• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis pengembangan wilayah berbasis konservasi sumberdaya alam di kabupaten Lebong

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis pengembangan wilayah berbasis konservasi sumberdaya alam di kabupaten Lebong"

Copied!
376
0
0

Teks penuh

(1)

ANALIS

SIS PEN

KONSE

DI

SE

INS

NGEMBA

ERVASI S

I KABUP

S

EKOLAH

STITUT P

ANGAN W

SUMBER

PATEN L

SUKISNO

H PASCAS

PERTANIA

BOGOR

2009

WILAYA

RDAYA

LEBONG

O

SARJANA

AN BOGO

AH BER

ALAM

G

A

OR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Analisis Pengembangan Wilayah Berbasis Konservasi Sumberdaya Alam di Kabupaten Lebong adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009 Sukisno NRP A353 060 071

(3)

ABSTRACT

SUKISNO. Analysis of Regional Development Based on Natural Resource Conservations in Lebong Regency. Supervised by WIDIATMAKA and HARIADI KARTODIHARDJO.

The objective of this research is to formulate the land allocation guidelines based on natural resources conservation in Lebong Regency. The method used was overlaying between thematic map of natural resources. The Analisys of population pressure on conservation area, level of knowledge and awareness on natural resources conservation, local institution aspect on natural resources management, location quotients (LQ), and tipology and development index of region was conducted to support the guidelines of land allocation.

The results showed that there was landuse conflict problem on protected area as much as 6.573,88 ha (3,95%) based on forested area, 12.303,01 ha (7,39%) based on Regional Spatial Planning Map (RTRW), and 6.809,24 ha (4,09%) based on land capability. The landuse deviation was more influenced by social economic factor rather than land capability. This conversion was indicated by the population pressure value >1 on the overall village (97,4%). Understanding on the importance of natural resources conservation was inconsistence with the degree of it’s awareness, due to the low of willingness to pay on natural resources conservation with the value of wtp of Rp39.487,17/Family/year. There is a rule of the game on forest management in Ladang Palembang and Ketenong I Villages that could be used as guidelines to solve the landuse conflict problem on conservation area. Coffee, rubber, rice, durian, kemiri, corn, soy bean, vegetable, and fish are potentially able to be developed as the economic resources rather than nilam due to negative effect on natural resources. There is 9 village that could be considered as new growth pole. Those are Tes Taba Anyar, Air Dingin, Kampung Jawa Dalam, Ketenong Satu, Ketenong Dua, Sebelat Ulu, Kampung Muara Aman dan Pasar Muara Aman.

The land allocation guidelines based on natural resources conservation in Lebong Regency comprise: (1) protected area comprising of 135,84 ha (0.08%) for Protected Area Danau Menghijau, 2.774,82 ha (1.67%) for Protected Area Danau Tes, 16.123,20 ha (9.70%) for Conservation Forest Bukit Daun, and 101.531,92 ha (61.05%) for Kerinci Seblat National Park, (2) cultivated area which consist of 9.759,06 ha (5.87%) for very intensive agriculture, 12.204,73 ha (7.34%) for intensive agriculture, 1.867,26 ha (1.12%) for moderate agriculture, 14.837,64 ha (8.92%) for limited agriculture, 3.277,25 ha (1.97%) for intensive grasslands dan 3.786,24 ha (2.28%) for forests. There is neeed a detiled landused planning to accomodate landused conlict problem on conservation area.

(4)

RINGKASAN

SUKISNO. Analisis Pengembangan Wilayah Berbasis Konservasi Sumberdaya Alam Di Kabupaten Lebong. Dibimbing oleh WIDIATMAKA dan HARIADI KARTODIHARDJO.

Konservasi sumberdaya alam di Kabupaten Lebong memiliki fungsi yang sangat penting. Dari 192.924 ha luas wilayah Lebong, 20.777 ha (10,77%) merupakan kawasan hutan lindung, 111.035 ha (57,56%) adalah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), 3.022,15 ha (1,55%) adalah suaka alam dan hanya 58.089,45 ha (30,10%) yang merupakan pemukiman dan peruntukan lain. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun arahan pemanfaatan ruang berbasis konservasi sumberdaya alam di Kabupaten Lebong. Metode yang digunakan adalah overlay antara peta-peta tematik terkait pengelolaan sumberdaya alam. Analisis tekanan penduduk terhadap kawasan lindung, tingkat pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap konservasi sumberdaya alam, aspek kelembagaan lokal terkait pengelolaan sumberdaya alam, LQ, dan tipologi dan tingkat perkembangan wilayah dilakukan untuk mendukung arahan pemanfaatan ruang yang disusun.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi terjadi konflik pemanfaatan ruang pada lahan yang diperuntukkan sebagai kawasan lindung seluas 6.573,88 ha (3,95%) berdasarkan status kawasan hutan, 12.303,01 ha (7,39%) berdasarkan rencana tata ruang wilayah dan 6.809,24 ha (4,09%) berdasarkan kelas kemampuan lahan. Penyimpangan penggunaan lahan lebih dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi, bukan faktor fisik lahan. Indikasi tekanan terhadap keberlanjutan kawasan lindung semakin besar karena tingginya tekanan penduduk (Ppt>1) pada seluruh kawasan (97,4%) serta rendahnya kepedulian masyarakat terhadap upaya pelestarian sumberdaya alam. Pemahaman terhadap pentingnya konservasi sumberdaya alam tidak dibarengi dengan tingginya tingkat kepedulian terhadap upaya pelestarian sumberdaya alam, ditunjukkan dengan rendahnya rata-rata nilai Willingness to Pay sebesar Rp39.487,17/keluarga/tahun. Penguatan sistim hukum adat berkaitan dengan pengelolaan kawasan hutan, dapat dijadikan cara untuk mengurangi tekanan masyarakat terhadap kawasan hutan sebagaimana diterapkan di Desa Ketenong I dan Ladang Palembang. Kopi, karet, padi, kakao, durian, kemiri, jagung, kedelai, sayur-mayur, dan perikanan air tawar berpotensi dikembangkan sebagai sektor basis perekonomian wilayah, sementara nilam tidak dianjurkan karena sistim budidayanya mengancam kelestarian sumberdaya alam. Terdapat 9 desa dengan tingkat perkembangan maju yang dapat dijadikan pusat pertumbuhan baru, yaitu Tes, Taba Anyar, Air Dingin, Kampung Jawa Dalam, Ketenong Satu, Ketenong Dua, Sebelat Ulu, Kampung Muara Aman dan Pasar Muara Aman.

(5)
(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009

Hak cipta dilindung Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

ANALISIS PENGEMBANGAN WILAYAH BERBASIS

KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM

DI KABUPATEN LEBONG

SUKISNO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Tesis : Analisis Pengembangan Wilayah Berbasis Konservasi Sumberdaya Alam di Kabupaten Lebong

Nama : Sukisno

NIM : A353060071

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Widiatmaka, DAA Ketua

Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr

Dekan

Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(9)
(10)

Teruntuk:

Ayahanda Margono(alm) dan Ibunda Radiyem (alm) Ibu dan Dimas

Kang Wanto dan Diana Adinda Melati Ariessiani, SE

(11)

ANALIS

SIS PEN

KONSE

DI

SE

INS

NGEMBA

ERVASI S

I KABUP

S

EKOLAH

STITUT P

ANGAN W

SUMBER

PATEN L

SUKISNO

H PASCAS

PERTANIA

BOGOR

2009

WILAYA

RDAYA

LEBONG

O

SARJANA

AN BOGO

AH BER

ALAM

G

A

OR

(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Analisis Pengembangan Wilayah Berbasis Konservasi Sumberdaya Alam di Kabupaten Lebong adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009 Sukisno NRP A353 060 071

(13)

ABSTRACT

SUKISNO. Analysis of Regional Development Based on Natural Resource Conservations in Lebong Regency. Supervised by WIDIATMAKA and HARIADI KARTODIHARDJO.

The objective of this research is to formulate the land allocation guidelines based on natural resources conservation in Lebong Regency. The method used was overlaying between thematic map of natural resources. The Analisys of population pressure on conservation area, level of knowledge and awareness on natural resources conservation, local institution aspect on natural resources management, location quotients (LQ), and tipology and development index of region was conducted to support the guidelines of land allocation.

The results showed that there was landuse conflict problem on protected area as much as 6.573,88 ha (3,95%) based on forested area, 12.303,01 ha (7,39%) based on Regional Spatial Planning Map (RTRW), and 6.809,24 ha (4,09%) based on land capability. The landuse deviation was more influenced by social economic factor rather than land capability. This conversion was indicated by the population pressure value >1 on the overall village (97,4%). Understanding on the importance of natural resources conservation was inconsistence with the degree of it’s awareness, due to the low of willingness to pay on natural resources conservation with the value of wtp of Rp39.487,17/Family/year. There is a rule of the game on forest management in Ladang Palembang and Ketenong I Villages that could be used as guidelines to solve the landuse conflict problem on conservation area. Coffee, rubber, rice, durian, kemiri, corn, soy bean, vegetable, and fish are potentially able to be developed as the economic resources rather than nilam due to negative effect on natural resources. There is 9 village that could be considered as new growth pole. Those are Tes Taba Anyar, Air Dingin, Kampung Jawa Dalam, Ketenong Satu, Ketenong Dua, Sebelat Ulu, Kampung Muara Aman dan Pasar Muara Aman.

