( PA
(KASUS P ADA ARE
PENGELO EAL HUT
PR
SE INS
OLAAN H AN PROD ROVINSI
SUWIG
EKOLAH TITUT PE
B
HUTAN BE DUKSI PE I JAWA T
GNYA UT
H PASCAS ERTANIA BOGOR
2010
ERSAMA ERUM PE TENGAH)
TAMA
SARJANA AN BOGO
A MASYA ERHUTAN
)
A OR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Melalui Pendekatan Kelompok : Kasus Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat pada Areal Hutan Produksi Perum Perhutani Unit I Provinsi Jawa Tengah adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Mei 2010
Suwignya Utama
Forest Areas through Group Approach (Case study of forest management involving local people in the forest production areas of State Forestry Corporation (Perum Perhutani) Unit I in the Province of Central Java). Under supervision of SUMARDJO, IGN. DJOKO SUSANTO, and DARWIS S. GANI.
Forest villagers’ empowerment in a social forestry approach, especially collaborative forest management, is very crucial issue. The objectives of this study are: (1) to explore group dynamic of forest farmers’ group and to identify several factors influence the group dynamic; (2) to explore the level of empowerment of farmers around state forest area and to identify several factors influence the level of empowerment; (3) to explore the level of participation of farmers around state forest area and to find out the relationship of participation with the level of empowerment; and (4) to formulate a model and strategies to empower the farmers around state forest areas through group approach. The study had been carried out in three forest districts of East Pekalongan, South Kedu and Gundih in 2008. Survey using questionnaire with multistage cluster sampling was employed to collect main data from 408 farmers as respondents. The research data were processed by using structural equation modeling (SEM) of LISREL 8.73.
The conclusions of the study are: (1) Level of group dynamic of forest farmers’ group is low. Factors influence significantly on the low of group dynamic are the low effectiveness of forest farmers’ group leadership, unfavorable environmental supports and low role of facilitators; (2) Level of empowerment of farmers is low. Factors influence directly and significantly on the low level of empowerment are unfavorable environmental supports, low level of group dynamic, low individual farmers’ potency, and ineffective process of empowerment. Whereas the ineffectiveness of forest farmers’ group leadership has indirect effect on the low level of empowerment; (3) Level of farmers’ participation is low. The low level of farmers’ participation is influenced directly by the low level of their empowerment; (4) Strategies to empower forest farmers are to strengthen six aspects such as environmental supports, forest farmers’ leadership, group dynamic, roles of facilitators, forest farmers’ potency and effectiveness of the process of empowerment.
SUWIGNYA UTAMA. 2010. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Melalui Pendekatan Kelompok (Kasus Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat pada Areal Hutan Produksi Perum Perhutani Unit I Provinsi Jawa Tengah). Dibimbing oleh : SUMARDJO, IGN. DJOKO SUSANTO, dan DARWIS S. GANI.
Kondisi sumberdaya hutan terus mengalami penurunan karena mengalami degradasi secara terus menerus. Di sisi lain jutaan penduduk secara langsung mengandalkan kehidupannya pada sumberdaya hutan. Kondisi penduduk di sekitar hutan yang dalam kemiskinan dan membutuhkan lahan sebagai sumber kehidupannya, mendorong semakin menguatnya pendekatan pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat atau social forestry. Paradigma baru pembangunan kehutanan mengarah kepada orientasi pemberdayaan masyarakat dan menempatkan masyarakat sebagai subyek atau pelaku utama. Sebagai pelaku utama dalam mengelola sumberdaya hutan, maka tema pemberdayaan menjadi faktor yang sangat penting. Terlebih lagi dalam sistem pengelolaan hutan secara bersama (kolaboratif) antara Perhutani dengan masyarakat. Salah satu pemberdayaan terhadap masyarakat yang efektif yaitu melalui kelompok, karena lebih luas jangkauannya dan sesuai dengan budaya masyarakat pedesaan yang komunal.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji : (1) dinamika kelompok masyarakat sekitar hutan dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya; (2) tingkat keberdayaan masyarakat sekitar hutan dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh; (3) tingkat partisipasi masyarakat sekitar hutan dan hubungannya dengan tingkat keberdayaannya; dan (4) menyusun model dan strategi pemberdayaan masyarakat sekitar hutan yang efektif melalui pendekatan kelompok.
Lokasi penelitian di wilayah pengelolaan hutan Perum Perhutani Unit I Provinsi Jawa Tengah meliputi tiga KPH yaitu KPH Pekalongan Timur, KPH Kedu Selatan dan KPH Gundih. Penelitian pendahuluan dilakukan bulan Januari 2008, dan pengambilan data pokok pada bulan Juli sampai Agustus 2008. Populasi penelitian yaitu petani sekitar hutan di tiga KPH terpilih sebanyak 889.407 KK. Penelitian dilakukan dengan metode survey dengan kuesioner terhadap 408 petani sekitar hutan. Pengambilan sampel multistage cluster sampling dengan jumlah sampel tidak proporsional, sehingga ada bobot sampel tiap lokasi. Analisis data secara deskriptif dan model persamaan struktural (Structural Equation Model / SEM) dengan Program Lisrel 8.73.
sekitar hutan menunjukkan kecocokan model yang baik, dengan nilai χ²=292,14 dan nilai p=0,060 sehingga model bisa diterapkan pada populasi penelitian. Ukuran kecocokan lainnya yaitu RMSEA=0,034, NFI=0,94, RFI=0,93, IFI=0,99 dan CFI=0,99 merupakan kecocokan yang baik. Analisis model struktural menunjukkan bahwa dinamika kelompok dipengaruhi secara langsung oleh keeefektifan kepemimpinan kelompok, dukungan lingkungan, dan peran sumberdaya manusia pemberdaya, dengan koefisien pengaruh berturut-turut sebesar 0,53, 0,20 dan 0,19 (nyata pada α=0,05). Sedangkan pengaruh secara bersama-sama ketiga peubah tersebut terhadap dinamika kelompok yaitu sebesar R²=0,63, yang berarti bahwa keragaman data yang bisa dijelaskan oleh model dinamika kelompok sebesar 63 persen sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain. Tingkat keberdayaan petani sekitar hutan dipengaruhi secara langsung oleh dukungan lingkungan, dinamika kelompok, potensi sumberdaya individu petani, dan ketepatan proses pemberdayaan, dengan koefisien pengaruh berturut-turut sebesar 0,50, 0,30, 0,23, dan 0,17 (nyata pada α=0,05). Keefektifan kelompok berpengaruh secara tidak langsung terhadap tingkat keberdayaan (melalui dinamika kelompok) dengan koefisien pengaruh sebesar 0,16 yang nyata pada α=0,05. Sedangkan pengaruh secara bersama-sama kelima peubah tersebut terhadap tingkat keberdayaan yaitu sebesar R²=0,55, yang berarti bahwa keragaman data yang bisa dijelaskan oleh model tingkat keberdayaan sebesar 55 persen sedangkan sisanya oleh faktor lain. Tingkat keberdayaan petani sekitrar hutan berpengaruh secara positif terhadap tingkat partisipasinya, dengan koefisien pengaruh sebesar 0,61 (nyata pada α=0,05) dengan nilai koefisien determinasi R²=0,37. Hal ini mempunyai makna bahwa keragaman data yang dapat dijelaskan oleh model tingkat partisipasi sebesar 37 persen, sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain.
tingkat partisipasi petani sekitar hutan termasuk rendah, dengan skor rataan sebesar 45 dari skor maksimal 100. Terdapat perbedaan partisipasi yang nyata pada tiga lokasi penelitian. Rendahnya tingkat partisipasi petani sekitar hutan dipengaruhi secara nyata oleh rendahnya tingkat keberdayaan mereka dalam mengelola sumberdaya hutan. Tingkat partisipasi petani sekitar hutan yang rendah terutama meliputi kurangnya keterlibatan petani pada tahapan kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pemanfaatan; (4) Model pemberdayaan masyarakat sekitar hutan yang efektif menunjukkan bahwa tingkat keberdayaan masyarakat sekitar hutan didukung secara langsung oleh dukungan lingkungan, dinamika kelompok, potensi sumberdaya individu petani, dan ketepatan proses pemberdayaan. Sedangkan dinamika kelompok didukung secara langsung oleh keefektifan kepemimpinan kelompok, dukungan lingkungan dan peran SDM pemberdaya. Tingkat keberdayaan masyarakat sekitar hutan akan berpengaruh terhadap semakin tingginya tingkat partisipasi mereka di dalam mengelola sumberdaya hutan bersama pihak Perhutani; (5) Untuk mencapai partisipasi masyarakat sekitar hutan yang tinggi diperlukan peningkatan keberdayaan mereka dalam mengelola sumberdaya hutan. Strategi penyuluhan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat sekitar hutan yaitu : (a) Pengembangan dukungan lingkungan yang kondusif terhadap peningkatan kehidupan petani; (b) Pengembangan kepemimpinan kelompok tani hutan; (c) Pengembangan dinamika kelompok tani hutan sebagai basis penguatan lembaga masyarakat desa hutan; (d) Pengembangan kemampuan tenaga Mandor Perhutani sebagai pendamping (pemberdaya) terhadap kelompok tani; (e) Pengembangan potensi yang dimiliki petani sekitar hutan; dan (f) Peningkatan ketepatan proses implementasi program PHBM Plus.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
(KASUS PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT PADA AREAL HUTAN PRODUKSI PERUM PERHUTANI UNIT
I
PROVINSI JAWA TENGAH)
SUWIGNYA UTAMA
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Provinsi Jawa Tengah
Nama : Suwignya Utama
NIM : P061050111
Disetujui : Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS. Ketua
Prof. (Riset) Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM. Prof. Dr. Ir. Darwis S. Gani, MA.
