• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAMPINGAN SIDEKA DALAM IMPLEMENTASI UU DESA

Dalam dokumen Sistem Informasi Desa dan Kawasan (Halaman 106-123)

UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa memberikan sejumlah perubahan terhadap makna, kepentingan, dan wewenang dari desa itu sendiri. Secara lebih sederhana, desa yang merupakan kesatuan masyarakat hukum dengan batas wilayah, memiliki kewenangan tertentu sesuai dengan kepentingan dan hak-hak khususnya yang harus diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan dan penghormatan ini merupakan pengejawantahan amanat UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam pembukaannya, “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Undang-undang ini merupakan upaya untuk lebih menempatkan masyarakat desa sebagai penyelenggara pembangunan dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki dan dapat dikembangkan secara mandiri.

Perubahan yang berkonsekuensi terhadap pertambahan wewenang berdampak pada suprastruktur dan infrastruktur di desa. Artinya desa memiliki posisi dan tanggungjawab yang lebih besar dari sebelumnya, bahkan sangat besar. Salah satu wujudnya adalah kewenangan untuk mengelola dana desa dalam jumlah yang melebihi tahun-tahun sebelumnya. Maka, diperlukan pendampingan selama masa awal perubahan untuk menghindari dampak negatif perubahan, diantaranya dengan penyiapan peraturanperaturan turunannya hingga tingkat desa serta SDM penyelenggaranya.

Penyelenggaraan Sistem Informasi Desa dan Kawasan adalah salah satu perubahan yang harus dilakukan oleh desa di era digital ini. Informasi menjadi kunci dinamika pemerintahan dan masyarakat dalam mengembangkan potensi, sumberdaya, peluang, dan kapasitasnya. Baik pemerintah maupun warga desa sudah selayaknya membuka diri atas segala informasi yang berguna bagi mereka, serta membuka diri untuk menyediakan informasi yang berguna baik bagi masyarakat secara luas (diluar diri mereka) maupun untuk diri mereka sendiri.

Persoalan hajat hidup tidak lagi dapat diselesaikan secara isolatif, eksklusif dan konvensional. Pengelolaan penyelenggaraan pemerintahan yang semakin kompleks pun tidak lagi dapat dituntaskan secara konvensional yang menuntut kemudahan dalam mengaksesnya kembali. Mudah, cepat, murah juga merupakan prasyarat pelayanan publik yang prima.

Baik pemerintah maupun masyarakat desa, sudah selayaknya memanfaatkan kesempatan dan peluang ini untuk peningkatan kapasitas diri dan lembaga. Pemerintah Desa sebagai pemberi layanan, dapat menjalankan peran, tugas, tanggungjawab dan kewenangannya dengan benar dan maksimal, sebagaimana peraturan perundanganyang mengaturnya. Sementara masyarakat

dapat menggunakan hak dan kewajibannya, dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Diantaranya, dalam penyelenggaraan pelayanan publik, pemerintah desa dapat membuka kran pengaduan melalui pembentukan mekanisme pengaduan, dan warga desa dapat menjadi mata dan telinga untuk meningkatkan mutu layanan, yaitu dengan menyampaikan temuan- temuannya melalui gerakan jurnalisme warga. Jika perbaikan mutu layanan publik dapat dimulai dari pemerintahan desa, maka dapat diharapkan perbaikan pelayanan public semakin menguat. SIDeKa bukan hanya upaya untuk mengusung potensi dan kekayaan desa sebagai sumberdaya yang termanfaatkan secara maksimal oleh desa, namun juga sekaligus mendorong desa menjadi lebih mandiri di segala bidang.

Sebagai pendamping SIDeKa, mau tidak mau wajib menguasai tentang pengelolaan teknologi informasi dan komunikasi. Selain itu kemampuan khusus seperti dalam hal memetakan dan menganalisa masalah, potensi, dan solusi; kemampuan dalam melakukan dampingan terhadap upaya advokasi. Sudah seharusnya, pendamping memiliki motivasi sebagai pembelajar. Sehingga selain materi dasar yang akan diterima melalui pelatihan ini, juga diperlukan forum komunikasi pendamping sebagai ruang berbagi pengalaman dan perumusan solusi dari tantangan-tantangan yang dihadapi para pendamping.

