• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan kajian terhadap berbagai pustaka tentang konsep pemberdayaan (empowerment) di antaranya yaitu Zimmerman dan Rappaport (1995), Perkins dan Zimmerman (1995), Pranarka dan Moeljarto (1996), Horvath (1999), Ashman dan Kay (2000), Ife (2002), Adi (2003), Wong (2003), Suharto (2005) dan sumber lainnya, pengertian pemberdayaan (empowerment) pada hakekatnya merupakan upaya yang dilakukan terhadap individu, kelompok atau komunitas lokal yang kurang mampu agar mereka memiliki kemampuan, kekuatan, pengaruh, kontrol, penguasaan dan akses yang lebih besar terhadap sumber-sumberdaya sehingga bisa memperbaiki dan meningkatkan kualitas kehidupannya secara mandiri. Kemampuan mengandung makna individu, kelompok, atau komunitas yang berdaya, memiliki pengetahuan, mempunyai motivasi, melihat adanya peluang dan bisa memanfaatkannya serta mampu mengambil keputusan dan bertindak secara tepat sesuai dengan situasi yang dihadapinya. Pemberdayaan menunjukkan dimensi proses dan dimensi hasil (outcome) pada subyek yang diberdayakan. Dimensi proses dari pemberdayaan merupakan berbagai upaya yang dilakukan terhadap subyek yang diberdayakan. Dimensi hasil menunjukkan sejauhmana tingkat keberdayaan dari subyek tersebut. Kajian pustaka berikut ini menguraikan konsep pemberdayaan dari segi maknanya, prosesnya, strateginya, tingkat keberdayaannya, serta kaitannya dengan penyuluhan.

Konsep empowerment yang diartikan sebagai pemberdayaan, adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan Barat. Konsep ini dipandang sejiwa dengan aliran-aliran pada paruh kedua abad ke-20 yang dikenal sebagai aliran post-modernisme. Akar terdalam yang lebih jauh berkaitan dengan gelombang pemikiran baru yang dikenal sebagai gerakan Aufklarung ataupun Enlightenment. Sebagai aliran alternatif dari aliran keagamaan yang deterministis, maka muncul penguatan pada pemikiran kebebasan, rasio dan individu sehingga melahirkan pemikiran liberalisme, rasionalisme dan individual-isme. Konsep empowerment sesungguhnya sudah

melekat dalam awal gerakan modern untuk menemukan alternatif tersebut. Empowerment Eropa modern merupakan aksi emansipasi dan liberalisasi manusia dari totaliterisme keagamaan. Emansipasi dan liberalisasi serta penataan terhadap segala kekuasaan dan penguasaan itulah yang kemudian menjadi substansi dari konsep empowerment. Pola dasar dari gerakan pemberdayaan mengamanatkan perlunya power, dan menekankan keberpihakan kepada the powerless. Gerakan ini ingin agar semua dapat mempunyai kekuatan yang menjadi modal dasar dari proses aktualisasi eksistensi manusia (Pranarka & Moeljarto, 1996). Pemberdayaan tidak bisa dilepaskan dari konsep “power” yang menurut Kamus Oxford Advanced Learner’s diartikan sebagai “ability to do or act” atau kemam-puan untuk melakukan sesuatu atau untuk bertindak. Arti yang lain yaitu “control over others” atau kemampuan mengontrol terhadap pihak lain.

