• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang-undang No 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia. Sistem pangan tidak hanya dituntut untuk memberikan pasokan produk pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup (nutritionally adequate), tetapi juga aman (safe). Peraturan Pemerintah no 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, memberikan wewenang kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia untuk melakukan pengawasan keamanan, mutu, dan gizi pangan yang beredar di Indonesia.

Salah satu indikator Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) adalah kesehatan. Faktor gizi memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan derajat kesehatan. Meningkatnya derajat kesehatan akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yaitu manusia yang sehat, cerdas dan produktif. Perbaikan dan peningkatan gizi harus selalu dilakukan pada setiap siklus kehidupan manusia, yaitu mulai dari dalam kandungan, bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa, hingga usia lanjut.

Anak usia sekolah merupakan investasi bangsa, karena anak sekolah adalah generasi penerus bangsa. Kualitas bangsa di masa depan ditentukan oleh kualitas anak-anak saat ini. Upaya peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) harus dilakukan sejak dini, sistematis dan berkesinambungan. Tumbuh kembangnya anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian asupan zat gizi dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Namun, pemberian makanan pada anak tidak selalu dilaksanakan dengan baik, yang dapat mengakibatkan gangguan pada organ-organ dan sistem tubuh anak (Judarwanto 2006).

Masa usia sekolah merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan anak menuju masa remaja sehingga asupan zat gizi yang cukup dan keamanan makanan yang dikonsumsi sangat penting untuk diperhatikan, salah satunya adalah makanan jajanan. Makanan jajanan sangat banyak dijumpai di lingkungan sekitar sekolah dan umumnya dikonsumsi oleh anak sekolah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Februhartanty (2004) di Bogor, bahwa makanan jajanan yang dikonsumsi oleh

pelajar pada waktu sekolah menyumbang asupan gizi sebanyak 36.0% energi, 29.0% protein dan 52.0% zat besi.

Makanan jajanan sekolah perlu mendapatkan perhatian yang serius karena sangat berisiko terhadap cemaran biologi dan kimia. BPOM tahun 2004 menemukan 60.0% jajanan yang dijual di Sekolah Dasar (SD) di Indonesia tidak memenuhi standar keamanan mutu dan keamanan. Di Jakarta ditemukan dari 800 pedagang yang berjualan di sekolah, 340 diantaranya menjual makanan jajanan yang mengandung zat kimia yang berbahaya (Eunike 2009). Pada tahun 2007 terjadi 28 Kejadian Luar Biasa (KLB) di Bogor merupakan keracunan pangan (16.0%), dimana terjadi di lingkungan sekolah dan pangan jajanan berkontribusi sebesar 28.5% sebagai pangan penyebab KLB. Siswa SD merupakan kelompok yang paling sering (67.0%) mengalami keracunan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) (BPOM 2008).

Berdasarkan hasil ‘’Monitoring dan Verifikasi Profil Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Nasional Tahun 2008”, yang dilakukan oleh SEAFAST Center, LPPM IPB, sebagian besar (>70%) penjaja PJAS menerapkan praktek keamanan pangan yang kurang. Sebanyak 14.3% memiliki persepsi bahwa pangan jajanan yang dijual tidak aman (Andarwulan et al 2008). Wijaya (2009) menyatakan bahwa dari 47 sekolah di Kota dan Kabupaten Bogor, pengetahuan tentang keamanan pangan dengan kategori baik masih sedikit yaitu pada pengelola kantin sebanyak 38.5% dan penjaja PJAS sebanyak 23.5%.

Penyediaan makanan jajanan anak sekolah sangat dipengaruhi oleh kebijakan keamanan dari kepala sekolah. Berdasarkan penelitian BPOM 2009 dalam skala nasional, pada umumnya setiap sekolah memiliki peraturan tentang PJAS. Sebanyak 55.0% sekolah yang disurvei telah memiliki peraturan tentang PJAS. Peraturan tersebut sebagian besar dikeluarkan oleh pihak sekolah (95.0%) meskipun ada juga yang dikeluarkan oleh Dinas Kecamatan maupun Dinas Kabupaten/Kota/Pusat. Peraturan tersebut sebagian besar mengatur tentang siswa (68.7%) kemudian mengatur tentang penjaja PJAS (65.7%) dan mengatur tentang pengelola kantin (57.0%).

Perumusan Masalah

Makanan jajanan merupakan alternatif dalam memenuhi kebutuhan pangan, namun banyak terdapat permasalahan mengenai perilaku yaitu pengetahuan dan praktek keamanan pangan yang meliputi higiene, penanganan dan penyimpanan makanan dan minuman, sarana dan prasarana, serta pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan. Permasalahan tersebut bisa diakibatkan oleh kurangnya perhatian dari pihak sekolah. Penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah sangat mempengaruhi dalam mengurangi bahaya kesehatan terhadap anak sekolah akibat makanan yang tidak sehat dan aman.

Dengan demikian, untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi praktek keamanan pangan pengelola kantin dan penjaja PJAS, perlu diketahui penerapan kebijakan keamanan pangan dan hubungannya dengan perilaku pada pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor.

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis penerapan kebijakan keamanan pangan dan perilaku pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor.

Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi karakteristik sekolah dasar di Jakarta dan Bogor.

2. Mengidentifikasi karakteristik contoh (jenis kelamin dan pendidikan terakhir) di Jakarta dan Bogor.

3. Mengidentifikasi sikap kepala sekolah di Jakarta dan Bogor.

4. Mengidentifikasi penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah dasar di Jakarta dan Bogor.

5. Mengidentifikasi perilaku (pengetahuan, persepsi dan praktek) pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor.

6. Menganalisis perbedaan sikap kepala sekolah, penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah dan perilaku pada pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor.

7. Menganalisis hubungan karakteristik contoh, karakteristik sekolah dan sikap kepala sekolah dengan perilaku (pengetahuan dan praktek) keamanan pangan pada pengelola kantin dan penjaja PJAS.

8. Menganalisis hubungan antara penerapan kebijakan keamanan pangan dengan perilaku (pengetahuan dan praktek) pada pengelola kantin dan penjaja PJAS.

Hipotesis

1. Tidak ada hubungan karakteristik contoh, karakteristik sekolah dan sikap kepala sekolah dengan perilaku pada pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor.

2. Tidak ada hubungan penerapan kebijakan keamanan pangan dengan perilaku pada pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan di bidang keamanan pangan dan gizi kepada masyarakat luas terutama pada pihak sekolah, pengelola kantin, penjaja PJAS, siswa sekolah dan orangtua terkait keamanan pangan jajanan. Selain itu, diharapkan dapat memberikan informasi kepada kepada pihak sekolah dalam menentukan penerapan kebijakan mengenai keamanan pangan kepada penjaja makanan yaitu pada pengelola kantin dan penjaja PJAS. Sedangkan bagi pemerintah, hasil ini diharapkan bermanfaat untuk menyusun kebijakan program di bidang pangan dan gizi khususnya makanan jajanan pada anak sekolah.

TINJAUAN PUSTAKA

Dokumen terkait