The land allocation guidelines based on natural resources conservation in Lebong Regency comprise: (1) protected area comprising of 135,84 ha (0.08%) for Protected Area Danau Menghijau, 2.774,82 ha (1.67%) for Protected Area Danau Tes, 16.123,20 ha (9.70%) for Conservation Forest Bukit Daun, and 101.531,92 ha (61.05%) for Kerinci Seblat National Park, (2) cultivated area which consist of 9.759,06 ha (5.87%) for very intensive agriculture, 12.204,73 ha (7.34%) for intensive agriculture, 1.867,26 ha (1.12%) for moderate agriculture, 14.837,64 ha (8.92%) for limited agriculture, 3.277,25 ha (1.97%) for intensive grasslands dan 3.786,24 ha (2.28%) for forests. There is neeed a detiled landused planning to accomodate landused conlict problem on conservation area.

(14)

RINGKASAN

SUKISNO. Analisis Pengembangan Wilayah Berbasis Konservasi Sumberdaya Alam Di Kabupaten Lebong. Dibimbing oleh WIDIATMAKA dan HARIADI KARTODIHARDJO.

Konservasi sumberdaya alam di Kabupaten Lebong memiliki fungsi yang sangat penting. Dari 192.924 ha luas wilayah Lebong, 20.777 ha (10,77%) merupakan kawasan hutan lindung, 111.035 ha (57,56%) adalah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), 3.022,15 ha (1,55%) adalah suaka alam dan hanya 58.089,45 ha (30,10%) yang merupakan pemukiman dan peruntukan lain. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun arahan pemanfaatan ruang berbasis konservasi sumberdaya alam di Kabupaten Lebong. Metode yang digunakan adalah overlay antara peta-peta tematik terkait pengelolaan sumberdaya alam. Analisis tekanan penduduk terhadap kawasan lindung, tingkat pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap konservasi sumberdaya alam, aspek kelembagaan lokal terkait pengelolaan sumberdaya alam, LQ, dan tipologi dan tingkat perkembangan wilayah dilakukan untuk mendukung arahan pemanfaatan ruang yang disusun.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi terjadi konflik pemanfaatan ruang pada lahan yang diperuntukkan sebagai kawasan lindung seluas 6.573,88 ha (3,95%) berdasarkan status kawasan hutan, 12.303,01 ha (7,39%) berdasarkan rencana tata ruang wilayah dan 6.809,24 ha (4,09%) berdasarkan kelas kemampuan lahan. Penyimpangan penggunaan lahan lebih dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi, bukan faktor fisik lahan. Indikasi tekanan terhadap keberlanjutan kawasan lindung semakin besar karena tingginya tekanan penduduk (Ppt>1) pada seluruh kawasan (97,4%) serta rendahnya kepedulian masyarakat terhadap upaya pelestarian sumberdaya alam. Pemahaman terhadap pentingnya konservasi sumberdaya alam tidak dibarengi dengan tingginya tingkat kepedulian terhadap upaya pelestarian sumberdaya alam, ditunjukkan dengan rendahnya rata-rata nilai Willingness to Pay sebesar Rp39.487,17/keluarga/tahun. Penguatan sistim hukum adat berkaitan dengan pengelolaan kawasan hutan, dapat dijadikan cara untuk mengurangi tekanan masyarakat terhadap kawasan hutan sebagaimana diterapkan di Desa Ketenong I dan Ladang Palembang. Kopi, karet, padi, kakao, durian, kemiri, jagung, kedelai, sayur-mayur, dan perikanan air tawar berpotensi dikembangkan sebagai sektor basis perekonomian wilayah, sementara nilam tidak dianjurkan karena sistim budidayanya mengancam kelestarian sumberdaya alam. Terdapat 9 desa dengan tingkat perkembangan maju yang dapat dijadikan pusat pertumbuhan baru, yaitu Tes, Taba Anyar, Air Dingin, Kampung Jawa Dalam, Ketenong Satu, Ketenong Dua, Sebelat Ulu, Kampung Muara Aman dan Pasar Muara Aman.

(15)
(16)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009

Hak cipta dilindung Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(17)

ANALISIS PENGEMBANGAN WILAYAH BERBASIS

KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM

DI KABUPATEN LEBONG

SUKISNO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(18)

Judul Tesis : Analisis Pengembangan Wilayah Berbasis Konservasi Sumberdaya Alam di Kabupaten Lebong

Nama : Sukisno

NIM : A353060071

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Widiatmaka, DAA Ketua

Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr

Dekan

Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(19)
(20)

Teruntuk:

Ayahanda Margono(alm) dan Ibunda Radiyem (alm) Ibu dan Dimas

Kang Wanto dan Diana Adinda Melati Ariessiani, SE

(21)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Alah SWT penulis panjatkan, atas segala karunia yang diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Tesis yang berjudul Analisis Pengembangan Wilayah Berbasis Konservasi Sumberdaya Alam di Kabupaten Lebong ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).

Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini dan selama penyelesaian studi di IPB. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua, keluarga angkat, kakak serta adik-adik terkasih atas segala dukungan, doa, harapan, pengorbanan, dan kesabarannya,

2. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Hariadi Kartodiharjo, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, masukan dan saran selama penyusunan tesis,

3. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr beserta segenap dosen dan karyawan selingkup Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dan Dept. ISTL, atas arahan dan bantuan terhadap penulis dalam penyelesaian studi,

4. Rektor dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, atas kesempatan yang diberikan untuk menempuh studi melalui Beasiswa Program Hibah Kompetensi (PHK) A2 Jurusan BDP Faperta UNIB,

5. Yayasan Toyota & Astra, atas bantuan penelitian yang diberikan,

6. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi PWL SPs IPB, khususnya angkatan 2006 serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga karya ini bermanfaat bagi semua pihak. Kritik dan saran dapat disampaikan ke alamat Institusi dimana penulis bekerja saat ini.

Bogor, Januari 2009

(22)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Sidodadi, Kecamatan Argamakmur, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu pada 10 April 1979. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara pasangan Margono dan Radiyem.

Pendidikan dasar (SD) dan menengah pertama (SLTP) diselesaikan pada tahun 1992 dan 1995 di Argamakmur, Kabupaten Bengkulu Utara. Pendidikan menengah atas di SMU N 5 Bengkulu, Kota Bengkulu, lulus tahun 1998. Penulis menempuh pendidikan S1 Program Studi Ilmu Tanah Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, lulus tahun 2003.

(23)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii DAFTAR GAMBAR ... xiv DAFTAR LAMPIRAN ... xvi PENDAHULUAN

Latar Belakang ... 1 Rumusan Masalah ... 4 Tujuan Penelitian ... 7

Manfaat Penelitian ... 7 TINJAUAN PUSTAKA

Definisi dan Klasifikasi Sumberdaya Alam ... 8 Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Pembangunan Wilayah ... 11 Sektor Basis Perekonomian Wilayah ... 14 Konservasi Sumberdaya Alam dan Pembangunan Wilayah ... 15 Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam ... 18 Arahan Pemanfaatan Ruang Berbasis Konservasi Sumberdaya Alam ... 20 Kabupaten Konservasi dan Pembangunan Berkelanjutan ... 25 METODE PENELITIAN

Kerangka Pikir Penelitian ... 30 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31 Pengumpulan Data ... 31 Metode Analisis

Analisis Geobiofisik Wilayah ... 34 Analsisis Tekanan Penduduk terhadap Kawasan Konservasi ... 35 Analisis Tingkat Pemahaman dan Kepedulian Masyarakat Terhadap Keberadaan Kawasan Lindung ... 36 Analisis Kelembagaan Masyarakat ... 38 Analisis Ekonomi ... 39 Analisis Tipologi dan Perkembangan Wilayah ... 40 Analisis Arahan Pemanfaatan Ruang Berbasis Konservasi

Sumberdaya Alam ... 42 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Administrasi dan Letak Geografis ... 44 Kondisi Sosial Ekonomi

Kependudukan ... 46 Ekonomi dan Ketenaga Kerjaan ... 47 Kondisi Geobiofisik Wilayah

(24)

Kondisi Iklim dan Hidrologi ... 53 Jenis Tanah ... 54

Geologi dan Potensi Sumberdaya Mineral... 57 Penggunaan Lahan ... 59 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Kawasan Hutan Kabupaten Lebong ... 62 Kondisi Hutan Berdasarkan Surat Keputusan Penunjukan Kawasan

Hutan ... 64 Kondisi Hutan Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ... 67 Kondisi Hutan Berdasarkan Kelas Kemampuan Lahan ... 70 Kajian Tekanan Penduduk terhadap Keberadaan Kawasan Lindung ... 75 Kajian Tingkat Pemahaman dan Kepedulian Masyarakat terhadap