Konsep ”pemberdayaan” atau empowerment mencakup pengertian yang sangat luas. Pemberdayaan dari perspektif pembangunan masyarakat (community development) dikemukakan oleh Ife (2002) yang memberikan definisi kerja ”empowerment aims to increase the power of the disadvantaged”. Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan daya / kekuatan dari kelompok yang kurang beruntung. Pernyataan ini mengandung dua konsep yaitu “power” atau daya dan “disadvantaged” yaitu pihak yang kurang beruntung / lemah. Konsep daya mengacu kepada pemberian daya kepada individu atau kelompok, mendorong mereka untuk memperoleh daya ke dalam tangannya, dan mendistribusikan daya dari pihak yang punya kepada pihak yang tidak punya. Pemberdayaan dari segi politik meliputi empat perspektif yaitu pluralis, elit, struktural dan post-struktural. Perspektif pluralis menyatakan bahwa pemberdayaan merupakan proses membantu kelompok dan individu yang kurang beruntung untuk bersaing secara lebih efektif dengan kepentingan lainnya, dengan membantu mereka belajar dan menggunakan ketrampilannya. Perspektif elit menyatakan bahwa pember-dayaan menghendaki keberpihakan kekuatan elit kepada kelompok yang kurang beruntung. Dari perspektif struktural, pemberdayaan bisa dicapai secara efektif hanya apabila bentuk-bentuk ketimpangan struktural bisa diatasi. Dari perspektif post-struktural, pemberdayaan menjadi proses mempertanyakan dan mengubah diskursus, yang

menekankan pengertian subyektif dan konstruksi pandangan serta menawarkan alternatif pemikiran terhadap pemberdayaan.

Definisi pemberdayaan menurut Shardlow (1998) yang diacu dalam Adi (2003) yaitu : “…such a definition of empowerment is centrally about people taking control of their own lives and having the power to shape their future” . Pemberdayaan pada prinsipnya menyangkut orang yang memiliki kontrol terhadap kehidupannya sendiri dan memiliki daya untuk membentuk masa depannya. Definisi pemberdayaan dari perspektif pendidikan menurut O’Brien dan Whitmore (1989) diacu dalam Morley (1995) yaitu :

“Empowerment is an interactive process through which less powerful people experience personal and social change, enabling them to achieve influence over the organizations and institutions which affect their lives, and the communities in which they live.”

Pemberdayaan adalah proses interaktif di mana orang yang kurang berdaya mengalami perubahan secara pribadi dan sosial, yang memungkinkan mereka memperoleh pengaruh terhadap organisasi dan institusi yang mempengaruhi kehidupannya, dan pengaruh terhadap komunitas di mana mereka hidup. Pemberdayaan dari perspektif psikologi sosial menurut Cornell Empowerment Group (1989) diacu dalam Perkins dan Zimmerman (1995) didefinisikan sebagai :

”Empowerment is an intentional ongoing process centered in the local community, involving mutual respect, critical reflection, caring, and group participation, through which people lacking an equal share of valued resources gain greater access to and control over those resources”

Pemberdayaan adalah suatu proses yang dirancang secara terus menerus pada komunitas lokal yang melibatkan rasa saling menghargai, refleksi kritis, kepe-dulian, dan partisipasi kelompok, di mana orang-orang yang berada dalam keku-rangan sumberdaya yang bernilai akan bisa memperolah akses yang lebih besar kepada dan kontrol yang lebih tinggi terhadap sumber-sumberdaya tersebut.

Selanjutnya Perkins dan Zimmerman (1995) menekankan bahwa dengan proses pemberdayaan masyarakat memperoleh kontrol yang lebih besar terhadap kehidupannya, partisipasi yang demokratis dalam komunitasnya dan pengertian yang lebih kritis dari lingkungannya. Teori pemberdayaan menekankan dua hal yaitu proses dan hasil, di mana tindakan, aktivitas, atau struktur mungkin bisa

memberdayakan dan hasil dari proses itu adalah tingkat keberdayaan. Proses pemberdayaan pada level individu termasuk partisipasi dalam organisasi komunitas. Pada level organisasi proses pemberdayaan meliputi pengambilan keputusan kolektif dan kepemimpinan. Proses pemberdayaan pada level komunitas bisa meliputi tindakan kolektif untuk mengakses pemerintah dan sumberdaya komunitas lainnya.

