• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan kebijakan keamanan pangan dan hubungannya dengan perilaku pada pengelola kantin dan penjaja pangan jajanan anak sekolah di Jakarta dan Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerapan kebijakan keamanan pangan dan hubungannya dengan perilaku pada pengelola kantin dan penjaja pangan jajanan anak sekolah di Jakarta dan Bogor"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Behaviour of Manager at School’s Canteen and Street Food Vendor for Elementary Students in Jakarta and Bogor. Under the direction ofSiti Madanijah andIkeu Ekayanti.

The purpose of this research is to identity and to analyze the application of food safety policy concerened behaviour of manager at school’s canteen and street food vendor. This research use secondary data from Survey “National Monitoring and Verification Food Safety of Elementary student Street Food 2008” by SEAFAST Center, LPPM IPB. The subjects of this research are 123 consist of 33 manager at school’s canteen in Jakarta and 8 manager at school’s canteen in Bogor, 52 street food vendor in Jakarta and 30 in Bogor. The process of data analyzing was done by descriptive and inferencial methode. The correlation between variables were analyzed with chi-square, where as the difference between variables were analyzed by independent sampel t-test.

The result of this research are most of the application of food safety was sufficient, where the school has rules about street food vandor, gived sanction. Had control and founding or counseling. The knowledge and practise of manager at school’s canteen was better than street food vendor. There are no difference between attitude of head master, the application of food safety, knowledge and food safety practise of manager at school’s canteen and street food vendor based on location. There are no difference between knowledge, higiene, handling and food storage, pest control, place sanitation and tools of manager at school’s canteen and street food vendor. However, there is difference between facilities and infrastructure of facilities and infrastructure and street food vendor

There are no correlation between the application of food safety policy concerned knowledge (p=0.415), but there are significant correlation between the application of food safety concerned higiene (p=0.024), handling and food storage (p=0.022), pest control place sanitation and tools (p=0.040) and total of safety practice (p=0.004) of manager at school’s canteen. There are no significant correlation between the application of food safety policy concerned is knowledge (p=0.0457), higiene (p=0.533), handling and food storage (p=0.218), facilities and infrastructure (p=0.909), pest control sanitation of place and tools (p=0.813) and total of food safety practice (p=0.733) of street food vendor.

(3)

bawah bimbinganSITI MADANIJAHdanIKEU EKAYANTI.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis penerapan kebijakan keamanan pangan dan perilaku pada pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah (1) Mengidentifikasi karakteristik sekolah dasar (SD), (2) Mengidentifikasi karakteristik contoh, (3) Mengidentifikasi sikap kepala sekolah, (4) Mengidentifikasi penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah, (5) Mengidentifikasi perilaku (pengetahuan, persepsi dan praktek) pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor, (6) Menganalisis perbedaan sikap kepala sekolah, penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah dan perilaku pengelola kantin dan penjaja PJAS, (7) Menganalisis hubungan karakteristik contoh, karakteristik sekolah, sikap kepala sekolah terhadap perilaku (pengetahuan dan praktek) keamanan pangan pada pengelola kantin dan penjaja PJAS, (8) Menganalisis hubungan antara penerapan kebijakan keamanan pangan terhadap perilaku (pengetahuan dan praktek) pada pengelola kantin dan penjaja PJAS.

Desain penelitian ini yaitu cross-sectional study. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari survei “Monitoring dan Verifikasi Profil Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Nasinal Tahun 2008”, yang dilakukan oleh Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, LPPM IPB. Analisis data penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Juli 2010. Penelitian ini mengkhususkan pada wilayah jakarta dan bogor dengan total 82 SD dengan rincian 52 SD di Jakarta dan 30 SD di Bogor. Contoh dalam penelitian ini adalah pengelola kantin dan penjaja PJAS. Jumlah total contoh yaitu sebanyak 123 contoh dengan rincian 33 orang pengelola kantin di Jakarta dan 8 orang pengelola kantin di Bogor serta 52 orang penjaja PJAS di Jakarta dan 30 orang penjaja PJAS di Bogor. Data sekunder diolah dan dianalisis dengan menggunakan program Microsoft Excell2007 dan SPSS 16.0for windows.

SD yang dianalisis berjumlah 82 SD dengan rincian 52 SD di Jakarta dan 30 SD di Bogor. Secara umum, sebagian besar SD berstatus negeri (59.8%) dan berakreditasi B (47.6%). Sekolah yang berada di wilayah Jakarta umumnya memiliki sarana dan prasarana yang lebih baik daripada Bogor.

Secara umum, sebagian besar kepala sekolah di wilayah Jakarta dan Bogor memiliki sikap mengenai keamanan pangan berkategori sedang dan penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah dengan kategori baik. Sekolah yang menjadi lokasi penelitian sebagian besar (73.2%) telah memiliki peraturan mengenai penjaja makanan. Berdasarkan hasil jawaban dari pihak sekolah, peraturan lebih banyak dikeluarkan oleh pihak sekolah itu sendiri (97.6%). Sebanyak 50.0% pengawasan di Jakarta dilakukan oleh guru UKS dan 53.3% di Bogor dilakukan oleh guru piket.

Secara umum, pengelola kantin (65.9%) dan penjaja PJAS (84.1%) berjenis kelamin laki-laki, dimana pendidikan pengelola kantin (41.5% SMA/sederajat) lebih baik daripada penjaja PJAS (62.2% SD/sederajat). Pengetahuan pengelola kantin lebih baik daripada penjaja PJAS. Hal ini dapat dilihat dari pengetahuan yang berkategori baik pada pengelola kantin sebanyak 17.1% sedangkan pada penjaja PJAS sebanyak 9.8%. Namun hasil uji t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan pengetahuan pengelola kantin dan penjaja PJAS berdasarkan wilayah (p≥0.05) dan tidak terdapat perbedaan pengetahuan pada pengelola kantin dan penjaja PJAS.

(4)

tambahan kimia atau alami yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sarana dan prasarana masih kurang dalam hal tempat cuci tangan, lap peralatan, tempat sampah dan tempat pencucian peralatan dengan suplai air mengalir. Hal tersebut dapat menjelaskan tentang rendahnya praktek pengelola kantin dan penjaja PJAS dalam hal mencuci tangan sebelum dan sesudah melayani pembeli. Pada praktek pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan, masih banyak pengelola kantin dan penjaja PJAS yang tidak membuang sampah secara teratur, pencucian peralatan tidak menggunakan air yang mengalir dan detergen disimpan terpisah dan diberi label.

(5)

DI JAKARTA DAN BOGOR

NUNING HIDAYATI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)

Skripsi yang berjudul “Penerapan Kebijakan Keamanan Pangan dan Hubungannya dengan Perilaku pada Pengelola Kantin dan Penjaja Pangan Jajanan Anak Sekolah di Jakarta dan Bogor” merupakan satu syarat untuk menyelesaikan studi di Program Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Atas selesainya skripsi ini, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS, dan Dr. Ir ikeu Ekayanti, M.Kes, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan dukungan, masukan, petunjuk, serta kesabaran dan perhatian yang sangat besar dalam proses penyusunan skripsi hingga selesai.

2. Tiurma Sinaga, B.Sc., MFSA, selaku dosen pemandu seminar dan penguji yang telah memberikan masukan demi kesempurnaan skripsi ini. 3. Hilma Syafly, Yulia Puspita Sari, Ani Maria dan Lina Sugita yang telah

menjadi pembahas seminar dan memberikan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

4. Harisa Totelesi, Hilma Syafly, Revida Rosa, Shelly Gita Perdani dan Shinta Junita Fitri yang telah memberikan dukungan dalam pembuatan skripsi ini.

5. Papa, Mama, Kakak dan Adik yang selalu mendokan dan mendukung penulis.

6. Seluruh teman-teman Program Penyelenggaraan Khusus Ilmu Gizi Angkatan 02 yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis berharap saran dan kritik dari semua pihak.

(7)

keenam dari tujuh bersaudara, putri dari pasangan M. Isyak Rasyidi dan Yusmalidar Karim. Penulis menyelesaikan pendidikan SDN 045 Siak Sri Indrapura pada tahun 1999. Pada tahun 2002, penulis menyelesaikan pendidikan di MTS Darul Hikmah Pekanbaru. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di MA Darul Hikmah Pekanbaru dan lulus pada tahun 2005.

(8)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Undang-undang No 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa

pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak

asasi setiap rakyat Indonesia. Sistem pangan tidak hanya dituntut untuk memberikan

pasokan produk pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup (nutritionally adequate),

tetapi juga aman (safe). Peraturan Pemerintah no 28 Tahun 2004 tentang

Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, memberikan wewenang kepada Badan

Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia untuk melakukan

pengawasan keamanan, mutu, dan gizi pangan yang beredar di Indonesia.

Salah satu indikator Indeks Pembangunan Manusia (Human Development

Index) adalah kesehatan. Faktor gizi memegang peranan yang sangat penting

dalam meningkatkan derajat kesehatan. Meningkatnya derajat kesehatan akan

meningkatkan kualitas sumber daya manusia yaitu manusia yang sehat, cerdas dan

produktif. Perbaikan dan peningkatan gizi harus selalu dilakukan pada setiap siklus

kehidupan manusia, yaitu mulai dari dalam kandungan, bayi, balita, anak-anak,

remaja, dewasa, hingga usia lanjut.