Anggota Anggota
Diketahui : Ketua Program Studi
Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Penguji pada Ujian Tertutup :
1. Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. (Staf Pengajar IPB). 2. Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc . (Staf Pengajar IPB).
Penguji pada Ujian Terbuka :
1. Dr. Ir. Eka Widodo Soegiri, MM. (Kepala Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan, Dep. Kehutanan RI).
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan disertasi ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2008 ini adalah pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.
Penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan kepada ketua komisi pembimbing Bapak Prof. Dr. Sumardjo, MS., dan anggota komisi Bapak Prof. (Riset) Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM. dan Bapak Prof. Dr. Darwis S. Gani, MA., yang telah memberikan perhatian, saran dan masukan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Menteri Kehutanan, Bapak Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan, Bapak Ir. Mudjihanto Soemarmo, MM. selaku Kepala Biro Kepegawaian, Bapak Kepala Pusat Diklat Kehutanan, dan Bapak Ir. Samidi, MSc selaku Kepala Bagian Renbang Kepegawaian, yang telah memberikan kesempatan penulis mengikuti tugas belajar. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Bapak Kepala Pusbindiklatren Bappenas, Ketua Yayasan Sarana Wanajaya, dan Ketua Yayasan Damandiri yang telah membantu pendanaan dalam rangka studi dan penelitian. Kepada tim ahli dalam menilai rancangan instrumen penelitian yaitu Bapak Prof. Dr. Ir. Mustofa Agung Sardjono, MSc., Bapak Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. dan Bapak Dr. Ir. Nurheni Wijayanto MS., penulis mengucapkan terima kasih atas kesediaannya melakukan review dan memberikan masukan yang berharga. Terimakasih juga kami sampaikan kepada Kepala Unit I Perum Perhutani Jawa Tengah, Ir. Imam Fuji Raharjo, MS (Administratur KPH Pekalongan Timur), Ir. Oscar Maukar (Administratur KPH Gundih), dan Ir. Dwi Witjahjono, MBA (Administratur KPH Kedu Selatan) atas perijinan selama penelitian lapangan. Kepada tenaga enumerator lapangan disampaikan terimakasih atas bantuannya selama pengumpulan data pokok. Secara khusus penulis ungkapkan terimakasih kepada isteriku dan anak-anakku atas pengorbanan dan dorongan semangat serta do’anya sehingga penulis menyelesaikan studi.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2010
Mulyono. Penulis menikah dengan Dra. Kurniawati pada tahun 1993 dan dikaruniai dua orang putra yaitu Harisuddin Hawali (siswa SMA) dan Fahri Fauzan (siswa SD).
Setelah lulus dari SMAN 1 Wonosari tahun 1983, penulis melanjutkan ke Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan lulus tahun 1988. Dengan beasiswa dari Proyek ITTO Pusat Diklat Kehutanan, penulis melanjutkan studi progran Pascasarjana ke University of Dallas - Graduate School of Management,, Texas, USA dan memperoleh gelar MBA dalam bidang Human Resource Management pada tahun 1996. Penulis menempuh program doktor dalam bidang Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB di Bogor dengan beasiswa dari Bappenas mulai September 2005.
Penulis bekerja sebagai staf pada Biro Kepegawaian Departemen Kehutanan di Jakarta sejak tahun 1988. Penulis menjadi Kepala Sub Bagian (Kasubbag) Penyusunan Rencana Kepegawaian (1997), kemudian menjadi Kasubbag Penyusunan Formasi Kepegawaian (1999), Kasubbag Rencana dan Program Kepegawaian (2001) dan Kasubbag Karier Pegawai (2002-2005) pada Biro Kepegawaian Departemen Kehutanan di Jakarta. Sejak tahun 2002 sampai 2005, penulis turut aktif membangun
Personnel Assessment Center (PAC) di Departemen Kehutanan, dan menjadi Assessor Kompetensi Pegawai sejak tahun 2004. Beberapa pelatihan bidang assessment dan kompetensi yang telah diikuti penulis diantaranya adalah Indivual and Job Competency (2002), Technical dan Managerial Competency (2004), Assessor Training of PAC (2004), In-Tray Design (2006), Targeted Selection Training (2006), dan Administrator for Targeted Selection (2006).
DAFTAR ISI
Masalah Penelitian ... 7
Tujuan Penelitian ... 7
Manfaat Penelitian ... 8
Definisi Istilah ... 9
TINJAUAN PUSTAKA ... 14
Konsep Pemberdayaan (Empowerment) ... 14
Proses Pemberdayaan ... 19
Strategi Pemberdayaan ... 21
Tingkat Keberdayaan ... 21
Hasil-hasil Penelitian Keberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan di Indonesia.. 24
Pemberdayaan dan Penyuluhan ... 26
Konsep Komunitas dan Masyarakat ... 27
Konsep Komunitas (community) ... 28
Elemen-elemen Pokok Komunitas ... 30
Karakteristik Komunitas ... 31
Modal Sosial dalam Komunitas ... 32
Perubahan Sosial dari Individu dalam Komunitas ... 34
Pengembangan Masyarakat dan Prinsip-prinsipnya ... 34
Konsep Komunitas vs Masyarakat ... 37
Masyarakat Jawa menurut Tinjauan Aspek Budaya ... 38
Masyarakat Sekitar Hutan ... 40
Teori Kelompok ... 41
Karakteristik Kelompok ... 44
Kelompok sebagai Sistem Sosial ... 45
Dinamika Kelompok ... 48
Kelompok Tani dan Kelompok Tani Hutan ... 52
Kelompok Tani sebagai Faktor Pelancar Pembangunan ... 54
Hasil-hasil Penelitian Kelompok dan Kelompok Tani di Indonesia ... 55
Teori Kepemimpinan ... 56
Pengertian Kepemimpinan ... 57
Makna Kepemimpinan ... 58
Perkembangan Pemikiran tentang Kepemimpinan ... 60
Kepemimpinan pada Masyarakat Indonesia ... 62
Teori Motivasi dan Kebutuhan Manusia ... 63
Motivasi ... 63
Kebutuhan (need) ... 66
Latar Belakang Munculnya Konsep Social Forestry ... 69
Pengertian Kehutanan Masyarakat ... 70
Teori Akses dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam ... 74
Perkembangan Kebijakan Kehutanan Masyarakat di Indonesia ... 75
Perkembangan Kebijakan Kehutanan Masyarakat di Jawa ... 77
Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan ... 80
Tinjauan Konsep Partisipasi ... 80
Tipologi Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan ... 83
Beberapa Syarat agar Masyarakat Berpartisipasi ... 84
Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan ... 85
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS ... 87
Kerangka Berpikir ... 87
Ketepatan Proses Pemberdayaan ... 93
Dinamika Kelompok ... 95
Tingkat Keberdayaan Anggota dalam Kelompok ... 98
Partisipasi Masyarakat Desa Hutan ... 100
Peran SDM Pemberdayaan dalam Memberdayakan Petani ... 102
Hipotesis ... 104
METODE PENELITIAN ... 106
Populasi dan Sampel ... 106
Waktu dan Lokasi Penelitian ... 106
Populasi ... 107
Sampel ... 108
Unit Analisis ... 112
Desain Penelitian ... 114
Data dan Instrumentasi ... 114
Pengumpulan Data ... 114
Instrumentasi ... 116
Validitas Instrumen ... 117
Reliabilitas Instrumen ... 120
Analisis Data ... 122
Pengukuran Peubah Penelitian ... 130
Definisi Operasional ... 132
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 144
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 144
Kondisi Geografis dan Hutan di Provinsi Jawa Tengah ... 144
Kondisi Wilayah Hutan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah ... 145
Luas dan Pembagian Wilayah Hutan pada Lokasi Penelitian ... 145
Perkembangan Program PHBM pada Lokasi Penelitian ... 146
Kondisi Potensi Sumberdaya Individu Petani ... 148
Kondisi Ketepatan Proses Pemberdayaan ... 155
Kondisi Peran SDM Pemberdaya ... 158
Kondisi Keefektifan Kepemimpinan Kelompok ... 162
Kondisi Dukungan Lingkungan ...