Menurut Horvath (1999) pemberdayaan mengacu pada proses di mana orang, organisasi, dan komunitas memperoleh penguasaan terhadap kehidupannya. Pemberdayaan menjadi bukti melalui kekuatan sosial pada level individu, organisasi dan komunitas. Pada level individu, pemberdayaan adalah kebebasan seseorang untuk memutuskan tujuan apa yang harus diraih dan kapasitas untuk meraihnya tanpa mendapatkan frustasi. Pemberdayaan berhubungan dengan perasaan kemampuan untuk mengubah situasi dengan pengharapan hasil yang positif dari usaha yang dilakukan. Pemberdayaan dari perspektif psikologis merupakan hubungan antara perasaan kompetensi diri, kehendak untuk, dan kemauan untuk mengambil tindakan sosial. Hal ini merupakan konsep yang lebih sempit dari pemberdayaan karena efek atau dampaknya belum terjadi. Pemberdayaan dari segi psikologis dapat menjadi pemberdayaan yang sesungguhnya ketika tersedia dukungan lingkungan.

Wong (2003) membahas konsep pemberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh Bank Dunia sebagai solusi mengatasi masalah kemiskinan. Dengan menggunakan pendekatan model feminist, Wong menguraikan daya (power) sebagai konsep yang relasional atau saling berhubungan. Model feminist menekankan multi dimensi dari daya pada berbagai level yaitu individu, kelompok, regional, nasional dan internasional. Kerangka pendekatan feminist menyarankan empat dimensi daya yaitu : daya dari dalam (power from within), daya kepada (power to), daya dengan (power with), dan daya terhadap (power over). Empat dimensi dari daya ini juga sejalan dengan uraian Chambers (2004) yang mengaitkan empat dimensi daya dalam konteks pembangunan. Daya dari dalam (power from within) juga dikenal sebagai daya personal. Daya ini berkaitan dengan daya psikologis dalam benak orang dan memfokuskan kepada perasaan diri,

misalnya kepercayaan diri, harga diri, dan respek diri. Komponen-komponen daya internal ini meliputi pengakuan identitas, pengembangan nilai diri, pengembangan penerimaan diri, dan pengembangan saling percaya (trust) menurut pengetahuan individu. Tujuan utamanya untuk mengem-bangkan kemampuan mengatasi tekanan internal. Daya kepada (power to) mengacu pada kapasitas untuk mengambil tindakan. Daya ini menekankan kapasitas generatif produktif dari individu, dan memiliki tiga tujuan yang saling berkaitan yaitu dimaksudkan sebagai pembebasan, partisipasi, dan memobilisasi perubahan. Daya dengan (power with) menekankan pada dorongan kolektif di mana orang bekerjasama satu sama lain untuk memecahkan masalah dan mencapai tujuan, yang bisa dilakukan melalui tindakan bekerjasama/kolaborasi, rasa solidaritas dan tindakan kolektif. Daya ini juga menyangkut pengembangan kapasitas, jaringan sosial dan kekuatan organisasi. Daya ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa secara berkelompok bisa dilakukan walaupun secara individu tidak bisa. Daya terhadap (power over) merupakan kekuatan bertahan atau kekuatan untuk mengontrol. Daya ini bisa negatif karena melawan seseoarang atau suatu kelompok untuk melakukan sesuatu melawan keinginannya. Akan tetapi daya ini juga bisa positif sebab melampaui kondisi dominan dan struktur yang tidak sama.

Menurut Ashman dan Kay (2000) dari perspektif pekerjaan sosial, pember-dayaan merupakan proses membantu individu, keluarga, kelompok, dan komunitas untuk meningkatkan aspek personal, interpersonal, sosioekonomi, dan kekuatan politik mereka serta untuk mengembangkan pengaruh terhadap perbaikan kehidupan-nya. Pekerja sosial tidak menyerahkan daya kepada orang, tetapi mereka membantu orang lain untuk membuat pilihan sehingga memberikan kontrol yang lebih besar terhadap permasalahan yang dihadapinya, sehingga memperbaiki kualitas hidupnya. Pekerja sosial membantu orang menjadi berdaya dalam dua jalan, yaitu dengan pencapaian pemberdayaan personal dan pemberdayaan sosial. Orang memiliki keberdayaan personal ketika mereka mampu secara langsung mengontrol apa yang terjadi dalam kehidupannya. Sedangkan keberdayaan sosial adalah kondisi di dalam lingkungan sosial di mana orang memiliki akses terhadap kesempatan dan sumberdaya untuk membuat pilihan pribadi dan untuk memelihara

kontrol terhadap lingkungannya. Keberdayaan personal akan terbatas apabila orang tidak memiliki keberdayaan sosial.

