• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

PENDAHULUAN Latar Belakang

Beberapa tahun terakhir ini, perhatian terhadap permasalahan pengembangan wilayah bertambah besar. Hal ini terlihat dari usaha sungguh- sungguh yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam mempercepat proses pembangunan di daerah, di era otonomi daerah yang memberikan kesempatan yang lebih luas bagi daerah dalam mengembangkan kegiatan pembangunan wilayahnya. Otonomi daerah didefinisikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi dan desentralisasi, dalam perkembangannya tidak hanya melahirkan pelimpahan wewenang kepada daerah untuk mengelola daerahnya sendiri sehingga tercipta kemandirian dalam pembangunan, tetapi juga memicu terbentuknya daerah- daerah otonom baru (pemekaran wilayah).

Pemekaran wilayah memiliki berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Pemekaran wilayah bisa memacu pembangunan di daerah, meningkatkan investasi, serta membuka keterisolasian daerah. Pembangunan infrastruktur baru seperti jalan dan jembatan, sarana pendidikan dan kesehatan, pusat pelayanan pemerintahan dan berbagai fasilitas umum lainnya diharapkan dapat meningkatkan aktifitas masyarakat dalam berbagai sektor, sehingga peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan dari pemekaran wilayah dapat terwujud. Pemekaran wilayah juga memiliki dampak negatif. Selain potensi konflik tapal batas, pemilihan kepala daerah serta eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, pemekaran wilayah juga berpotensi menambah beban negara. Hal ini dikarenakan banyaknya jumlah daerah otonom dan keterbatasan sumber pendapatan asli daerah (PAD) sehingga sebagian besar sumber pendanaan pembangunan masih dibebankan pada keuangan negara (APBN). Terdapat indikasi bahwa pemekaran wilayah yang terjadi selama ini lebih bernuansa politis

(bagi-bagi kekuasan elit politik di daerah) dan kurang mencerminkan aspirasi masyarakat1.

Terlepas dari berbagai permasalahan dan persepsi yang ada dalam konteks wilayah sebagai segmen ruang, pemekaran wilayah memiliki makna yang positif. Pemekaran wilayah diidentikkan dengan istilah peningkatan, perluasan, munculnya eksistensi, tumbuhnya eksistensi, tumbuhnya sesuatu dan munculnya suatu produk, yang kesemuanya memberikan manfaat kepada masyarakat (Nasution 2003). Untuk itu, pemekaran wilayah yang terjadi harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat sebagaimana diamanahkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 (bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat).

Lebong merupakan daerah otonom yang baru terbentuk 7 Januari 2004 di Provinsi Bengkulu. Sebelumnya, Lebong merupakan bagian dari Kabupaten Rejang Lebong. Sebagai daerah otonom yang baru terbentuk, pembangunan di Lebong masih jauh tertinggal dibandingkan dengan daerah lain. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan sarana dan prasarana yang masih terbatas serta tingkat PDRB yang rendah. Dari Rp 627.215.000.000,- PDRB Wilayah Lebong tahun 2005, sektor pertanian masih menjadi penyumbang utama (78%), sementara sektor lain seperti pertambangan dan penggalian, industri pengolahan dan lain sebagainya belum begitu berkembang. Sekitar 37% keluarga (7.975 KK) di Kabupaten Lebong juga masih termasuk kelompok pra keluarga sejahtera dan keluarga sejahtera 1 (BPS Lebong 2007).

