• Tidak ada hasil yang ditemukan

Periode pertengahan masa kanak-kanak, yaitu anak usia sekolah (6-12 tahun) merupakan periode yang penting dalam kehidupan anak-anak. Walaupun pertumbuhan fisik anak-anak pada usia sekolah relatif lambat, tetapi terdapat perubahan yang mencengangkan dalam hal intelektualnya dan dalam hal membina hubungan dengan orang lain (Harris & Liebert 1991).

Jika dibandingkan dengan periode awal masa kanak-kanak, pertumbuhan fisik berjalan dengan lambat. Walaupun kemampuan motoriknya terus meningkat, perubahannya tidak sedramatis perubahan selama enam tahun pertama kehidupan. Hal ini dikarenakan tingkat perubahan dari hari ke hari anak-anak usia sekolah tidak terlihat begitu nyata (Papalia & Olds 1986).

Kelompok anak sekolah pada umumnya mempunyai kondisi gizi yang lebih baik daripada kelompok balita, karena kelompok umur sekolah sudah mudah dijangkau oleh berbagai upaya perbaikan gizi yang dilakukan oleh pemerintah melalui Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) maupun oleh kelompok swasta berupa program suplementasi makanan tambahan di sekolah atau program makan siang sekolah (School Lunch Program). Kelompok anak sekolah merupakan kelompok yang mudah menerima upaya pendidikan gizi melalui sekolahnya (Sediaoetama 2008).

Gizi yang diperoleh seorang anak melalui konsumsi makanan setiap hari berperan besar untuk kehidupan anak tersebut. Untuk dapat memenuhi dengan baik dan cukup, ada beberapa masalah yang berkaitan dengan konsumsi zat gizi untuk anak. Masalah gizi masyarakat mencakup berbagai defisiensi zat gizi. Seorang anak juga dapat mengalami defisiensi zat gizi tersebut yang berakibat pada berbagai aspek fisik maupun mental. Masalah ini dapat ditanggulangi secara cepat, jangka pendek dan jangka panjang serta dapat dicegah oleh masyarakat sendiri sesuai dengan klasifikasi dampak defisiensi zat gizi antara lain melalui pengaturan makan yang benar (Santoso 2004).

Sikap

Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk bertingkah laku dalam menghadapi suatu rangsangan. Sikap ini bisa terjadi terhadap benda, situasi, orang,

kelompok, nilai-nilai dan semua hal yang terdapat disekitar manusia (Muljono 2000 dalam Fitriyanti 2009). Sikap merupakan suatu kuadran jiwa (mental) dan keadaan pikiran atau daya nalar yang disiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap sesuatu hal, sehingga secara langsung dapat mempengaruhi perilaku, begitu juga halnya dengan sikap terhadap makanan (Engelet al. 1994).

Sikap manusia terhadap makanan banyak dipengaruhi oleh pengalaman- pengalaman dan respon-respon yang diperlihatkan oleh orang lain terhadap makanan. Pengalaman yang diperoleh ada yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, sehingga setiap individu dapat mempunyai sikap suka atau tidak suka terhadap makanan (Suhardjo 2003).

Kebijakan Keamanan Pangan

Di Indonesia, secara formal nilai strategis dari mutu, gizi, dan keamanan pangan ini telah menjadi perhatian pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan diberlakukannya undang-undang tentang pangan yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1996. Kondisi mutu, gizi dan keamanan pangan yang ada masih kurang memadai bahkan sering membahayakan, hal ini disebabkan 1) Infrastruktur yang belum mantap, 2) Tingkat pendidikan produsen, 3) Sumber dana yang terbatas, dan 4) Produksi makanan masih didominasi oleh industri kecil dan menengah. Namun demikian, harus diakui bahwa akar masalah utamanya adalah arti strategis mutu, gizi dan keamanan pangan ini belum sepenuhnya disadari oleh pembuat dan pelaksana kebijakan.

Perlu disadari oleh pembuat kebijakan bahwa isu mutu, gizi dan keamanan pangan di suatu negara merupakan isu daya saing yang sangat strategis. Secara mendasar, upaya jaminan mutu, gizi dan kondisi keamanan pangan berarti pula menjamin pemenuhan hak-hak masyarakat. Disamping itu, peningkatan status dan kondisi mutu, gizi dan keamanan pangan suatu negara akan menyebabkan peningkatan status kesehatan masyarakat, dan pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas individu.