Model teoretis pemberdayaan psikologis (psychological empowerment) mencakup komponen intra-personal, interaksional, dan komponen perilaku. Komponen intrapersonal pemberdayaan mengacu kepada bagaimana orang berpikir tentang kapasitasnya untuk mempengaruhi sistem sosial dan politik yang penting bagi mereka. Hal ini merupakan persepsi diri yang termasuk domain persepsi kontrol yang spesifik, efikasi diri, motivasi untuk melakukan kontrol dan persepsi terhadap kompetensi. Komponen interaksional dari pemberdayaan mengacu kepada transaksi antara individu dengan lingkungannya yang memungkinkan individu untuk menguasai sistem sosial dan sistem politik. Hal ini temasuk pengetahuan tentang sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan, pengertian terhadap agen penyebab, pengertian yang kritis terhadap lingkungannya, pengembangan ketrampilan pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang di-perlukan untuk merespon lingkungannya. Komponen perilaku mengacu kepada aksi spesifik yang diambil individu untuk menampilkan pengaruh terhadap lingkungan sosial dan politik melalui partisipasi dalam organisasi dan kegiatan komunitas (Zimmerman et al., 1993 dan Zimmerman, 1995).

Pemberdayaan psikologis mengacu kepada pemberdayaan pada tingkat analisis individu. Konstruk pemberdayaan psikologis ini mencakup persepsi tentang kontrol personal, pendekatan yang proaktif terhadap kehidupan, dan pemahaman yang kritis terhadap lingkungan sosio politiknya (Zimmerman, 1995).

Proses Pemberdayaan

Menurut Adi (2002) pemberdayaan bisa dilihat sebagai program ataupun sebagai proses. Pemberdayaan sebagai program dilihat dalam tahapan-tahapan kegiatan guna mencapai tujuan yang biasanya sudah ditentukan jangka waktunya. Sedangkan pemberdayaan sebagai proses yaitu kegiatan yang berkesinambungan sepanjang hidup seseorang. Pemberdayaan individu sebagai proses yang relatif terus berjalan sepanjang usia manusia yang diperoleh dari pengalaman individu tersebut dan bukannya suatu proses yang berhenti pada suatu masa saja. Demikian

pula dalam komunitas, proses pemberdayaan akan berlangsung selama komunitas itu masih tetap ada dan mau berusaha memberdayakan mereka sendiri.

Menurut Suharto (2005) proses pemberdayaan pada umumnya dilakukan secara kolektif. Namun demikian tidak semua intervensi pekerjaan sosial dapat dilakukan melalui kolektivitas. Dalam konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan yaitu aras mikro, aras mezzo dan aras makro. Pemberdayaan pada aras mikro dilakukan terhadap klien secara individu. Pemberdayaan pada aras mezzo dilakukan terhadap sekelompok klien atau melalui media kelompok sebagai media intervensi. Pada aras makro, pemberdayaan dilakukan pada sistem lingkungan yang lebih luas.

Dalam penelitiannya tentang manajemen publik di India, Kilby (2004) menekankan pentingnya pendekatan proses pemberdayaan dibandingkan orientasi terhadap hasil suatu program. Hal ini dimaksudkan agar kelompok sasaran program pemberdayaan bisa memiliki kontrol yang lebih besar terhadap kehidupannya. Pemberdayaan menyangkut pilihan, pengambilan keputusan dan kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain. Pemberdayaan menyangkut orang yang memiliki pilihan-pilihan yang luas, dan mempunyai tingkat keterlibatan dan kontrol yang lebih besar terhadap seluruh bagian kehidupan keluarga dan komunitasnya. Hal ini sangat berbeda dengan pengalaman pembangunan di India pada masa lalu yang mengutamakan pada hasil, ternyata bertolak belakang dengan tujuan pemberdayaan karena justru menghasilkan ketidakberdayaan.