Kabupaten Lebong memiliki luas wilayah 192.924 ha. Dari 192.924 ha luas wilayah tersebut, 20.777 ha (10,77%) merupakan kawasan hutan lindung, 111.035 ha (57,56%) adalah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), 3.022,15 ha (1,55%) adalah suaka alam dan hanya 58.089,45 ha (30,10%) yang merupakan pemukiman dan peruntukan lain (BPS Lebong 2005, 2006, 2007). Dengan minimnya luas kawasan budidaya (30,10%), Lebong dihadapkan pada trade-off bagaimana memenuhi kebutuhan pembangunan di satu sisi dan upaya mempertahankan kelestarian lingkungan di sisi lain. Kewenangan yang ada memungkinkan pemerintah daerah untuk memanfaatkan (mengeksploitasi)

sumberdaya alam yang ada sebagai modal pembangunan. Bagi daerah yang kaya akan sumberdaya alam, hal tersebut tentu sangat menguntungkan. Semakin besar sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan, semakin besar pajak (pendapatan) yang akan diperoleh sebagai modal pembangunan (Pendapatan Asli Daerah). Akan tetapi tidak semua daerah otonom merupakan daerah kaya. Beberapa daerah justru merupakan daerah yang masih tertinggal dengan keterbatasan sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan. Beberapa daerah juga merupakan daerah yang sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan konservasi, yang secara ekonomi belum memberikan manfaat yang signifikan bagi perekenomian daerah sebagaimana dialami oleh Lebong.

Kawasan konservasi di Kabupaten Lebong memiliki fungsi yang sangat penting, baik untuk kepentingan lokal, regional maupun global. Kawasan konservasi di Kabupaten Lebong menyimpan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, sebagai sumber plasma nutfah, penyimpan dan penata air, pereduksi karbon (gas rumah kaca), penyimpan sumberdaya mineral dan sumber energi alternatif, penyeimbang tata ruang wilayah, serta sebagai tempat penelitian, pendidikan dan penerapan iptek. Sebagai contoh, sebagai penyeimbang dan penata air, terdapat dua Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu DAS Seblat dan DAS Ketahun. DAS Ketahun dengan sungai utamanya Sungai Ketahun, merupakan sumber pasokan air bagi PLTA Tes, yang secara regional sangat penting bagi pasokan energi listrik di Wilayah Sumatera Bagian Selatan (BP DAS KETAHUN 2007).

Dengan minimnya luas kawasan yang dapat dibudidayakan (30,10%) serta tingkat kemandirian yang masih rendah dalam penyelenggaraan pembangunan, Pemerintah Lebong dituntut untuk lebih aktif dan kreatif dalam menggali dan mengembangkan potensi daerah sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu pertanyaan yang harus dijawab oleh Pemerintah Lebong adalah bagaimana menjadikan keberadaan kawasan konservasi sebagai kekuatan pembangunan, bukan sebagai faktor pembatas, sebagaimana kesan yang selama ini ada. Dominasi kawasan lindung dengan berbagai kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya merupakan potensi, sekaligus keunikan dan keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh daerah lain.

Berkembangnya wacana pembentukan Kabupaten Lebong sebagai kabupaten konservasi merupakan hal yang positif dan perlu mendapat apresiasi. Menurut Tim Kecil Kabupaten Konservasi (2006), Kabupaten konservasi didefinisikan sebagai wilayah administratif yang menyelenggarakan pembangunan berlandaskan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati, pemanfaatan berkelanjutan, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang ditetapkan berdasarkan kriteria tertentu (Lampiran 1). Outcome yang diharapkan dari pembentukan kabupaten konservasi adalah tercapainya kinerja pembangunan menuju kemandirian (kabupaten, masyarakat dan pengelolaan kawasan konservasi). Penelitian ini dilakukan untuk memberikan kontribusi terhadap pelaksanaan pembangunan yang lebih memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya alam, khususnya di Kabupaten Lebong.