Kawasan Lindung ... 79 Karakteristik Responden ... 82

Pemahaman dan Kepedulian Masyarakat terhadap Kawasan

Lindung ... 85 Tinjauan Aspek Hukum Adat Masyarakat Lebong dalam Mengelola

Hutan ... 90 Kabupaten Lebong sebagai Kabupaten Konservasi ... 93 Sektor Basis Perekonomian Wilayah ... 102 Tipologi dan Tingkat Perkembangan Wilayah ... 113 Arahan Pemanfaatan Ruang Kabupaten Lebong sebagai Kabupaten

(25)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kriteria klasifikasi kemampuan lahan ... 35 2. Luas wilayah Kabupaten Lebong ... 46 3. Luas wilayah Kabupaten Lebong berdasarkan fisiografi lahannya ... 48 4. Luas wilayah berdasarkan ketinggian ... 50 5. Luas wilayah berdasarkan lereng ... 50 6. Rata-rata curah hujan pada tahun 2007 di Kabupaten Lebong ... 53 7. Luas DAS Ketahun dan DAS Seblat di Kabupaten Lebong ... 54 8. Luas wilayah berdasarkan penggunaan lahan ... 60 9. Kondisi penutupan lahan berdasarkan citra lansad tahun 2005 ... 60 10.Luas kawasan hutan di Kabupaten Lebong berdasarkan SK penunjukan

kawasan hutan Propinsi Bengkulu ... 65 11.Luas wilayah berdasarkan pemanfaatan ruang dalam RTRW ... 68 12.Luas wilayah berdasarkan kelas kemampuan lahan dan penyimpanganya .. 71 13.Sebaran responden menurut lokasi tempat tinggalnya ... 82 14.Sebaran responden menurut kelompok umur ... 83 15.Sebaran responden menurut tingkat pendidikannya ... 83 16.Sebaran responden menurut jenis pekerjaanya ... 83 17.Sebararan responden menurut tingkat pendapatanya ... 84 18.Sebaran responden menurut jumlah tanggungan keluarga . ... 84 19.Pengetahuan masyarakat terhadap kawasan lindung ... 86 20.Perbandingan WTP dan WTA masyarakat terhadap upaya pelestarian

(26)

26.Sebaran desa dengan indeks LQ>1 untuk pengembangan budidaya ikan air tawar ... 112 27.Potensi pengembangan peternakan di Kab. Lebong berdasarkan

(27)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Keterkaitan antara sumberdaya alam dan aktivitas ekonomi ... 9 2. Klasifikasi sumberdaya alam ... 10 3. Aliran barang dan jasa dalam sistim ekonomi berwawasan lingkungan ... 17 4. Klasifikasi valuasi non-market... 18 5. Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan

macam penggunaan ... 22 6. Kerangka pikir penelitian ... 32 7. Diagram alir tahapan penelitian ... 43 8. Peta administrasi Kabupaten Lebong ... 45 9. Peta fisiografi Kabupaten Lebong ... 49 10.Peta topografi Kabupaten Lebong... 51 11.Peta lereng Kabupaten Lebong ... 52 12.Jaringan sungai dan kawasan DAS di Kabupaten Lebong ... 55 13.Peta jenis tanah (great group) Kabupaten Lebong ... 56 14.Peta potensi energi dan sumberdaya mineral Kabupaten Lebong ... 58 15.Peta penggunaan lahan Kabupaten Lebong ... 61 16.Kondisi kawasan hutan TNKS di sekitar Desa Seblat Ulu ... 63 17.Perambahan kawasan hutan TNKS di Desa Tambang Sawah (a)

dan Lemeu (b) ... 64 18.Kondisi kawasan hutan berdasarkan status hutan ... 66 19.Kondisi kawasan hutan berdasarkan rencana tata ruang wilayah ... 69 20.Kondisi kawasan hutan berdasarkan kelas kemampuan lahan ... 73 21.Perambahan kawasan hutan TNKS teridentifikasi... 77 22.Peta indeks tekanan penduduk terhadap kawasan lindung ... 80 23.Kondisi kebun kopi (a) dan karet (b) milik masyarakat di Desa Ladang

(28)

26.Peta potensi pengembangan nilam ... 108 27.Peta sebaran potensi pengembangan padi ... 110 28.Hirarki desa di Kabupaten Lebong berdasarkan kelengkapan sarana dan

(29)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(30)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Beberapa tahun terakhir ini, perhatian terhadap permasalahan pengembangan wilayah bertambah besar. Hal ini terlihat dari usaha sungguh-sungguh yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam mempercepat proses pembangunan di daerah, di era otonomi daerah yang memberikan kesempatan yang lebih luas bagi daerah dalam mengembangkan kegiatan pembangunan wilayahnya. Otonomi daerah didefinisikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi dan desentralisasi, dalam perkembangannya tidak hanya melahirkan pelimpahan wewenang kepada daerah untuk mengelola daerahnya sendiri sehingga tercipta kemandirian dalam pembangunan, tetapi juga memicu terbentuknya daerah-daerah otonom baru (pemekaran wilayah).

(31)

(bagi-bagi kekuasan elit politik di daerah) dan kurang mencerminkan aspirasi masyarakat1.

Terlepas dari berbagai permasalahan dan persepsi yang ada dalam konteks wilayah sebagai segmen ruang, pemekaran wilayah memiliki makna yang positif. Pemekaran wilayah diidentikkan dengan istilah peningkatan, perluasan, munculnya eksistensi, tumbuhnya eksistensi, tumbuhnya sesuatu dan munculnya suatu produk, yang kesemuanya memberikan manfaat kepada masyarakat (Nasution 2003). Untuk itu, pemekaran wilayah yang terjadi harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat sebagaimana diamanahkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 (bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat).

Lebong merupakan daerah otonom yang baru terbentuk 7 Januari 2004 di Provinsi Bengkulu. Sebelumnya, Lebong merupakan bagian dari Kabupaten Rejang Lebong. Sebagai daerah otonom yang baru terbentuk, pembangunan di Lebong masih jauh tertinggal dibandingkan dengan daerah lain. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan sarana dan prasarana yang masih terbatas serta tingkat PDRB yang rendah. Dari Rp 627.215.000.000,- PDRB Wilayah Lebong tahun 2005, sektor pertanian masih menjadi penyumbang utama (78%), sementara sektor lain seperti pertambangan dan penggalian, industri pengolahan dan lain sebagainya belum begitu berkembang. Sekitar 37% keluarga (7.975 KK) di Kabupaten Lebong juga masih termasuk kelompok pra keluarga sejahtera dan keluarga sejahtera 1 (BPS Lebong 2007).

Kabupaten Lebong memiliki luas wilayah 192.924 ha. Dari 192.924 ha luas wilayah tersebut, 20.777 ha (10,77%) merupakan kawasan hutan lindung, 111.035 ha (57,56%) adalah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), 3.022,15 ha (1,55%) adalah suaka alam dan hanya 58.089,45 ha (30,10%) yang merupakan pemukiman dan peruntukan lain (BPS Lebong 2005, 2006, 2007). Dengan minimnya luas kawasan budidaya (30,10%), Lebong dihadapkan pada trade-off bagaimana memenuhi kebutuhan pembangunan di satu sisi dan upaya mempertahankan kelestarian lingkungan di sisi lain. Kewenangan yang ada memungkinkan pemerintah daerah untuk memanfaatkan (mengeksploitasi)

(32)

sumberdaya alam yang ada sebagai modal pembangunan. Bagi daerah yang kaya akan sumberdaya alam, hal tersebut tentu sangat menguntungkan. Semakin besar sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan, semakin besar pajak (pendapatan) yang akan diperoleh sebagai modal pembangunan (Pendapatan Asli Daerah). Akan tetapi tidak semua daerah otonom merupakan daerah kaya. Beberapa daerah justru merupakan daerah yang masih tertinggal dengan keterbatasan sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan. Beberapa daerah juga merupakan daerah yang sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan konservasi, yang secara ekonomi belum memberikan manfaat yang signifikan bagi perekenomian daerah sebagaimana dialami oleh Lebong.

Kawasan konservasi di Kabupaten Lebong memiliki fungsi yang sangat penting, baik untuk kepentingan lokal, regional maupun global. Kawasan konservasi di Kabupaten Lebong menyimpan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, sebagai sumber plasma nutfah, penyimpan dan penata air, pereduksi karbon (gas rumah kaca), penyimpan sumberdaya mineral dan sumber energi alternatif, penyeimbang tata ruang wilayah, serta sebagai tempat penelitian, pendidikan dan penerapan iptek. Sebagai contoh, sebagai penyeimbang dan penata air, terdapat dua Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu DAS Seblat dan DAS Ketahun. DAS Ketahun dengan sungai utamanya Sungai Ketahun, merupakan sumber pasokan air bagi PLTA Tes, yang secara regional sangat penting bagi pasokan energi listrik di Wilayah Sumatera Bagian Selatan (BP DAS KETAHUN 2007).

(33)

dalamnya merupakan potensi, sekaligus keunikan dan keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh daerah lain.