Penelitian Sidu (2006) menunjukkan bahwa proses pemberdayaan masya-rakat sekitar kawasan hutan lindung Jompi masih sangat lemah, terutama dipe-ngaruhi secara nyata oleh masih rendahnya kemampuan pelaku pemberdayaan, kurang tersedianya modal fisik dan modal sosial yang cenderung melemah/rendah. Proses pemberdayaan yang masih lemah tersebut terutama dalam hal keterlibatan warga masyarakat dalam perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi program pemberdayaan yang belum optimal.

Pengembangan model pemberdayaan dalam strategi pemberdayaan yang berbasis komunitas, menurut Ife (2002) terdiri dari tujuh jenis daya yang saling berinteraksi yaitu :

(1) Daya terhadap pilihan personal dan kesempatan hidup, yang menyangkut daya untuk membuat keputusan yang menyangkut kehidupannya.

(2) Daya terhadap definisi kebutuhan, yaitu menyangkut daya untuk merumuskan kebutuhan mereka sendiri yang menghendaki pengetahuan dan keahlian yang relevan sehingga memerlukan pendidikan dan akses terhadap informasi.

(3) Daya terhadap ide-ide, yang menyangkut daya untuk berpikir secara mandiri dan mengungkapkan idenya, dan kapasitas untuk berdialog serta menyumbangkan idenya pada budaya publik.

(4) Daya terhadap institusi sosial, yang menyangkut perubahan institusi agar menjadi lebih bisa diakses, responsif dan bisa dipertanggungjawabkan kepada seluruh lapisan.

(5) Daya terhadap sumber-sumber daya, yang menyangkut memaksimalkan daya efektif orang terhadap distribusi dan penggunaan sumberdaya, dan mengurangi ketidakadilan akses terhadap sumberdaya.

(6) Daya terhadap aktivitas ekonomi, yang menyangkut kemampuan untuk mempunyai kontrol dan akses terhadap mekanisme produksi, distribusi dan pertukaran.

(7) Daya terhadap reproduksi, yang menyangkut proses reproduksi kepada generasi selanjutnya dalam aspek biologis, sosial, ekonomi dan politik.

Tingkat Keberdayaan

Keberdayaan merupakan hasil proses pemberdayaan terhadap subyek individu, kelompok atau masyarakat. Berbagai riset tentang pemberdayaan mengindikasikan beberapa konstruk yaitu penguasaan dan kontrol, mobilisasi sumberdaya, konteks sosio politik, dan partisipasi. Hasil pemberdayaan tingkat individu bisa berupa persepsi kontrol terhadap situasi tertentu dan ketrampilan mobilisasi sumberdaya. Hasil pemberdayaan organisasi bisa berupa pengembangan jaringan organisasi, pertumbuhan organisasi dan daya ungkit kebijakan. Hasil pemberdayaan tingkat komunitas meliputi adanya pluraslime, adanya koalisi, dan

sumberdaya komunitas yang bisa diakses. Pada level komunitas, pemberdayaan mengacu kepada tindakan kolektif untuk memperbaiki kualitas kehidupan dalam masyarakat dan terhadap hubungan di antara organisasi-organisasi sosial. Masyarakat yang berdaya bukan hanya kumpulan individu yang berdaya (Zimmerman, 1995; Perkins & Zimmerman, 1995).

Menurut Suharto (2005) keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari keberdayaan mereka yang menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan, dan kemampuan kultural dan politis. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan (keberdayaan), yaitu kekuasaan di dalam (power within), kekuasaan untuk (power to), kekuasaan atas (power over) dan kekuasaan dengan (power with). Indikator-indikator dari keberdayaan dengan demikian yaitu : (1) kebebasan melakukan mobilitas, (2) kemampuan membeli komoditas kecil, (3) kemampuan membeli komoditas besar, (4) kemampuan dalam pembuatan keputusan-keputusan rumah tangga, (5) kebebasan relatif dari dominasi keluarga, (6) kesadaran hukum dan politik, (7) keterlibatan dalam kampanye dan protes, dan (8) kepemilikan atas jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga.