Anak usia sekolah merupakan investasi bangsa, karena anak sekolah adalah

generasi penerus bangsa. Kualitas bangsa di masa depan ditentukan oleh kualitas

anak-anak saat ini. Upaya peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) harus

dilakukan sejak dini, sistematis dan berkesinambungan. Tumbuh kembangnya anak

usia sekolah yang optimal tergantung pemberian asupan zat gizi dengan kualitas

dan kuantitas yang baik. Namun, pemberian makanan pada anak tidak selalu

dilaksanakan dengan baik, yang dapat mengakibatkan gangguan pada organ-organ

dan sistem tubuh anak (Judarwanto 2006).

Masa usia sekolah merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan anak

menuju masa remaja sehingga asupan zat gizi yang cukup dan keamanan makanan

yang dikonsumsi sangat penting untuk diperhatikan, salah satunya adalah makanan

jajanan. Makanan jajanan sangat banyak dijumpai di lingkungan sekitar sekolah dan

umumnya dikonsumsi oleh anak sekolah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh

(9)

pelajar pada waktu sekolah menyumbang asupan gizi sebanyak 36.0% energi,

29.0% protein dan 52.0% zat besi.

Makanan jajanan sekolah perlu mendapatkan perhatian yang serius karena

sangat berisiko terhadap cemaran biologi dan kimia. BPOM tahun 2004 menemukan

60.0% jajanan yang dijual di Sekolah Dasar (SD) di Indonesia tidak memenuhi

standar keamanan mutu dan keamanan. Di Jakarta ditemukan dari 800 pedagang

yang berjualan di sekolah, 340 diantaranya menjual makanan jajanan yang

mengandung zat kimia yang berbahaya (Eunike 2009). Pada tahun 2007 terjadi 28

Kejadian Luar Biasa (KLB) di Bogor merupakan keracunan pangan (16.0%), dimana

terjadi di lingkungan sekolah dan pangan jajanan berkontribusi sebesar 28.5%

sebagai pangan penyebab KLB. Siswa SD merupakan kelompok yang paling sering

(67.0%) mengalami keracunan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) (BPOM

2008).

Berdasarkan hasil ‘’Monitoring dan Verifikasi Profil Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Nasional Tahun 2008”, yang dilakukan oleh SEAFAST Center, LPPM IPB, sebagian besar (>70%) penjaja PJAS menerapkan praktek keamanan pangan yang kurang. Sebanyak 14.3% memiliki persepsi bahwa pangan jajanan yang dijual tidak aman (Andarwulan et al 2008). Wijaya (2009) menyatakan bahwa dari 47 sekolah di Kota dan Kabupaten Bogor, pengetahuan tentang keamanan pangan dengan kategori baik masih sedikit yaitu pada pengelola kantin sebanyak 38.5% dan penjaja PJAS sebanyak 23.5%.

(10)

Perumusan Masalah

Makanan jajanan merupakan alternatif dalam memenuhi kebutuhan pangan,

namun banyak terdapat permasalahan mengenai perilaku yaitu pengetahuan dan

praktek keamanan pangan yang meliputi higiene, penanganan dan penyimpanan

makanan dan minuman, sarana dan prasarana, serta pengendalian hama, sanitasi

tempat dan peralatan. Permasalahan tersebut bisa diakibatkan oleh kurangnya

perhatian dari pihak sekolah. Penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah

sangat mempengaruhi dalam mengurangi bahaya kesehatan terhadap anak sekolah

akibat makanan yang tidak sehat dan aman.

Dengan demikian, untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor tersebut

dapat mempengaruhi praktek keamanan pangan pengelola kantin dan penjaja

PJAS, perlu diketahui penerapan kebijakan keamanan pangan dan hubungannya

dengan perilaku pada pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor.

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis penerapan kebijakan

keamanan pangan dan perilaku pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan

Bogor.

Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi karakteristik sekolah dasar di Jakarta dan Bogor.

2. Mengidentifikasi karakteristik contoh (jenis kelamin dan pendidikan terakhir)

di Jakarta dan Bogor.

3. Mengidentifikasi sikap kepala sekolah di Jakarta dan Bogor.

4. Mengidentifikasi penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah dasar di

Jakarta dan Bogor.

5. Mengidentifikasi perilaku (pengetahuan, persepsi dan praktek) pengelola

(11)

6. Menganalisis perbedaan sikap kepala sekolah, penerapan kebijakan

keamanan pangan sekolah dan perilaku pada pengelola kantin dan penjaja

PJAS di Jakarta dan Bogor.

7. Menganalisis hubungan karakteristik contoh, karakteristik sekolah dan sikap

kepala sekolah dengan perilaku (pengetahuan dan praktek) keamanan

pangan pada pengelola kantin dan penjaja PJAS.

8. Menganalisis hubungan antara penerapan kebijakan keamanan pangan

dengan perilaku (pengetahuan dan praktek) pada pengelola kantin dan

penjaja PJAS.

Hipotesis

1. Tidak ada hubungan karakteristik contoh, karakteristik sekolah dan sikap

kepala sekolah dengan perilaku pada pengelola kantin dan penjaja PJAS di

Jakarta dan Bogor.

2. Tidak ada hubungan penerapan kebijakan keamanan pangan dengan

perilaku pada pengelola kantin dan penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan

di bidang keamanan pangan dan gizi kepada masyarakat luas terutama pada pihak

sekolah, pengelola kantin, penjaja PJAS, siswa sekolah dan orangtua terkait

keamanan pangan jajanan. Selain itu, diharapkan dapat memberikan informasi

kepada kepada pihak sekolah dalam menentukan penerapan kebijakan mengenai

keamanan pangan kepada penjaja makanan yaitu pada pengelola kantin dan

penjaja PJAS. Sedangkan bagi pemerintah, hasil ini diharapkan bermanfaat untuk

menyusun kebijakan program di bidang pangan dan gizi khususnya makanan

(12)

TINJAUAN PUSTAKA Anak Sekolah Dasar

Periode pertengahan masa kanak-kanak, yaitu anak usia sekolah (6-12

tahun) merupakan periode yang penting dalam kehidupan anak-anak. Walaupun

pertumbuhan fisik anak-anak pada usia sekolah relatif lambat, tetapi terdapat

perubahan yang mencengangkan dalam hal intelektualnya dan dalam hal membina

hubungan dengan orang lain (Harris & Liebert 1991).

Jika dibandingkan dengan periode awal masa kanak-kanak, pertumbuhan

fisik berjalan dengan lambat. Walaupun kemampuan motoriknya terus meningkat,

perubahannya tidak sedramatis perubahan selama enam tahun pertama kehidupan.

Hal ini dikarenakan tingkat perubahan dari hari ke hari anak-anak usia sekolah tidak

terlihat begitu nyata (Papalia & Olds 1986).

Kelompok anak sekolah pada umumnya mempunyai kondisi gizi yang lebih

baik daripada kelompok balita, karena kelompok umur sekolah sudah mudah

dijangkau oleh berbagai upaya perbaikan gizi yang dilakukan oleh pemerintah

melalui Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) maupun oleh kelompok swasta berupa

program suplementasi makanan tambahan di sekolah atau program makan siang

sekolah (School Lunch Program). Kelompok anak sekolah merupakan kelompok

yang mudah menerima upaya pendidikan gizi melalui sekolahnya (Sediaoetama

2008).

Gizi yang diperoleh seorang anak melalui konsumsi makanan setiap hari

berperan besar untuk kehidupan anak tersebut. Untuk dapat memenuhi dengan baik

dan cukup, ada beberapa masalah yang berkaitan dengan konsumsi zat gizi untuk

anak. Masalah gizi masyarakat mencakup berbagai defisiensi zat gizi. Seorang anak

juga dapat mengalami defisiensi zat gizi tersebut yang berakibat pada berbagai

aspek fisik maupun mental. Masalah ini dapat ditanggulangi secara cepat, jangka

pendek dan jangka panjang serta dapat dicegah oleh masyarakat sendiri sesuai

dengan klasifikasi dampak defisiensi zat gizi antara lain melalui pengaturan makan

yang benar (Santoso 2004).

Sikap

Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk bertingkah laku dalam

(13)

kelompok, nilai-nilai dan semua hal yang terdapat disekitar manusia (Muljono 2000

dalam Fitriyanti 2009). Sikap merupakan suatu kuadran jiwa (mental) dan keadaan

pikiran atau daya nalar yang disiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap

sesuatu hal, sehingga secara langsung dapat mempengaruhi perilaku, begitu juga

halnya dengan sikap terhadap makanan (Engelet al. 1994).

Sikap manusia terhadap makanan banyak dipengaruhi oleh

pengalaman-pengalaman dan respon-respon yang diperlihatkan oleh orang lain terhadap

makanan. Pengalaman yang diperoleh ada yang menyenangkan atau tidak

menyenangkan, sehingga setiap individu dapat mempunyai sikap suka atau tidak

suka terhadap makanan (Suhardjo 2003).

Kebijakan Keamanan Pangan

Di Indonesia, secara formal nilai strategis dari mutu, gizi, dan keamanan

pangan ini telah menjadi perhatian pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan

diberlakukannya undang-undang tentang pangan yaitu Undang-undang No. 7 Tahun

1996. Kondisi mutu, gizi dan keamanan pangan yang ada masih kurang memadai

bahkan sering membahayakan, hal ini disebabkan 1) Infrastruktur yang belum

mantap, 2) Tingkat pendidikan produsen, 3) Sumber dana yang terbatas, dan 4)

Produksi makanan masih didominasi oleh industri kecil dan menengah. Namun

demikian, harus diakui bahwa akar masalah utamanya adalah arti strategis mutu,

gizi dan keamanan pangan ini belum sepenuhnya disadari oleh pembuat dan

pelaksana kebijakan.

