• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan hutan tropis terbesar di dunia. Berdasarkan luasannya hutan tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah Brazil dan Kongo. Hutan-hutan tropis ini memiliki kekayaan hayati yang sangat unik. Kekayaan sumberdaya hutan tersebut pada saat ini mengalami kerusakan yang sangat memprihatinkan. Sebagai gambaran laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,7 juta hektar per tahun pada kurun waktu 1985 – 1997. Bahkan tahun 1998 - 2000 Indonesia diperkirakan kehilangan 2 juta hektar hutan tiap tahun (GFW, 2001). Laju kerusakan hutan pada periode tahun 2003-2006 rata-rata 1,17 juta hektar per tahun (BAPLAN, 2008). Sementara itu diperkirakan 30 juta orang penduduk secara langsung mengandalkan hidupnya pada sektor kehutanan dengan tingkat ketergantungan yang bervariasi.

Kerusakan hutan juga merupakan masalah utama dalam pengelolaan hutan di Jawa. Menurut Simon (2000) adanya pengangguran di desa hutan akan menyebabkan kegagalan pembuatan tanaman hutan dan adanya pencurian kayu sehingga produktivitas hutan menurun. Produktivitas hutan menurun akan mengakibatkan lebih banyak lagi kemiskinan masyarakat sekitar hutan. Dari luas hutan di Jawa 2.926.949 hektar kawasan hutan yang dikelola Perum Perhutani, seluas 629.705 hektar (21,51 persen) dalam kondisi kritis (TPKHR 2006). Kondisi sumberdaya hutan yang kritis tersebut tidak terlepas dari dinamika perubahan yang terjadi pada berbagai level. Dinamika perubahan yang memberikan tekanan berat dalam upaya mewujudkan pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari tersebut antara lain: (1) perubahan tatanan pemerintahan dari sentralistik menjadi desen-tralistik; (2) perubahan paradigma manajemen pengelolaan hutan yang tadinya berorientasi kepada produksi hasil kayu menjadi berorientasi pada manfaat sumberdaya kehutanan secara menyeluruh dengan keberpihakan kepada rakyat banyak; dan (3) perubahan nilai-nilai sosial pada masyarakat sekitar hutan yang semula bersifat subsisten menjadi lebih berorientasi pada ekonomi. Ketiga

perubahan tersebut mendorong terciptanya perubahan harapan dari pemerintah dan masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Harapan masyarakat sendiri bergeser yang semula akses masya-rakat sekitar hutan bersifat pasif dan setinggi-tingginya hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan secara subsisten, telah berkembang sebagai sarana untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.

Pengelolaan hutan di Pulau Jawa akan selalu berhadapan dengan jutaan penduduk yang hidup pada sekitar 6.200 desa hutan dan dalam kondisi yang miskin. Sebagian dari desa-desa tersebut merupakan kantong kemiskinan dengan jumlah petani dan buruh tani yang sangat membutuhkan lahan untuk kehidupannya. Perkembangan penduduk, pengangguran, kemiskinan dan kerusakan hutan merupakan lingkaran setan (vicious circle) yang merugikan seluruh komponen yang berkompeten dengan pembangunan regional (Simon, 2000). Berdasarkan catatan Awang (2004) tingkat kemiskinan penduduk Indonesia yang masih tinggi, di Jawa diketahui bahwa sekitar 46 persen desa-desa miskin berada di sekitar kawasan hutan negara.

Kondisi sumberdaya hutan yang semakin menurun dan kemiskinan masya-rakat sekitar hutan yang meningkat mendorong semakin menguatnya pendekatan pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat atau kehutanan masyarakat (social forestry). Hal ini sejalan dengan arah pengelolaan hutan dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menyatakan bahwa pengelolaan hutan dari sisi fungsi produksinya diarahkan menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Di dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/MENHUT-II/2004 disebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau di sekitar hutan dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam pemanfaatan hutan dalam rangka social forestry. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dan terwujudnya pengelolaan hutan yang lestari. Terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi yaitu adanya peluang yang semakin besar bagi masyarakat untuk mengelola sumberdaya hutan, dan per-lunya kemampuan masyarakat yang memadai dalam rangka mengelola sumberdaya hutan untuk pemenuhan kebutuhannya.