Kondisi Dinamika Kelompok Tani Hutan ... 169
Keadaan Tingkat Keberdayaan Petani Hutan ... 172
Kondisi Tingkat Partisipasi Petani dalam Program PHBM ... 175
Perbandingan Kondisi Peubah-peubah pada Tiga Lokasi Penelitian ... 178
Pendugaan Parameter Model Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan .... 181
Analisis Model Pengukuran... 184
Uji Kecocokan Keseluruhan Model... 189
Analisis Model Struktural ... 194
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dinamika Kelompok Tani Hutan ... 199
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Keberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan ... 205
Hubungan Tingkat Keberdayaan Petani dengan Partisipasinya ... 217
Model Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan ... 221
Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan melalui Dukungan Lingkungan ... 223
Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan melalui Dinamika Kelompok ... 223
Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan melalui Potensi Sumberdaya Individu Petani ... 225
Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan melalui Ketepatan Proses Pemberdayaan ... 225
Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan melalui Keefektifan Kepemimpinan Kelompok ... 226
Kekuatan Model Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan melalui Pendekatan Kelompok ... 227
Peran Penyuluhan Kehutanan dalam Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan ... ... ... 228
Strategi Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan ... 233
Visi ... 234
Misi ... 235
Langkah-langkah Strategis Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan ... 235
Strategi Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan ... 241
KESIMPULAN DAN SARAN 244 Kesimpulan ... 244
Saran ... 246
DAFTAR PUSTAKA ... 248
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Norma tradisional dan modern dalam komunitas ……… 34
2 Deskripsi dan analisis pendekatan sosial dalam pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani selama empat dasawarsa terakhir ... 79
3 Pemikiran tentang Ketepatan Proses Pemberdayaan ... 94
4 Pemikiran tentang Dinamika Kelompok ... 96
5 Pemikiran tentang Tingkat Keberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan .... 99
6 Pemikiran tentang Tingkat Partisipasi ... 101
7 Pemikiran tentang Peran SDM Pemberdaya ... 103
8 Ikhtisar lokasi penelitian Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan berdasarkan Wilayah Pengelolaan Hutan dan Wilayah Administratif .. 107
9 Kerangka sampel penelitian Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan di Perum Perhutani Unit I Provinsi Jawa Tengah ... 109
10 Kerangka sampling penelitian Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan menurut gugus-gugus (cluster) cara pengambilan sampling penelitian ... 113
11 Kisaran nilai Koefisien Korelasi item-item pertanyaan dalam satu peubah sengan skor total peubah ... 120
12 Hasil uji reliabilitas instrumen penelitian ... 122
13 Matriks kerangka konsep penjabaran peubah dan indikator penelitian Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan ... 124
14 Notasi matematik model atau Hybrid Model SEM ... 127
15 Ukuran-ukuran GOF yang digunakan dalam Uji Kecocokan Keseluruhan Model Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan ... 129
16 Indikator dan Parameter Potensi Sumberdaya Individu Petani ... 133
17 Indikator dan Parameter Ketepatan Proses Pemberdayaan ... 134
18 Indikator dan Parameter Peran SDM Pemberdaya ... 135
19 Indikator dan Parameter Keefektifan Kepemimpinan Kelompok ... 137
20 Indikator dan Parameter Dukungan Lingkungan ... 138
21 Indikator dan Parameter Dinamika Kelompok ... 139
22 Indikator dan Parameter Tingkat Keberdayaan ... 141
24 Luas pembagian wilayah hutan yang dikelola Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah pada lokasi penelitian pada Tahun 2007 ...
146 25 Perkembangan Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
(PHBM) pada lokasi penelitian sampai Desember 2007 ... 147 26 Kondisi potensi sumberdaya individu petani sampel (X1) pada KPH
Pekalongan Timur (A) , KPH Kedu Selatan (B) dan KPH Gundih (C).. 149 27 Sebaran tanaman pokok pada lahan andil yang dikelola petani sampel. 150 28 Hasil tabulasi jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan petani hutan
pada lahan andil ...
151 29 Kondisi ketepatan proses pemberdayaan (X2) pada KPH Pekalongan
Timur (A), KPH Kedu Selatan (B) dan KPH Gundih (C) ... 156 30 Kondisi peran sumberdaya manusia pemberdaya (X3) pada KPH
Pekalongan Timur (A), KPH Kedu Selatan (B) dan KPH Gundih (C) .. 159 31 Kondisi keefektifan kepemimpinan kelompok (X4) pada KPH
Pekalongan Timur (A), KPH Kedu Selatan (B) dan KPH Gundih (C) .. 163 32 Kondisi dukungan lingkungan (X5) petani sekitar hutan pada KPH
Pekalongan Timur (A), KPH Kedu Selatan (B) dan KPH Gundih (C) .. 166 33 Kondisi dinamika kelompok (Y1) dari kelompok tani hutan pada KPH
Pekalongan Timur (A), KPH Kedu Selatan (B) dan KPH Gundih (C) .. 170 34 Tingkat keberdayaan (Y2) petani sekitar hutan pada KPH Pekalongan
Timur (A), KPH Kedu Selatan (B) dan KPH Gundih (C) ... 173 35 Kondisi tingkat partisipasi (Y3) pada KPH Pekalongan Timur (A), KPH
Kedu Selatan (B) dan KPH Gundih (C) ... 176 36 Perbandingan kondisi hasil pengukuran peubah-peubah penelitian
pemberdayaan masyarakat sekitar hutan pada KPH Pekalongan Timur
(A), KPH Kedu Selatan (B) dan KPH Gundih (C) ... 179 37 Ringkasan hasil Analisis Model Pengukuran peubah-peubah penelitian
pemberdayaan masyarakat sekitar hutan ... 185 38 Hasil uji kecocokan keseluruhan Model Pemberdayaan Masyarakat
Sekitar Hutan setelah melalui respesifikasi ... 190 39 Dekomposisi pengaruh antar peubah-peubah penelitian Pemberdayaan
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Alur berpikir penelitian Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan ... 91 2 Hubungan antar peubah-peubah penelitian Pemberdayaan Masyarakat
Sekitar Hutan melalui Pendekatan Kelompok ... 92 3 Model hipotetik faktor-faktor yang mempengaruhi Dinamika Kelompok .... 104 4 Model hipotetik faktor-faktor yang mempengaruhi Tingkat Keberdayaan
masyarakat sekitar hutan ... 105 5 Model hipotetik pengaruh antara Tingkat Keberdayaan masyarakat sekitar
hutan terhadap Tingkat Partisipasi ... 105 6 Kerangka Konsep Konstruksi Model Rekursif Peubah peubah Penelitian .... 126 7 Pendugaan parameter model awal pemberdayaan masyarakat sekitar hutan .. 183 8 Diagram lintasan Model Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan setelah
dilakukan respesifikasi (Model -Standardized Solution) ... 188 9 Persamaan struktural hasil pendugaan parameter Model Pemberdayaan
Masyarakat Sekitar Hutan Melalui Pendekatan Kelompok ... 195 10 Diagram lintasan peubah-peubah yang berpengaruh secara nyata terhadap
Dinamika Kelompok berdasarkan model akhir setelah respesifikasi ... 200 11 Diagram lintasan peubah-peubah yang berpengaruh secara nyata terhadap
Tingkat Keberdayaan berdasarkan model akhir setelah respesifikasi ... ... 206 12 Diagram lintasan Model Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan ... 209 13 Diagram lintasan peubah-peubah yang berpengaruh secara nyata terhadap
Tingkat Keberdayaan berdasarkan model akhir setelah respesifikasi ... 218 14 Model Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Melalui Pendekatan
Kelompok dalam rangka pengelolaan hutan bersama masyarakat di Perum
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Peta Lokasi Penelitian Pembagian Wilayah Kerja KPH Perum Perhutani
Unit I Jawa Tengah ... 263 2 Hasil Perhitungan Reliabilitas Instrumen Penelitian ... 264 3 Hasil uji beda rata-rata data penelitian (Uji-t) ... 267 4 Hasil Analisis Model Pengukuran setiap peubah penelitian (Koefisien faktor
standar) ... 274
5 Output Program Lisrel Gambar Model Akhir Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan (Model Pengukuran dan Model Struktural) ...