Perlu disadari oleh pembuat kebijakan bahwa isu mutu, gizi dan keamanan

pangan di suatu negara merupakan isu daya saing yang sangat strategis. Secara

mendasar, upaya jaminan mutu, gizi dan kondisi keamanan pangan berarti pula

menjamin pemenuhan hak-hak masyarakat. Disamping itu, peningkatan status dan

kondisi mutu, gizi dan keamanan pangan suatu negara akan menyebabkan

peningkatan status kesehatan masyarakat, dan pada gilirannya akan meningkatkan

produktivitas individu.

Peraturan makanan jajanan di sekolah pada umumnya diatur dalam

kebijakan yang dibuat oleh pihak sekolah. Kepala sekolah adalah pejabat

berwenang tertinggi dalam penentuan kebijakan di setiap sekolah. Keamanan

(14)

menjadi lingkup yang seharusnya juga menjadi tanggung jawab pihak sekolah

dengan kepala sekolah sebagai pimpinan pengawasan PJAS di lingkungan sekolah

(Andarwulanet al. 2009).

Selanjutnya, Andarwulan et al (2009) menyatakan bahwa berdasarkan

penelitian BPOM 2009 dalam skala nasional, pada umumnya setiap sekolah

memiliki peraturan tentang PJAS. Sebanyak 55.0 % sekolah yang disurvei telah

memiliki peraturan tentang PJAS. Peraturan tersebut sebagian besar (95.0%)

dikeluarkan oleh pihak sekolah meskipun ada juga yang dikeluarkan oleh Dinas

Kecamatan maupun Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota/Pusat. Peraturan tersebut

sebagian besar (68.7%) mengatur tentang siswa kemudian mengatur tentang

penjaja PJAS (65.7%) dan mengatur tentang kantin sekolah (57.0%).

Pengawasan pangan merupakan faktor penting untuk meningkatkan

keamanan dan mutu pangan. Program pengawasan pangan di indonesia belum

dapat dilaksanakan secara optimum dengan adanya berbagai hambatan diantaranya

belum mantapnya kelembagaan dan koordinasi pengawasan pangan, peraturan dan

pedoman yang masih belum lengkap, jumlah dan kualitas SDM yang terbatas.

Keterbatasan dalam jumlah tenaga pengawasan pangan dan dana pengawasan

mengakibatkan rendahnya jumlah sarana produksi pangan yang mendapat

pengawasan (Yusuf 2004).

Untuk mengatasi masalah keamanan PJAS, peran pemerintah untuk

mengawasi penjualan makanan jajanan di sekolah sangat diperlukan. Misalnya

dalam memberikan penyuluhan kepada penjual makanan jajanan, melatih penjaja

agar membuat pangan jajanan yang aman, melarang penjualan pangan jajanan

yang mengandung bahan tambahan pangan yang berbahaya dan lain sebagainya.

Peran sekolah, yaitu kepala sekolah dan guru juga dapat membantu mengatasi

masalah ini dengan cara mengatur makanan yang diperbolehkan untuk dijual di

sekitar lingkungan sekolah (Muhilal dan Damayanti 2006).

Kantin dan Penjaja PJAS

Kantin atau warung sekolah merupakan salah satu tempat jajan anak

sekolah selain penjaja makanan jajanan di luar sekolah. Kantin sekolah mempunyai

peranan yang penting dalam mewujudkan pesan-pesan kesehatan dan dapat

(15)

sekolah. Kantin sekolah dapat menyediakan makanan sebagai pengganti makan

pagi dan makan siang di rumah serta camilan dan minuman sehat.

Mengingat pentingnya asupan makanan pada saat jam sekolah, maka anak

perlu mengkonsumsi makanan jajanan. Makanan jajanan ini dapat diperoleh dengan

dibeli di lingkungan sekolah baik pada penjaja di sekitar sekolah maupun di kantin

sekolah. Hasil beberapa studi menujukkan bahwa anak sekolah di perkotaan lebih

sering membeli makanan jajanan di kantin sekolah. Sedangkan di pedesaan,

anak-anak lebih sering membeli makanan/minuman pada penjaja. Adapun tujuan dari

kantin sekolah adalah untuk memenuhi keperluan murid dengan menyediakan

makanan yang enak, bergizi, terjamin kebersihannya dengan harga yang terjangkau.

Beberapa manfaat yang diperoleh dari adanya kantin sekolah adalah :

a. meningkatkan kesehatan murid dengan menyediakan makanan yang bernilai

gizi tinggi dan terjamin kebersihannya. Makanan jajanan di sekolah sangat

potensial di dalam memberikan kontribusi gizi. Kantin berada di bawah

pengelolaan guru atau orang tua murid, maka dalam menentukan makanan

yang disajikan dapat lebih leluasa memilih makanan yang berasal dari sumber

bahan makanan yang bernilai gizi tinggi. Selain itu, kebersihan lebih mudah

diawasi baik terhadap peralatan yang dipakai, air yang digunakan dan

makanan yang disajikan.

b. Dapat digunakan sebagai sarana penyuluhan dan pendidikan gizi. Penyuluhan

dan pendidikan gizi dapat dilakukan berbagai cara seperti lewat penyajian

poster yang ditempel di dinding kantin, dengan gambar-gambar sumber

makanan yang bernilai gizi tinggi, atau kalimat yang berisi pesan-pesan gizi

yang sederhana dan mudah dimengerti oleh murid.

Adapun hal yang perlu diperhatikan di dalam kantin adalah pengelola kantin,

dimana pengelola kantin perlu mempunyai pengetahuan mengenai gizi dan

kesehatan (Nuraida 2008).

Penjaja PJAS mempunyai potensi yang menentukan perilaku makan siswa

sehari-hari melalui penyediaan makanan jajanan di sekolah. Kantin sekolah

mempunyai peranan penting dalam mendorong pesan-pesan kesehatan dari kelas

dan rumah. Ada kantin yang menyediakan makanan yang sehat dan bergizi. Namun

banyak juga kantin yang belum menyediakan makanan yang bergizi. Kepala sekolah

(16)

makanan yang sehat, bergizi dan aman bagi kesehatan (Muhilal dan Damayanti

2006).

Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan

Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu, dimana sebagian besar dari

pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui indera mata dan telinga.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domein yang sangat penting bagi

terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih

langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmodjo 1993).

Pengetahuan merupakan kesan dalam fikiran manusia sebagai hasil panca indera.

Pengetahuan diperoleh oleh seseorang melalui pendidikan formal dan informal.

Tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang karena

berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan mengenai objek

tertentu.

Pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi,

serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi

yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah atau

buruk. Pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal.

Selain itu, juga dapat diperoleh dengan melihat, mendengar sendiri atau melalui

alat-alat komunikasi, selain membaca surat kabar dan majalah, mendengar siaran radio

dan menyaksikan siaran televisi ataupun melalui penyuluhan kesehatan/gizi

(Suhardjo 1996).

Pengetahuan yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi

pangan yang salah. Pengetahuan gizi dapat diperoleh dari pendidikan formal

maupun pendidikan informal. Selain itu, melalui media komunikasi seperti televisi,

majalah, koran, radio atau melalui penyuluhan kesehatan, masyarakat dapat

memperoleh pengetahuan. Keterbatasan informasi dan tingkat pengetahuan gizi

seseorang dapat menyebabkan tujuan akhir dalam membeli dan mengkonsumsi

pangan berubah menjadi asal kenyang (Suharjo 1989)

Hasil penelitian Rika (2009) yang dilakukan di Kota dan Kabupaten Bogor

menunjukkan bahwa secara umum penjaja PJAS memiliki pengetahuan keamanan

pangan berkategori sedang sebesar 40.4% dan sebagian kecil memiliki

(17)

pangan berdasarkan wilayah memiliki perolehan skor rata rata di kota (62.3) lebih

rendah daripada di Kabupaten (78.2), sekitar 50% penjaja PJAS di kota memiliki

pengetahuan dengan kategori kurang dan di kabupaten dengan kategori sedang.

Persepsi

Persepsi dapat dinyatakan sebagai proses menafsirkan sensasi-sensasi dan

memberikan arti kepada stimuli. Persepsi merupakan penafsiran realitas dan

masing-masing orang memiliki persepsi yang berbeda dalam memandang realitas

(Winardi 1991). Persepsi menurut Ely (1972), diacu dalam Pranadji (1988) adalah

proses yang berhubungan dengan penggunaan indera untuk memperoleh petunjuk

yang membimbing kegiatan motorik. Petunjuk ini dimulai dari kesadaran terhadap

adanya stimulus sampai memilih tugas yang relevan untuk menerjemahkan persepsi

tersebut ke dalam kegiatan dalam suatu kegiatan.

Menurut Stanton, diacu dalam Setiadi (2003) persepsi dapat didefinisikan

sebagai makna yang kita pertalikan berdasarkan pengalaman masa lalu dan stimuli

yang kita terima melalui panca indera. Pengenalan terhadap suatu objek, gerakan,

intensitas, dan aroma adalah petunjuk yang mempengaruhi persepsi. Persepsi

merupakan proses yang terjadi karena adanya sensasi. Sensasi merupakan aktivitas

merasakan atau penyebab keadaan yang menggembirakan. Persepsi manusia

dapat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu karakteristik dari stimuli, hubungan stimuli

dengan sekelilingnya dan kondisi-kondisi di dalam diri manusia itu sendiri

Praktek Keamanan Pangan

Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk

mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang

dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Pangan

yang aman serta bermutu dan bergizi sangat penting peranannya bagi pertumbuhan,

pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan kecerdasan

masyarakat. Sistem pangan yang ada saat ini meliputi segala sesuatu yang

berhubungan dengan peraturan, pembinaan atau pengawasan terhadap kegiatan

atau proses produksi makanan dan peredarannya sampai siap dikonsumsi manusia.

Setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan produksi pangan

(18)

perundangan-undangan yang berlaku. Keamanan pangan didefinisikan sebagai

kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan

cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat menggangu, merugikan dan

membahayakan kesehatan manusia (Undang-undang RI no.7 tentang Pangan

Tahun 1996).

Keamanan pangan merupakan suatu faktor yang penting disamping mutu

fisik, gizi dan cita rasa. Menurut Fardiaz (1994), makanan siap santap dianggap

mempunyai mutu yang baik jika dapat memuaskan konsumen dalam hal rasa,

penampakan dan keamanannya. Kandungan dan komposisi gizi seringkali tidak

menjadi faktor penentu pemilihan jenis makanan kecuali bagi konsumen yang

sangat memperhatikan bagi kesehatan dan berat badan.

Food safety (Keamanan pangan) akhir-akhir ini telah menjadi isu nasional

dan internasional. Semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan ekonomi

masyarakat, semakin tinggi pula kecenderungan menuntut pangan yang lebih aman

untuk dikonsumsi. Kemungkinan-kemungkinan bahaya pangan dapat terjadi karena

beberapa sebab, antara lain : 1) Adanya residu bahan kimia yang terbawa pada

bahan pangan akibat teknologi pertanian misalnya insektisida, pestisida, fungisida,

antibiotik dan hormon; 2) Adanya kesalahan dalam penggunaan bahan kimia

tambahan baik jenis maupun dosisnya; 3) Penyerapan logam yang berbahaya oleh

tanaman dan hewan akibat pencemaran lingkungan dan industri; 4) Terjadinya

kontaminasi mikroba dan bahan kimia terhadap bahan pangan dan produk pangan

sejak pertama sampai tingkat pengolahan akibat kurangnya sanitasi; 5) Kurang

cukupnya kondisi proses pengolahan menyebabkan mikroba aktif kembali pada saat

penyimpanan dan pemasaran; dan 6) Ekses dari penggunaan teknologi yang belum

tuntas penelitiannya, misalnya senyawa-senyawa baru, teknik radiasi dan

sebagainya (Tjahja 2008).

Pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung bahaya

keamanan pangan yang terdiri atas bahaya biologi/mikrobiologis, kimia dan fisik.

Bahaya makanan terdiri dari (Depdiknas 2009) :

1. Bahaya mikrobiologis, adalah bahaya mikroba yang dapat menyebabkan

penyakit seperti salmonella, E.coli, virus, parasit dan kapang penghasil

(19)

2. Bahaya kimia, adalah bahan kimia yang tidak diperbolehkan digunakan untuk

pangan, misalnya logam dan polutan lingkungan, bahan tambahan pangan

(BTP) yang tidak digunakan semestinya, peptisida, bahan kimia pembersih,

racun/toksin asal tumbuhan/hewan dan sejenisnya.

3. Bahaya fisik, adalah bahaya benda-benda yang dapat tertelan dan dapat

menyebabkan luka, misalnya pecahan gelas, kawat steples, potongan tulang,

potongan kayu, kerikil, rambut, kuku, sisik dan sebagainya.

Badan POM RI mengidentifikasikan beberapa faktor yang diduga turut

mempengaruhi rendahnya mutu dan keamanan PJAS, antara lain pada saat ini

program nasional pengawasan jajanan anak sekolah belum optimal, fasilitas yang

tidak memadai, dan sumberdaya manusia (guru tidak melakukan komunikasi risiko,

anak sekolah jajan sembarangan, orangtua tidak menyediakan bekal, pedagang

penjual PJAS tidak aman, IRTP/produsen menghasilkan PJAS yang tidak aman)

(Andarwulanet al2009).

Berdasarkan hasil monitoring PJAS yang dilakukan oleh POM RI pada tahun

2006 di 26 ibukota provinsi di Indonesia, dari 478 SD dengan jumlah sebanyak 2903

sampel, jumlah PJAS yang memenuhi syarat adalah sebesar 50.6% dan sebanyak

49.3% sampel jajanan anak sekolah tidak memenuhi persyaratan terhadap satu atau

lebih dari beberapa parameter yang diuji. Selain itu, lebih dari 39.0% sampel tidak

memenuhi syarat mikrobiologi (BPOM 2007)

Hasil penelitian Rika (2009) yang dilakukan di Kota dan Kabupaten Bogor

menunjukkan bahwa total praktek keamanan PJAS berkategori kurang sebesar

51.1% dan hanya sebagian kecil (10.6%) berkategori baik. Total praktek keamanan

pangan adalah gabungan dari keselurahan praktek yaitu praktek higiene, praktek

(20)

KERANGKA PEMIKIRAN

Makanan adalah kebutuhan pokok manusia yang diperlukan setiap saat dan

harus ditangani dan dikelola dengan baik dan benar agar bermanfaat bagi tubuh.

Namun, apabila penanganan dan pengelolaannya tidak baik dan benar maka

makanan tersebut tidak terjamin dalam hal aspek gizi dan keamanan pangannya.

Makanan tersebut jika dikonsumsi manusia dapat menyebabkan penyakit akut

maupun kronis yang pada akhirnya dapat mempengaruhi status gizi dan kesehatan

seseorang.

Sebagian besar anak sekolah mengkonsumsi makanan jajanan yang

dijajakan di lingkungan sekolah, yaitu di kantin sekolah atau penjaja pangan jajanan

di sekitar sekolah. Namun, banyak terdapat permasalahan mengenai praktek

keamanan pangan yang meliputi kurangnya higiene dari penjual atau penyaji,

penanganan dan penyimpanan makanan serta pengendalian hama, sanitasi tempat

dan peralatan. Permasalahan keamanan pangan disebabkan kurangnya perhatian

dari pihak sekolah dalam membuat kebijakan mengenai keamanan pangan untuk

pengelola kantin dan penjaja PJAS.

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi perilaku keamanan pangan

pengelola kantin dan penjaja PJAS. Faktor pertama merupakan faktor internal, yaitu

karakteristik pengelola kantin dan penjaja PJAS. Yang kedua adalah faktor

eksternal, diantaranya adalah karakteristik sekolah, sikap kepala sekolah dan

penerapan kebijakan keamanan pangan sekolah. Penerapan kebijakan yang dibuat

oleh pihak sekolah mengenai keamanan pangan yang ditujukan kepada pengelola

keamanan pangan jajanan anak sekolah. Kebijakan sekolah dapat mempengaruhi

perilaku pada pengelola kantin dan penjaja PJAS.

Dengan demikian, untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor tersebut

dapat mempengaruhi perilaku keamanan pangan pengelola kantin dan penjaja

PJAS, perlu diketahui melalui penelitian. Hasil penelitian diharapkan dapat

memberikan saran yang mendukung dalam peningkatan perilaku keamanan pangan

(21)

Perilaku gizi dan keamanan pangan

: Variabel yang diteliti

: Hubungan yang diteliti

: Hubungan yang tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka pemikiran penerapan kebijakan keamanan pangan pada pengelola kantin dan penjaja PJAS di sekolah

Perilaku gizi dan keamanan pangan

Pengetahuan

Persepsi

Praktek :  Higiene

 Penanganan dan penyimpanan makanan dan minuman

 Sarana dan prasarana  Pengendalian hama,

sanitasi tempat dan peralatan

Karakteristik sekolah  Status sekolah  Mutu sekolah  Sarana dan

prasarana

Penerapan kebijakan keamanan pangan

Karakteristik contoh  Pendidikan  Jenis kelamin

(22)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Desain penelitian ini adalah cross sectional study yaitu mengumpulkan

informasi dengan satu kali survei. Penelitian ini mengkaji penerapan kebijakan

keamanan pangan dan hubungannya dengan perilaku pengelola kantin dan penjaja

PJAS di Jakarta dan Bogor. Data penelitian ini merupakan sebagian dari data Survei

“Monitoring dan Verifikasi Profil Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)

Nasional Tahun 2008”, yang dilakukan oleh SEAFAST Center, LPPM IPB. Analisis data penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2010.

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh

Contoh dalam penelitian ini adalah pengelola kantin dan penjaja PJAS di wilayah Jakarta dan Bogor yang ditetapkan secara purposive, dengan kriteria sebagai berikut : 1) Mendapatkan rekomendasi dari Kantor Depdiknas setempat; 2) Pihak sekolah bersedia untuk dijadikan tempat penelitian. Berdasarkan persyaratan tersebut diambil 52 SD di wilayah Jakarta dan 30 SD di wilayah Bogor. Dalam penelitian ini diambil 123 contoh yang terdiri dari 33 pengelola kantin di Jakarta dan delapan pengelola kantin di Bogor serta 52 penjaja PJAS di Jakarta dan 30 penjaja PJAS di Bogor.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

(23)

bergizi, aman dan tidak menyebabkan sakit, serta menjaga kebersihan di lingkungan

sekitar penjualan. Data tentang praktek contoh dilakukan dengan menggunakan

instrumen berbentuk pertanyaan pilihan berganda (multiple choice test) yang

meliputi higiene penjual/penyaji, penanganan dan penyimpanan makanan dan

minuman, sarana dan prasarana, serta pengendalian hama, sanitasi tempat dan

peralatan.