Upaya-upaya meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan telah dilakukan oleh Departemen Kehutanan melalui berbagai program kehutanan masyarakat. Perhutani sebagai pemangku amanat pengelolaan hutan di Pulau Jawa juga telah mengembangkan berbagai model kehutanan masyarakat dalam upaya meng-akomodir kepentingan masyarakat desa hutan. Model pende-katan kehutanan masyarakat yang dikembangkan Perhutani sejak tahun 2001 yaitu program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Pendekatan ini pada dasarnya merupakan sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber-daya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. Sejak tahun 2007, Perhutani telah mengembangkan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM Plus) yang merupakan penyempurnaan dari program sebelumnya, terutama dikaitkan dengan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Fenomena menguatnya pendekatan kehutanan masyarakat ini juga sejalan dengan kajian Suharjito et al. (2000) yang menemukan fenomena menarik bahwa pengelo-laan hutan oleh masyarakat menunjukkan kinerja yang sangat baik tidak saja dalam hal pencapaian produktivitas dan efisiensi, tetapi juga dalam hal penjaminan keadilan dan keberlanjutannya.

Pendekatan kehutanan masyarakat memandang masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Sebagai pelaku utama, masyarakat harus mampu mengendalikan pembuatan keputusan tentang pengelolaan sumber-daya hutan. Kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam mengelola sumbersumber-daya hutan merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan. Sehingga masyarakat mampu memerankan fungsinya secara optimal. Namun demikian kondisi masya-rakat sekitar hutan yang masih berada dalam kemiskinan dan masih terbatasnya akses terhadap sumberdaya hutan merupakan indikator kurangnya kemampuan mereka dalam pengelolaan sumberdaya di sekitar mereka untuk memenuhi kebutuhannya.

Pemberdayaan terhadap masyarakat menjadi faktor kunci yang sangat diperlukan agar mereka mampu memerankan sebagai pelaku utama dalam

pengelolaan sumberdaya hutan secara efektif. Padmowiharjo (2005) menyatakan bahwa dengan pemberdayaan akan terjadi pendayagunaan semua potensi yang dimiliki seseorang untuk dapat memperbaiki nasibnya. Pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki nasib suatu masyarakat tidak akan berhasil dengan baik apabila tidak dilakukan pemberdayaan dari masyarakat itu sendiri, sehingga mereka mampu menampilkan dirinya sebagai subyek pembangunan, bukan obyek pembangunan. Dalam pembangunan bidang kehutanan, menurut Sardjono (2004) penguatan modal manusia diperlukan agar partisipasi dan kerjasama yang dibangun bersifat setara atau tidak ada dominasi satu pihak kepada pihak lain. Mengingat dalam bidang kehutanan masyarakat lokal hingga saat ini yang paling lemah kapasitasnya, maka harus ditingkatkan melalui upaya pemberdayaan terhadap masyarakat. Masyarakat yang berdaya dalam hal ini adalah yang memiliki kemampuan dalam menetapkan prioritas dan pengendalian atas sumberdaya hutan yang sangat penting bagi upaya untuk menentukan nasib mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan juga menjadi salah satu tujuan pengaturan sistem penyuluhan melalui UU No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Pelaku utama dalam kegiatan kehutanan yaitu masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Memberdayakan pelaku utama mempunyai makna peningkatan kemampuan mereka diantaranya melalui penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran dan pendampingan serta fasilitasi.