Hasil kajian Javan (1998) terhadap komunitas di Charlotte, North Carolina menyimpulkan bahwa tingkat keberdayaan menurut persepsi komunitas merupakan konstruk yang multi-peubah dan terdiri dari tiga komponen yaitu (1) manajemen komunitas (tingkat kapasitas komunitas untuk mengelola keperluannya secara efektif), (2) partisipasi komunitas (tingkat partisipasi komunitas pada kegiatan yang diselenggarakan berbagai pihak), dan (3) perasaan terhadap komunitas (perasaan memiliki dan menjadi bagian komunitas). Terdapat hubungan yang yang nyata dan positif antara faktor pengembangan sosial ekonomi terhadap komunitas dengan persepsi terhadap keberdayaan komunitas. Selanjutnya faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap persepsi pemberdayaan bagi komunitas yaitu faktor budaya, politik, sejarah, geografis dan biologis.

Berdasarkan penelitian Panda (2000) tentang pemberdayaan wanita melalui program manajemen sumberdaya alam (lahan, daerah aliran sungai, kehutanan dan sumberdaya air) pada dua desa di India, diperoleh hasil bahwa tingkat keberdayaan

mereka berada pada level cukup sampai sedang. Panda menggunakan lima peubah untuk mengukur tingkat keberdayaan yaitu : (1) daya/kekuatan yang meliputi kemampuan-kemampuan untuk : membuat keputusan rumah tangga, mengontrol sumberdaya, mengontrol sumber kekuatan, dan mengatasi hubungan kekuasaan; (2) otonomi dan kemandirian yang meliputi kemampuan-kemampuan untuk : bertindak secara bebas, memiliki kesadaran kritis untuk bertindak secara efektif dan efisien, memiliki percaya diri, dan memiliki visi ke depan; (3) hak (entitlement) yang meliputi hak memiliki sumberdaya secara adil, dan hak untuk mengakses sumberdaya secara adil; (4) partisipasi yang meliputi kemampuan-kemampuan untuk : mempengaruhi keputusan, menyediakan sumberdaya untuk proyek, dan menerima tanggungjawab dan bertindak secara bebas, dan (5) kepedulian dan pengembangan kapasitas yang meliputi kemampuan-kemampuan untuk : melakukan aktivitas ekonomi, melakukan kegiatan sosial, dan melakukan kegiatan politik.

Salah satu bentuk tingkat keberdayaan petani yaitu “kemandirian” petani. Menurut Sumardjo (1999) tingkat kemandirian petani yaitu kualitas sumber daya manusia petani berupa tingkat kesiapan petani dalam menghadapi dan mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan atau dengan kata lain tingkat kemandirian petani menghadapi era globalisasi. Kemandirian petani diukur melalui aspek kognitif, afektif dan psikomotorik terhadap modernitas petani, efisiensi, dan daya saing petani. Hasil penelitian Sumardjo menunjukkan bahwa faktor-faktor eksternal petani selengkapnya yang terbukti secara nyata berpengaruh terhadap tingkat kemandirian petani secara berturut-turut dari yang paling nyata : (1) aksesibilitas petani terhadap input usaha tani; (2) aksesibilitas petani terhadap pasar; (3) kualitas penyuluhan; (4) aksesibilitas petani terhadap sumberdaya informasi / inovasi; (5) lingkungan fisik sumber daya alam; (6) penetrasi produk lain ke dalam kebutuhan rumah tangga petani; (7) desakan perkembangan sektor di luar pertanian terhadap sektor pertanian dan pedesaan; dan (8) implementasi kebijakan pembangunan pertanian setempat. Sejumlah faktor internal juga terbukti secara nyata berpengaruh terhadap tingkat kemandirian petani, secara berturut-turut dari yang paling nyata : (1) ciri-ciri perilaku komunikasi petani yang relatif terbuka;

(2) kualitas kepribadian petani; (3) status sosial ekonomi petani; (4) motivasi ekstrinsik yang ada pada petani; dan (5) motivasi intrinsik petani yang bersangkutan.