281
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan hutan tropis terbesar di dunia. Berdasarkan luasannya hutan tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah Brazil dan Kongo. Hutan-hutan tropis ini memiliki kekayaan hayati yang sangat unik. Kekayaan sumberdaya hutan tersebut pada saat ini mengalami kerusakan yang sangat memprihatinkan. Sebagai gambaran laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,7 juta hektar per tahun pada kurun waktu 1985 – 1997. Bahkan tahun 1998 - 2000 Indonesia diperkirakan kehilangan 2 juta hektar hutan tiap tahun (GFW, 2001). Laju kerusakan hutan pada periode tahun 2003-2006 rata-rata 1,17 juta hektar per tahun (BAPLAN, 2008). Sementara itu diperkirakan 30 juta orang penduduk secara langsung mengandalkan hidupnya pada sektor kehutanan dengan tingkat ketergantungan yang bervariasi.
perubahan tersebut mendorong terciptanya perubahan harapan dari pemerintah dan
masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Harapan masyarakat sendiri bergeser yang
semula akses masya-rakat sekitar hutan bersifat pasif dan setinggi-tingginya hanya
ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan secara subsisten, telah berkembang sebagai
sarana untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.
Pengelolaan hutan di Pulau Jawa akan selalu berhadapan dengan jutaan
penduduk yang hidup pada sekitar 6.200 desa hutan dan dalam kondisi yang
miskin. Sebagian dari desa-desa tersebut merupakan kantong kemiskinan dengan
jumlah petani dan buruh tani yang sangat membutuhkan lahan untuk kehidupannya.
Perkembangan penduduk, pengangguran, kemiskinan dan kerusakan hutan
merupakan lingkaran setan (vicious circle) yang merugikan seluruh komponen
yang berkompeten dengan pembangunan regional (Simon, 2000). Berdasarkan
catatan Awang (2004) tingkat kemiskinan penduduk Indonesia yang masih tinggi,
di Jawa diketahui bahwa sekitar 46 persen desa-desa miskin berada di sekitar
kawasan hutan negara.
Kondisi sumberdaya hutan yang semakin menurun dan kemiskinan
masya-rakat sekitar hutan yang meningkat mendorong semakin menguatnya pendekatan
pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat atau kehutanan masyarakat (social
forestry). Hal ini sejalan dengan arah pengelolaan hutan dalam Undang-undang
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menyatakan bahwa pengelolaan hutan
dari sisi fungsi produksinya diarahkan menjadi pengelolaan yang berorientasi pada
seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan berbasis pada pemberdayaan
masyarakat. Di dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/MENHUT-II/2004
disebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau di sekitar
hutan dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat
dalam pemanfaatan hutan dalam rangka social forestry. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dan terwujudnya pengelolaan
hutan yang lestari. Terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi yaitu adanya peluang
yang semakin besar bagi masyarakat untuk mengelola sumberdaya hutan, dan
per-lunya kemampuan masyarakat yang memadai dalam rangka mengelola sumberdaya
Upaya-upaya meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan
hutan telah dilakukan oleh Departemen Kehutanan melalui berbagai program
kehutanan masyarakat. Perhutani sebagai pemangku amanat pengelolaan hutan di
Pulau Jawa juga telah mengembangkan berbagai model kehutanan masyarakat
dalam upaya meng-akomodir kepentingan masyarakat desa hutan. Model
pende-katan kehutanan masyarakat yang dikembangkan Perhutani sejak tahun 2001 yaitu
program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Pendekatan ini pada
dasarnya merupakan sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan
bersama oleh Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan jiwa berbagi, sehingga
kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat
sumber-daya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. Sejak tahun 2007,
Perhutani telah mengembangkan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
Plus (PHBM Plus) yang merupakan penyempurnaan dari program sebelumnya,
terutama dikaitkan dengan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Fenomena menguatnya pendekatan kehutanan masyarakat ini juga sejalan dengan
kajian Suharjito et al. (2000) yang menemukan fenomena menarik bahwa
pengelo-laan hutan oleh masyarakat menunjukkan kinerja yang sangat baik tidak saja dalam
hal pencapaian produktivitas dan efisiensi, tetapi juga dalam hal penjaminan
keadilan dan keberlanjutannya.
Pendekatan kehutanan masyarakat memandang masyarakat sebagai pelaku
utama dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Sebagai pelaku utama, masyarakat
harus mampu mengendalikan pembuatan keputusan tentang pengelolaan
sumber-daya hutan. Kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam mengelola sumbersumber-daya
hutan merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan. Sehingga masyarakat
mampu memerankan fungsinya secara optimal. Namun demikian kondisi
masya-rakat sekitar hutan yang masih berada dalam kemiskinan dan masih terbatasnya
akses terhadap sumberdaya hutan merupakan indikator kurangnya kemampuan
mereka dalam pengelolaan sumberdaya di sekitar mereka untuk memenuhi
kebutuhannya.
Pemberdayaan terhadap masyarakat menjadi faktor kunci yang sangat
pengelolaan sumberdaya hutan secara efektif. Padmowiharjo (2005) menyatakan
bahwa dengan pemberdayaan akan terjadi pendayagunaan semua potensi yang
dimiliki seseorang untuk dapat memperbaiki nasibnya. Pembangunan yang
bertujuan untuk memperbaiki nasib suatu masyarakat tidak akan berhasil dengan
baik apabila tidak dilakukan pemberdayaan dari masyarakat itu sendiri, sehingga
mereka mampu menampilkan dirinya sebagai subyek pembangunan, bukan obyek
pembangunan. Dalam pembangunan bidang kehutanan, menurut Sardjono (2004)
penguatan modal manusia diperlukan agar partisipasi dan kerjasama yang dibangun
bersifat setara atau tidak ada dominasi satu pihak kepada pihak lain. Mengingat
dalam bidang kehutanan masyarakat lokal hingga saat ini yang paling lemah
kapasitasnya, maka harus ditingkatkan melalui upaya pemberdayaan terhadap
masyarakat. Masyarakat yang berdaya dalam hal ini adalah yang memiliki
kemampuan dalam menetapkan prioritas dan pengendalian atas sumberdaya hutan
yang sangat penting bagi upaya untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan juga menjadi salah satu tujuan pengaturan
sistem penyuluhan melalui UU No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Pelaku utama dalam kegiatan kehutanan
yaitu masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Memberdayakan pelaku
utama mempunyai makna peningkatan kemampuan mereka diantaranya melalui
penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan
kesadaran dan pendampingan serta fasilitasi.
Salah satu pendekatan pemberdayaan terhadap masyarakat sekitar hutan
yang efektif adalah melalui bentuk pemberdayaan kelompok. Pendekatan kelompok
mempunyai kelebihan karena proses penyadaran terhadap masyarakat menjadi
lebih cepat, daya jangkauan informasi terhadap masyarakat menjadi lebih luas,
lebih sesuai dengan budaya masyarakat pedesaan yang komunal. Kelompok juga
memiliki fungsi diantaranya sebagai wadah proses pembelajaran dan wahana dalam
bekerjasama antar masyarakat. Hubeis et al. (1992) menekankan bahwa
penyu-luhan pembangunan yang ditujukan lewat media komunikasi kelompok akan dapat
mempercepat proses penyadaran masyarakat tentang beragam proses
sosial merupakan strategi yang menumbuhkan kekuatan petani untuk berubah dari
masyarakat pertanian tradisional menuju masyarakat modern. Kebutuhan terhadap
kelompok tani berhubungan dengan beberapa alasan diantaranya yaitu: (a)
kelompok tani sebagai saluran informasi dan wahana partisipasi masyarakat; (b)
kelompok tani sebagai wadah untuk menghimpun kemampuan dan potensi
perseorangan petani untuk mencapai keswadayaan masyarakat; (c) kelompok tani
sebagai partner hubungan kerjasama dengan instansi; (d) kelompok tani sebagai
wahana proses transformasi menjadi modern melalui komunikasi, kepemimpinan
dan partisipasi. Thompson (1999) juga menekankan bahwa salah satu elemen kunci
keberhasilan kehutanan masyarakat yaitu pengembangan organisasi (kelompok)
lokal untuk pengelolaan hutan yang partisipatif. Keberadaan kelompok bagi
masyarakat sekitar hutan sudah ada sejak awal-awal program kehutanan
masyarakat diluncurkan oleh Perhutani tahun 1980-an. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa kondisi dan kedudukan kelompok masih lemah dalam
menjalankan perannya mengelola sumberdaya hutan bersama Perhutani. Oleh
karena itu aspek kelompok tani hutan sangat penting diperhatikan dalam proses
pemberdayaan. Pemberdayaan terhadap masyarakat sekitar hutan dengan
memper-hatikan kelembagaan kelompok tani harus dilakukan secara tepat agar kelompok
mampu menjadi mitra sejajar dengan pihak Perhutani dalam mengelola sumberdaya
hutan.