Salah satu pendekatan pemberdayaan terhadap masyarakat sekitar hutan yang efektif adalah melalui bentuk pemberdayaan kelompok. Pendekatan kelompok mempunyai kelebihan karena proses penyadaran terhadap masyarakat menjadi lebih cepat, daya jangkauan informasi terhadap masyarakat menjadi lebih luas, lebih sesuai dengan budaya masyarakat pedesaan yang komunal. Kelompok juga memiliki fungsi diantaranya sebagai wadah proses pembelajaran dan wahana dalam bekerjasama antar masyarakat. Hubeis et al. (1992) menekankan bahwa penyu-luhan pembangunan yang ditujukan lewat media komunikasi kelompok akan dapat mempercepat proses penyadaran masyarakat tentang beragam proses pem-bangunan. Menurut Adjid (1992) pengembangan kelompok tani sebagai sistem

sosial merupakan strategi yang menumbuhkan kekuatan petani untuk berubah dari masyarakat pertanian tradisional menuju masyarakat modern. Kebutuhan terhadap kelompok tani berhubungan dengan beberapa alasan diantaranya yaitu: (a) kelompok tani sebagai saluran informasi dan wahana partisipasi masyarakat; (b) kelompok tani sebagai wadah untuk menghimpun kemampuan dan potensi perseorangan petani untuk mencapai keswadayaan masyarakat; (c) kelompok tani sebagai partner hubungan kerjasama dengan instansi; (d) kelompok tani sebagai wahana proses transformasi menjadi modern melalui komunikasi, kepemimpinan dan partisipasi. Thompson (1999) juga menekankan bahwa salah satu elemen kunci keberhasilan kehutanan masyarakat yaitu pengembangan organisasi (kelompok) lokal untuk pengelolaan hutan yang partisipatif. Keberadaan kelompok bagi masyarakat sekitar hutan sudah ada sejak awal-awal program kehutanan masyarakat diluncurkan oleh Perhutani tahun 1980-an. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi dan kedudukan kelompok masih lemah dalam menjalankan perannya mengelola sumberdaya hutan bersama Perhutani. Oleh karena itu aspek kelompok tani hutan sangat penting diperhatikan dalam proses pemberdayaan. Pemberdayaan terhadap masyarakat sekitar hutan dengan memper-hatikan kelembagaan kelompok tani harus dilakukan secara tepat agar kelompok mampu menjadi mitra sejajar dengan pihak Perhutani dalam mengelola sumberdaya hutan.

Hasil-hasil penelitian dengan tema pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dari perspektif ilmu penyuluhan pembangunan selama ini belum secara tegas mengungkapkan pentingnya dimensi kelembagaan petani sekitar hutan, sehubungan dengan posisi petani sebagai pelaku utama dalam mengelola sumberdaya hutan. Model pemberdayaan masyarakat sekitar hutan yang disusun Sidu (2006) berlaku untuk populasi masyarakat petani di sekitar hutan lindung Jompi, Sulawesi Tenggara. Model yang disusun berupa keberdayaan warga masyarakat dipengaruhi oleh proses pemberdayaan, kemampuan pelaku pemberdayaan, modal fisik, modal sosial dan modal manusia. Sementara itu Pardosi (2005) menyusun model pember-dayaan peladang berpindah yang berlaku untuk populasi keluarga peladang berpindah di Kabupaten Kutai Kartanegara,

Kutai Timur, dan Kutai Barat. Tingkat keberdayaan peladang berpindah dipenga-ruhi oleh faktor-faktor determinan berupa kualitas sumberdaya pribadi, kekuatan motivasi, tingkat pemenuhan kebutuhan, kualitas pendukung keberdayaan, kualitas lingkungan eksternal dan kualitas penyuluhan memberdayakan peladang berpindah. Kajian Santosa (2004) merumuskan model pemberdayaan petani tepian hutan melalui pembaharuan perilaku adaptif yang berlaku untuk populasi petani tepian hutan pada hutan negara (hutan produksi) di wilayah Banyumas, hutan rakyat di Kabupaten Tapanuli Selatan, dan hutan adat di Kabupaten Mandailing Natal. Model pemberdayaan yang disusun pada dasarnya bahwa kesejahteraan petani tepian hutan ditingkatkan melalui transformasi perilaku menjadi adaptif mandiri, yang didukung oleh lingkungan sosial, intervensi eksternal dan lingkungan fisik. Ketiga model pemberdayaan tersebut dimaksudkan mencapai keberdayaan agar masyarakat lebih sejahtera dan pengelolaan sumberdaya alam semakin baik. Namun demikian belum mempertim-bangkan kelembagaan petani untuk mencapai keberdayaan mereka, sehingga sebagai pelaku utama mereka mampu secara efektif mengelola sumberdaya hutan dalam rangka mencukupi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu penelitian ini menekankan pada pemberdayaan masyarakat sekitar hutan produksi, dengan mempertimbangkan aspek kelompok tani hutan dalam konteks masyarakat mengelola sumberdaya hutan bersama pihak Perhutani.