Rumusan Masalah

Bertambahnya jumlah penduduk yang dibarengi dengan peningkatan akan kebutuhan sandang, pangan dan perumahan berimplikasi pada bertambahnya permintaan akan ruang dan lapangan pekerjaan. Dengan minimnya kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk kawasan budidaya (30,10%), tekanan penduduk terhadap kawasan lindung menjadi bertambah besar. Dengan pertumbuhan penduduk sebesar 1,55%, jumlah penduduk 89.690 jiwa dan luas wilayah sebesar 192.924 ha, kepadatan penduduk Kabupaten Lebong adalah 47 jiwa per km2. Namun jika kepadatan ini dihitung hanya berdasarkan luas wilayah kawasan budidaya (58.089,45 ha), maka kepadatan penduduk menjadi 154 jiwa per km2 (BPS Lebong 2007). Angka tersebut memang belum mengindikasikan tekanan yang cukup berarti bagi keberlanjutan sumberdaya alam, namun seiring dengan berjalannya waktu, tekanan terhadap kawasan lindung kemungkinan menjadi bertambah besar. Di sisi lain, kekayaan alam yang terkandung di dalam kawasan lindung menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk masuk dan melakukan aktivitas yang mungkin dapat mengganggu fungsi kawasan. Akibatnya, konflik pemanfaatan ruang serta tumpang tindih peruntukan

penggunaan lahan merupakan sesuatu yang pasti akan terjadi. Ruang yang seharusnya dijadikan kawasan lindung dimanfaatkan untuk aktivitas pertanian, pemukiman, dan/atau untuk peruntukan lainnya.

Sebagai daerah otonom yang baru terbentuk, tingkat kemandirian daerah masih sangat rendah, terutama dalam hal pembiayaan pembangunan yang masih sangat tergantung dari pemerintah pusat. Data Dispenda Kabupaten Lebong menunjukkan bahwa realisasi penerimaan Pemerintah Daerah tahun 2005 baru sebesar Rp11.577.108.000,- (BPS Lebong 2007). Untuk itu, potensi ekonomi daerah sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah perlu digali dan dikembangkan. Berkembangnya wacana serta adanya keinginan untuk menjadikan Lebong sebagai kabupaten konservasi merupakan hal positif mengingat pentingnya keberadaan kawasan konservasi di Kabupaten Lebong. Beragam manfaat dapat diperoleh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Meski bukan satu-satunya, namun rumusan untuk memperoleh insentif/manfaat atas jasa lingkungan yang dihasilkan merupakan stimulan suatu daerah untuk mendeklarasikan diri sebagai kabupaten konservasi. Insentif yang diharapkan antara lain berupa alokasi dana khusus dari pemerintah pusat, negara donor, maupun pihak lain yang berkepentingan dengan pembentukan kabupaten konservasi. Insentif tersebut diharapkan dapat menjadi modal bagi daerah untuk melaksanakan pembangunan berbasiskan konservasi sumberdaya alam.

Seyogyanya, konservasi sumberdaya alam merupakan bagian integral pembangunan wilayah. Pengembangan manfaat ekonomi harus dibarengi dengan pemantapan keutuhan kawasan konservasi. Namun demikian, pada saat ini, kedua hal tersebut seolah sulit dijalankan mengingat apa yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Terdapat fenomena yang menarik dimana persepsi yang positif tidak dibarengi dengan perilaku yang positif, dengan masih terdapatnya sebagian masyarakat yang melakukan berbagai kegiatan ilegal. Aktivitas ekonomi di dalam kawasan hutan di Kabupaten Lebong dilakukan oleh masyarakat dan telah berlangsung lama (Giripurwo et al. 2001; Hartiman et al. 2001). Perambahan kawasan hutan disebabkan oleh faktor kebutuhan atau sosial ekonomi masyarakat, bukan faktor fisik lahan (Sulistyo et al. 2001). Hal ini tentu menjadi dilema

tersendiri bagi Pemerintah Daerah untuk menjalankan pembangunan wilayah berbasis konservasi sumberdaya alam.