Menurut Agussabti (2002) yang mengkaji kemandirian petani dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi (kasus pada petani sayuran di Jawa Barat) ditemukan bahwa terdapat tiga faktor penting yang secara positif mempengaruhi kemandirian petani dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi yaitu : (1) tingkat kesadaran petani terhadap kebutuhannya; (2) karakteristik individu petani yang meliputi : motivasi berprestasi, persepsi terhadap inovasi, keberanian mengambil resiko, serta kreativitas; dan (3) akses petani terhadap informasi.

Dalam konteks pengelolaan hutan bersama antara masyarakat dengan pihak pemerintah, hasil penelitian Bhattacharya dan Basnyat (2003) tentang Joint Forest Management (JFM) di India menunjukkan bahwa program tersebut ditujukan untuk pemberdayaan komunitas sekitar hutan baik secara sosial maupun ekonomi. Berdasarkan perspektif komunitas, hasil pemberdayaan merupakan kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan tanpa dukungan atau pengaruh dari pihak lain dan juga mempunyai pendapatan yang memadai untuk keberlanjutan kehidupannya melalui program pengelolaan hutan bersama. Keberdayaan mencakup empat dimensi pemberdayaan yaitu individu, sosial, politik dan ekonomi. Salah satu faktor penting pemberdayaan yaitu pengembangan kapasitas masyarakat setempat.

Hasil-hasil Penelitian Keberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan di Indonesia

Berdasarkan hasil kajian Badan Litbang Propinsi Jawa Tengah (2006), diperoleh gambaran bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan di Jawa Tengah rata-rata masih rendah. Rendahnya kesejahteraan masyarakat tidak terlepas dari rendahnya keterampilan masyarakat untuk melakukan usaha ekonomi produktif yang tidak bersinggungan dengan kawasan hutan, sehingga alternatif yang ditempuh yaitu melakukan tekanan terhadap hutan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Untuk memecahkan persoalan tersebut perlu dilakukan upaya-upaya pemberdayaan usaha alternatif masyarakat serta memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memanfaatkan lahan

kawasan hutan yang memungkinkan untuk usaha ekonomi produktif. Kesejahteraan masyarakat sekitar hutan merupakan kunci keberhasilan dalam upaya menumbuhkan kesadaran dan tanggungjawab mengelola dan melestarikan hutan.

Senada dengan hal tersebut, Sidu (2006) yang meneliti tentang pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung Jompi di Kabupaten Muna, juga memperoleh kesimpulan bahwa tingkat keberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung Jompi tergolong rendah, terutama dipengaruhi secara nyata oleh rendahnya proses pemberdayaan dan kurang tersedianya modal fisik. Tingkat keberdayaan warga masyarakat yang rendah tersebut terutama terkait dengan masih rendahnya pengetahuan, sikap dan ketrampilan warga masyarakat dalam memahami dan mengidentifikasi kebutuhan dan potensi yang dimiliki, sumber-sumber daya produktif, penggunaan teknologi baru, mencari dan memanfaatkan informasi dan peluang usaha baru. Selanjutnya perpaduan faktor-faktor yang secara nyata mempengaruhi keberdayaan masyarakat seperti faktor proses pemberdayaan, modal fisik, kemampuan pelaku pemberdayaan, modal sosial dan modal manusia merupakan model pemberdayaan masyarakat yang efektif sekitar kawasan hutan lindung Jompi. Jalur efektif dalam meningkatkan keberdayaan warga masyarakat sekitar kawasan hutan lindung Jompi adalah dengan memperbaiki proses pemberdayaan yang didukung oleh kemampuan pelaku pemberdayaan dan ketersediaan modal fisik yang memadai.

Penelitian tentang pemberdayaan masyarakat sekitar hutan lainnya

Dokumen terkait