Kajian ini menekankan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dengan pendekatan kelompok dari segi ilmu penyuluhan pembangunan, sehingga masya-rakat mampu mencapai tingkat keberdayaan yang tinggi melalui kegiatan mengelola sumberdaya hutan bersama pihak Perhutani. Selanjutnya masyarakat sekitar hutan mampu meningkatkan partisipasinya dalam mengelola sumberdaya hutan secara lestari sesuai kaidah ekologis dan ekonomis sehingga bisa meningkat kesejah-teraannya. Hubungan antar peubah yang ber-pengaruh akan diteliti, untuk menemukan model pemberdayaan yang sesuai. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang tepat akan dirumuskan serta strategi pelaksanaannya akan disusun sebagai masukan para pengambil kebijakan dalam bidang kehutanan. Kajian ditujukan pada kasus pengelolaan hutan bersama masyarakat yang dilaksanakan pada areal hutan produksi yang dikelola oleh Perhutani Unit I di Propinsi Jawa

Tengah. Hal ini dengan pertimbangan bahwa menurut Perhutani Unit I Jawa Tengah (2007), kawasan hutan produksi meliputi 83,62 persen dari seluruh kawasan hutan yang dikelola oleh Perhutani Unit I sehingga merupakan fungsi hutan yang paling dominan.

Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu sebagai berikut :

1. Sejauhmana dinamika kelompok masyarakat sekitar hutan dan faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap dinamika kelompok masyarakat sekitar hutan tersebut?

2. Sejauhmana tingkat keberdayaan masyarakat sekitar hutan dan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap keberdayaan masyarakat sekitar hutan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari mengelola sumberdaya hutan ?

3. Sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat sekitar hutan terhadap pengelolaan hutan bersama Perhutani dan bagaimana keterkaitannya dengan tingkat keberdayaannya ?

4. Bagaimana model dan strategi pemberdayaan masyarakat sekitar hutan yang efektif melalui pendekatan kelompok ?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk :

1. Mengkaji dinamika kelompok masyarakat sekitar hutan dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap dinamika kelompok masyarakat tersebut.

2. Mengkaji tingkat keberdayaan masyarakat sekitar hutan dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberdayaan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari mengelola sumberdaya hutan.

3. Mengkaji tingkat partisipasi masyarakat sekitar hutan dan hubungannya dengan tingkat keberdayaannya.

4. Menyusun model dan strategi pemberdayaan masyarakat sekitar hutan yang lebih efektif melalui pendekatan kelompok.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak baik dalam lingkup akademis (keilmuan) maupun lingkup praktis. Manfaat dari penelitan dengan demikian adalah :

A. Kegunaan dalam lingkungan akademis / keilmuan :

(1) Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemahaman proses pemberdayaan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya hutan berda-sarkan pendekatan kelompok dan perilaku manusia.

(2) Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemahaman proses pember-dayaan, SDM Pemberdaya, kepemimpinan kelompok, lingkungan dan pengaruhnya terhadap dinamika kelompok, tingkat keberdayaan masya-rakat dan tingkat partisipasinya.