Pengalaman dalam berjejaring juga akan kita manfaatkan sebagai sumber-sumber informasi, wacana pengetahuan dan ketrampilan untuk meningkatkan kapasitas kita. Bahkan jika secara umum dalam evaluasi pengalaman para pendamping diperlukan, Badan Prakarsa Pemberdayaan Desa dan Kawasan dapat menerima dan merealisasikan usulan untuk pengadaan kegiatan peningkatan kapasitas para pendamping sesuai dengan kebutuhan dan

kepentingannya.

Selama masa pelatihan, selain berkesempatan untuk menerima dan mendiskusikan wacana, ketrampilan serta rencana kerja lapangan secara konkrit, ini juga kesempatan untuk para pendamping untuk memulai membangun jaringan antar pendamping, dengan seluruh narasumber, yang nanti akan sangat penting dalam perjalanan tugas.

Sedang rencana kerja konkrit untuk melakukan pengorganisasian SIDeKa, sebagai berikut:

1. Sebagai percontohan akan dipilih 2 kecamatan saja di tiap kabupaten (Tulungagung dan Malang).

2. Melakukan sosialisasi tentang Pendampingan SIDeKa dan koordinasi (pertemuan formal, nonformal, dan informal) dengan stakeholder setempat, yaitu: Dinas Komunikasi dan Informasi Kabupaten, Kecamatan, Pemerintah Desa dan Pendamping Desa, serta warga desa di desa-desa percontohan SIDeKa.

3. Melakukan analisa bersama dengan stakeholder untuk menentukan desa-desa percontohan.

4. Melakukan kegiatan-kegiatan mulai dari peningkatan kapasitas Pemerintah dan warga Desa terkait SIDeKa (pelatihan, workshop, pendampingan) hingga monitoring dan evaluasi.

HIDAYAT MUHAMMAD

hatirakyat@gmail.com [deli Serdang - Sumatera Utara]

Pertama: pandangan umum kawan-kawan tentang desa, UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan langkah-langkah untuk memperkuat desa dalam menempuh jalan pembaruan desa.

Pasal 18 (UU No. 6 Tahun 2014)Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.

Secara umum UU Desa No 6 Tahun 2014 membawa angin perubahan bagi masyarakat desa. Sejak Indonesia merdeka, Negara tidak pernah mengeluarkan regulasi setingkat Undang Undang untuk mengatur Desa. Desa selalu saja menjadi “objek” pembangunan. Dijadikan “tempat sampah” berbagai program2 pemerintah pusat dan lokal (Propinsi & Kabupaten), dimana program2 tersebut bukan merupakan usulan pembangunan Desa. Di masa lalu, pengaturan Desa cukup “dibonceng” di beberapa pasal dalam Undang-Undang pemerintahan Daerah. Perencanaan Desa dibuat seolah-olah partisipatif, transparan dan demokrasi melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa

(Musrembang Des). Padahal kita semua insyaf bahwa MusrembangDes itu cuma “lip service” saja. Bagaimana tidak, perencanaan pembangunan Desa yang digali dan dirumuskan dari gagsasan masyarakat yang dituangkan dalam MusrembangDes tersebut, sering “menguap” entah kemana. Dan sebaliknya, apa- apa yang tidak direncanakan bisa saja datang bagai petir di siang bolong, dengan atas nama program pusat atau pemerintah daerah (Propinsi dan Kabupaten). Akhirnya kedaulatan Desa dilucuti sehingga pemerintahan Desa tidak memiliki wibawa dan posisi tawar.

Pasal 4 (UU No. 6 Tahun 2014) Pengaturan Desa bertujuan:

a. memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;

c. melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;

d. mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;

e. membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;

f. meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum; g. meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna

kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional; h. memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi

kesenjangan pembangunan nasional; dan

i. memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan. Lahirnya Undang-Undang Desa No.6 di awal-awal tahun 2014 memberi harapan bagi perubahan Desa dan Kawasan antar Desa. UU No 6 tahun 2014 memberi Kewenangan Desa di bidang penyelenggaraan Pemerintahan, pelaksanaan Pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa (pasal 18). Hampir bisa dikatakan kewenangan Desa yang diamanatkan oleh UU Desa tersebut, menjadikan Desa sebagai “Negara Kecil” yang memiliki kewenangan penuh mengelola potensi wilayah dan masyarakatnya. Hal ini termaktub pada tujuan pengaturan desa tersebut, yakni pada pasal 4.