Berkembangnya wacana pembentukan Kabupaten Lebong sebagai kabupaten konservasi merupakan hal yang positif dan perlu mendapat apresiasi. Menurut Tim Kecil Kabupaten Konservasi (2006), Kabupaten konservasi didefinisikan sebagai wilayah administratif yang menyelenggarakan pembangunan berlandaskan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati, pemanfaatan berkelanjutan, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang ditetapkan berdasarkan kriteria tertentu (Lampiran 1). Outcome yang diharapkan dari pembentukan kabupaten konservasi adalah tercapainya kinerja pembangunan menuju kemandirian (kabupaten, masyarakat dan pengelolaan kawasan konservasi). Penelitian ini dilakukan untuk memberikan kontribusi terhadap pelaksanaan pembangunan yang lebih memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya alam, khususnya di Kabupaten Lebong.

Rumusan Masalah

(34)

penggunaan lahan merupakan sesuatu yang pasti akan terjadi. Ruang yang seharusnya dijadikan kawasan lindung dimanfaatkan untuk aktivitas pertanian, pemukiman, dan/atau untuk peruntukan lainnya.

Sebagai daerah otonom yang baru terbentuk, tingkat kemandirian daerah masih sangat rendah, terutama dalam hal pembiayaan pembangunan yang masih sangat tergantung dari pemerintah pusat. Data Dispenda Kabupaten Lebong menunjukkan bahwa realisasi penerimaan Pemerintah Daerah tahun 2005 baru sebesar Rp11.577.108.000,- (BPS Lebong 2007). Untuk itu, potensi ekonomi daerah sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah perlu digali dan dikembangkan. Berkembangnya wacana serta adanya keinginan untuk menjadikan Lebong sebagai kabupaten konservasi merupakan hal positif mengingat pentingnya keberadaan kawasan konservasi di Kabupaten Lebong. Beragam manfaat dapat diperoleh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Meski bukan satu-satunya, namun rumusan untuk memperoleh insentif/manfaat atas jasa lingkungan yang dihasilkan merupakan stimulan suatu daerah untuk mendeklarasikan diri sebagai kabupaten konservasi. Insentif yang diharapkan antara lain berupa alokasi dana khusus dari pemerintah pusat, negara donor, maupun pihak lain yang berkepentingan dengan pembentukan kabupaten konservasi. Insentif tersebut diharapkan dapat menjadi modal bagi daerah untuk melaksanakan pembangunan berbasiskan konservasi sumberdaya alam.

(35)

tersendiri bagi Pemerintah Daerah untuk menjalankan pembangunan wilayah berbasis konservasi sumberdaya alam.

Berkaitan dengan keinginan Pemerintah Daerah untuk menjadikan Lebong sebagai kabupaten konservasi, Pemerintah Daerah dan masyarakat lokal dituntut untuk lebih memahami makna keberadaan kawasan konservasi sehingga kebijakan dan kegiatan yang dilakukan tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan kabupaten konservasi. Selama ini, meskipun telah diketahui bahwa kawasan konservasi memiliki berbagai manfaat yang sangat besar nilainya bagi kehidupan dan kelangsungan hidup manusia, namun karena manfaat tersebut lebih bersifat intangible dan belum terukur dalam nilai moneter, maka kegiatan konservasi sering dianggap tidak ekonomis. Walaupun masih banyak diperdebatkan, beragam upaya kuantifikasi manfaat ekonomi konservasi sumberdaya alam telah banyak dilakukan. Valuasi ekonomi sumberdaya alam dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan dalam mengelola sumberdaya alam (Fauzi 2006; Khan dan Virza 2005).

Keberhasilan pembangunan wilayah berbasis konservasi sumberdaya alam juga sangat ditentukan oleh sejauh mana daerah mampu melakukan penguatan kelembagaan yang ada dalam pengelolaan sumberdaya alam. Kelembagaan merupakan seperangkat aturan formal (hukum, sistem politik, organisasi, pasar, dll) dan informal (norma, tradisi, sistem nilai) yang mengatur hubungan antara individu dan kelompok masyarakat. Institusi/kelembagaan juga dimaksudkan sebagai alat untuk memberikan kepastian dalam berinteraksi yang kemudian mempengaruhi pola tingkah laku hubungan individu. Dampak kepastian akan meningkatkan efisiensi dan kinerja institusi yang pada gilirannya akan berdampak pada pengelolaan sumberdaya alam secara keseluruhan. Hubungan antara masyarakat Lebong dengan alam, sifat kolektifitas serta kearifannya dalam mengelola sumberdaya alam perlu dikaji, apakah telah mendukung upaya konservasi sumberdaya alam atau belum.

(36)

selanjutnya. Keingian Lebong menjadi kabupaten konservasi, sebaiknya diawali dengan penggambaran kondisi eksisting wilayah dengan jelas, baik fisik, sosial, maupun ekonomi, sehingga evaluasi lebih mudah dilakukan. Kondisi eksisting dapat digambarkan dalam bentuk tipologi dan tingkat perkembangan wilayah.

Beradasarkan uraian di atas dapat ditarik rumusan permasalahan pokok arahan pemanfaatan ruang di Kabupaten Lebong sehingga kelestarian sumberdaya alam dapat terjaga, dengan memperhatikan aspek-aspek:

1. Kondisi kewilayahan kawasan konservasi, 2. Tekanan penduduk terhadap kawasan konservasi,

3. Pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap kawasan konservasi, 4. Peran kelembagaan masyarakat berkaitan dengan pengelolaan kawasan

konservasi,

5. Sektor basis perekonomian wilayah, dan 6. Tipologi dan tingkat perkembangan wilayah.

Tujuan Penelitian

Umum: Menyusun arahan pemanfaatan ruang berbasis konservasi sumberdaya alam di Kabupaten Lebong

Khusus:

1. Menganalisis kondisi kewilayahan kawasan konservasi di Kabupaten Lebong

2. Menganalisis tekanan penduduk terhadap kawasan konservasi

3. Mengetahui tingkat pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap kawasan konservasi melalui teknik valuasi SDA

4. Mengetahui peran kelembagaan masyarakat berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi

5. Mengetahui sektor basis perekonomian wilayah

6. Mengetahui tipologi dan tingkat perkembangan wilayah

Manfaat Penelitian

1. Bahan pertimbangan bagi pemda untuk melaksanakan pembangunannya 2. Dasar arahan pemanfaatan ruang di Kabupaten Lebong

(37)

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi dan Klasifikasi Sumberdaya Alam

Sumberdaya alam seperti tanah, air, udara, minyak bumi, batu bara, ikan, hutan, dan lain-lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Hilangnya atau berkurangnya ketersediaan sumber daya tersebut akan berdampak besar bagi kelangsungan hidup umat manusia. Sebagai contoh, tanpa udara dan air, manusia tidak dapat hidup. Demikian pula, sumberdaya alam seperti hutan, ikan, dan lain sebagainya merupakan sumberdaya yang tidak saja mencukupi kebutuhan manusia, namun juga memberikan kontribusi yang besar terhadap kesejahteraan suatu bangsa (wealth of nation). Pengelolaan sumberdaya alam yang baik akan meningkatkan kesejahteraan umat manusia, dan sebaliknya, pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik akan berdampak buruk bagi umat manusia. Oleh karena itu, persoalan mendasar sehubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam adalah pengelolaan yang menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi manusia dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri (Fauzi 2006).

Secara umum sumberdaya alam didefinisikan sebagai sumberdaya yang terbentuk karena proses alamiah seperti tanah, air, udara, ruang, mineral, panas bumi, dan lain sebagainya. Sesuatu dapat dikatakan sebagai sumberdaya jika memiliki dua kriteria, yaitu: (i) harus ada pengetahuan, teknologi atau keterampilan (skill) untuk memanfaatkannya; dan (ii) harus ada permintaan (demand) terhadap sumberdaya tersebut. Definisi sumberdaya juga berkaitan aspek teknis yang memungkinkan sumberdaya tersebut dimanfaatkan dan aspek kelembagaan yang menentukan siapa yang mengendalikan sumberdaya dan bagaimana teknologi digunakan (Fauzi 2006).

(38)

jangka panjang. Gambar 1 menunjukkan bahwa sumberdaya alam menghasilkan barang dan jasa untuk proses industri (I1) maupun langsung dikonsumsi oleh

rumah tangga (I2). Dari proses industri dihasilkan barang dan jasa yang kemudian

dapat digunakan oleh rumah tangga untuk konsumsi (I3). Kegiatan produksi oleh

industri dan konsumsi oleh rumah tangga menghasilkan limbah yang kemudian dapat didaur ulang (D1 dan D2). Terdapat juga limbah yang tidak dapat didaur

ulang dan menjadi residual (D3) yang akan kembali ke lingkungan (Barbier 2005;

Fauzi 2006).