(3) Memberikan informasi bagi penelitian yang serupa agar dapat melakukan penyempurnaan demi kemajuan ilmu pengetahuan tentang proses pember-dayaan, SDM Pemberdaya, kepemimpinan, lingkungan, dinamika kelom-pok, tingkat keberdayaan masyarakat dan tingkat pendapatan dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.

B. Kegunaan dalam lingkungan praktis :

(1) Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah / Perhutani untuk menyusun kebijakan kehutanan yang berorientasi kepada pemberdayaan masyarakat sekitar hutan untuk mewujudkan kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat.

(2) Hasil penelitian diharapkan menjadi tambahan informasi bagi semua stakeholders untuk bahan masukan dalam menyusun strategi dan program penyuluhan kehutanan melalui pendekatan kelompok.

Definisi Istilah

1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan mempunyai fungsi pokok yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi (UU No 41 tahun 1999).

2. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (UU No 41 tahun 1999).

3. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah (UU No 41 tahun 1999).

4. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan (UU No 41 tahun 1999).

5. Pengelolaan sumberdaya hutan adalah kegiatan yang meliputi penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya hutan, pemanfaatan sumberdaya dan kawasan hutan, serta perlindungan sumberdaya hutan dan konservasi alam (Perum Perhutani, 2007a).

6. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa atau Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional (Perum Perhutani, 2003).

7. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM Plus) adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang

bersinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan yang optimal dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang bersifat fleksibel, partisipatif, dan akomodatif (Perum Perhutani, 2007a).

8. Desa hutan adalah wilayah desa yang secara geografis dan administratif berbatasan dengan kawasan hutan atau di sekitar kawasan hutan (Perum Perhutani, 2007a).

9. Masyarakat desa hutan adalah kelompok orang yang bertempat tinggal di desa hutan dan melakukan kegiatan yang berinteraksi dengan sumberdaya hutan untuk mendukung kehidupannya (Perum Perhutani, 2007a).

10.Kegiatan berbasis lahan adalah rangkaian kegiatan yang secara langsung berkaitan dengan pengolahan tanah dan atau ruang sesuai karakteristik wilayah, yang menghasilkan produk budidaya dan lanjutannya serta produk konservasi dan estetika (Perum Perhutani, 2001).

11.KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) adalah bagian wilayah pengelolaan hutan dalam wilayah kerja Unit Perhutani. KPH merupakan satuan manajemen pengelolaan hutan yang tertinggi pada tingkat lapangan yang berfungsi dalam bidang pemanfaatan sumberdaya hutan dan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi lahan, serta perlindungan sumberdaya hutan dan konservasi alam. KPH biasanya setara dengan level administrasi pemerintahan tingkat kabupaten (Winarto, 2006 & Peluso, 1992).

12.KKPH (Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan atau Administratur /Adm) merupa-kan manajer satuan organisasi KPH yang merupakan manajer tertinggi pada tingkat lapangan.

13.BKPH (Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan) adalah bagian wilayah pengelolaan hutan dalam wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH). BKPH menjalankan fungsi KPH pada wilayah kerjanya. BKPH biasanya setara dengan level administratif pemerintahan tingkat kecamatan (Winarto, 2006 & Peluso, 1992).

14.KBKPH (Kepala Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan atau Asisten Perhutani /Asper) merupakan manajer satuan organisasi BKPH, mengelola urusan administrasi kantor BKPH, membawahi para Mantri, dan melaksanakan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayahnya.

15.RPH (Resort Polisi Hutan) merupakan satuan manajemen terkecil dalam pengelolaan hutan yang membawahi wilayah tertentu dan merupakan bagian dari BKPH. RPH biasanya setara dengan level administrasi pemerintahan tingkat desa (Peluso, 1992).

16.KRPH (Kepala Resort Polisi Hutan atau Mantri) merupakan manajer satuan organisasi KRPH yang membawahi para mandor, mempunyai wilayah, dan mempunyai tanggungjawab dalam melaksanakan pengelolaan hutan di wilayahnya.