Berkaitan dengan keinginan Pemerintah Daerah untuk menjadikan Lebong sebagai kabupaten konservasi, Pemerintah Daerah dan masyarakat lokal dituntut untuk lebih memahami makna keberadaan kawasan konservasi sehingga kebijakan dan kegiatan yang dilakukan tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan kabupaten konservasi. Selama ini, meskipun telah diketahui bahwa kawasan konservasi memiliki berbagai manfaat yang sangat besar nilainya bagi kehidupan dan kelangsungan hidup manusia, namun karena manfaat tersebut lebih bersifat intangible dan belum terukur dalam nilai moneter, maka kegiatan konservasi sering dianggap tidak ekonomis. Walaupun masih banyak diperdebatkan, beragam upaya kuantifikasi manfaat ekonomi konservasi sumberdaya alam telah banyak dilakukan. Valuasi ekonomi sumberdaya alam dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan dalam mengelola sumberdaya alam (Fauzi 2006; Khan dan Virza 2005).

Keberhasilan pembangunan wilayah berbasis konservasi sumberdaya alam juga sangat ditentukan oleh sejauh mana daerah mampu melakukan penguatan kelembagaan yang ada dalam pengelolaan sumberdaya alam. Kelembagaan merupakan seperangkat aturan formal (hukum, sistem politik, organisasi, pasar, dll) dan informal (norma, tradisi, sistem nilai) yang mengatur hubungan antara individu dan kelompok masyarakat. Institusi/kelembagaan juga dimaksudkan sebagai alat untuk memberikan kepastian dalam berinteraksi yang kemudian mempengaruhi pola tingkah laku hubungan individu. Dampak kepastian akan meningkatkan efisiensi dan kinerja institusi yang pada gilirannya akan berdampak pada pengelolaan sumberdaya alam secara keseluruhan. Hubungan antara masyarakat Lebong dengan alam, sifat kolektifitas serta kearifannya dalam mengelola sumberdaya alam perlu dikaji, apakah telah mendukung upaya konservasi sumberdaya alam atau belum.

Aktivitas pembangunan di Lebong sudah berlangsung lama, berdampak pada kondisi eksisting tingkat perkembangan wilayah. Dalam perspektif perencanaan pengembangan wilayah, kondisi eksisting merupakan dasar pertimbangan untuk menentukan arah pengembangan dan pembangunan wilayah

selanjutnya. Keingian Lebong menjadi kabupaten konservasi, sebaiknya diawali dengan penggambaran kondisi eksisting wilayah dengan jelas, baik fisik, sosial, maupun ekonomi, sehingga evaluasi lebih mudah dilakukan. Kondisi eksisting dapat digambarkan dalam bentuk tipologi dan tingkat perkembangan wilayah.

Beradasarkan uraian di atas dapat ditarik rumusan permasalahan pokok arahan pemanfaatan ruang di Kabupaten Lebong sehingga kelestarian sumberdaya alam dapat terjaga, dengan memperhatikan aspek-aspek:

1. Kondisi kewilayahan kawasan konservasi, 2. Tekanan penduduk terhadap kawasan konservasi,

3. Pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap kawasan konservasi, 4. Peran kelembagaan masyarakat berkaitan dengan pengelolaan kawasan

konservasi,

5. Sektor basis perekonomian wilayah, dan 6. Tipologi dan tingkat perkembangan wilayah.

Tujuan Penelitian

Umum: Menyusun arahan pemanfaatan ruang berbasis konservasi sumberdaya alam di Kabupaten Lebong

Khusus:

1. Menganalisis kondisi kewilayahan kawasan konservasi di Kabupaten Lebong

2. Menganalisis tekanan penduduk terhadap kawasan konservasi

3. Mengetahui tingkat pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap kawasan konservasi melalui teknik valuasi SDA

4. Mengetahui peran kelembagaan masyarakat berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi

5. Mengetahui sektor basis perekonomian wilayah

6. Mengetahui tipologi dan tingkat perkembangan wilayah

Manfaat Penelitian

1. Bahan pertimbangan bagi pemda untuk melaksanakan pembangunannya 2. Dasar arahan pemanfaatan ruang di Kabupaten Lebong