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan dientri dengan menggunakan Microsoft Exel

For Windows. Proses pengolahan data yaitu editing dan analisis data. Data

dianalisis secara deskriptif statistik dan inferensial dengan program SPSS (Statistical

Program for Social Science) versi 16.0 forwindows.

Data karakteristik contoh (jenis kelamin dan pendidikan) serta karakteristik

sekolah (status sekolah, mutu sekolah serta sarana dan prasarana) disajikan secara

deskriptif. Data sikap kepala sekolah, penerapan kebijakan keamanan pangan,

pengetahuan serta praktek keamanan pangan dihitung dengan cara menjumlahkan

skor yang dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu baik apabila skor >80%,

sedang apabila skor 60-80% dan kurang apabila <60% (Khomsan 2000).

Hubungan antara variabel dianalisis dengan menggunakan chi square.

Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik contoh,

karakteristik sekolah, sikap kepala sekolah dan penerapan kebijakan keamanan

pangan dengan perilaku keamanan pangan pada pengelola kantin dan penjaja PJAS

di Jakarta dan Bogor. Uji independent sampel t-test digunakan untuk menguji

perbedaan variabel berdasarkan wilayah. Secara lebih jelas, pengkategorian

(24)

Tabel 1 Kategori variabel penelitian

(25)

Definisi Operasional

Pengelola kantin adalah orang yang secara langsung atau tidak langsung mengelola kantin dan berhubungan langsung dengan makanan dan

peralatan makanan mulai dari persiapan bahan pangan, pengolahan,

pengangkutan sampai penyajian

Pengelola PJAS adalah orang yang secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan PJAS dan peralatan makanan mulai dari persiapan

bahan pangan, pengolahan, pengangkutan sampai penyajian

Praktek keamanan pangan adalah tanggapan pihak pengelola kantin dan penjaja PJAS untuk mencegah pangan dari bahaya, yaitu meliputi higiene,

penanganan dan penyimpanan, sarana dan prasarana serta

pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan.

Pengetahuan keamanan pangan adalah informasi yang disimpan dalam bentuk ingatan mengenai keamanan pangan pada pengelola kantin dan penjaja

PJAS.

Sikap adalah perasaan, keyakinan dan kecendrungan untuk bertindak pada pihak sekolah terhadap keamanan pangan.

Persepsiadalah anggapan seseorang tentang keamanan pangan yang menyatakan ya atau tidak

Higiene adalah upaya kesehatan dan cara memelihara dan melindungi kebersihan diri.

Penyimpanan adalah cara menyimpan bahan pangan, makanan setengah jadi dan makanan matang di suatu tempat atau wadah dalam upaya memelihara

keamanan pangan.

Sarana dan fasilitas adalah sarana yang dimiliki oleh pengelola kantin dan penjaja PJAS yang digunakan untuk praktek keamanan pangan

Pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan adalah upaya kesehatan dan cara memelihara dan melindungi kebersihan yang meliputi pengendalian

hama, sanitasi tempat dan peralatan

(26)

Penerapan kebijakan adalah diberlakukannya peraturan, sanksi, pengawasan dan pembinaan tentang keamanan pangan yang telah ditetapkan oleh

(27)

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Sekolah Dasar

Sekolah Dasar (SD) yang dianalisis berjumlah 82 SD dengan rincian 52 SD

di Jakarta dan 30 SD di Bogor. Pada analisis ini, sekolah dikelompokkan menjadi

beberapa kategori, yaitu berdasarkan wilayah, status sekolah, mutu sekolah

(akreditasi) serta sarana dan prasarana sekolah. Sebaran SD berdasarkan

kategori-kategori tersebut disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Sebaran SD berdasarkan status, mutu serta sarana dan prasarana sekolah di Jakarta dan Bogor

Negeri 29 55.8 20 66.7 49 59.8

Swasta 23 44.2 10 33.3 33 40.2

Total 52 100.0 30 100.0 82 100.0

Mutu (akreditasi)

A 24 46.2 10 33.3 34 41.5

B 25 48.1 14 46.7 39 47.6

C 2 3.8 5 16.7 7 8.5

Belum terakreditasi 1 1.9 1 3.3 2 2.4

Total 52 100.0 30 100.0 82 100.0

Sarana dan prasarana

Baik 49 94.2 10 33.3 59 72.0

Sedang 3 5.8 17 56.7 20 24.4

Kurang 0 0.0 3 10.0 3 3.7

Total 52 100.0 30 100.0 82 100.0

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar SD yang

menjadi tempat penelitian di wilayah Jakarta maupun Bogor berstatus negeri dan

berakreditasi B. Jika dilihat berdasarkan sarana dan prasarana sekolah, SD di

wilayah Jakarta memiliki sarana dan prasarana yang lebih baik daripada SD di

wilayah Bogor. Hal ini dapat dilihat pada SD yang memiliki sarana dan prasarana

yang berkategori baik di wilayah Jakarta sebanyak 94.2% sedangkan di Bogor

hanya 33.3%.

SD dengan sarana dan prasarana yang baik akan menunjang proses belajar

mengajar siswa di sekolah. Selain itu juga dapat mendukung perilaku pengelola

kantin dan penjaja PJAS. Sarana dan prasarana yang terdiri dari tempat sampah di

(28)

sementara, bentuk penampungan sampah sementara di sekolah, keberadaan air,

keberadaan WC dan kualitas air.merupakan faktor pendukung dalam keamanan

pangan di lingkungan sekolah. Hal ini dapat dilihat dari Sebaran SD berdasarkan

kondisi sarana dan prasarana di Jakarta dan Bogor disajikan pada Tabel 3

Tabel 3 Sebaran SD berdasarkan kondisi sarana dan prasarana di Jakarta dan

1 Keberadaan tempat sampah di kelas 49 94.2 16 53.3 65 79.3 2 Keberadaan tempat sampah sekolah 50 96.2 27 90.0 77 93.9 3 Tempat penampungan sampah

5 Ketersediaan air 51 98.1 28 93.3 79 96.3

6 Sumber air dari PAM 27 51.9 20 66.7 47 57.3

7 Kualitas air bersih 50 96.2 28 93.3 78 95.1

8 Tempat cuci tangan 43 82.7 3 10.0 46 56.1

9 Ketersediaan listrik 52 100.0 29 96.7 81 98.8

10 Ketersediaan WC 50 96.2 28 93.3 78 95.1

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa penampungan sampah sementara

yang tetutup di Jakarta (30.8%) dan Bogor (6.7%) sangat sedikit. Keberadaan

tempat cuci tangan di wilayah Bogor (10.0%) juga masih sangat kurang.

Andarwulan et al (2008) menyatakan bahwa fasilitas sekolah yang memadai

diperlukan untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan di Indonesia. Kenyamanan

belajar dan keberhasilan proses belajar mengajar suatu sekolah sangat tergantung

dari peraturan sekolah yang diterapkan dan keberadaan fasilitas sekolah.

Sekolah yang berada di wilayah Jakarta umumnya memiliki fasilitas yang

lebih baik daripada Bogor. Hal ini mungkin karena wilayah Jakarta yang memiliki

sekolah dengan mutu (akreditasi) A lebih banyak dan Jakarta merupakan wilayah

metropolitan, sehingga akses untuk sarana dan prasarana yang tersedia lebih

memadai.

Karakteristik Contoh

Contoh dalam penelitian ini berjumlah 123 orang, yang terdiri dari 41 orang

(29)

PJAS yang berjualan di sekitar atau luar sekolah. Contoh tersebut berasal dari 82

SD dengan rincian 52 SD di Jakarta dan 30 SD di Bogor. Jumlah pengelola kantin di

Jakarta sebanyak 33 orang dan Bogor 8 orang, sedangkan penjaja PJAS di Jakarta

sebanyak 52 orang dan Bogor 30 orang.

Pendidikan Contoh

Tingkat pendidikan merupakan jenjang pendidikan formal yang telah

ditempuh oleh contoh. Pendidikan gizi merupakan salah satu upaya

penanggulangan masalah gizi. Dengan pendidikan gizi, diharapkan terjadi

perubahan perilaku ke arah yang lebih baik dalam hal mengkonsumsi makanan dan

status gizi. Perilaku konsumsi pangan berasal dari proses sosialisasi dalam sistem

keluarga melalui proses pendidikan maupun sebagai dampak penyebaran informasi

(Madanijah 2004). Tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan,

semakin tinggi tingkat pendidikan, maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan

yang layak akan semakin besar (Engelet al1994 diacu dalam Lusiana 2008).

Tingkat pendidikan contoh tersebar dari tidak sekolah hingga perguruan

tinggi. Secara umum, pendidikan pengelola kantin lebih baik daripada penjaja PJAS.

Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4, dimana sebagian besar pendidikan pengelola

kantin adalah SMA/sederajat (41.5%) sedangkan penjaja PJAS adalah SD/sederajat

(62.2%). Sebaran contoh berdasarkan pendidikan di Jakarta dan Bogor disajikan

pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan di Jakarta dan Bogor

Pendidikan

Pengelola kantin Penjaja PJAS

Jakarta Bogor Total Jakarta Bogor Total

n % n % n % n % n % n %

Tidak sekolah 1 3.0 0 0.0 1 2.4 0 0.0 0 0.0 0 0.0

SD/sederajat 6 18.2 0 0.0 6 14.6 35 67.3 16 53.3 51 62.2

SMP/sederajat 7 21.2 3 37.5 10 24.4 11 21.2 9 30.0 20 24.4 SMA/sederajat 14 42.4 2 25.0 17 41.5 5 9.6 5 16.7 10 12.2

Perguruan tinggi 5 15.2 3 37.5 7 17.1 1 1.9 0 0.0 1 1.2

Total 33 100.0 8 100.0 41 100.0 52 100.0 30 100.0 82 100.0

Jenis Kelamin Contoh

Secara umum, sebagian besar jenis kelamin pengelola kantin dan penjaja

PJAS adalah laki-laki. Laki-laki sebagai kepala rumah tangga atau orang yang

(30)

memiliki pekerjaan. Pada Tabel 5 dapat dilihat sebaran contoh berdasarkan jenis

kelamin di Jakarta dan Bogor

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin di Jakarta dan Bogor

Jenis kelamin

Pengelola kantin Penjaja PJAS

Jakarta Bogor Total Jakarta Bogor Total

n % n % n % n % n % n %

Laki-laki 22 66.7 5 62.5 27 65.9 43 82.7 26 86.7 69 84.1 Perempuan 11 33.3 3 37.5 14 34.1 9 17.3 4 13.3 13 15.9 Total 33 100.0 8 100.0 41 100.0 52 100.0 30 100.0 82 100.0

Sikap Kepala Sekolah

Sikap adalah suatu keadaan jiwa (mental) dan keadaan berfikir (neural) yang

disiapkan untuk memberikan tanggapan suatu objek yang diorganisasikan melalui

pengalaman serta mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung pada praktek

atau tindakan. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat tetapi hanya dapat

ditafsirkan dari tindakan tertutup. Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk

bertindak dan bukan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu

tindakan atau aktivitas tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku.

Menurut Notoatmodjo 2003, sikap merupakan reaksi atau respon terhadap

suatu stimulus atau menggambarkan suka atau tidaknya terhadap suatu objek dan

belum menunjukkan tindakan atau aktivitas. Sikap kepala sekolah tentang

keamanan pangan dinilai berdasarkan hasil jawaban 10 pertanyaan. Pada Tabel 6

dapat dilihat sebaran sikap kepala sekolah di Jakarta dan Bogor tentang keamanan

pangan.

Sikap kepala sekolah yang baik adalah kepala sekolah yang menjaga

kebersihan sekolah dengan baik, senantiasa melakukan pengawasan dan

pembinaan terhadap penjual, peduli akan kesehatan dan kebersihan, sering

memberikan nasehat perihal keamanan yang baik terhadap siswa, selalu

menginstruksikan kepada guru untuk memberikan bimbingan atau penyuluhan

kepada siswa tentang bahaya mengkonsumsi makanan yang tidak sehat, melakukan

pembinaan kepada para penjual serta adanya upaya untuk memperbaiki kantin

(31)

Tabel 6 Sebaran kepala sekolah berdasarkan sikap di Jakarta dan Bogor

Sikap Kepala Sekolah Jakarta Bogor Total Uji Beda

n % n % n %

Baik 6 11.5 8 26.7 14 17.1

P=0.215

Sedang 41 78.8 19 63.3 60 73.2

Kurang 5 9.6 3 10.0 8 9.8

Total 52 100.0 30 100.0 82 100.0

Rata-rata skor 70.1 75.8 72.7

Secara umum, sebagian besar kepala sekolah di wilayah Jakarta dan Bogor

memiliki sikap tentang keamanan pangan dengan kategori sedang. Jika dilihat dari

skor rata-rata, kepala sekolah yang memiliki sikap tentang keamanan pangan di

wilayah Bogor (75.8) lebih tinggi dari pada Jakarta (70.1). Berdasarkan hasil ujit-test

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan sikap kepala sekolah berdasarkan wilayah

(p=0.215).

Penerapan Kebijakan Keamanan Pangan

Peraturan sekolah harus disosialisasikan kepada penjaja makanan yaitu

pada pengelola kantin dan penjaja PJAS dan kemudian harus dipatuhi. Menurut

Notoatmodjo (2003), dengan adanya peraturan-peraturan yang harus dipatuhi maka

akan dapat membantu dalam perubahan perilaku seseorang. Penerapan kebijakan

keamanan pangan di SD dinilai berdasarkan hasil jawaban enam pertanyaan.

Pertanyaan tentang kebijakan keamanan mencakup tentang peraturan tentang

pengelola kantin dan penjaja PJAS, bentuk sanksi yang diberikan kepada pengelola

kantin dan penjaja PJAS jika mereka melanggar peraturan, pengawasan serta

pembinaan/penyuluhan.

Pada Tabel 7 dapat dilihat sebaran sekolah berdasarkan penerapan

kebijakan keamanan pangan sekolah. Pada umumnya, sebagian besar sekolah

memiliki penerapan kebijakan keamanan pangan dengan kategori baik yaitu sebesar

50.0%. Jika dilihat dari skor rata-rata penerapan kebijakan keamanan sekolah,

wilayah Bogor (80.0) lebih tinggi daripada Jakarta (77.4). Hal ini sejalan dengan

sikap kepala sekolah, dimana skor sikap kepala sekolah tentang keamanan pangan

yang tinggi, juga diikuti dengan penerapan kebijakan keamanan pangan di sekolah

juga cenderung tinggi. Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak ada perbedaan

(32)

Tabel 7 Sebaran sekolah berdasarkan penerapan kebijakan keamanan pangan di Jakarta dan Bogor

Penerapan kebijakan keamanan pangan

Jakarta Bogor Total Uji Beda

n % n % n %

Baik 26 53.8 13 43.3 41 50.0

Sedang 9 17.3 12 40.0 21 25.6 p=0.931

Kurang 15 28.8 5 16.7 20 24.4

Total 52 100.0 30 100.0 82 100.0

Rata-rata skor 77.4 80.0 78.4

Sebaran sekolah berdasarkan penerapan kebijakan keamanan pangan di

Jakarta dan Bogor dapat dilihat pada Tabel 8. Secara umum, sebagian besar

sekolah yang dijadikan contoh penelitian telah memiliki peraturan mengenai penjaja

makanan. Berdasarkan hasil jawaban dari pihak sekolah, peraturan lebih banyak

dikeluarkan oleh pihak sekolah itu sendiri (97.6%) dan sebagian lainnya dikeluarkan

oleh pihak Sudin Kecamatan (12.2%), Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota (9.6%),

Dinas Pendidikan Provinsi (6.1%), Depdiknas Pusat (2.4%) dan lainnya (1.2%). Hal

ini sejalan dengan hasil penelitian PJAS dalam skala nasional oleh SEAFAST

Center, LPPM IPB (2008) dimana peraturan sekolah dikeluarkan oleh berbagai

sektor antara lain kepala sekolah (95.0%), Dinas Pusat (1.7%), Dinas Provinsi

(1.7%), Dinas Kabupaten/Kota (8.5%), dan Sudin Kecamatan (7.4%). Umumnya

pihak sekolah memberikan sanksi jika melanggar peraturan yaitu tidak diizinkan lagi

berjualan di sekitar sekolah (64.6%) dan tidak boleh berjualan pada selang waktu

tertentu (26.8%). Namun, sebanyak 8.5% sekolah tidak memberikan sanksi apapun

kepada penjaja makanan jika melanggar peraturan.

Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa sebagian besar sekolah telah menerapkan

pengawasan pada pengelola kantin dan penjaja PJAS, yang dilakukan oleh guru

UKS (41.5%), guru piket (39.0%), petugas kantin (12.2%) dan lainnya (2.4%).

Berdasarkan wilayah, pengawasan di Jakarta sebagian besar dilakukan oleh guru

UKS (50.0%) dan di Bogor dilakukan oleh guru piket (53.3%). Sebaiknya yang

dijadikan sebagai tim pengawas adalah orang yang memiliki pengetahuan gizi dan

keamanan pangan, mengetahui cara pengolahan pangan yang baik, sanitasi dan

higiene. Lebih baik lagi jika pengelola kantin dan penjaja PJAS pernah mengikuti

(33)

Tabel 8 Sebaran sekolah berdasarkan penerapan kebijakan keamanan pangan di

1 Adanya peraturan/tata tertib yang diberlakukan oleh sekolah

Ada 39 75.0 21 70.0 60 73.2

Tidak 13 25.0 9 30.0 22 26.8

2 Yang mengeluarkan peraturan

Sekolah 51 98.1 29 96.7 80 97.6

Sudin Kecamatan 7 13.5 3 10.0 10 12.2

Dinas Pendidikan Kab/kota 5 9.6 3 10.0 8 9.6

Dinas Pendidikan Provinsi 4 7.7 1 3.3 5 6.1

Depdiknas Pusat 1 1.9 1 3.3 2 2.4

Lainnya 0 0.0 1 3.3 1 1.2

3 Yang diatur dalam peraturan keamanan pangan

Kantin sekolah 38 73.0 13 43.3 51 62.2

Penjaja makanan di sekitar sekolah 34 65.4 24 80.0 58 70.7

Siswa 36 69.2 21 70.0 57 69.5

Orangtua siswa 20 38.5 9 30.0 20 24.4

Guru 22 42.3 12 40.0 34 41.5

Penggunaan fasilitas untuk penjaja kantin dan penjaja PJAS

24 46.2 11 36.7 35 42.7

Lainnya 1 1.9 2 6.7 3 3.6

4 Bentuk sanksi yang diberikan jika melanggar peraturan

Tidak boleh berjualan pada selang waktu tertentu

16 30.8 6 20.0 22 26.8

Tidak diizinkan lagi berjualan 30 57.7 23 76.7 53 64.6

Tidak ada sanksi 6 11.5 1 3.3 7 8.5

5 Yang mengawasi penjaja di sekolah

Guru UKS 26 50.0 8 30.0 34 41.5

Guru piket 16 30.8 16 53.3 32 39.0

Petugas kantin 9 17.3 1 3.3 10 12.2

Lainnya 0 0.0 2 6.7 2 2.4

Tidak ada 9 17.3 4 13.3 13 15.9

6 Pembinaan/penyuluhan

Pernah 32 61.5 20 66.7 52 63.4

Tidak pernah 20 38.5 10 33.3 30 36.6

Penerapan kebijakan yang dilakukan oleh pihak sekolah dalam hal

pembinaan/penyuluhan kepada pihak penjaja makanan pada umumnya sudah

dilaksanakan yaitu sebanyak 61.5%% di Jakarta dan 66.7% di Bogor.

