mempengaruhi kualitas kayu, demikian pula sebaliknya.
Kayu jati umur 20 tahun memiliki porsi kayu juvenil 80-100%, berbeda dengan kayu jati umur 60 tahun yang porsi kayu juvenilnya hanya 60-75% (Bhat 2003). Variasi nilai kerapatan dan BJ kayu pada bagian kayu juvenil tersebut sangat lebar (Kokutse et al. 2003; Okuyama et al. 2003), dan mengakibatkan kekuatan kayu secara keseluruhan menjadi berkurang. Hal ini menandakan bahwa semakin tinggi porsi kayu juvenil, semakin rendah pula kekuatan kayunya. Itulah sebabnya, sangat penting bagi silvikulturis untuk meminimalkan porsi kayu juvenil.
Selain memiliki porsi kayu juvenil yang tinggi, keawetan alami kayu-kayu dari pohon yang pertumbuhannya dipercepat menjadi lebih rendah. Terhadap kayu-kayu yang demikian diperlukan perlakuan pengawetan sebelum kayu digunakan. Metode pengawetan yang efektif diharapkan mampu memasukkan bahan pengawet ke dalam kayu dan berpenetrasi sampai ke dinding sel. Karena struktur selulosa berbentuk monoclinic, maka bahan pengawet dengan struktur yang sama dengan ukuran yang lebih kecil diharapkan dapat dengan mudah masuk dan berikatan dengan selulosa. Adanya perubahan pada dimensi kristalin membuktikan bahwa bahan pengawet telah masuk ke dalam dinding sel penyusun kayu.
Penelitian tentang kualitas kayu jati pada tingkat makroskopis dan mikroskopis telah banyak dilakukan. Pengamatan skala nano perlu dilakukan untuk melihat hubungan antara variasi pertumbuhan dalam hal ini rata-rata diameter batang, klon dan jarak tanam dengan kekuatan dan keawetan kayu.
5
Parameter ini belum banyak dikaji bahkan sampai saat ini belum ada penelitian skala nano yang mengkaji klon andalan Perum Perhutani dengan perlakuan jarak tanam dan variasi diameter batang.
Beberapa pertanyaan yang perlu dijawab terkait dengan aspek penelitian ini, diantaranya:
1. Apakah variasi yang lebar dari pertumbuhan dipengaruhi oleh asal usul klon dan jarak tanam yang berbeda ?
2. Bagaimana kualitas kayu terutama struktur nano dinding sel akibat variasi rata-rata diameter batang, klon dan jarak tanam ?
3. Bagaimana hubungan antara kekuatan kayu dalam hal ini modulus of elasticity (MOE) dengan struktur nano dinding sel ?
4. Apakah struktur dan perubahan dimensi kristalin dapat dijadikan acuan bagi keberadaan bahan pengawet di dinding sel ?
Untuk menjawab keempat pertanyaan tersebut, dilakukanlah serangkaian penelitian dengan problem tree analysis sebagaimana Gambar 1.
7
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kualitas kayu jati dari diameter, klon dan jarak tanam yang berbeda, sedangkan secara khusus, bertujuan untuk:
1. Mengkaji pengaruh faktor genetik dan lingkungan terhadap variasi pertumbuhan pohon jati klon Cepu dan Madiun yang ditanam di Gunung Kidul serta kepastian identitas genotipenya.
2. Menganalisis pengaruh variasi diameter batang, klon dan jarak tanam terhadap kualitas kayu khususnya struktur nano. Variasi diameter batang yang dimaksud adalah diameter terbesar, sedang dan terkecil, variasi klon adalah perbedaan asal klon yaitu Cepu dan Madiun, sedangkan variasi jarak tanam adalah 3 m x 3 m dan 2 m x 6 m.
3. Mengetahui sampai sejauh mana MOE dipengaruhi oleh struktur nano dinding sel (MFA, dimensi kristalin, derajat kristalinitas dan preferred orientation/PO).
4. Menganalisis keberadaan bahan pengawet di dinding sel melalui pendekatan struktur dan dimensi kristalin.
Secara skematik penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa tahapan, dengan alir pelaksanaan penelitian seperti pada Gambar 2.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan informasi dasar tentang kualitas kayu yang berguna bagi para silvikulturis dalam kaitannya dengan asal klon dan jarak tanam. Pengetahuan struktur nano dinding sel terutama hubungannya dengan kualitas kayu akan memperkaya wawasan dan pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang anatomi kayu.
Hipotesis
Hipotesis yang akan di uji dalam penelitian ini adalah:
1. Karakter adaptif (fenotipe) secara signifikan tidak menentukan kualitas kayu.
2. Variasi rata-rata diameter batang, klon dan jarak tanam akan mempengaruhi karakteristik struktur nano dinding sel.
3. Kristalin selulosa membuat kayu menjadi lebih kaku (tidak mudah patah). 4. Struktur yang sama dengan selulosa dengan ukuran yang lebih kecil serta
perubahan dimensi kristalin dapat menentukan pola penyebaran bahan pengawet di dinding sel.
Novelty Penelitian
Novelty dari penelitian ini adalah: a) hubungan antara kualitas kayu jati klon yang diverifikasi berdasarkan genotipe dengan struktur nano dinding sel, b) MOE dipengaruhi oleh struktur nano, dan c) deteksi keberadaan bahan pengawet di dinding sel penyusun kayu melalui pendekatan struktur nano.