Hasil-hasil penelitian dengan tema pemberdayaan masyarakat sekitar hutan
dari perspektif ilmu penyuluhan pembangunan selama ini belum secara tegas
mengungkapkan pentingnya dimensi kelembagaan petani sekitar hutan,
sehubungan dengan posisi petani sebagai pelaku utama dalam mengelola
sumberdaya hutan. Model pemberdayaan masyarakat sekitar hutan yang disusun
Sidu (2006) berlaku untuk populasi masyarakat petani di sekitar hutan lindung
Jompi, Sulawesi Tenggara. Model yang disusun berupa keberdayaan warga
masyarakat dipengaruhi oleh proses pemberdayaan, kemampuan pelaku
pemberdayaan, modal fisik, modal sosial dan modal manusia. Sementara itu
Pardosi (2005) menyusun model pember-dayaan peladang berpindah yang berlaku
Kutai Timur, dan Kutai Barat. Tingkat keberdayaan peladang berpindah
dipenga-ruhi oleh faktor-faktor determinan berupa kualitas sumberdaya pribadi, kekuatan
motivasi, tingkat pemenuhan kebutuhan, kualitas pendukung keberdayaan, kualitas
lingkungan eksternal dan kualitas penyuluhan memberdayakan peladang berpindah.
Kajian Santosa (2004) merumuskan model pemberdayaan petani tepian hutan
melalui pembaharuan perilaku adaptif yang berlaku untuk populasi petani tepian
hutan pada hutan negara (hutan produksi) di wilayah Banyumas, hutan rakyat di
Kabupaten Tapanuli Selatan, dan hutan adat di Kabupaten Mandailing Natal.
Model pemberdayaan yang disusun pada dasarnya bahwa kesejahteraan petani
tepian hutan ditingkatkan melalui transformasi perilaku menjadi adaptif mandiri,
yang didukung oleh lingkungan sosial, intervensi eksternal dan lingkungan fisik.
Ketiga model pemberdayaan tersebut dimaksudkan mencapai keberdayaan agar
masyarakat lebih sejahtera dan pengelolaan sumberdaya alam semakin baik.
Namun demikian belum mempertim-bangkan kelembagaan petani untuk mencapai
keberdayaan mereka, sehingga sebagai pelaku utama mereka mampu secara efektif
mengelola sumberdaya hutan dalam rangka mencukupi kebutuhan hidupnya. Oleh
karena itu penelitian ini menekankan pada pemberdayaan masyarakat sekitar hutan
produksi, dengan mempertimbangkan aspek kelompok tani hutan dalam konteks
masyarakat mengelola sumberdaya hutan bersama pihak Perhutani.
Kajian ini menekankan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dengan
pendekatan kelompok dari segi ilmu penyuluhan pembangunan, sehingga
masya-rakat mampu mencapai tingkat keberdayaan yang tinggi melalui kegiatan
mengelola sumberdaya hutan bersama pihak Perhutani. Selanjutnya masyarakat
sekitar hutan mampu meningkatkan partisipasinya dalam mengelola sumberdaya
hutan secara lestari sesuai kaidah ekologis dan ekonomis sehingga bisa meningkat
kesejah-teraannya. Hubungan antar peubah yang ber-pengaruh akan diteliti, untuk
menemukan model pemberdayaan yang sesuai. Pendekatan pemberdayaan
masyarakat yang tepat akan dirumuskan serta strategi pelaksanaannya akan disusun
sebagai masukan para pengambil kebijakan dalam bidang kehutanan. Kajian
ditujukan pada kasus pengelolaan hutan bersama masyarakat yang dilaksanakan
Tengah. Hal ini dengan pertimbangan bahwa menurut Perhutani Unit I Jawa
Tengah (2007), kawasan hutan produksi meliputi 83,62 persen dari seluruh
kawasan hutan yang dikelola oleh Perhutani Unit I sehingga merupakan fungsi
hutan yang paling dominan.
Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu
sebagai berikut :
1. Sejauhmana dinamika kelompok masyarakat sekitar hutan dan faktor-faktor apa
yang berpengaruh terhadap dinamika kelompok masyarakat sekitar hutan
tersebut?
2. Sejauhmana tingkat keberdayaan masyarakat sekitar hutan dan faktor-faktor apa
saja yang berpengaruh terhadap keberdayaan masyarakat sekitar hutan dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya dari mengelola sumberdaya hutan ?
3. Sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat sekitar hutan terhadap pengelolaan
hutan bersama Perhutani dan bagaimana keterkaitannya dengan tingkat
keberdayaannya ?
4. Bagaimana model dan strategi pemberdayaan masyarakat sekitar hutan yang
efektif melalui pendekatan kelompok ?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk :
1. Mengkaji dinamika kelompok masyarakat sekitar hutan dan mengidentifikasi
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap dinamika kelompok masyarakat
tersebut.
2. Mengkaji tingkat keberdayaan masyarakat sekitar hutan dan mengidentifikasi
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberdayaan mereka dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya dari mengelola sumberdaya hutan.
3. Mengkaji tingkat partisipasi masyarakat sekitar hutan dan hubungannya dengan
4. Menyusun model dan strategi pemberdayaan masyarakat sekitar hutan yang
lebih efektif melalui pendekatan kelompok.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak baik dalam
lingkup akademis (keilmuan) maupun lingkup praktis. Manfaat dari penelitan
dengan demikian adalah :
A. Kegunaan dalam lingkungan akademis / keilmuan :
(1) Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemahaman proses
pemberdayaan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan
sumberdaya hutan berda-sarkan pendekatan kelompok dan perilaku
manusia.
(2) Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemahaman proses
pember-dayaan, SDM Pemberdaya, kepemimpinan kelompok, lingkungan dan
pengaruhnya terhadap dinamika kelompok, tingkat keberdayaan
masya-rakat dan tingkat partisipasinya.
(3) Memberikan informasi bagi penelitian yang serupa agar dapat melakukan
penyempurnaan demi kemajuan ilmu pengetahuan tentang proses
pember-dayaan, SDM Pemberdaya, kepemimpinan, lingkungan, dinamika
kelom-pok, tingkat keberdayaan masyarakat dan tingkat pendapatan dalam
rangka meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan masyarakat sekitar
hutan.
B. Kegunaan dalam lingkungan praktis :
(1) Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan
bagi Pemerintah / Perhutani untuk menyusun kebijakan kehutanan yang
berorientasi kepada pemberdayaan masyarakat sekitar hutan untuk
(2) Hasil penelitian diharapkan menjadi tambahan informasi bagi semua
stakeholders untuk bahan masukan dalam menyusun strategi dan program
penyuluhan kehutanan melalui pendekatan kelompok.
Definisi Istilah
1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan
mempunyai fungsi pokok yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi
produksi (UU No 41 tahun 1999).
2. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (UU No 41
tahun 1999).
3. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas
tanah (UU No 41 tahun 1999).
4. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
memproduksi hasil hutan (UU No 41 tahun 1999).
5. Pengelolaan sumberdaya hutan adalah kegiatan yang meliputi penyusunan
rencana pengelolaan sumberdaya hutan, pemanfaatan sumberdaya dan kawasan
hutan, serta perlindungan sumberdaya hutan dan konservasi alam (Perum
Perhutani, 2007a).
6. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah suatu
sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum
Perhutani dan masyarakat desa atau Perum Perhutani dan masyarakat desa
hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi,
sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan
manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional
(Perum Perhutani, 2003).
7. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM Plus) adalah
bersinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau para pihak
yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat
sumber daya hutan yang optimal dan peningkatan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) yang bersifat fleksibel, partisipatif, dan akomodatif (Perum
Perhutani, 2007a).
8. Desa hutan adalah wilayah desa yang secara geografis dan administratif
berbatasan dengan kawasan hutan atau di sekitar kawasan hutan (Perum
Perhutani, 2007a).
9. Masyarakat desa hutan adalah kelompok orang yang bertempat tinggal di desa
hutan dan melakukan kegiatan yang berinteraksi dengan sumberdaya hutan
untuk mendukung kehidupannya (Perum Perhutani, 2007a).
10.Kegiatan berbasis lahan adalah rangkaian kegiatan yang secara langsung
berkaitan dengan pengolahan tanah dan atau ruang sesuai karakteristik wilayah,
yang menghasilkan produk budidaya dan lanjutannya serta produk konservasi
dan estetika (Perum Perhutani, 2001).
11.KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) adalah bagian wilayah pengelolaan hutan
dalam wilayah kerja Unit Perhutani. KPH merupakan satuan manajemen
pengelolaan hutan yang tertinggi pada tingkat lapangan yang berfungsi dalam
bidang pemanfaatan sumberdaya hutan dan kawasan hutan, rehabilitasi dan
reklamasi lahan, serta perlindungan sumberdaya hutan dan konservasi alam.
KPH biasanya setara dengan level administrasi pemerintahan tingkat kabupaten
(Winarto, 2006 & Peluso, 1992).
12.KKPH (Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan atau Administratur /Adm)
merupa-kan manajer satuan organisasi KPH yang merupakan manajer tertinggi
pada tingkat lapangan.
