• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara yang terkenal akan kekayaan dari segi sumber daya alam, baik dari sektor agraria maupun maritim. Begitu juga dengan sumber daya manusia yang memiliki penduduk yang banyak. Namun dari dahulu sampai sekarang, orang-orang yang tinggal di negara Indonesia belum mampu untuk memanfaatkan kekayaan alamnya yang ada secara maksimal. Oleh karena itu, salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini tentu saja meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui potensi yang dimiliki masing-masing individu baik melalui pemenuhan pendidikan dan kesehatan yang baik. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia seringkali dikaitkan dengan masalah “material” (dana) yang akan dipakai dalam pelaksanaan. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, negara dituntut untuk memberikan perhatian yang diikuti kerjasama pendidik dan orang tua.

Orang tua merupakan pihak lain yang melihat secara langsung seberapa besar dana yang dimiliki sehingga dapat memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak-anaknya sehingga anak-anaknya dapat menjadi seorang yang berkualitas. Pihak orang tua pada umumnya menilai, peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas menjadi begitu erat kaitannya dengan uang. Padahal tidak selamanya ‘pendidikan’ yang mahal memberikan pelayanan dengan kualitas prima. Sebut saja permasalahan-permasalahan yang terdapat di lembaga pendidikan: bullying, tawuran, mencontek,

pre-marital sex, narkoba, dll. Seringkali lembaga-lembaga pendidikan dengan guru-guru yang profesional tidak mampu menangani permasalahan-permasalahan yang ada di sekolah. Apalagi menurut Megawangi, orang tua yang terlambat mengisi pendidikan yang baik pada anaknya, maka bisa lebih dulu diisi dengan hal yang buruk oleh pihak lain.

Selama ini upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia selalu dikaitkan proses peningkatan kualitas pendidikan formal. Proses peningkatan kualitas pendidikan formal itu sendiri telah dilakukan tetapi ternyata memunculkan berbagai masalah, terutama perihal anggaran yang harus dialokasikan untuk membiayai keperluan proses belajar mengajar. Sehingga pendidikan terasa menjadi begitu mahal. Untuk kalangan yang beruntung, persoalan biaya memang bukan soal. Lain halnya dengan orang miskin. Jangankan untuk bersekolah di tempat yang mewah dan berfasilitas lengkap. Untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti sadang, pangan dan papan pun sangat jauh dari cukup. Mereka tentu akan sangat terbantu dengan adanya bantuan pemerintah, swasta dan juga lembaga swadaya masyarakat seperti BOS, pemberian beasiswa, dan pelayanan lain yang setidaknya dapat menghantarkan putera-puteri bangsa ini megenyam pendidikan yang cukup (setidaknya sampai dengan SMU atau bahkan perguruan tinggi). Sehingga sudah cukup bagi mereka bersekolah di tempat yang sederhana. Tetapi apakah pendidikan yang mereka raih di sekolahnya tersebut lebih buruk? Akankah kualitas hidup mereka akan lebih buruk dari pada anak-anak yang memiliki kesempatan mengenyam pendidikan di sekolah yang mewah?

Dengan demikian, pendidikan formal yang memiliki fasilitas lengkap, mahal dan berprestasi di segala bidang tidak selamanya memberikan jaminan sebagai alat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Seringkali, tidak berbeda dengan pendidikan formal di sekolah, pendidikan di dalam keluarga juga seringkali dalam dikaitkan dengan ‘uang’. Anak yang lahir di dalam keluarga miskin diasumsikan akan memiliki masa depan yang lebih suram dari pada anak yang lahir dari keluarga yang berkecukupan. Seorang anak yang miskin tentu akan mendapatkan gizi yang buruk, contoh yang buruk dari orang tuanya, dan lingkungan masyarakat yang buruk. Sebaliknya anak yang lahir dari keluarga yang berkecukupan akan mendapatkan gizi yang baik, bimbingan yang baik dari orang tuanya karena orang tuanya juga berpendidikan tinggi, dan terlindungi dari pengaruh lingkungan masyarakat yang buruk. Pada praktiknya sebagian besar asumsi tersebut tidak selamanya benar. Ada anak yang lahir dari keluarga miskin.