Peraturan makanan jajanan di sekolah pada umumnya diatur dalam kebijakan yang dibuat oleh pihak sekolah. Kepala sekolah adalah pejabat berwenang tertinggi dalam penentuan kebijakan di setiap sekolah. Keamanan pangan di sekolah, termasuk keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS), juga

menjadi lingkup yang seharusnya juga menjadi tanggung jawab pihak sekolah dengan kepala sekolah sebagai pimpinan pengawasan PJAS di lingkungan sekolah (Andarwulanet al. 2009).

Selanjutnya, Andarwulan et al (2009) menyatakan bahwa berdasarkan penelitian BPOM 2009 dalam skala nasional, pada umumnya setiap sekolah memiliki peraturan tentang PJAS. Sebanyak 55.0 % sekolah yang disurvei telah memiliki peraturan tentang PJAS. Peraturan tersebut sebagian besar (95.0%) dikeluarkan oleh pihak sekolah meskipun ada juga yang dikeluarkan oleh Dinas Kecamatan maupun Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota/Pusat. Peraturan tersebut sebagian besar (68.7%) mengatur tentang siswa kemudian mengatur tentang penjaja PJAS (65.7%) dan mengatur tentang kantin sekolah (57.0%).

Pengawasan pangan merupakan faktor penting untuk meningkatkan keamanan dan mutu pangan. Program pengawasan pangan di indonesia belum dapat dilaksanakan secara optimum dengan adanya berbagai hambatan diantaranya belum mantapnya kelembagaan dan koordinasi pengawasan pangan, peraturan dan pedoman yang masih belum lengkap, jumlah dan kualitas SDM yang terbatas. Keterbatasan dalam jumlah tenaga pengawasan pangan dan dana pengawasan mengakibatkan rendahnya jumlah sarana produksi pangan yang mendapat pengawasan (Yusuf 2004).

Untuk mengatasi masalah keamanan PJAS, peran pemerintah untuk mengawasi penjualan makanan jajanan di sekolah sangat diperlukan. Misalnya dalam memberikan penyuluhan kepada penjual makanan jajanan, melatih penjaja agar membuat pangan jajanan yang aman, melarang penjualan pangan jajanan yang mengandung bahan tambahan pangan yang berbahaya dan lain sebagainya. Peran sekolah, yaitu kepala sekolah dan guru juga dapat membantu mengatasi masalah ini dengan cara mengatur makanan yang diperbolehkan untuk dijual di sekitar lingkungan sekolah (Muhilal dan Damayanti 2006).

Kantin dan Penjaja PJAS

Kantin atau warung sekolah merupakan salah satu tempat jajan anak sekolah selain penjaja makanan jajanan di luar sekolah. Kantin sekolah mempunyai peranan yang penting dalam mewujudkan pesan-pesan kesehatan dan dapat menentukan perilaku makan siswa sehari-hari melalui penyediaan makanan jajanan

sekolah. Kantin sekolah dapat menyediakan makanan sebagai pengganti makan pagi dan makan siang di rumah serta camilan dan minuman sehat.

Mengingat pentingnya asupan makanan pada saat jam sekolah, maka anak perlu mengkonsumsi makanan jajanan. Makanan jajanan ini dapat diperoleh dengan dibeli di lingkungan sekolah baik pada penjaja di sekitar sekolah maupun di kantin sekolah. Hasil beberapa studi menujukkan bahwa anak sekolah di perkotaan lebih sering membeli makanan jajanan di kantin sekolah. Sedangkan di pedesaan, anak- anak lebih sering membeli makanan/minuman pada penjaja. Adapun tujuan dari kantin sekolah adalah untuk memenuhi keperluan murid dengan menyediakan makanan yang enak, bergizi, terjamin kebersihannya dengan harga yang terjangkau. Beberapa manfaat yang diperoleh dari adanya kantin sekolah adalah :

a. meningkatkan kesehatan murid dengan menyediakan makanan yang bernilai gizi tinggi dan terjamin kebersihannya. Makanan jajanan di sekolah sangat potensial di dalam memberikan kontribusi gizi. Kantin berada di bawah pengelolaan guru atau orang tua murid, maka dalam menentukan makanan yang disajikan dapat lebih leluasa memilih makanan yang berasal dari sumber bahan makanan yang bernilai gizi tinggi. Selain itu, kebersihan lebih mudah diawasi baik terhadap peralatan yang dipakai, air yang digunakan dan makanan yang disajikan.

b. Dapat digunakan sebagai sarana penyuluhan dan pendidikan gizi. Penyuluhan dan pendidikan gizi dapat dilakukan berbagai cara seperti lewat penyajian poster yang ditempel di dinding kantin, dengan gambar-gambar sumber makanan yang bernilai gizi tinggi, atau kalimat yang berisi pesan-pesan gizi yang sederhana dan mudah dimengerti oleh murid.