13.BKPH (Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan) adalah bagian wilayah
pengelolaan hutan dalam wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH). BKPH
menjalankan fungsi KPH pada wilayah kerjanya. BKPH biasanya setara dengan
level administratif pemerintahan tingkat kecamatan (Winarto, 2006 & Peluso,
14.KBKPH (Kepala Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan atau Asisten Perhutani
/Asper) merupakan manajer satuan organisasi BKPH, mengelola urusan
administrasi kantor BKPH, membawahi para Mantri, dan melaksanakan
pengelolaan sumberdaya hutan di wilayahnya.
15.RPH (Resort Polisi Hutan) merupakan satuan manajemen terkecil dalam
pengelolaan hutan yang membawahi wilayah tertentu dan merupakan bagian
dari BKPH. RPH biasanya setara dengan level administrasi pemerintahan
tingkat desa (Peluso, 1992).
16.KRPH (Kepala Resort Polisi Hutan atau Mantri) merupakan manajer satuan
organisasi KRPH yang membawahi para mandor, mempunyai wilayah, dan
mempunyai tanggungjawab dalam melaksanakan pengelolaan hutan di
wilayahnya.
17.LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) merupakan organisasi formal dari
masyarakat desa hutan pada tingkat desa, yang melakukan kerjasama
pengelolaan hutan dengan pihak Perhutani yang diwakili oleh Kepala KPH.
LMDH terdiri dari beberapa kelompok tani hutan (KTH).
18.Social forestry atau kehutanan masyarakat merupakan sistem pengelolaan
sumberdaya hutan yang memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat
sebagai pelaku dalam mengelola sumberdaya hutan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan. Social
forestry dikenal dengan beberapa istilah misalnya community forestry,
participatory forestry, farm forestry.. Community forestry merupakan aktivitas
mengelola hutan yang dilakukan penduduk pedesaan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Participatory forestry merupakan pengelolaan hutan oleh
instansi kehutanan dengan adanya partisipasi positif dari masyarakat (Wiersum,
1994). Farm forestry atau hutan rakyat merupakan kegiatan penanaman pohon
oleh petani di atas lahan milik rakyat untuk tujuan subsisten maupun komersial
(Awang, 2004).
19.Pemberdayaan (empowerment) mencakup dimensi proses dan dimensi hasil.
terhadap petani hutan atau kelompok tani, yang dalam kondisi kurang mampu
dan kekurangan sumberdaya, dengan melibatkan rasa saling menghargai,
kepedulian, partisipasi kelompok, kesetaraan dan mengutamakan pemenuhan
kebutuhan masyarakat, agar mereka mempunyai kemampuan yang lebih tinggi
dalam mengakses dan mengontrol sumber-sumberdaya sehingga bisa
mening-katkan kualitas kehidupannya.
20.Keberdayaan adalah hasil dari proses pemberdayaan yang dilakukan terhadap
individu atau kelompok. Tingkat keberdayaan adalah kemampuan yang dimiliki
petani anggota kelompok tani hutan berupa keterkaitan dari kemampuan
personal individu yang berupa persepsi terhadap kapasitasnya dan pengertian
kritis terhadap lingkungannya, kapasitas untuk mengambil tindakan,
kemampuan kolektif untuk mencapai tujuan dan kekuatan bertahan terhadap
permasalahannya dalam melakukan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan
untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
21.Masyarakat sekitar hutan adalah sekelompok orang yang bertempat tinggal di
desa sekitar hutan negara, yang merupakan kesatuan komunitas sosial, yang
tergabung dalam wadah LMDH dan bekerjasama secara formal dengan pihak
Perhutani, untuk melakukan kegiatan mengelola sumberdaya hutan di sekitar
wilayah desanya, dalam rangka mendukung kebutuhan hidupnya.
22.Kelompok adalah suatu organisasi sosial yang berupa kumpulan individu yang
memiliki karakteristik berupa interaksi sosial satu sama lain, saling
ketergantungan, adanya identitas dan perasaan bersatu, saling berbagi tujuan
tertentu dan berbagi harapan terhadap perilaku satu sama lain. Dinamika
kelompok yaitu kualitas interaksi dan perilaku anggota kelompok serta
perkembangan struktur dan pembagian tugas terhadap para anggotanya dalam
rangka mencapai tujuan kelompok. Pendekatan kelompok dalam pemberdayaan
masyarakat yaitu mempertimbangkan aspek kelompok sebagai peubah yang
penting dalam penyusunan model pemberdayaan.
23.Partisipasi memiliki makna sebagai keikutsertaan masyarakat sekitar hutan
keputusan dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan menikmati
hasilnya secara adil sehingga tercapai pendapatan masyarakat secara
berkelan-jutan sebagai kriteria penting dalam pemberdayaan.
24.Kelompok Tani Hutan (KTH) sebagai asosiasi dari orang-orang yang tinggal di
dalam dan sekitar hutan dan mengoorganisisr kegiatan menggunakan lahan
hutan. Asosiasi tersebut tumbuh dan berkembang dari, oleh dan untuk
anggotanya guna mencapai kesejahteraan dan keuntungan bersama
(Kartasubrata et al., 1995). Kelompok-kelompok tani hutan umumnya
bergabung menjadi LMDH pada tingkat desa. KTH yang sebenarnya berperan
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Pemberdayaan (Empowerment)
Berdasarkan kajian terhadap berbagai pustaka tentang konsep
pemberdayaan (empowerment) di antaranya yaitu Zimmerman dan Rappaport
(1995), Perkins dan Zimmerman (1995), Pranarka dan Moeljarto (1996), Horvath
(1999), Ashman dan Kay (2000), Ife (2002), Adi (2003), Wong (2003), Suharto
(2005) dan sumber lainnya, pengertian pemberdayaan (empowerment) pada
hakekatnya merupakan upaya yang dilakukan terhadap individu, kelompok atau
komunitas lokal yang kurang mampu agar mereka memiliki kemampuan, kekuatan,
pengaruh, kontrol, penguasaan dan akses yang lebih besar terhadap
sumber-sumberdaya sehingga bisa memperbaiki dan meningkatkan kualitas kehidupannya
secara mandiri. Kemampuan mengandung makna individu, kelompok, atau
komunitas yang berdaya, memiliki pengetahuan, mempunyai motivasi, melihat
adanya peluang dan bisa memanfaatkannya serta mampu mengambil keputusan dan
bertindak secara tepat sesuai dengan situasi yang dihadapinya. Pemberdayaan
menunjukkan dimensi proses dan dimensi hasil (outcome) pada subyek yang
diberdayakan. Dimensi proses dari pemberdayaan merupakan berbagai upaya yang
dilakukan terhadap subyek yang diberdayakan. Dimensi hasil menunjukkan
sejauhmana tingkat keberdayaan dari subyek tersebut. Kajian pustaka berikut ini
menguraikan konsep pemberdayaan dari segi maknanya, prosesnya, strateginya,
tingkat keberdayaannya, serta kaitannya dengan penyuluhan.
Konsep empowerment yang diartikan sebagai pemberdayaan, adalah sebuah
konsep yang lahir sebagai bagian perkembangan alam pikiran masyarakat dan
kebudayaan Barat. Konsep ini dipandang sejiwa dengan aliran-aliran pada paruh
kedua abad ke-20 yang dikenal sebagai aliran post-modernisme. Akar terdalam
yang lebih jauh berkaitan dengan gelombang pemikiran baru yang dikenal sebagai
gerakan Aufklarung ataupun Enlightenment. Sebagai aliran alternatif dari aliran
keagamaan yang deterministis, maka muncul penguatan pada pemikiran
kebebasan, rasio dan individu sehingga melahirkan pemikiran liberalisme,
melekat dalam awal gerakan modern untuk menemukan alternatif tersebut.
Empowerment Eropa modern merupakan aksi emansipasi dan liberalisasi manusia
dari totaliterisme keagamaan. Emansipasi dan liberalisasi serta penataan terhadap
segala kekuasaan dan penguasaan itulah yang kemudian menjadi substansi dari
konsep empowerment. Pola dasar dari gerakan pemberdayaan mengamanatkan
perlunya power, dan menekankan keberpihakan kepada the powerless. Gerakan ini
ingin agar semua dapat mempunyai kekuatan yang menjadi modal dasar dari
proses aktualisasi eksistensi manusia (Pranarka & Moeljarto, 1996). Pemberdayaan
tidak bisa dilepaskan dari konsep “power” yang menurut Kamus Oxford Advanced
Learner’s diartikan sebagai “ability to do or act” atau kemam-puan untuk
melakukan sesuatu atau untuk bertindak. Arti yang lain yaitu “control over others”
atau kemampuan mengontrol terhadap pihak lain.