Namun yang menjadi kekwatiran banyak pihak adalah; apakah pengaturan Desa tersebut dapat dijalankan oleh pemerintah dan masyarakat Desa….?

Kekwatiran ini cukup beralasan dimana secara structural dan cultural Desa tidak pernah memiliki pemahaman dan pengalaman menjalankan kewenangan yang begitu besar seperti yang diamanatkan oleh UU Desa. Apakah kewenangan yang begitu besar tidak akan menjadi “boomerang” bagi Desa sendiri. Alih-alih ingin melakukan perubahan dan pembangunan yang lebih membumi, malah penjara yang bakal diterima. Betapa tidak, perintahan Desa dipandang belum cakap mengelolaan keuangan yang pada UU Desa saat ini cukup besar (Dana Perimbangan Daerah dan APBN). Di sisi lain masyarakat Desa pun belum memahami perannya di dalam pembangunan Desa, malah terkesan “cuek”.

secara khusus terjadi di propinsi Sumatera Utara, khususnya di wilayah perkebunan eks Belanda yang saat ini menjadi BUMN. Dimana Desa perkebunan tidak memiliki legalitas status alas hak wilayahnya. Dan lahan-lahan konsensi perkebunan BUMN tersebut banyak yang tak dikelola dan menjadi lahan garapan. Sementara Desa yang secara de vacto berada di wilayah (sebagian) konsesi perkebunan tersebut tidak bisa berbuat banyak. Diperkirakan tidak kurang ada 5.000 Hektar lahan perkebunan yang kini tidak terkelola dan menjadi lahan garapan.

Di sisi lain pengalihan lahan eks perkebunan Belanda menjadi BUMN yamg merupakan proses Nasionalisasi, menyisakan persoalan bagi masyarakat adat Melayu yang dahulu atas nama Kesultanan Deli menyewakan tanah adatnya kepada Perusahaan Belanda (Deli Maskapai dan Sinembah Maskapai). Namun sebelum waktu akad sewa-menyewa (konsesi) tersebut habis keburu diambil alih oleh pemerintah (BUMN). Sehingga tanah adat yang merupakan juga aset Desa tersebut hilang. Padahal kalau saja pemerintah lebih menghormati dan menghargai hak2 ulayat dan nasib maysarakat adat, lahan-lahan eks perkebunan tersebut seharusnya dapat dikembalikan lagi kepada Desa sebagai aset Desa untuk dipergunakan seluas-seluasnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Lahan-lahan itu dapat dipinjam-pakaikan (sewa) bagi masyarakat tani di Desa tersebut. Bagi Desa uang sewa itu menjadi pendapatan Kas Desa dan bagi masyarakat tani bisa membantu ekonomi dengan mengelola lahan tersebut.

Secara eksplisit kebijakan ini telah diatur dalam pasal 111 UU Desa, yakni Kekayaan milik Pemerintah dan pemerintah daerah berskala lokal Desa dapat dihibahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tinggal bagaimana kebijakan Pemerintah Jokowi-JK dalam menjawab persoalan ini.

Pasal 111 (PP 43 tahun 2014)

1) Pengelolaan kekayaan milik Desa yang berkaitan dengan penambahan dan pelepasan aset ditetapkan dengan peraturan Desa sesuai dengan kesepakatan musyawarah Desa.

2) Kekayaan milik Pemerintah dan pemerintah daerah berskala lokal Desa dapat dihibahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Jika persoalan yang melilit Desa saat ini tidak segera dicarikan solusinya, bukan tidak mungkin UU Desa yang saat ini disahkan akan ditarik kembali dengan alas an “stabilitas nasional”. Karena ketidak siapan Desa dalam menjalankan UU Desa tersebut sehingga menimbulkan “pelanggaran massal” oleh aparat pemerintah Desa dan melahirkan konflik horizontal ditengah masyarakat dalam memperebutkan sumber daya dan potensi Desa yang tak terkelola dengan baik itu.