Adapun hal yang perlu diperhatikan di dalam kantin adalah pengelola kantin, dimana pengelola kantin perlu mempunyai pengetahuan mengenai gizi dan kesehatan (Nuraida 2008).

Penjaja PJAS mempunyai potensi yang menentukan perilaku makan siswa sehari-hari melalui penyediaan makanan jajanan di sekolah. Kantin sekolah mempunyai peranan penting dalam mendorong pesan-pesan kesehatan dari kelas dan rumah. Ada kantin yang menyediakan makanan yang sehat dan bergizi. Namun banyak juga kantin yang belum menyediakan makanan yang bergizi. Kepala sekolah dan guru belum maksimal dalam mengarahkan kantin sekolah yang menyediakan

makanan yang sehat, bergizi dan aman bagi kesehatan (Muhilal dan Damayanti 2006).

Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan

Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, dimana sebagian besar dari pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui indera mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domein yang sangat penting bagi terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmodjo 1993). Pengetahuan merupakan kesan dalam fikiran manusia sebagai hasil panca indera. Pengetahuan diperoleh oleh seseorang melalui pendidikan formal dan informal. Tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan mengenai objek tertentu.

Pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah atau buruk. Pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal. Selain itu, juga dapat diperoleh dengan melihat, mendengar sendiri atau melalui alat- alat komunikasi, selain membaca surat kabar dan majalah, mendengar siaran radio dan menyaksikan siaran televisi ataupun melalui penyuluhan kesehatan/gizi (Suhardjo 1996).

Pengetahuan yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah. Pengetahuan gizi dapat diperoleh dari pendidikan formal maupun pendidikan informal. Selain itu, melalui media komunikasi seperti televisi, majalah, koran, radio atau melalui penyuluhan kesehatan, masyarakat dapat memperoleh pengetahuan. Keterbatasan informasi dan tingkat pengetahuan gizi seseorang dapat menyebabkan tujuan akhir dalam membeli dan mengkonsumsi pangan berubah menjadi asal kenyang (Suharjo 1989)

Hasil penelitian Rika (2009) yang dilakukan di Kota dan Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa secara umum penjaja PJAS memiliki pengetahuan keamanan pangan berkategori sedang sebesar 40.4% dan sebagian kecil memiliki pengetahuan keamanan baik sebesar 27.7%. Selanjutnya pengetahuan keamanan

pangan berdasarkan wilayah memiliki perolehan skor rata rata di kota (62.3) lebih rendah daripada di Kabupaten (78.2), sekitar 50% penjaja PJAS di kota memiliki pengetahuan dengan kategori kurang dan di kabupaten dengan kategori sedang.

Persepsi

Persepsi dapat dinyatakan sebagai proses menafsirkan sensasi-sensasi dan memberikan arti kepada stimuli. Persepsi merupakan penafsiran realitas dan masing-masing orang memiliki persepsi yang berbeda dalam memandang realitas (Winardi 1991). Persepsi menurut Ely (1972), diacu dalam Pranadji (1988) adalah proses yang berhubungan dengan penggunaan indera untuk memperoleh petunjuk yang membimbing kegiatan motorik. Petunjuk ini dimulai dari kesadaran terhadap adanya stimulus sampai memilih tugas yang relevan untuk menerjemahkan persepsi tersebut ke dalam kegiatan dalam suatu kegiatan.

Menurut Stanton, diacu dalam Setiadi (2003) persepsi dapat didefinisikan sebagai makna yang kita pertalikan berdasarkan pengalaman masa lalu dan stimuli yang kita terima melalui panca indera. Pengenalan terhadap suatu objek, gerakan, intensitas, dan aroma adalah petunjuk yang mempengaruhi persepsi. Persepsi merupakan proses yang terjadi karena adanya sensasi. Sensasi merupakan aktivitas merasakan atau penyebab keadaan yang menggembirakan. Persepsi manusia dapat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu karakteristik dari stimuli, hubungan stimuli dengan sekelilingnya dan kondisi-kondisi di dalam diri manusia itu sendiri

Praktek Keamanan Pangan

Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Pangan yang aman serta bermutu dan bergizi sangat penting peranannya bagi pertumbuhan, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan kecerdasan masyarakat. Sistem pangan yang ada saat ini meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan peraturan, pembinaan atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi makanan dan peredarannya sampai siap dikonsumsi manusia. Setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan produksi pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundangan-undangan yang berlaku. Keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat menggangu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia (Undang-undang RI no.7 tentang Pangan Tahun 1996).