I1 I2

I3

D2 D1

D3

Gambar 1. Keterkaitan antara sumberdaya alam dan aktivitas ekonomi (Fauzi 2006)

Secara umum, sumberdaya alam diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable) dan sumberdaya alam yang tak dapat diperbaharui (nonrenewable) (Gambar 2). Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui atau sering juga disebut dengan “flow” (alur) merupakan sumberdaya alam yang secara fisik kuantitasnya dapat berubah sepanjang waktu. Jumlah yang kita manfaatkan sekarang bisa mempengaruhi atau bisa juga tidak mempengaruhi ketersediaan sumberdaya tersebut dimasa mendatang. Walaupun dapat diperbaharui, penggunaan atau pengelolaan diluar batas kewajaran (ambang batas) dapat memberikan dampak yang merugikan baik secara ekonomi maupun sosial. Termasuk dalam kelompok sumberdaya ini adalah kesuburan tanah; produk dari lahan (produk pertanian, hutan, hewan liar); produk dari danau, sungai dan laut; ekosistem (jasa lingkungan); dan sumber energi alam seperti

Sumberdaya alam & lingkungan

Konsumsi Produksi

Limbah

(39)
[image:39.612.140.518.128.430.2]

energi angin, energi panas matahari, energi panas bumi, energi pasang surut, dan energi air (hydropower) (Fauzi 2006; Chiras dan Reganold 2005).

Gambar 2. Klasifikasi sumberdaya alam (Fauzi 2006)

Sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui atau disebut juga kelompok stok atau terhabiskan (exhaustible) merupakan sumberdaya yang tersedia dalam jumlah terbatas. Ketika dikonsumsi atau dihancurkan (destroyed), seperti pembakaran batu bara, sumberdaya tersebut tidak dapat diganti (replaced). Eksploitasi terhadap sumberdaya tersebut akan menghabiskan cadangan yang ada. Termasuk dalam kelompok tersebut adalah bahan bakar fosil (fossil fuel). Bahan bakar fosil dihasilkan oleh proses yang terjadi jutaan tahun yang lalu, ketika dikonsumsi (burned) menghasilkan atau melepaskan panas (energi), air dan gas (karbon monoksida, karbon dioksida, dan sulfur dioksida). Selain itu, juga termasuk kedalam kelompok stok adalah mineral logam (seperti emas, tembaga, besi, dan lain sebagainya) dan mineral non-logam (batuan fospat, pasir, dan garam) (Fauzi 2006; Chiras dan Reganold 2005).

Sumberdaya Alam

Skala Waktu Pertumbuhan Kegunaan Akhir

Stok (tidak dapat diperbaharui)

Alur (dapat diperbaharui)

SD Mineral SD Energi

(40)

Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Pembangunan Wilayah

Sumberdaya alam memiliki kedudukan dan peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Sumberdaya alam yang ada dan melimpah merupakan modal dasar pembangunan suatu wilayah. Kerusakan dan kepunahan sumberdaya alam yang ada akan berdampak negatif bagi pembangunan, menurunkan kualitas lingkungan, yang pada akhirnya merugikan bagi masyarakat. Oleh karena itu sumberdaya alam harus dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat. Upaya tersebut dapat ditempuh dengan menerapkan konservasi sumberdaya alam sebagai bagian integral dari pembangunan wilayah.

Terdapat beberapa paham (ideologi) berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam, namun menurut Chiras dan Reganold (2005) terdapat empat, yaitu eksploitasi, preservasi, pendekatan utilitarian, dan pendekatan ekologi atau keberlanjutan (sustainable). Eksploitasi merupakan suatu pendekatan yang berpusat pada manusia (a human-centered approach) yang mengasumsikan bahwa sumberdaya yang ada sebaiknya dipergunakan seintensif mungkin guna memperoleh manfaat tertinggi bagi manusia (sumberdaya yang ada memiliki suplai yang tak terbatas dan keberadaannya hanya untuk kepentingan manusia). Paham ini berkembang pada tahun 1800-an di Eropa dan Amerika dan diadopsi oleh beberapa negara berkembang dan terbelakang pada awal masa kemerdekaan mereka. Kelestarian, hanya sedikit sekali mendapat perhatian.

Preservasi merupakan paham atau pendekatan yang berpusat pada sumberdaya alam (a nature-centered approach). Menurut paham ini, sumberdaya alam sebaiknya dipelihara, disisihkan dan dilindungi. Sebagai contoh, hutan, sebaiknya tidak digunakan sebagai sumber kayu. Hutan sebaiknya dipelihara/dibiarkan dalam bentuk aslinya secara alamiah. Paham ini merupakan kebalikan dari paham eksploitasi, lahir sebagai reaksi atas dampak negatif yang dihasilkan oleh eksploitasi sumberdaya alam berlebihan (Chiras dan Reganold 2005).

(41)

sehingga sumberdaya tersebut tidak habis. Sumberdaya yang telah dipanen atau diambil harus diganti, baik dengan membiarkannya terjadi secara alami maupun melalui stimulasi tertentu. Melindungi sumber daya melalui pemanenan pada laju/level yang tetap memungkinkan keberlanjutannya pada jangka waktu lama membutuhkan banyak pertimbangan dan pemahaman mengenai pengelolaan yang lebih baik. Dalam hal ini, pemahaman yang baik tentang ekologi akan sangat membantu (Chiras dan Reganold 2005).

Ekologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hubungan antara organisme dan lingkungannya. Pendekatan ekologi dalam mengelola sumberdaya alam mengandung makna bahwa sumberdaya alam seperti tanah, air, hewan liar, ikan, dan hutan digunakan sedemikian rupa sehingga menjamin kesehatan (health) dan vitalitasnya (vitality) dalam jangka panjang. Pendekatan ekologi dalam mengelola sumberdaya alam membutuhkan cara pandang (view) ke depan/jangka panjang (long-term). Sebagai contoh, sebuah hutan bukan hanya dilihat sebagai sumber kayu, tetapi juga memiliki nilai lain seperti sebagai habitat hewan liar, sumber plasma nutfah, keindahan alam, serta pengendali erosi dan banjir (Chiras dan Reganold 2005).

Kapasitas daya dukung (carrying capacity) merupakan bagian dari kunci pengelolaan sumberdaya alam yang memperhatikan aspek ekologi dan/atau ekosistem. Kapasitas daya dukung diartikan sebagai kemampuan ekosistem untuk mendukung populasi suatu spesies atau organisme yang hidup di dalamnya. Kapasitas daya dukung ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya dan kemampuan ekosistem dalam mengadsorpsi limbah, yang diketahui sebagai fungsi sumber (source) dan sink (Barbier 2005; Chiras dan Reganold 2005).

(42)

sekelompok manusia pada generasi sekarang. Pemenuhan kebutuhan manusia di satu sisi menyebabkan penurunan stok (scarcity) sumberdaya di sisi lain. Degradasi sumberdaya alam merupakan proses alam yang terjadi akibat dari aktifitas tersebut (Rustiadi 2004).

Degradasi sumberdaya alam dicirikan oleh sifat dan kerusakannya. Proses tersebut berjalan relatif perlahan, namun dampaknya bersifat kumulatif (Rustiadi 2004). Sedimentasi yang terjadi di daerah hilir sungai, danau atau waduk merupakan dampak dari erosi yang terjadi selama bertahun-tahun di daerah hulu. Ketika banjir bandang melanda dan/atau penurunan fungsi turbin Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) telah terganggu/menurun, pentingnya pengendalian kerusakan sumberdaya alam di daerah hulu baru disadari. Konservasi sumberdaya alam perlu mendapat dukungan dari semua pihak mengingat rumitnya pengelolaan sumberdaya alam terkait karena banyaknya pihak serta sistem yang terlibat/terkait.

Sistem pemerintahan yang membagi kewenangan berdasarkan batas-batas administratif secara langsung maupun tidak langsung ternyata menimbulkan permasalahan tersendiri dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sulitnya koordinasi antar stakeholder, baik antara pemerintah pusat dan daerah maupun antara pemerintah daerah yang saling berbatasan ditengarai sebagai penyebab sulitnya penanganan masalah pengelolaan sumberdaya alam. Otonomi daerah, yang diharapkan dapat meningkatkan peran pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam, terkadang justru menjadi kepanjangan tangan pihak-pihak tertentu untuk mengeksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan. Di satu sisi, pelaku kerusakan sumberdaya alam adalah pihak-pihak yang mempunyai kekuatan lebih, baik secara ekonomi maupun politik. Sementara masyarakat, yang seharusnya perannya ditingkatkan oleh otonomi, tetap menjadi pihak yang dirugikan. Masyarakat, tetap dianggap sebagai pelaku kerusakan sumberdaya alam (Rustiadi 2004).

(43)

dan modal sosial (social capital). Pengembangan wilayah merupakan penggunaan menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumberdaya yang ada dan memberikan kontribusi terhadap pembangunan suatu wilayah. Sedangkan konsep pembangunan wilayah adalah suatu upaya dalam mewujudkan keterpaduan penggunaan sumberdaya dengan penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antar daerah, antar sektor, serta antar pelaku pembangunan dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah (Rustiadi at al. 2006). Sumberdaya alam merupakan source dan sink dalam pembangunan wilayah. Sebagai source karena merupakan sumber dari berbagai materi atau modal yang dibutuhkan untuk proses produksi dan konsumsi, dan sebagai sink karena merupakan tempat dimana limbah hasil aktivitas produksi dan konsumsi kembali. Pengabaian terhadap kapasitas sumberdaya alam akan menurunkan fungsinya. Dampak akhir yang mungkin ditimbulkan adalah penurunan tingkat pemenuhan kebutuhan manusia, yang berarti penurunan tingkat kesejahteraannya (welfare) (Barbier 20005).