Kedua, pandangan umum kawan-kawan tentang SIDeKa (Sistem Informasi Desa dan Kawasan), dalam konteks pemberdayaan desa. Peserta diminta pandangan dan analisisnya, tentang kedudukan SIDeKa dalam mempercepat gerak kebangunan desa-desa. Apa yang harus dilakukan pemerintah (baik pusat maupun daerah), apa yang harus dilakukan pemerintah desa, apa yang harus dilakukan warga desa, dan apa yang harus dilakukan para pendamping.

Bagian Ketiga

Sistem Informasi Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Pasal 86

informasi Desa yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan sistem informasi Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan.

(3) Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi fasilitas perangkat keras dan perangkat lunak, jaringan, serta sumber daya manusia.

(4) Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi data Desa, data Pembangunan Desa, Kawasan Perdesaan, serta informasi lain yang berkaitan dengan Pembangunan Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan. (5) Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelola oleh Pemerintah Desa dan dapat diakses oleh masyarakat Desa dan semua pemangku kepentingan. (6) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menyediakan informasi

perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota untuk Desa. Perangkat Lunak (Aplikasi SiDeKa)

· Perangkat Lunak dikembangkan tidak hanya mengelola data kependudukan, potensi desa, analisis sosial, kebencanaan dan informasi pembangunan desa, namun dapat dikembangkan kepada pengelolaan data Keuangan Desa (APB Des) dan data Spasial (Geograf is) Desa. Dengan demikian Desa dapat merancang perencanaan wilayah, baik di kawasan desa dan kawasan antar Desa tetangga.

· Selain itu SiDeKa juga berfungsi sebagai media konvergensi bagi masyarakat desa. Yakni melalui pengembangan media warga dan perangkat komunikasi yang dimiliki warga, seperti radio, HP (SMS gateway), HT (Bankom Desa), Corong Mesjid,

majalah dinding (papan informasi), bulletin, Koran desa, website, dll.

Pemanfaatan

· Pembangunan Desa harus berpedoman pada informasi dari hasil pengelolaan data SiDeKa. Pembangunan yang dimaksud adalah implementasi hasil Musrembang dan RKP Desa, program/hibah baik dari pemerintah, kerjasama perguruan tinggi (penelitian), swasta (Investasi), BUM Des, dll.

· Dalam pemanfaatan SiDeKa, Desa perlu membangun kesadaran warganya dalam melek Media (Media Literacy). Dalam hal ini Desa dapat membentuk KIM (Kelompok Informasi Masyarakat). Sehingga output SiDeKa mampu dicerna warga dan mengimplementasikannya dalam gerakan perubahan desa.

· Dalam memberikan akses Output (laporan/berita/informasi) SiDeKa secara lebih luas, Desa dapat membangun media komunitas (Buletin atau Radio komunitas). Pembangunan media komunitas ini dapat berkerjasama dengan beberapa desa terdekat (sejangkau siar/kecamatan). Sehingga pengelolaan media komunitas lebih efisien dan efektif serta melibatkan warga secara luas pula.

Pelaksana

· Untuk membantu kinerja Perangkat Desa dalam menjalankan (SiDeKa), pemerintah desa dapat melibatkan partisipasi masyarakat. Baik dalam pengumpulan, pengelolaan dan pemanfaatannya.

· Pelibatan masyarakat ini dilakukan dengan merekrut Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) di bidang informasi

dan komunikasi yang berasal dari masyarakat Desa tersebut. · KPMD bidang Informasi Komunikasi ini dipilih dari anggota Karang Taruna, Remaja Mesjid, dan organisasi Pemuda atau masyarakat lainnya.

· Kader2 ini harus dilatih untuk pengumpulan, pengelolaan dan pemanfaatan informasi kepada masyarakat.

· KPMD bidang Informasi & Komunikasi ini akan terlibat dalam pengumpulan data (questioner) di tingkat masyarakat. · KPMD bidang Informasi & Komunikasi dapat dilibatkan dalam

entry data SiDeKa.

· Selanjutnya kader2 tersebut dipersiapkan untuk membentuk media warga (komunitas) sebagai media komunikasi dan informasi di tingkat warga desa (public).

· Beberapa Kader tersebut diperankan sebagai jurnalis warga yang akan meliput peristiwa dan menggali pendapat masyarakat dalam memberi masukan pembangunan Desa.