Keamanan pangan merupakan suatu faktor yang penting disamping mutu fisik, gizi dan cita rasa. Menurut Fardiaz (1994), makanan siap santap dianggap mempunyai mutu yang baik jika dapat memuaskan konsumen dalam hal rasa, penampakan dan keamanannya. Kandungan dan komposisi gizi seringkali tidak menjadi faktor penentu pemilihan jenis makanan kecuali bagi konsumen yang sangat memperhatikan bagi kesehatan dan berat badan.

Food safety (Keamanan pangan) akhir-akhir ini telah menjadi isu nasional dan internasional. Semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan ekonomi masyarakat, semakin tinggi pula kecenderungan menuntut pangan yang lebih aman untuk dikonsumsi. Kemungkinan-kemungkinan bahaya pangan dapat terjadi karena beberapa sebab, antara lain : 1) Adanya residu bahan kimia yang terbawa pada bahan pangan akibat teknologi pertanian misalnya insektisida, pestisida, fungisida, antibiotik dan hormon; 2) Adanya kesalahan dalam penggunaan bahan kimia tambahan baik jenis maupun dosisnya; 3) Penyerapan logam yang berbahaya oleh tanaman dan hewan akibat pencemaran lingkungan dan industri; 4) Terjadinya kontaminasi mikroba dan bahan kimia terhadap bahan pangan dan produk pangan sejak pertama sampai tingkat pengolahan akibat kurangnya sanitasi; 5) Kurang cukupnya kondisi proses pengolahan menyebabkan mikroba aktif kembali pada saat penyimpanan dan pemasaran; dan 6) Ekses dari penggunaan teknologi yang belum tuntas penelitiannya, misalnya senyawa-senyawa baru, teknik radiasi dan sebagainya (Tjahja 2008).

Pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung bahaya keamanan pangan yang terdiri atas bahaya biologi/mikrobiologis, kimia dan fisik. Bahaya makanan terdiri dari (Depdiknas 2009) :

1. Bahaya mikrobiologis, adalah bahaya mikroba yang dapat menyebabkan penyakit seperti salmonella, E.coli, virus, parasit dan kapang penghasil mikotoksin.

2. Bahaya kimia, adalah bahan kimia yang tidak diperbolehkan digunakan untuk pangan, misalnya logam dan polutan lingkungan, bahan tambahan pangan (BTP) yang tidak digunakan semestinya, peptisida, bahan kimia pembersih, racun/toksin asal tumbuhan/hewan dan sejenisnya.

3. Bahaya fisik, adalah bahaya benda-benda yang dapat tertelan dan dapat menyebabkan luka, misalnya pecahan gelas, kawat steples, potongan tulang, potongan kayu, kerikil, rambut, kuku, sisik dan sebagainya.

Badan POM RI mengidentifikasikan beberapa faktor yang diduga turut mempengaruhi rendahnya mutu dan keamanan PJAS, antara lain pada saat ini program nasional pengawasan jajanan anak sekolah belum optimal, fasilitas yang tidak memadai, dan sumberdaya manusia (guru tidak melakukan komunikasi risiko, anak sekolah jajan sembarangan, orangtua tidak menyediakan bekal, pedagang penjual PJAS tidak aman, IRTP/produsen menghasilkan PJAS yang tidak aman) (Andarwulanet al2009).

Berdasarkan hasil monitoring PJAS yang dilakukan oleh POM RI pada tahun 2006 di 26 ibukota provinsi di Indonesia, dari 478 SD dengan jumlah sebanyak 2903 sampel, jumlah PJAS yang memenuhi syarat adalah sebesar 50.6% dan sebanyak 49.3% sampel jajanan anak sekolah tidak memenuhi persyaratan terhadap satu atau lebih dari beberapa parameter yang diuji. Selain itu, lebih dari 39.0% sampel tidak memenuhi syarat mikrobiologi (BPOM 2007)

Hasil penelitian Rika (2009) yang dilakukan di Kota dan Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa total praktek keamanan PJAS berkategori kurang sebesar 51.1% dan hanya sebagian kecil (10.6%) berkategori baik. Total praktek keamanan pangan adalah gabungan dari keselurahan praktek yaitu praktek higiene, praktek penanganan dan penyimpanan serta praktek sarana dan fasilitas.

Dokumen terkait