Desi Dwi Wulandari(2009 : 5), salah satu kunci dalam pendidikan ialah peranan orang tua. Sebenamya kalau kita me1ihat keterlibatan orang tua sampai saat ini masih sangat kurang, terutama orang tua yang di kota, yang sibuk dengan aktivitas di kantor, sehingga terlihat sekali bahwa anak tersebut seolah-olah itu semua tanggung jawab guru. Kesibukan mereka tersebut dipengaruhi cara berpikir mereka bahwa dengan mencari nafkah sebanyak-banyaknya dapat memenuhi kebutuhan pendidikan anak adalah utama dan sekolah yang berkewajiban untuk membuat anak mnjadi orang yang sukses. Padahal orang tua juga harus terlibat di dalam hal itu karena anak tersebut tidak hanya bisa dikreatifkan selama di sekolah saja. Sedangkan di desa, orang tua kurang memperdulikan pendidikan anak karena cenderung mencari

nafkah karena kesulitan ekonomi, dan tingkat pendidikan yang masih rendah membuat pola pikir mereka mengenai pendidikan anak menjadi terbatas. Bagi mereka anak sampai pada pendidikan Sekolah Menegah Pertama atau Sekolah Menengah Umum sudah hebat dibandingkan mereka yang hanya tamatan Sekolah Dasar.

Anak tidak akan bisa kreatif kalau tidak ada pantauan secara langsung dari orang tuanya. Keterkaitan orang tua dalam hal ini sangat penting, apalagi kalau dilihat dalam proses belajar mengajar, ada pekerjaan rumah yang tidak bisa dijawab, harusnya orang tua juga kreatif mencari dari buku yang lain atau pun membimbing anak mencarikan hal - hal yang lain sehingga dia merasa bahwa orang tuanya tidak sekadar memberikan uang jajan atau menyekolahkan dia, tetapi juga ikut meningkatkan kreativitas atau meningkatkan pendidikan. Dengan kata lain, dalam penggunaan pendidikan maka semua pihak terlibat, dan oleh karenanya, baik guru, siswa, maupun orang tua mesti kreatif.

Selama ini sebagian orang berpikir bahwa pendidikan itu hanya merupakan tanggung jawab sekolah. Oleh sebab itu, ketika orang tua memasukan anaknya ke sekolah, mereka seolah-olah berpikir bahwa masalah telah selesai. Padahal mereka lupa bahwa orang tua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keberhasilan pendidikan itu sendiri. Sesuai UUSPN (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional), pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Sekolah sebagai pembantu kelanjutan pendidikan dalam keluarga, sebab pendidikan yang pertama dan utama diperoleh anak ialah dalam keluarga. Peralihan bentuk pendidikan informal/keluarga ke formal/sekolah memerlukan kerjasama antara orang tua dan sekolah (pendidik). Sikap anak terhadap sekolah

terutama akan dipengaruhi oleh sikap orang tua mereka. Sehingga diperlukan kepercayaan orang tua terhadap sekolah (pendidik) yang menggantikan tugasnya selama di sekolah (Idris, Z, 1981).

Menurut Bashori (2004) dalam tulisannya mengenai peran keluarga dalam pendidikan, orang tua harus memperhatikan sekolah anaknya dengan memperhatikan pengalaman-pengalamannya dan menghargai usaha-usahanya, menunjukkan kerjasamanya dalam cara anak belajar di rumah dan atau membuat pekerjaan rumahnya. Ketika orangtua terlibat langsung dalam kehidupan dan pendidikan anak-anaknya, maka mereka akan memberi perlakuan yang lebih tepat kepada anak-anak.