Sektor Basis Perekonomian Wilayah

Aktivitas dalam perekonomian wilayah digolongkan dalam dua sektor kegiatan, yaitu sektor basis dan non basis. Kegiatan basis merupakan kegiatan yang melakukan aktivitas yang berorientasi ekspor (barang dan jasa) ke luar batas wilayah perekonomian yang bersangkutan. Kegiatan non-basis adalah kegiatan yang menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang berada di dalam batas wilayah perekonomian yang bersangkutan. Luas lingkup produksi dan pemasaranya bersifat lokal (Adisasmita 2005).

(44)

(multiplier effect) dalam perekonomian wilayah (Adisasmita 2005; Azis 1994; Rustiadi et al. 2006).

Untuk mengetahui potensi ekonomi yang merupakan basis dan bukan basis dapat digunakan analisis Location quotient (LQ), yang merupakan pebandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Asumsi dalam LQ adalah terdapat sedikit variasi dalam pola pengeluaran secara geografi dan produktivitas tenaga kerja seragam serta masing-masing industri menghasilkan produk atau jasa yang seragam (Rustiadi et al. 2006).

Konservasi Sumberdaya Alam dan Pembangunan Wilayah

Secara umum, pemahaman masyarakat terhadap pentingnya konservasi sumberdaya alam sudah cukup baik. Sebagai contoh, masyarakat sadar bahwa penebangan hutan secara berlebihan (illegal logging), akan menyebabkan terjadinya penurunan fungsi lingkungan seperti penurunan tingkat kesuburan tanah, peningkatkan erosi dan sedimentasi, serta terganggunya sistem tata air. Akan tetapi pemahaman tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan tindakan untuk mencegah terjadinya kerusakan sumberdaya alam. Masyarakat, bahkan pemerintah seolah tidak berdaya untuk mengendalikan kerusakan sumberdaya alam yang terjadi.

Berkaitan dengan pembangunan wilayah, daerah sering dihadapkan pada trade-off antara kepentingan ekonomi dan konservasi sumberdaya alam. Kedua hal tersebut seolah sulit dipertemukan. Kegiatan konservasi sumberdaya alam masih dianggap sebagai penghambat pembangunan karena tidak/kurang memberikan manfaat secara ekonomi. Akibatnya konservasi sering diabaikan jika sudah berhadapan dengan kepentingan ekonomi (Fauzi 2006).

(45)

banjir atau dalam kondisi dimana ikan/udang habis akibat penebangan hutan bakau (Fauzi 2006).

Selama ini, nilai manfaat ekonomi maupun non ekonomi dari konservasi belum terukur dengan baik. Akibatnya, terdapat miskonsepsi dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi sehingga keberadaan kawasan konservasi sumberdaya alam menjadi terancam. Oleh karena itu, pengukuran nilai manfaat dari kegiatan konservasi menjadi penting karena: 1) Adanya kebutuhan untuk melihat kontribusi kawasan konservasi terhadap pembangunan ekonomi regional. 2) Kebutuhan untuk menjelaskan bahwa konservasi dan pembangunan ekonomi bukan posisi harus memilih (trade-off) akan tetapi berada pada posisi yang saling menguatkan. 3) Kebutuhan untuk mengusahakan alokasi sumberdaya yang lebih baik untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi (Fauzi 2006; Khan dan Virza 2005).

Upaya memahami nilai manfaat ekonomi dihadapkan pada beberapa kendala karena sifat/karakteristik sumberdaya alam, yaitu:

1) Non-rivalry (tak tersaingi): tidak ada persaingan dalam mengkonsumsi jasa-jasa lingkungan yang diberikan oleh kawasan konservasi. Contohnya konsumsi satu orang terhadap jasa lingkungan dari produk wisata (keindahan alam, suasana nyaman) tidak mengurangi jumlah produk dan jasa yang tersedia, sehingga sumberdaya alam tersebut terkesan tidak bernilai ekonomi karena tidak termasuk barang/produk langka.

2) Non-excludability (tidak eksklusif): masyarakat umum memiliki akses yang terbuka terhadap sumberdaya. Kondisi ini membawa implikasi bahwa produk dan jasa lingkungan tidak memiliki harga pasar, atau untuk mendapat manfaat produk/jasa, maka orang tidak harus membeli secara langsung dengan harga tertentu. Contohnya untuk mengkonsumsi atau memanfaatkan air domestik dan air pertanian, masyarakat cukup mengeluarkan biaya pengadaan yang nilainya relatif kecil.

(46)

4) Uncertainty (ketidakpastian): data dan informasi mengenai nilai potensi manfaat kawasan konservasi pada umumnya tidak lengkap atau dinilai secara tidak benar. Contoh, nilai ekonomi kawasan konservasi hanya diukur dari harga tiket masuk kawasan yang relatif sangat murah, sedangkan jumlah pengunjung kawasan konservasi relatif masih sangat sedikit. Akibatnya, penentuan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi, khususnya dalam pengalokasian dana belum optimal, karena informasi manfaat yang diperoleh dari pengalokasian dana tersebut secara ekonomis belum jelas menguntungkan atau tidak.

5) Irreversibilty (ketidakpulihan): apabila kawasan konservasi sudah rusak, maka sangat sulit untuk pulih lagi. Kalaupun dapat pulih, akan diperlukan waktu yang sangat lama dan biaya yang sangat besar. Kondisi ini belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat di sekitar kawasan konservasi, sehingga masih sering berperilaku negatif.

Sumberdaya alam tidak hanya berperan sebagai sumber bahan baku proses produksi, tetapi juga sebagai penyedia sumberdaya alam dan jasa lingkungan (Gambar 3). Sumberdaya alam juga sebagai penampung limbah, baik limbah rumah tangga maupun limbah indsutri. Konservasi sumberdaya alam tidak akan berhasil jika peran tersebut diabaikan dalam sistem perekonomian. Konservasi dan pembangunan ekonomi adalah sesuatu yang saling mendukung dan bukan merupakan suatu pilihan (trade-off).

Pendapatan RT

Pendapatan Perusahaan

Gambar 3. Aliran Barang dan Jasa dalam sistem ekonomi berwawasan lingkungan (Fauzi 2006)

Rumah Tangga

Perusahaan

Sumberdaya Alam & Lingkungan

Limbah do

mestik

SDA & Jasa Lingkun

gan

Barang

Ja

sa

(47)

Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam

Pemberian nilai peran sumberdaya alam sebagai penyedia jasa lingkungan cukup rumit karena jasa lingkungan bersifat intangible (tidak memiliki pasar yang jelas). Oleh karena itu pendekatan yang digunakan juga bukan metode ekonomi konvensional seperti Cost Benefit Analysis karena metode tersebut sering tidak memasukkan nilai manfaat ekologis di dalam analisisnya. Fauzi (2006) mengklasifikasikan metode perhitungan nilai sumberdaya alam yang bersifat intangibele tersebut ke dalam dua kelompok, yaitu pengukuran secara langsung dan tidak langsung (Gambar 4).

Gambar 4. Klasifikasi valuasi non-market (Fauzi 2006)

Prinsip umum nilai ekonomi adalah jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut keinginan untuk membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis ekosistem bisa diterjemahkan ke dalam bahasa ekonomi, dengan mengukur nilai ekonomi barang dan jasa (Fauzi 2006).

Pengukuran nilai ekonomi suatu kawasan konservasi dapat dihitung dengan pendekatan biaya perjalanan (travel cost method). Secara prinsip, metode ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempat/kawasan-kawasan konservasi. Dengan mengetahui pola ekspenditur dari konsumen, bisa dikaji beberapa nilai yang diberikan konsumen kepada sumberdaya alam dan lingkungan. Pada pengukuran nilai ekonomi sumberdaya

Valuasi Non-Market

Tidak Langsung (Revealed WTP) Langsung (Survei) (Expressed WTP)

Hedonic Pricing

Travel Cost

Random Utility Model

Contongent Valuation

Random Utility Model

(48)

alam dan lingkungan secara langsung, nilai ekonomi diperoleh dengan menanyakan secara langsung kepada konsumen mengenai keinginan mereka untuk membayar (WTP) barang dan jasa yang dihasilkan sumberdaya alam dan lingkungan. Salah satu metode yang digunakan adalah contingent valuation method (CVM). Metode ini sering digunakan untuk mengukur nilai pasif (nilai non pemanfaatan) sumberdaya alam, sering juga dikenal dengan nilai keberadaan. Metode ini bertujuan untuk mengetahui: 1) keinginan membayar (Willingness to Pay) dari masyarakat, misalnya terhadap perbaikan kualitas lingkungan, dan 2) keinginan menerima (Willingness to Accept) kerusakan lingkungan suatu lingkungan. Proses pengukuran nilai ekonomi dengan CVM terdiri atas beberapa tahap:

1. Membuat hipotesis pasar

Pada tahap ini, dibuat hipotesis pasar terhadap sumberdaya alam yang akan dievaluasi. Kondisi sumberdaya alam digambarkan secara jelas, baik dengan gambar/foto, manfaat dan kepentingannya. Digambarkan juga jika kondisi sumberdaya alam habis/tidak ada.