Konsep ”pemberdayaan” atau empowerment mencakup pengertian yang
sangat luas. Pemberdayaan dari perspektif pembangunan masyarakat (community
development) dikemukakan oleh Ife (2002) yang memberikan definisi kerja
”empowerment aims to increase the power of the disadvantaged”. Pemberdayaan
bertujuan untuk meningkatkan daya / kekuatan dari kelompok yang kurang
beruntung. Pernyataan ini mengandung dua konsep yaitu “power” atau daya dan
“disadvantaged” yaitu pihak yang kurang beruntung / lemah. Konsep daya
mengacu kepada pemberian daya kepada individu atau kelompok, mendorong
mereka untuk memperoleh daya ke dalam tangannya, dan mendistribusikan daya
dari pihak yang punya kepada pihak yang tidak punya. Pemberdayaan dari segi
politik meliputi empat perspektif yaitu pluralis, elit, struktural dan post-struktural.
Perspektif pluralis menyatakan bahwa pemberdayaan merupakan proses membantu
kelompok dan individu yang kurang beruntung untuk bersaing secara lebih efektif
dengan kepentingan lainnya, dengan membantu mereka belajar dan menggunakan
ketrampilannya. Perspektif elit menyatakan bahwa pember-dayaan menghendaki
keberpihakan kekuatan elit kepada kelompok yang kurang beruntung. Dari
perspektif struktural, pemberdayaan bisa dicapai secara efektif hanya apabila
bentuk-bentuk ketimpangan struktural bisa diatasi. Dari perspektif post-struktural,
menekankan pengertian subyektif dan konstruksi pandangan serta menawarkan
alternatif pemikiran terhadap pemberdayaan.
Definisi pemberdayaan menurut Shardlow (1998) yang diacu dalam Adi
(2003) yaitu : “…such a definition of empowerment is centrally about people
taking control of their own lives and having the power to shape their future” .
Pemberdayaan pada prinsipnya menyangkut orang yang memiliki kontrol terhadap
kehidupannya sendiri dan memiliki daya untuk membentuk masa depannya.
Definisi pemberdayaan dari perspektif pendidikan menurut O’Brien dan Whitmore
(1989) diacu dalam Morley (1995) yaitu :
“Empowerment is an interactive process through which less powerful people experience personal and social change, enabling them to achieve influence over the organizations and institutions which affect their lives, and the communities in which they live.”
Pemberdayaan adalah proses interaktif di mana orang yang kurang berdaya
mengalami perubahan secara pribadi dan sosial, yang memungkinkan mereka
memperoleh pengaruh terhadap organisasi dan institusi yang mempengaruhi
kehidupannya, dan pengaruh terhadap komunitas di mana mereka hidup.
Pemberdayaan dari perspektif psikologi sosial menurut Cornell Empowerment
Group (1989) diacu dalam Perkins dan Zimmerman (1995) didefinisikan sebagai :
”Empowerment is an intentional ongoing process centered in the local community, involving mutual respect, critical reflection, caring, and group participation, through which people lacking an equal share of valued resources gain greater access to and control over those resources”
Pemberdayaan adalah suatu proses yang dirancang secara terus menerus pada
komunitas lokal yang melibatkan rasa saling menghargai, refleksi kritis,
kepe-dulian, dan partisipasi kelompok, di mana orang-orang yang berada dalam
keku-rangan sumberdaya yang bernilai akan bisa memperolah akses yang lebih besar
kepada dan kontrol yang lebih tinggi terhadap sumber-sumberdaya tersebut.
Selanjutnya Perkins dan Zimmerman (1995) menekankan bahwa dengan
proses pemberdayaan masyarakat memperoleh kontrol yang lebih besar terhadap
kehidupannya, partisipasi yang demokratis dalam komunitasnya dan pengertian
yang lebih kritis dari lingkungannya. Teori pemberdayaan menekankan dua hal
memberdayakan dan hasil dari proses itu adalah tingkat keberdayaan. Proses
pemberdayaan pada level individu termasuk partisipasi dalam organisasi
komunitas. Pada level organisasi proses pemberdayaan meliputi pengambilan
keputusan kolektif dan kepemimpinan. Proses pemberdayaan pada level komunitas
bisa meliputi tindakan kolektif untuk mengakses pemerintah dan sumberdaya
komunitas lainnya.
Menurut Horvath (1999) pemberdayaan mengacu pada proses di mana
orang, organisasi, dan komunitas memperoleh penguasaan terhadap kehidupannya.
Pemberdayaan menjadi bukti melalui kekuatan sosial pada level individu,
organisasi dan komunitas. Pada level individu, pemberdayaan adalah kebebasan
seseorang untuk memutuskan tujuan apa yang harus diraih dan kapasitas untuk
meraihnya tanpa mendapatkan frustasi. Pemberdayaan berhubungan dengan
perasaan kemampuan untuk mengubah situasi dengan pengharapan hasil yang
positif dari usaha yang dilakukan. Pemberdayaan dari perspektif psikologis
merupakan hubungan antara perasaan kompetensi diri, kehendak untuk, dan
kemauan untuk mengambil tindakan sosial. Hal ini merupakan konsep yang lebih
sempit dari pemberdayaan karena efek atau dampaknya belum terjadi.
Pemberdayaan dari segi psikologis dapat menjadi pemberdayaan yang
sesungguhnya ketika tersedia dukungan lingkungan.
Wong (2003) membahas konsep pemberdayaan ekonomi yang dilakukan
oleh Bank Dunia sebagai solusi mengatasi masalah kemiskinan. Dengan
menggunakan pendekatan model feminist, Wong menguraikan daya (power)
sebagai konsep yang relasional atau saling berhubungan. Model feminist
menekankan multi dimensi dari daya pada berbagai level yaitu individu, kelompok,
regional, nasional dan internasional. Kerangka pendekatan feminist menyarankan
empat dimensi daya yaitu : daya dari dalam (power from within), daya kepada
(power to), daya dengan (power with), dan daya terhadap (power over). Empat
dimensi dari daya ini juga sejalan dengan uraian Chambers (2004) yang
mengaitkan empat dimensi daya dalam konteks pembangunan. Daya dari dalam
(power from within) juga dikenal sebagai daya personal. Daya ini berkaitan dengan
misalnya kepercayaan diri, harga diri, dan respek diri. Komponen-komponen daya
internal ini meliputi pengakuan identitas, pengembangan nilai diri, pengembangan
penerimaan diri, dan pengembangan saling percaya (trust) menurut pengetahuan
individu. Tujuan utamanya untuk mengem-bangkan kemampuan mengatasi tekanan
internal. Daya kepada (power to) mengacu pada kapasitas untuk mengambil
tindakan. Daya ini menekankan kapasitas generatif produktif dari individu, dan
memiliki tiga tujuan yang saling berkaitan yaitu dimaksudkan sebagai pembebasan,
partisipasi, dan memobilisasi perubahan. Daya dengan (power with) menekankan
pada dorongan kolektif di mana orang bekerjasama satu sama lain untuk
memecahkan masalah dan mencapai tujuan, yang bisa dilakukan melalui tindakan
bekerjasama/kolaborasi, rasa solidaritas dan tindakan kolektif. Daya ini juga
menyangkut pengembangan kapasitas, jaringan sosial dan kekuatan organisasi.
Daya ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa secara berkelompok bisa
dilakukan walaupun secara individu tidak bisa. Daya terhadap (power over)
merupakan kekuatan bertahan atau kekuatan untuk mengontrol. Daya ini bisa
negatif karena melawan seseoarang atau suatu kelompok untuk melakukan sesuatu
melawan keinginannya. Akan tetapi daya ini juga bisa positif sebab melampaui
kondisi dominan dan struktur yang tidak sama.
Menurut Ashman dan Kay (2000) dari perspektif pekerjaan sosial,
pember-dayaan merupakan proses membantu individu, keluarga, kelompok, dan komunitas
untuk meningkatkan aspek personal, interpersonal, sosioekonomi, dan kekuatan
politik mereka serta untuk mengembangkan pengaruh terhadap perbaikan
kehidupan-nya. Pekerja sosial tidak menyerahkan daya kepada orang, tetapi
mereka membantu orang lain untuk membuat pilihan sehingga memberikan kontrol
yang lebih besar terhadap permasalahan yang dihadapinya, sehingga memperbaiki
kualitas hidupnya. Pekerja sosial membantu orang menjadi berdaya dalam dua
jalan, yaitu dengan pencapaian pemberdayaan personal dan pemberdayaan sosial.
Orang memiliki keberdayaan personal ketika mereka mampu secara langsung
mengontrol apa yang terjadi dalam kehidupannya. Sedangkan keberdayaan sosial
adalah kondisi di dalam lingkungan sosial di mana orang memiliki akses terhadap
kontrol terhadap lingkungannya. Keberdayaan personal akan terbatas apabila orang
tidak memiliki keberdayaan sosial.
Model teoretis pemberdayaan psikologis (psychological empowerment)
mencakup komponen intra-personal, interaksional, dan komponen perilaku.