1.2Perumusan Masalah

Pada saat ini, kepedulian orang tua lebih kepada sisi material dibandingkan perhatian terhadap sisi pendidikannya. Tanpa mereka sadari kepedulian dalam kegiatan belajar sangat mempengaruhi kemampuan belajar anak. Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian adalah: sejauh manakah perbedaan kepedulian orang tua di desa dan kota terhadap pendidikan anak sekolah dasar terutama dalam hal kegiatan belajar?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan yang lebih besar tentang kepedulian orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar terutama pada kegiatan belajar siswa berdasarkan kediaman orang tua di desa dan kota.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari dilakukannya penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis

Hasil yang akan diperoleh dalam penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memperoleh pengetahuan yang lebih baik mengenai perbandingan kepedulian orang tua terhadap pendidikan anak sekolah dasar di desa dan kota dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial, khususnya Ilmu Sosiologi

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan juga memberikan sumbangan bagi orangtua di daerah yang bersangkutan agar dapat lebih memberi perhatian atau lebih peduli pendidikan anak sekolah dasar baik untuk orang tua yang ada di desa maupun di kota. 1.5 Kerangka Teori

Pengertian keluarga bahwa keluarga disebut dengan kata “famili” dimana hubungan yang terdiri dari beberapa keluarga atau anak-anak dan cucu yang belum menikah dengan hidup bersama-sama dalam suatu tempat yang dikepalai oleh kepala famili atau “patriach”. Ikatan famili memliki fungsi sosial, kesatuan hukum, upacara-upacara ritual dan juga pendidikan anak. Peranan Keluarga Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat. Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut :

1. Peranan Ayah : Sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan juga sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. 2. Peranan Ibu : Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai

peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.

3. Peran Anak : Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.

Setiap keluarga umumnya mendambakan anak, karena anak adalah harapan atau cita-cita dari sebuah perkawinan. Berapa jumlah yang diinginkan, tergantung dari keluarga itu sendiri. Apakah satu, dua tiga dan seterusnya. Dengan demikian keputusan untuk memiliki sejumlah anak adalah sebuah pilihan, yang mana pilihan tersebut sangat dipengaruhi oleh nilai yang dianggap sebagai satu harapan atas setiap keinginan yang dipilih oleh orang tua.

Secara umum kehadiran anak dalam keluarga dapat dilihat sebagai fungsi anak yang menguntungkan orang tua dari segi psikologis, ekonomis dan sosial (Horowirz, 1985; Suparlan, 1989; Zinn dan Eitzen, 1990). Pertama, anak dapat lebih mengikat tali perkawinan. Pasangan suami istri merasa lebih puas dalam perkawinan

dengan melihat perkembangan emosi dan fisik anak. Kehadiran anak juga telah mendorong komunikasi antara suami istri karena mereka merasakan pengalaman bersama anak mereka.

Kedua, orang tua merasa lebih muda dengan membayangkan masa muda mereka melalui kegiatan anak mereka. Ketiga, anak merupakan simbol yang menghubungkan masa depan dan masa lalu. Dalam kaitan ini, orang tua sering menemukan kebahagiaan diri mereka dalam anak-anak mereka, kepribadian, sifat, nilai, dan tingkat laku mereka diturunkan lewat anak-anak mereka. Keempat, orang tua memiliki makna dan tujuan hidup dengan adanya anak. Kelima, anak merupakan sumber kasih sayang dan perhatian. Keenam, anak dapat meningkatkan status seseorang. Pada beberapa masyarakat, individu baru mempunyai hak suara setelah ia memiliki anak. Ketujuh, anak merupakan penerus keturunan. Untuk mereka yang menganut sistem patrilineal, seperti Cina, Korea, Taiwan, dan Suku Batak, adanya anak laki-laki sangat diharapkan karena anak laki-laki akan meneruskan garis keturunan yang diwarisi lewat nama keluarga. Keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki dianggap tidak memiliki garis keturunan, dan keluarga itu dianggap akan punah.