2. Mendapatkan nilai lelang

Nilai lelang merupakan nilai maksimum keinginan membayar terhadap kegiatan konservasi sumberdaya alam, setelah diketahui manfaat kegiatan. Nilai lelang dapat diperoleh melalui tehnik:

- Permainan lelang. - Pertanyaan terbuka. - Paymand cards.

- Model referendum atau discret choise. 3. Menghitung rataan WTP dan WTA

Nilai rataan WTP dan WTA diperoleh berdasarkan nilai lelang pada tahap 2. Perhitungan didasarkan pada nilai mean (rataan) dan nilai median (tengah). 4. Memperkirakan kurva lelang

Kurva lelang diperoleh dengan meregresikan WTP/WTA sebagai variabel tidak bebas (dependent variable) dengan beberapa variabel bebas seperti tingkat pendapatan, pendidikan, dan lain sebagainya.

(49)

Agregasi data merupakan konversi rataan lelang sampel yang diperoleh pada tahap tiga ke rataan populasi. Contohnya dengan mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga dalam populasi (N).

Dalam konteks pembangunan wilayah, valuasi ekonomi sumberdaya alam menjadi penting. Kontribusi suatu sektor kegiatan ekonomi terhadap pembangunan nasional pada umumnya dinyatakan dalam nilai uang yang kemudian dikonversi dalam nilai persentase. Setiap sektor kegiatan ekonomi pasti menghasilkan produksi barang atau jasa yang diukur secara fisik. Untuk menyatakan seluruh hasil barang dan jasa dalam satu nilai diperlukan valuasi ekonomi yang menyatakan semua produksi barang dan jasa itu dalam nilai moneter.

Arahan Pemanfaatan Ruang Berbasis Konservasi Sumberdaya Alam

Peran sumberdaya alam dalam pembangunan tidak hanya untuk kepentingan lokal, tetapi juga regional, bahkan global. Karenanya, kelestarian sumberdaya alam menjadi tanggung jawab bersama, baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, pihak swasta, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, juga pihak internasional. Setiap negara di dunia harus memasukkan konservasi sumberdaya alam sebagai bagian integral dari pembangunan wilayahnya.

(50)

Berkaitan dengan pembangunan wilayah, arahan pemanfaatan ruang, yang tertuang dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) menjadi penting. Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan tata ruang merupakan wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang itu sendiri adalah susunan pusat-pusat pemukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendudung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya (Rustiadi et al. 2006).

Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/ atau aspek fungsional. Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah. Sedangkan kawasan merupakan wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestraian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Arahan pemanfaatan ruang menjadi penting karena merupakan legal base dari pelaksanaan pembangunan yang akan dilakukan. Oleh karena itu, pembangunan wilayah yang memasukkan konservasi sumberdaya alam sebagai concern-nya, harus membuat/menggambarkan dengan jelas arah pemanfaatan ruangnya (Rustiadi et al. 2006).

(51)

kebijakan penunjukkan kawasan hutan dan perairan, serta penunjukkan kawasan hutan propinsi.

Analisis kemampuan lahan merupakan proses pengklasifikasian lahan berdasarkan kemampuannya untuk tujuan penggunaan tertentu. Sistem klasifikasi kemampuan lahan dikembangkan oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat (United States Departement of Agriculture/USDA) dan banyak diadopsi oleh negara-negara berkembang (Klingebiel dan Montgomery 1961). Pengelompokan dalam klasifikasi ini dilakukan secara kualitatif, didasarkan pada kemampuan lahan untuk memproduksi pertanian secara umum, tanpa menimbulkan kerusakan jangka panjang. Sistem ini mengenal tiga kategori, yaitu kelas, sub-kelas, dan unit (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).

Dalam tingkat kelas, lahan dikelompokkan dalam 8 kelas, dimana kelas I-IV merupakan lahan yang sesuai untuk pertanian, sedangkan lahan kelas V-VIII tidak sesuai untuk usaha pertanian atau memerlukan biaya yang sangat tinggi pengelolaanya (Gambar 5). Tanah kelas I sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian tanpa memerlukan tindakan pengawetan tanah yang khusus. Tanahnya datar, dalam, bertekstur agak halus atau sedang, drainase baik, mudah diolah, dan responsif terhadap pemupukan.

Kelas kemampuan

lahan

Intensitas dan macam penggunaan lahan Cagar

Alam Hutan

Penggembalaan Pertanian Terba

[image:51.612.136.513.429.574.2]

-tas Sedang Intensif Terbatas Sedang Intensif Sangat intensif Hambatan meningkat, kesesuaian dan pengguna-an lahpengguna-an berkurang I II III IV V VI VII VIII

Gambar 5. Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007)

(52)

ideal, 4) struktur tanah agak kurang baik, 5) sedikit gangguan salinitas atau Na tetapi mudah diperbaiki, 6) kadang-kadang tergenang atau banjir, 7) drainase yang buruk yang mudah diperbaiki dengan saluran drainase, dan 8) iklim sedikit menghambat (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).

Lahan kelas III mempunyai penghambat yang agak berat, yang mengurangi pilihan jenis tanaman yang dapat diusahakan atau memerlukan usaha pengawetan tanah yang khusus atau kedua-duanya. Faktor penghambat lahan adalah salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat berikut: 1) lereng agak curam, 2) kepekaan erosi agak tinggi atau erosi yang telah terjadi cukup berat, 3) sering tergenang banjir, 4) permeabilitas untuk tanah sawah sangat lambat, 5) masih sering tergenang meskipun drainase telah diperbaiki, 6) dangkal, 7) daya menahan air rendah, 8) kesuburan tanah rendah dan tidak mudah diperbaiki, 9) salinitas atau Na sedang, dan 10) penghambat iklim sedang (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).

Lahan kelas IV, faktor penghambatnya berupa salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat berikut: 1) lereng curam, 2) kepekaan erosi besar, 3) erosi yang telah terjadi berat, 4) tanah dangkal, 5) daya menahan air rendah, 6) sering tergenang banjir yang menimbulkan kerusakan berat pada tanaman, 7) drainase terhambat dan msih sering tergenang meskipun telah dibuat saluran drainase, 8) salinitas atau Na agak tinggi, dan 9) penghambat iklim sedang. Tanah kelas IV memerlukan pengelolaan yang sangat hati-hati (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).

(53)

tidak cocok untuk tanaman pertanian tetapi cocok untuk rumput atau pohon-pohonan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).

Lahan kelas VI memiliki penghambat yang sangat berat sehingga tidak sesuai untuk pertanian dan hanya sesuai untuk tanaman rumput atau ternak atau dihutankan. Faktor penghambat lahan kelas ini adalah salah satu atau lebih sifat-sifat berikut: 1) lereng sangat curam, 2) bahaya erosi atau erosi yang telah terjadi sangat berat, 3) berbatu-batu, 4) dangkal, 5) drainase sangat buruk atau tergenang, 8) daya menahan air rendah, 7) salinitas atau kandungan Na tinggi, dan 8) penghambat iklim besar (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).

Lahan kelas VII sama sekali tidak sesuai utnuk usaha tani tanaman semusim dan hanya sesuai untuk padang penggembalaan atau dihutankan. Faktor penghambatnya adalah salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat berikut: 1) lereng terjal, 2) erosi sangat besar, 3) tanah dangkal, 4) berbatu-batu, 5) drainase terhambat, 6) salinitas atau Na sangat tinggi, dan 7) iklim sangat menghambat (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).

Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk produksi pertanian, dan harus dibiarkan dalam keadaan alami atau di bawah vegetasi alam. Tanah ini digunakan untuk daerah rekreasi cagar alam atau hutan lindung. Penghambat yang tidak dapat diperbaiki lagi dari tanah ini adalah salah satu atau beberapa sifat berikut: 1) erosi atau bahaya erosi sangat besar, 2) iklim sangat buruk, 3) tanah selalu tergenang, 4) berbatu-batu, 5) kapasitas menahan air sangat rendah, 6) salinitas sangat tinggi dan 7) sangat terjal. Termasuk dalam kelas ini antara lain adalah tanah bekas pertambangan, batuan singkapan, pasir pantai, dan lahan yang hampir gundul (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).

(54)

Setelah kawasan lindung dan budidaya dipisahkan, permasalahan sebaiknya diselesaikan adalah penentuan aktivitas pembangunan yang boleh dan tidak boleh dilakukan di dalam kawasan. Dalam hal ini, aspek kelembagaan menjadi penting, baik pada tataran aturan main (rule of the game), maupun struktur atau organisasinya (role). Aspek kelembagaan berperan penting dalam pengelolaan sumberdaya alam karena menentukan siapa dan bagaimana suatu teknologi (action) terhadap sumberdaya dilakukan (Fauzi 2006).