17.LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) merupakan organisasi formal dari masyarakat desa hutan pada tingkat desa, yang melakukan kerjasama pengelolaan hutan dengan pihak Perhutani yang diwakili oleh Kepala KPH. LMDH terdiri dari beberapa kelompok tani hutan (KTH).

18.Social forestry atau kehutanan masyarakat merupakan sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dalam mengelola sumberdaya hutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan. Social forestry dikenal dengan beberapa istilah misalnya community forestry, participatory forestry, farm forestry.. Community forestry merupakan aktivitas mengelola hutan yang dilakukan penduduk pedesaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Participatory forestry merupakan pengelolaan hutan oleh instansi kehutanan dengan adanya partisipasi positif dari masyarakat (Wiersum, 1994). Farm forestry atau hutan rakyat merupakan kegiatan penanaman pohon oleh petani di atas lahan milik rakyat untuk tujuan subsisten maupun komersial (Awang, 2004).

19.Pemberdayaan (empowerment) mencakup dimensi proses dan dimensi hasil. Proses pemberdayaan merupakan upaya penerapan program yang dilakukan

terhadap petani hutan atau kelompok tani, yang dalam kondisi kurang mampu dan kekurangan sumberdaya, dengan melibatkan rasa saling menghargai, kepedulian, partisipasi kelompok, kesetaraan dan mengutamakan pemenuhan kebutuhan masyarakat, agar mereka mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dalam mengakses dan mengontrol sumber-sumberdaya sehingga bisa mening-katkan kualitas kehidupannya.

20.Keberdayaan adalah hasil dari proses pemberdayaan yang dilakukan terhadap individu atau kelompok. Tingkat keberdayaan adalah kemampuan yang dimiliki petani anggota kelompok tani hutan berupa keterkaitan dari kemampuan personal individu yang berupa persepsi terhadap kapasitasnya dan pengertian kritis terhadap lingkungannya, kapasitas untuk mengambil tindakan, kemampuan kolektif untuk mencapai tujuan dan kekuatan bertahan terhadap permasalahannya dalam melakukan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

21.Masyarakat sekitar hutan adalah sekelompok orang yang bertempat tinggal di desa sekitar hutan negara, yang merupakan kesatuan komunitas sosial, yang tergabung dalam wadah LMDH dan bekerjasama secara formal dengan pihak Perhutani, untuk melakukan kegiatan mengelola sumberdaya hutan di sekitar wilayah desanya, dalam rangka mendukung kebutuhan hidupnya.

22.Kelompok adalah suatu organisasi sosial yang berupa kumpulan individu yang memiliki karakteristik berupa interaksi sosial satu sama lain, saling ketergantungan, adanya identitas dan perasaan bersatu, saling berbagi tujuan tertentu dan berbagi harapan terhadap perilaku satu sama lain. Dinamika kelompok yaitu kualitas interaksi dan perilaku anggota kelompok serta perkembangan struktur dan pembagian tugas terhadap para anggotanya dalam rangka mencapai tujuan kelompok. Pendekatan kelompok dalam pemberdayaan masyarakat yaitu mempertimbangkan aspek kelompok sebagai peubah yang penting dalam penyusunan model pemberdayaan.

23.Partisipasi memiliki makna sebagai keikutsertaan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang menyangkut pengambilan

keputusan dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan menikmati hasilnya secara adil sehingga tercapai pendapatan masyarakat secara berkelan-jutan sebagai kriteria penting dalam pemberdayaan.

24.Kelompok Tani Hutan (KTH) sebagai asosiasi dari orang-orang yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dan mengoorganisisr kegiatan menggunakan lahan hutan. Asosiasi tersebut tumbuh dan berkembang dari, oleh dan untuk anggotanya guna mencapai kesejahteraan dan keuntungan bersama (Kartasubrata et al., 1995). Kelompok-kelompok tani hutan umumnya bergabung menjadi LMDH pada tingkat desa. KTH yang sebenarnya berperan aktif sebagai palaksana dalam mengelola sumberdaya hutan (TPKHR, 2006).

TINJAUAN PUSTAKA

Dokumen terkait