Kedelapan, anak merupakan pewaris harta pusaka. Bagi masyarakat yang menganut sistem matrilineal, anak perempuan selain sebagai penerus keturunan, juga bertindak sebagai pewaris dan penjaga harta pusaka yang diwarisinya. Sedangkan anak laki-laki hanya mempunyai hak guna atau hak pakai. Sebaliknya, pada masyarakat yang menganut sistem patrilineal, anak laki-lakilah yang mewariskan

harta pusaka. Kesembilan, anak juga mempunyai nilai ekonomis yang penting. Di daerah pedesaan Jawa, anak sudah dapat membantu orang tua pada usia yang sangat muda. White (1982) menemukan bahwa umumnya anak mulai teratur membantu orang tua pada usia 7-9 tahun, tetapi juga ditemukan beberapa kasus anak yang membantu sejak mereka berumur 5-6 tahun. Anak laki-laki biasanya mengumpulkan rumput, memelihara ternak, mengolah sawah atau pekarangan, menjaga adik, dan mengambil air. Semakin besar usia mereka, semakin berat pekerjaan yang harus mereka lakukan. Menurut Leman sebagai orang tua, adalah sebuah kebanggaan tersendiri yang tak akan hilang bila berhasil membimbing anak dalam studi dan menjadikannya sukses. Bahkan orang tua, akan rela berusaha semaksimal mungkin dan melakukan apa saja demi membantu anak sukses dalam studinya.

Setiap orang (dalam hal ini orang tua), telah memiliki sumber-sumber yang terbatas dan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan kepuasan dengan memilih antara berbagai barang, termasuk pilihan jumlah anak yang diinginkan. Dengan pendekatan ini sulit diterangkan mengapa meningkatnya penghasilan justru menyebabkan turunnya fertilitas. Salah satu jawabannya adalah bahwa dengan meningkatnya penghasilan, orang tua ingin agar anaknya bependidikan lebih tinggi, sehingga mereka lebih memilih kualitas dari pada kuantitas anak (Jones dalam Lucas, 1990). Sejalan dengan diadakannya pembangunan sosial ekonomi, maka keinginan mempunyai anak lebih merupakan suatu proses ekonomis daripada proses biologi (Robinson dalam Lucas dkk, 1990). Menurut Robinson (Rahmawatiunhas, 2008:5) ada tiga macam tipe kegunaan anak yakni :

1) Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu barang konsumsi, misalnya sebagai sumber hiburan.

2) Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu sarana produksi, yakni dalam beberapa hal tertentu anak diharapkan untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu yang menambah pendapatan keluarga.

3) Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai sumber ketentraman, baik pada hari tua maupun sebaliknya.

Di antara berbagai pendekatan terhadap nilai anak, adalah pendekatan mikro ekonomi dan pendekatan psikologi sosial yang dikembangkan dari kerangka kerja Hoffman (Fawcett, 1983). Pendekatan ini menekankan adanya kebutuhan masing-masing orang yang terpenuhi dengan mempunyai anak, cara lain untuk memenuhi kebutuhan ini, dan interaksi antara nilai emosional, sosial dan ekonomi, serta “beban” karena mempunyai anak (Fawcett, 1986). Di beberapa negara, termasuk Indonesia, umumnya anak laki-laki mempunyai arti khusus sehingga anak lelaki paling banyak dipilih. Orang tua dari golongan menengah lebih memilih anak perempuan yang dapat menjadi kawan bagi ibu. Perbedaan tanggapan yang relatif kecil antara suami dan istri ada hubungannya dengan peranan mereka dan pembagian tugas dalam keluarga. Misalnya, wanita yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengasuh anak, mempunyai lingkungan kehidupan sosial yang lebih sempit, menitikberatkan anak sebagai teman dan kebutuhan emosional serta fisik dari pengasuhan anak. Di lain pihak, agaknya para suami lebih mementingkan kebutuhan akan keturunan untuk melanjutkan garis keluarga dan lebih prihatin terhadap biaya anak (Oppong, 1983).