Komponen intrapersonal pemberdayaan mengacu kepada bagaimana orang berpikir
tentang kapasitasnya untuk mempengaruhi sistem sosial dan politik yang penting
bagi mereka. Hal ini merupakan persepsi diri yang termasuk domain persepsi
kontrol yang spesifik, efikasi diri, motivasi untuk melakukan kontrol dan persepsi
terhadap kompetensi. Komponen interaksional dari pemberdayaan mengacu kepada
transaksi antara individu dengan lingkungannya yang memungkinkan individu
untuk menguasai sistem sosial dan sistem politik. Hal ini temasuk pengetahuan
tentang sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan, pengertian terhadap
agen penyebab, pengertian yang kritis terhadap lingkungannya, pengembangan
ketrampilan pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang di-perlukan
untuk merespon lingkungannya. Komponen perilaku mengacu kepada aksi spesifik
yang diambil individu untuk menampilkan pengaruh terhadap lingkungan sosial
dan politik melalui partisipasi dalam organisasi dan kegiatan komunitas
(Zimmerman et al., 1993 dan Zimmerman, 1995).
Pemberdayaan psikologis mengacu kepada pemberdayaan pada tingkat
analisis individu. Konstruk pemberdayaan psikologis ini mencakup persepsi
tentang kontrol personal, pendekatan yang proaktif terhadap kehidupan, dan
pemahaman yang kritis terhadap lingkungan sosio politiknya (Zimmerman, 1995).
Proses Pemberdayaan
Menurut Adi (2002) pemberdayaan bisa dilihat sebagai program ataupun
sebagai proses. Pemberdayaan sebagai program dilihat dalam tahapan-tahapan
kegiatan guna mencapai tujuan yang biasanya sudah ditentukan jangka waktunya.
Sedangkan pemberdayaan sebagai proses yaitu kegiatan yang berkesinambungan
sepanjang hidup seseorang. Pemberdayaan individu sebagai proses yang relatif
terus berjalan sepanjang usia manusia yang diperoleh dari pengalaman individu
pula dalam komunitas, proses pemberdayaan akan berlangsung selama komunitas
itu masih tetap ada dan mau berusaha memberdayakan mereka sendiri.
Menurut Suharto (2005) proses pemberdayaan pada umumnya dilakukan
secara kolektif. Namun demikian tidak semua intervensi pekerjaan sosial dapat
dilakukan melalui kolektivitas. Dalam konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan
dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan yaitu aras mikro, aras
mezzo dan aras makro. Pemberdayaan pada aras mikro dilakukan terhadap klien
secara individu. Pemberdayaan pada aras mezzo dilakukan terhadap sekelompok
klien atau melalui media kelompok sebagai media intervensi. Pada aras makro,
pemberdayaan dilakukan pada sistem lingkungan yang lebih luas.
Dalam penelitiannya tentang manajemen publik di India, Kilby (2004)
menekankan pentingnya pendekatan proses pemberdayaan dibandingkan orientasi
terhadap hasil suatu program. Hal ini dimaksudkan agar kelompok sasaran program
pemberdayaan bisa memiliki kontrol yang lebih besar terhadap kehidupannya.
Pemberdayaan menyangkut pilihan, pengambilan keputusan dan kemampuan untuk
mempengaruhi pihak lain. Pemberdayaan menyangkut orang yang memiliki
pilihan-pilihan yang luas, dan mempunyai tingkat keterlibatan dan kontrol yang
lebih besar terhadap seluruh bagian kehidupan keluarga dan komunitasnya. Hal ini
sangat berbeda dengan pengalaman pembangunan di India pada masa lalu yang
mengutamakan pada hasil, ternyata bertolak belakang dengan tujuan pemberdayaan
karena justru menghasilkan ketidakberdayaan.
Penelitian Sidu (2006) menunjukkan bahwa proses pemberdayaan
masya-rakat sekitar kawasan hutan lindung Jompi masih sangat lemah, terutama
dipe-ngaruhi secara nyata oleh masih rendahnya kemampuan pelaku pemberdayaan,
kurang tersedianya modal fisik dan modal sosial yang cenderung melemah/rendah.
Proses pemberdayaan yang masih lemah tersebut terutama dalam hal keterlibatan
warga masyarakat dalam perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi program
pemberdayaan yang belum optimal.
Pengembangan model pemberdayaan dalam strategi pemberdayaan yang
berbasis komunitas, menurut Ife (2002) terdiri dari tujuh jenis daya yang saling
berinteraksi yaitu :
(1) Daya terhadap pilihan personal dan kesempatan hidup, yang menyangkut daya
untuk membuat keputusan yang menyangkut kehidupannya.
(2) Daya terhadap definisi kebutuhan, yaitu menyangkut daya untuk merumuskan
kebutuhan mereka sendiri yang menghendaki pengetahuan dan keahlian yang
relevan sehingga memerlukan pendidikan dan akses terhadap informasi.
(3) Daya terhadap ide-ide, yang menyangkut daya untuk berpikir secara mandiri
dan mengungkapkan idenya, dan kapasitas untuk berdialog serta
menyumbangkan idenya pada budaya publik.
(4) Daya terhadap institusi sosial, yang menyangkut perubahan institusi agar
menjadi lebih bisa diakses, responsif dan bisa dipertanggungjawabkan kepada
seluruh lapisan.
(5) Daya terhadap sumber-sumber daya, yang menyangkut memaksimalkan daya
efektif orang terhadap distribusi dan penggunaan sumberdaya, dan mengurangi
ketidakadilan akses terhadap sumberdaya.
(6) Daya terhadap aktivitas ekonomi, yang menyangkut kemampuan untuk
mempunyai kontrol dan akses terhadap mekanisme produksi, distribusi dan
pertukaran.
(7) Daya terhadap reproduksi, yang menyangkut proses reproduksi kepada generasi
selanjutnya dalam aspek biologis, sosial, ekonomi dan politik.
Tingkat Keberdayaan
Keberdayaan merupakan hasil proses pemberdayaan terhadap subyek
individu, kelompok atau masyarakat. Berbagai riset tentang pemberdayaan
mengindikasikan beberapa konstruk yaitu penguasaan dan kontrol, mobilisasi
sumberdaya, konteks sosio politik, dan partisipasi. Hasil pemberdayaan tingkat
individu bisa berupa persepsi kontrol terhadap situasi tertentu dan ketrampilan
mobilisasi sumberdaya. Hasil pemberdayaan organisasi bisa berupa pengembangan
jaringan organisasi, pertumbuhan organisasi dan daya ungkit kebijakan. Hasil
sumberdaya komunitas yang bisa diakses. Pada level komunitas, pemberdayaan
mengacu kepada tindakan kolektif untuk memperbaiki kualitas kehidupan dalam
masyarakat dan terhadap hubungan di antara organisasi-organisasi sosial.
Masyarakat yang berdaya bukan hanya kumpulan individu yang berdaya
(Zimmerman, 1995; Perkins & Zimmerman, 1995).
Menurut Suharto (2005) keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat
dilihat dari keberdayaan mereka yang menyangkut kemampuan ekonomi,
kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan, dan kemampuan kultural dan
politis. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan
(keberdayaan), yaitu kekuasaan di dalam (power within), kekuasaan untuk (power
to), kekuasaan atas (power over) dan kekuasaan dengan (power with).
Indikator-indikator dari keberdayaan dengan demikian yaitu : (1) kebebasan melakukan
mobilitas, (2) kemampuan membeli komoditas kecil, (3) kemampuan membeli
komoditas besar, (4) kemampuan dalam pembuatan keputusan-keputusan rumah
tangga, (5) kebebasan relatif dari dominasi keluarga, (6) kesadaran hukum dan
politik, (7) keterlibatan dalam kampanye dan protes, dan (8) kepemilikan atas
jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga.
Hasil kajian Javan (1998) terhadap komunitas di Charlotte, North Carolina
menyimpulkan bahwa tingkat keberdayaan menurut persepsi komunitas
merupakan konstruk yang multi-peubah dan terdiri dari tiga komponen yaitu (1)
manajemen komunitas (tingkat kapasitas komunitas untuk mengelola keperluannya
secara efektif), (2) partisipasi komunitas (tingkat partisipasi komunitas pada
kegiatan yang diselenggarakan berbagai pihak), dan (3) perasaan terhadap
komunitas (perasaan memiliki dan menjadi bagian komunitas). Terdapat hubungan
yang yang nyata dan positif antara faktor pengembangan sosial ekonomi terhadap
komunitas dengan persepsi terhadap keberdayaan komunitas. Selanjutnya
faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap persepsi pemberdayaan bagi komunitas yaitu
faktor budaya, politik, sejarah, geografis dan biologis.
Berdasarkan penelitian Panda (2000) tentang pemberdayaan wanita melalui
program manajemen sumberdaya alam (lahan, daerah aliran sungai, kehutanan dan