Pembinaan/penyuluhan keamanan pangan dilakukan dengan tujuan untuk

meningkatkan atau mengubah perilaku penjaja PJAS dan pengelola kantin yang

(34)

pembinaan/penyuluhan tersebut, pengetahuan dan praktek gizi dan keamanan

dapat menjadi lebih baik.

Perilaku Pengelola Kantin dan Penjaja PJAS Pengetahuan Pengelola Kantin dan Penjaja PJAS

Pengetahuan gizi dan keamanan pangan adalah aspek kognitif yang

menunjukkan pemahaman contoh tentang gizi dan keamanan pangan. Tingkat

pengetahuan gizi dan keamanan pangan seseorang berpengaruh terhadap praktek

dan pemilihan pangan, pengolahan dan penyimpanan pangan (Andarwulan et al

2008). Pengetahuan gizi dan keamanan pangan pada pengelola kantin dan penjaja

PJAS dinilai berdasarkan hasil jawaban 14 pertanyaan. Pengetahuan gizi dan

keamanan pangan dikategorikan menjadi tiga yaitu baik, sedang dan kurang.

Sebaran contoh berdasarkan jawaban yang benar dari pertanyaan tentang

pengetahuan gizi dan keamanan pangan disajikan pada Lampiran 1.

Pada Lampiran 1 dapat dilihat contoh pertanyaan mengenai 4 sehat 5

sempurna, akibat mengkonsumsi pangan jajanan yang tidak sehat dan bersih,

kebiasaan mencuci tangan yang baik dan es sirup yang terasa manis, namun agak

pahit jika ditelan, sebagian besar mampu dijawab oleh pengelola kantin dan penjaja

PJAS. Namun pertanyaan mengenai definisi jajanan dan pangan jajanan yang

menyebabkan sakit, kurang mampu dijawab oleh pengelola kantin dan penjaja

PJAS. Hal ini berarti masih kurangnya pengetahuan contoh tentang gizi dan

keamanan pangan. Oleh karena itu, diharapkan kepada pihak sekolah dan

pihak-pihak terkait untuk dapat memberikan pembinaan atau penyuluhan yang rutin

terhadap pengelola kantin dan penjaja PJAS tentang gizi khususnya tentang

keamanan pangan.

Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan gizi merupakan pengetahuan

tentang peranan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan yang aman untuk

dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara mengolah makanan yang

baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta bagaimana cara hidup sehat.

Tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan contoh berpengaruh terhadap

praktek dalam pemilihan pangan yang dijual, dengan pengetahuan gizi dan

(35)

aman dan bergizi. Sebaran contoh berdasarkan pengetahuan di Jakarta dan Bogor

dapat dilihat pada Tabel 9

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan pengetahuan di Jakarta dan Bogor

Kategori Pengetahuan

Pengelola kantin Penjaja PJAS

Jakarta Bogor Total Uji beda Jakarta Bogor Total Uji beda

n % n % n % n % n % n %

Baik 6 18.2 1 12.5 7 17.1

p=0.841

5 9.6 3 10.0 8 9.8

p=0.993 Sedang 15 45.5 5 62.5 20 48.8 23 44.2 13 43.3 36 43.9

Kurang 12 36.4 2 25.0 14 34.1 24 46.2 14 46.7 38 46.3 Total 33 100.0 8 100.0 41 100.0 52 100.0 30 100.0 82 100.0 Rata-rata skor 66.2 66.9 66.4 62.1 60.5 61.5

Secara umum, pengetahuan pengelola kantin lebih baik daripada penjaja

PJAS. Hal ini dapat dilihat dari total pengetahuan pengelola kantin yang berkategori

baik sebanyak 17.1% sedangkan penjaja PJAS hanya 9.8% dan rata-rata skor

pengetahuan pengelola kantin (66.4) dan penjaja PJAS (61.5). Sedangkan

berdasarkan wilayah, pengelola kantin di Jakarta maupun di Bogor memiliki

pengetahuan dengan kategori sedang, dan pada penjaja PJAS di Jakarta dan Bogor

memiliki pengetahuan dengan kategori kurang. Hal ini sejalan dengan pendapat

Tjitarsa (1992) yang mengatakan bahwa rendahnya pendidikan berakibat pada

rendahnya pengetahuan dan menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya masalah

kesehatan. Oleh karena itu, pihak sekolah maupun pihak-pihak terkait seperti Dinas

Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan maupun Balai POM setempat

dapat memberikan pembinaan atau penyuluhan kepada penjaja PJAS mengenai gizi

dan keamanan pangan.

Berdasarkan hasil uji t-test, tidak ada perbedaan pengetahuan pengelola

kantin dan penjaja PJAS berdasarkan wilayah (p≥0.05) dan tidak terdapat

perbedaan pengetahuan antara pengelola kantin dan penjaja PJAS (p≥0.05).

Persepsi Pengelola Kantin dan Penjaja PJAS

Persepsi contoh dinilai berdasarkan hasil jawaban tiga pertanyaan. Sebaran

(36)

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan persepsi yang baik

3 Menjaga kebersihan 33 100.0 8 100.0 41 100.0 52 100.0 29 96.7 81 98.8

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa secara umum, sebagian besar

pengelola kantin dan penjaja PJAS memiliki persepsi bahwa telah menjual makanan

yang bergizi, pangan yang dijual aman dan tidak menyebabkan sakit serta telah

menjaga kebersihan di sekitar lingkungan penjualan.

Praktek Keamanan Pangan Pengelola Kantin dan Penjaja PJAS

Praktek atau tindakan merupakan respon yang timbul akibat dari rangsangan

atau objek yang telah diketahui atau disadari sepenuhnya. Praktek atau tindakan

nyata seseorang merupakan suatu bentuk aktif dari perilaku (Notoatmodjo 2007).

Praktek keamanan pangan pada pengelola kantin dan penjaja PJAS terdiri

dari higiene penjual atau penyaji, penanganan dan penyimpanan makanan dan

minuman, sarana dan prasarana serta pengendalian hama, sanitasi tempat dan

peralatan. Praktek keamanan pangan dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu baik,

sedang dan kurang. Sebaran contoh berdasarkan praktek keamanan pangan di

Jakarta dan Bogor disajikan pada Tabel 11.

Secara umum, keseluruhan praktek pengelola kantin lebih baik daripada

penjaja PJAS. Hal ini dapat dilihat dari praktek keamanan pengelola kantin yang

berkategori baik sebanyak 9.8% sedangkan penjaja PJAS hanya 1.2% dan rata-rata

skor praktek keamanan pangan pada pengelola kantin sebesar 62.7 sedangkan

penjaja PJAS hanya 49.2

Secara umum, sebagian besar pengelola kantin dan penjaja PJAS memiliki

higiene dengan kategori kurang dan penanganan serta penyimpanan makanan dan

minuman dengan kategori sedang. Namun pada aspek sarana dan prasarana serta

pada pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan, pengelola kantin lebih baik

(37)

Sebaran contoh berdasarkan praktek higiene serta penanganan dan

penyimpanan makanan dan minuman yang benar disajikan pada Lampiran 2,

sedangkan sebaran contoh berdasarkan praktek sarana dan prasarana serta

pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan disajikan pada Lampiran 3. Hasil

ujit-test menunjukkan bahwa pada pengelola kantin tidak terdapat perbedaan pada

praktek keamanan yaitu higiene, sarana dan prasarana serta penanganan dan

penyimpanan makanan dan minuman (p≥0.05) kecuali pada pengendalian hama,

sanitasi tempat dan peralatan (p=0.011). Hasil uji t-test pada penjaja PJAS

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada praktek keamanan pangan yaitu

pada higiene, penanganan dan penyimpanan makanan dan miinuman, sarana dan

prasarana serta pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan (p≥0.05).

Berdasarkan Lampiran 2, dapat dilihat bahwa pada praktek higiene pengelola

kantin dan penjaja PJAS masih banyak yang memegang uang selama pengolahan

pangan. Pengelola kantin dan penjaja PJAS juga sangat kurang dalam hal mencuci

tangan sebelum dan sesudah melayani pembeli. Namun lebih dari 90% pengelola

kantin dan penjaja PJAS tidak menggaruk-garuk badan, bersin ataupun batuk

selama melayani pembeli. Pada praktek penanganan dan penyimpanan makanan

dan minuman, masih banyak pengelola kantin dan penjaja PJAS yang tidak selalu

menutup makanan/minuman yang dijual serta penggunaan bahan tambahan kimia

atau alami yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun, lebih dari 90%

pengelola kantin dan penjaja PJAS tidak terdapat bahan-bahan beracun di area

penjualannya.