Hubungan antara pendidikan dengan pola pikir, persepsi dan perilaku masyarakat memang sangat signifikan, dalam arti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin rasional dalam pengambilan berbagai keputusan. Orang tua dalam keluarga tentu saja menginginkan agar anaknya berkualitas dengan harapan dikemudian hari dapat melanjutkan cita-cita keluarga, berguna bagi masyarakat dan negara. Untuk sampai pada cita-cita tersebut tentu saja tidak mudah, dibutuhkan strategi dan metode yang baik. Apakah mungkin menciptakan anak yang berkualitas di tengah waktu yang terbatas, karena kesibukan bekerja, dan apakah mungkin menciptakan anak berkualitas di tengah kondisi keuangan atau pendapatan yang terbatas. Menurut Bouge dalam Lucas (1990) mengemukakan bahwa pendidikan menunjukkan pengaruh yang lebih kuat terhadap kehadiran anak daripada variabel lain. Seorang dengan tingkat pendidikan yang relatif tinggi tentu saja dapat mempertimbangkan berapa keuntungan finansial. Menurut Bellante dan Jackson (1990) anak-anak memberikan utilitas dan jasa pelayanan yang produktif bagi orang tua mereka. Dalam masyarakat yang berpenghasilan rendah (terutama pada daerah pertanian dan pesisir), anak-anak dianggap sebagai sumber tenaga kerja dan sumber pendapatan yang penting bagi keluarga. Selain itu, anak dinilai sebagai investasi hari tua atau sebagai komoditas ekonomi yang dapat disimpan di kemudian hari. Hal tersebut merupakan hubungan positif antara penghasilan dengan nilai anak. Berkorelasi negatif apabila penghasilan yang tinggi akan menilai anak bukan sebagai potensi, modal atau rezeki. Mereka menilai anak sebagai beban dalam keluarga. Anak di sekolah merupakan individu yang diutamakan. Prestasi akademik di pengaruhi pribadi dari secara khusus, namun proses pembelajaran harus diikuti oleh

partisipasi da kerja sama yang kompak antara orang tua, guru (pengajar) dan pemerintah. Menurut, J. Goode (1991 : 157), seorang anak akan menjadi jika mendapat dorongan yang kuat dari orang tua khususnya ibu yang mendapat kekuasaan menempa anak untuk dapat berprestasi dan mandiri dalam mencapai tujuan hidupnya. Jika anak gagal di keluarga maka ia akan berusaha untuk dapat menang di luar lingkungan.

Dalam Undang-Undang Nomor: 23 Tahun 2002 tentang: Perlindungan Anak Bab IV tentang Kewajiban dan Tangung Jawab, khususnya bagian keempat tentang kewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga dan Orang Tua, pada pasal Pasal 26 yang mana salah satunya ayatnya disebutkan bahwa

(l) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

a. mengasuh, meme1ihara, mendidik, dan melindungi anak;

b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan

c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Dari sini nampak bahwa negara memberi peran kepada orang tua agar sungguh-sungguh menunjukan perhatian kepada anak, termasuk dalam masalah pendidikan. Olehnya, jika orang tua mengabaikan hal tersebut, maka mereka dapat dikenakan sanksi dan hukuman sesuai peraturan yang berlaku.

Hasil-hasil penelitian (Henderson dan Mapp, 2002; National Standards for Parent/Family Involvement Programs, 2004) membuktikan bahwa keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak berhubungan dengan :

1. Prestasi anak

• Ketika orangtua terlibat, anak memiliki prestasi yang lebih tinggi, tidak memperhatikan status sosial ekonomi, latar belakang etnis/ras atau tingkat pendidikan orangtua. Kepedulian orang tua dalam bentuk perhatian terhadap pendidikan anak secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan pendidikan anak. Social ekonomi, latar belakang etnis atau tingkat pendidikan orang tua yang baik tanpa perhatian orang tua menjadi sia-sia karena perhatian merupakan hal yang penting.