Kabupaten Konservasi dan Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pembangunan berkelanjutan menekankan pada pembangunan dan konsekuensinya terhadap aspek sosial dan lingkungan, yang dipengaruhi juga oleh bagaimana pembangunan telah dilakukan pada masa sebelumnya. Tantangan pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana mengatasi kemiskinan dan ketidakadilan, dengan pemahaman tidak hanya pada pembangunan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi juga bagaimana menahan/mengurangi kerusakan lingkungan, dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara maksimum, pemberdayaan dan aktifitas lokal (Barbier 2005; Fauzi 2006; Rustiadi et al. 2006).

(55)

Dalam konteks permasalahan lingkungan, pembangunan berkelanjutan sering diperdebatkan dalam terminologi ekonomi-ekologi dan tehnis-ekologi. Kita sering mengabaikan unsur-unsur sosial dari pembangunan berkelanjutan. Ancaman permasalahan lingkungan tidak berasal dari mahluk luar angkasa, tetapi dari aktivitas manusia itu sendiri, baik lokal maupun non-lokal. Oleh karena itu, “mendahulukan manusia” di dalam program investasi dan kebijakan untuk mempengaruhi pembangunan merupakan hal yang sangat realistis. Hal ini berarti inti dari pembangunan berkelanjutan adalah manusia dan kelembagaannya. Walapun demikian, tanpa meletakkan salah satu aspek pada posisi lebih rendah dari yang lain, pendekatan pembangunan berkelanjutan harus dilakukan secara serempak, baik sosial, ekonomi, maupun ekologi (Brinkerhoff dan Goldsmith 1992; Cernea 1993).

Pembangunan berkelanjutan berhadapan dengan permasalahan kemiskinan, kelaparan, kesehatan, buta huruf, dan perusakan ekosistem dimana kita bergantung padanya untuk meningkatkan kesejahteraan kita. Karenanya, integrasi pembangunan dan lingkungan yang lebih dan tingginya perhatian terhadap hal tersebut akan meningkatkan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar, meningkatkan standar hidup, ekosistem lebih terkelola dan terlindungi dan masa depan yang lebih aman. Untuk mencapai semua itu, tidak dapat dilakukan oleh suatu negara secara sendirian, namun secara bersama-sama dengan membangun kerjasama/partnership (a global partnership for sustainable development) (Cernea 1993).

(56)

Bergulirnya wacana pembentukan kabupaten konservasi merupakan suatu terobosan yang positif dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Secara konseptual, kabupaten konservasi lebih ramah lingkungan, berwawasan keberlanjutan dan memperhatikan kebutuhan manusia sebagai tujuan akhirnya (kesejahteraan). Kabupaten konservasi merupakan daerah otonom yang menyelenggarakan pembangunan berlandaskan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati, pemanfaatan berkelanjutan, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembentukan kabupaten konservasi akan memberi warna tersendiri (uniqueness) bagi daerah yang mencanangkannya. Keberadaan kawasan konservasi, dengan beragam kekayaan alam yang dikandungnya akan menjadi kekuatan tersendiri bagi daerah dalam melaksanakan pembangunan.

Walau masih dalam taraf uji coba sementara pada tataran tehnis masih terdapat banyak kendala, pencanangan kabupaten konservasi telah membawa semangat perubahan pembangunan ke arah yang lebih baik. Konsep kabupaten konservasi mendapat apresiasi positif dari banyak pihak, terutama daerah-daerah otonom yang secara fisik memiliki keterbatasan dalam pembangunan. Saat ini, terdapat 7 Daerah Tingkat II yang telah mencanangkan diri sebagai kabupaten konservasi, yaitu Kabupaten Kapuas Hulu, Kuningan, Lebong, Malinau, Pasir, Wakatobi dan Lampung Barat.

(57)

Konsep kabupaten konservasi bermula dari kenyataan bahwa terdapat keterpisahan kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis pendekatan ekosistem dan bersifat holistik. Dalam kondisi tersebut, mandat politik nasional dan internasional dalam pengelolaan kawasan konservasi tidak mendapat posisi yang menguntungkan, khususnya di daerah yang sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan konservasi (contoh kasus pembagian dana DR). Tanpa disadari, sistem hukum dan kebijakan pemerintah telah memicu terjadinya konflik vertikal antara kepentingan nasional untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan kawasan konservasi di satu sisi dan kepentingan daerah dalam pembangunan ekonomi wilayah di sisi lain. Kondisi tersebut tidak terlepas dari kebijakan dan strategi pembangunan ekonomi di daerah yang cenderung meningkatkan eksploitasi sumberdaya alam, serta lemahnya kebijakan ekonomi nasional yang mampu mewujudkan insentif bagi daerah untuk melakukan konservasi sumberdaya alam di wilayahnya (Tim Kecil Kabupaten Konservasi 2006).

Peran pemerintah daerah dalam pembangunan telah meningkat dari waktu ke waktu. Dalam pelaksanaan konservasi sumberdaya alam, termasuk pengelolaan kawasan konservasi, pemerintah daerah memiliki peran penting. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat dan Daerah perlu menata pembagian biaya dan manfaat yang lebih adil dari pengelolaan sumberdaya alam, guna peningkatan kapasitas pengelolaan kawasan konservasi. Dalam konteks ini, pada kabupaten tertentu, dimana kawasan konservasi memiliki peran penting dalam pembangunan wilayah, pilihan politik daerah untuk mencanangkan diri menjadi Kabupaten Konservasi perlu ditanggapi secara serius dan diwujudkan implementasinya melalui kebijakan nasional. Kabupaten konservasi ditetapkan secara resmi dan legal oleh pimpinan daerah dengan dukungan yang jelas dari masyarakat setempat (Tim Kecil Kabupaten Konservasi 2006).

Untuk mencapai tujuan kabupaten konservasi, strategi untuk mewujudkan kabupaten konservasi dapat, tetapi tidak terbatas, pada hal-hal berikut:

(58)

2. Mewujudkan kepastian ruang (hak dan fungsi) bagi pengelolaan kawasan lindung

3. Mewujudkan kepastian pembatasan kerusakan di masa transisi menuju kabupaten konservasi

4. Mewujudkan pembagian biaya dan manfaat sumberdaya alam antara pihak-pihak yang lebih adil.

(59)

METODOLOGI PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Aspek kelestarian sumberdaya alam penting dalam pembangunan karena sumberdaya alam merupakan salah satu modal dasar (naturan capital) pembangunan wilayah, disamping tiga modal dasar yang lain, yaitu sumberdaya manusia (human capital), sumberdaya buatan/infrastruktur (man-made capital) dan modal sosial (social capital). Kerusakan dan kepunahan sumberdaya alam akan berdampak negatif bagi pembangunan, menurunkan kualitas lingkungan, yang pada akhirnya merugikan bagi masyarakat. Pengembangan wilayah merupakan penggunaan menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumberdaya yang ada dan memberikan kontribusi terhadap pembangunan suatu wilayah. Sementara konsep pembangunan wilayah merupakan suatu upaya dalam mewujudkan keterpaduan penggunaan sumberdaya dengan penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antar daerah, antar sektor, serta antar pelaku pembangunan dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah. Karenanya dalam pembangunan, sumberdaya alam harus dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat.

(60)

Setelah kawasan lindung dan budidaya dipisahkan, selanjutnya dilakukan analisis potensi peng

Gambar

Gambar 2. Klasifikasi sumberdaya alam (Fauzi 2006)
Gambar 5. Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007)
Gambar 6. Kerangka Pikir Penelitian
Tabel 1. Kriteria klasifikasi kemampuan lahan
+7

Referensi

Dokumen terkait

People, where the Company needs more competent and representative agency to deliver good information about this Life Insurance’s product to customer especially

Alhamdulillah, segala puji syukur kita kehadirat Allah Swt yang telah memberi nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan, sehingga penulis

Nilai risiko tinggi pada bagian leher ini dikarenakan pada pekerjaan ini para pekerja melakukan postur menunduk kearah bawah karena melihat obyek, selain itu durasi

Dari hasil penelitian terhadap dua media alternatif (air rendaman kedelai dan Nutrient Broth ) didapatkan bahwa media alternatif yang optimum untuk digunakan adalah Nutrient Broth

Untuk pertanyaan kedua dari karakteristik potensi pasar yang disampaikan adalah teknologi layanan online yang digunakan oleh responden, pada gambar 2, teknologi pasar

Tujuan penelitian ini adalah untuk membangun sistem informasi persediaan barang dagang yang mampu mempermudah dalam proses penginputan, menghitung transaksi dan

Rumusan bentuk transformasi fisik spasial Kelurahan Kembangsari untuk melihat dan membandingkan seluruh kondisi fisik spasial Kelurahan Kembangsari dalam kurun waktu 20 tahun

4 004/KJ/13 JHONSON RADIANTO Lulus A PT CHEVRON INDONESIA COMPANY Sudah Jadi.. 5