Lampiran 3 menunjukkan bahwa pada praktek sarana dan prasarana masih

banyak yang kurang dalam hal tempat cuci tangan, lap tangan, lap peralatan, tempat

sampah dan tempat pencucian peralatan dengan suplai air yang mengalir. Hal

tersebut dapat menjelaskan tentang rendahnya praktek pengelola kantin dan penjaja

PJAS dalam hal mencuci tangan sebelum dan sesudah melayani pembeli. Menurut

Notoatmodjo (2007) sarana dan fasilitas merupakan faktor pemungkinan

terbentuknya atau berubahnya perilaku seseorang. Pada praktek pengendalian

hama, sanitasi tempat dan peralatan, masih banyak pengelola kantin dan penjaja

PJAS yang tidak membuang sampah secara teratur, pencucian peralatan tidak

(38)

Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan praktek keamanan pangan di Jakarta dan

Total 33 100.0 8 100.0 41 100.0 52 100 30 100.0 82 100.0

Rata-rata 57.8 65.6 59.4 57.0 51.6 55.0

Uji beda p=0.441 p=0.166

Penanganan dan penyimpanan makanan dan minuman

Baik 11 33.3 5 50.0 16 39.0 7 13.5 3 10.0 10 12.2

Sedang 15 45.5 3 37.5 18 43.9 30 57.7 21 70.0 51 62.2

Kurang 7 21.2 0 0.0 7 17.1 15 28.8 6 20.0 21 25.6

Total 33 100.0 8 100.0 41 100.0 52 100.0 30 100.0 82 100.0

Rata-rata 69.6 84.6 72.5 62.7 67.1 64.3

Uji beda p=0.078 p=0.700

Sarana dan prasarana

Baik 14 42.4 4 50.0 18 43.9 8 15.4 0 0.0 8 9.8

Sedang 5 15.2 3 37.5 8 19.5 3 5.8 5 16.7 8 9.8

Kurang 14 42.4 1 12.5 15 36.6 41 78.8 25 83.3 66 80.5

Total 33 100.0 8 100.0 41 100.0 52 100.0 30 100.0 82 100.0

Rata-rata 60.5 75.0 63.4 40.7 30.7 37.0

Uji beda p=0.299 p=0.176

Pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan

Baik 1 3.0 2 25.0 3 7.3 1 1.9 1 3.3 2 2.4

Sedang 15 45.5 5 62.5 20 48.8 7 13.5 5 16.7 12 14.6

Kurang 17 51.5 1 12.5 18 43.9 44 84.6 24 80.0 68 82.9

Total 33 100.0 8 100.0 41 100.0 52 100.0 30 100.0 82 100.0

Rata-rata 54.3 76.9 58.7 43.5 44.4 43.8

Uji beda p=0.011 p=0.568

Total praktek

Baik 2 6.1 2 25.0 4 9.8 1 1.9 0 0.0 1 1.2

Sedang 20 60.6 6 75.0 26 63.4 10 19.2 4 13.3 14 17.1

Kurang 11 33.3 0 0.0 11 26.8 41 78.8 26 86.7 67 81.7

Total 33 100.0 8 100.0 41 100.0 52 100.0 30 100.0 82 100.0

Rata-rata 59.6 75.3 62.7 49.2 49.1 49.2

Uji beda p=0.22 p=0.324

Hubungan Antar Variabel

Hubungan antar variabel dianalisis untuk mengetahui adanya hubungan

antara karakteristik contoh (jenis kelamin dan pendidikan), karakteristik sekolah

(status sekolah, mutu sekolah serta sarana dan prasarana), sikap kepala sekolah,

serta penerapan kebijakan keamanan pangan terhadap perilaku (pengetahuan dan

(39)

Hubungan antara Karakteristik Contoh dengan Perilaku Keamanan Pangan Pengelola kantin

Hubungan antara karakteristik contoh dengan pengetahuan dan praktek

keamanan kantin disajikan pada Tabel 12 dan 13.

Tabel 12 Hubungan pendidikan dengan pengetahuan dan praktek keamanan pangan pengelola kantin

Variabel

Pendidikan pengelola kantin

Tidak tamat SD SMP SMA PT Total

n % n % n % n % n % n %

Pengetahuan pengelola kantin

Baik 0 0.0 1 16.7 0 0.0 4 25.0 2 25.0 7 17.1

Sedang 0 0.0 3 50.0 4 40.0 9 56.3 4 50.0 20 48.8

kurang 1 100.0 2 33.3 6 60.0 3 18.8 2 25.0 14 34.1

Total 1 100.0 6 100.0 10 100.0 16 100.0 8 100.0 41 100.0

p=0.421 r=0.278

Praktek keamanan pangan pengelola kantin

Baik 0 0.0 1 16.7 1 10.0 0 0.0 2 25.0 4 9.8

sedang 1 100.0 3 50.0 6 60.0 11 68.7 5 62.5 26 63.4

kurang 0 0.0 2 33.3 3 30.0 5 31.3 1 12.5 11 26.8

Total 1 100.0 6 100.0 10 100.0 16 100.0 8 100.0 41 100.0 p=0.707 r=0.550

Pada Tabel 12, dapat dilihat bahwa hasil uji chi square, tidak terdapat

hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan pengetahuan (p=0.421),

maupun praktek keamanan pangan (p=0.707) pada pengelola kantin. Namun jika

dilihat pada Tabel 12, terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi pendidikan

maka semakin baik pengetahuan dan praktek keamanan pangannya. Hal tersebut

dilihat pada pengetahuan dan praktek keamanan pangan yang berkategori kurang

sangat sedikit ditemukan pada pengelola kantin yang berpendidikan formal

perguruan tinggi. Hal tersebut didukung oleh pendapat Notoatmodjo (2003) bahwa

tingkat pendidikan dapat mempengaruhi seseorang untuk berperilaku yang lebih

(40)

Tabel 13 Hubungan jenis kelamin dengan pengetahuan dan praktek pangan

Total 27 100.0 14 100.0 41 100.0

Praktek keamanan pangan pengelola kantin

Baik 2 7.4 2 14.3 4 9.8

p=0.385 r=0.364

Sedang 16 59.3 10 71.4 26 63.4

Kurang 9 33.3 2 14.3 11 26.8

Total 27 100.0 14 100.0 41 100.0

Pada Tabel 13, dapat dilihat bahwa berdasarkan ujichi square, tidak terdapat

hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan pengetahuan (p=0.697)

maupun dengan praktek keamanan pangan (p=0.385). Hal ini diduga ada faktor lain

yang lebih mempengaruhi dan mempunyai peranan yang sangat penting seperti

pikiran, keyakinan dan emosi dalam menentukan sikap dan tindakan atau praktek

seseorang. Respon dan praktek individu dipengaruhi oleh faktor internal yaitu

karakteristik individu yang bersifat genetik (tingkat kecerdasan, tingkat emosional

dan sebagainya) dan faktor eksternal (lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan

sebagainya) (Notoatmodjo 2003).

Penjaja PJAS

Hubungan antara karakteristik contoh dengan pengetahuan dan praktek

keamanan pada penjaja PJAS pangan disajikan pada Tabel 14 dan 15.

Tabel 14 Hubungan pendidikan dengan pengetahuan dan praktek keamanan pangan penjaja PJAS

Total 51 100.0 20 100.0 10 100.0 1 100.0 82 100.0 Praktek keamanan pangan penjaja PJAS

Gambar

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin di Jakarta dan Bogor
Tabel 6 Sebaran kepala sekolah berdasarkan sikap di Jakarta dan Bogor
Tabel 8 Sebaran sekolah berdasarkan penerapan kebijakan keamanan pangan diJakarta dan Bogor
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan praktek keamanan pangan di Jakarta danBogor
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian tersebut di atas yang telah dibuktikan selama pelaksanaan KKN- PPM selama 5 minggu yang bertempat di desabesan, kecamatandawan, kabupatenklungkung,

Pengujian hipotesis menggunakan uji t menunujkan bahwa variabel harga, kualitas produk, dan promosi terbukti secara signifikan berpengaruh terhadap keputusan pembelian. Kata Kunci

DANIEL 8:9 Maka dari salah satu tanduk itu muncul suatu tanduk kecil, yang menjadi sangat besar ke arah selatan, ke arah timur dan ke arah Tanah Permai.. Pdt Gerry

Motivasi ibu hamil untuk mengikuti kelas Ibu Hamil di Wilayah Puskesmas 2 Mandiraja Kabupaten Banjarnegara sebagian besar mempunyai motivasi baik yaitu sebanyak 32

Penelitian ini dilaksanakan pada pokok bahasan materi tolak peluru (gaya ortodok) di kelas XI SMA Laboratorium Undiksha Singaraja, sehingga untuk memperoleh

Hal ini terjadi karena diameter lubang exhaust yang digunakan adalah yang paling kecil yaitu sebesar 18 mm dengan tingkat penutupan lubang sebesar 55% dari kondisi

Wawancara merupakan suatu bentuk komunikasi semacam tanya jawab secara langsung antara penyelidik dengan subjek berupa percakapan yang bertujuan untuk memperoleh informasi

Suatu polimer adalah rantai berul berulang ang dari dari atom atom yang panjang, terbentuk dari yang panjang, terbentuk dari   pengikat yang berupa molekul identik