• Ketika orangtua terlibat dalam pendidikan anak mereka, anak-anaknya memiliki skor tes yang lebih tinggi, anak lebih sering menyelesaikan pekerjaan rumah, dan kehadiran anak di sekolah lebih tinggi. Orang tua terlibat sebagai pemberi arahan bukan berarti orang tua yang diutamakan dalam menyelesaikan tugas anak. Keterlibatan ini dapat mengatasi perkembangan nilai-nilai anak dalam pendidikan. Perhatian yang baik menjadi kontrol bagi anak dalam memberikan hasil belajar yang memuaskan.

• Dalam program yang dirancang untuk melibatkan orangtua dalam kemitraan yang penuh, prestasi anak-anak dari keluarga yang tidak beruntung tidak hanya meningkat tetapi juga mampu mencapai level standar yang dipersyaratkan bagi anak-anak dari status sosial ekonomi menengah. Maka dari itu keadaan sosial ekonomi orang tua tidak sepenuhnya mempengaruhi pendidikan anak. Tanpa di sadari jika anak yang berasal dari keluarga yang

belum beruntung mendapat perhatian orang tua yang lebih, maka ia dapat menaikkan tingkat sosial ekonomi keluarganya.

• Para siswa kemungkinan besar mengalami kemunduran dalam prestasi akademik jika orangtua tidak berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sekolah, tidak mengembangkan sebuah hubungan yang menguntungkan dengan guru, dan tidak memantau apa yang terjadi di sekolah anak-anak mereka.

• Anak-anak lulus dari sekolah dengan nilai yang lebih tinggi. Orang tua yang perhatian terhadap kegiatan belajar anak mendapat hadiah yang member kepuaan atas hasil kerja sama yang baik. Anak juga dapat termotivasi untuk mempertahankan dan meraih nilai yang lebih baik lagi.

• Anak-anak memiliki kemungkinan besar untuk memasuki pendidikan tinggi. Pendidikan dijalani secara bertahap. Pada akhirnya jika seorang anak yang duduk di bangku Sekolah Dasar dapat melalui tahapan-tahapan tersebut sehingga anak sam ke jenjang pergutuan tinggi.

2. Perilaku anak

• Ketika para siswa melaporkan dirinya merasa mendapat dukungan dari sekolah dan rumah, mereka memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi, merasa sekolah lebih penting, cenderung melakukan sesuatu dengan lebih baik

• Perilaku-perilaku siswa seperti terlibat dalam penyalahgunaan narkoba, perilaku kekerasan, dan perilaku antisosial lainnya menunjukkan penurunan seiring dengan meningkatnya keterlibatan orangtua

• Anak memperlihatkan sikap-sikap dan perilaku-perilaku yang lebih positif. Anak menerapkan apa yang dilihat, diamati, diajarkan dan diperbuat orang tuanya. Anak mempunyai waktu yang lebih lama dengan orang tua dari pada dengan pihak lain seperti sekolah, lingkungan teman bermain dan komunitas lainnya.

3. Budaya

Sekolah-sekolah yang berhasil adalah sekolah-sekolah yang berhasil melibatkan orangtua dari berbagai latarbelakang sosial-ekonomi-budaya, memusatkan diri pada membangun hubungan kemitraan yang menguntungkan antara para guru, keluarga, dan anggota masyarakat; mengakui, menghargai, dan mempertimbangkan kebutuhan keluarga seperti halnya perbedaan status dan budaya; mengembangkan sebuah pandangan kemitraan bahwa wewenang dan tanggung jawab adalah dipikul bersama-sama.

4. Usia

Keuntungan-keuntungan dari keterlibatan orangtua tidak terbatasi pada

Dokumen terkait