Ketiga, tentang segi-segi apa yang kawan kawan (para peserta) harus kuasai, atau pengetahuan tentang apa saja yang harus kuasai/dimiliki, sedemikian rupa sehingga kerja-kerja pendampingan menjadi lebih efektif (langkah pendampingan sampai kepada maksud). Apa rencana pribadi kawan kawan untuk mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan tersebut. Apa saran kepada Badan Prakarsa Pemberdayaan Desa dan Kawasan.

Peningkatan kapasitas di bidang:

· Pengelolaan Anggara pembangunan Desa, · Pengetahuan pembentukan BUMDes

· Pengetahuan tentang fasilitasi Musrembang Desa dan Musrembang Kecamatan

· Pengetahuan Pembuatan Peraturan Desa

Keempat, tentang rencana kongkrit Kawan, baik dalam kerangka pendidikan (pelatihan) maupun dalam kerangka program SIDeKa. Dalam hal ini setiap peserta diminta menyusun rencana kerja kongkrit untuk melakukan pengorganisasian SIDeKa.

Rencana Kerja Pengorganisasian SiDeKa di Tingkat Kabupaten: 1. Bentuk tim gugus tugas di tingkat Kabupaten (PMD) 2. Diskusikan desa-desa target pengembangan SiDeKa

3. Diskusikan Anggaran kerja implementasi SiDeKa di Desa-Desa Target

4. Melakukan Evaluasi dan Monitoring proses Implementasi SiDeKa

5. Merumuskan rencana pengembangan pasca Implementasi (Exit Strategy)

Rencana Kerja Pengorganisasian SiDeKa di Tingkat Desa: 1. Bentuk tim kerja bersama pemerintah desa

2. Diskusikan basis data apa saja yang dibutuhkan warga 3. Menghimpun data kependudukan warga dari Kartu Keluarga

(KK)

4. Install aplikasi SID di komputer desa

5. Input data penduduk/entry data ke dalam aplikasi SID 6. Pemanfaatan basis data kependudukan

7. Mendiskusikan rencana pengembangan SID sesuai kebutuhan desa

8. Sebarluaskan informasi desa melalui beragam media untuk warga desa

PANDONG SPENRA

pandongs@gmail.com [Darmasraya – Sumatera Barat]

a. Pandangan umum kawan-kawan tentang desa, UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan langkah-langkah untuk memperkuat desa dalam menempuh jalan pembaruan desa.

Undang-undang Desa merupakan UU yang memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan Desa yang memang sudah hidup dan berkembangan ditengan-tengah masyarakat Indonesia. Serta pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat dengan memberikan ruang dalam menjalankan sistem pemerintahannya. T indakan tersebut diyakinia akan mengefektifkan pembangunan dalam Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari strategi pembangunan untuk mencapai kesejahteraan umum. Sehingga ruang Prakarsa desa menjadi lebih luas dalam menentukan maju mundurnya suatu desa atau nama lainnya pada masyarakat adat.

Untuk memperkuat keberadaan desa tersebut, diperlukan perangkat dibeberapa tingkatan

Pada level desa, dibutuhkan kapasitas mengelola kegiatan, program dan kebijakan untuk kesekahteraan masyarakat. Bagian yang lebih penting dalam mengelola sumber daya alam yang berada

didalam desa maupun berada dalam batas desa, sehingga dibutuhkan kerjasama antar desa. Dalam hal pengembangan dan penguatan kapasitas maupun pengelolaan program dibutuhkan media komunikasi yang efektif dalam desa, antara desa maupun dengan dunia diluar desa.

b. Pandangan umum kawan-kawan tentang SIDeKa (Sistem Informasi Desa dan Kawasan), dalam konteks pemberdayaan desa. Peserta diminta pandangan dan analisisnya, tentang kedudukan SIDeKa dalam mempercepat gerak kebangunan desa-desa. Apa yang harus dilakukan pemerintah (baik pusat maupun daerah), apa yang harus dilakukan pemerintah desa, apa yang harus dilakukan warga desa, dan apa yang harus dilakukan para pendamping.

SIDeKa sebagai sistem komunikasi sangat baik. Tentu pengembangannnya disesuaikan berdasarkan kebutuhan dan kepentingan Desa. Pemamfaatan struktur dari pengembangan program sebelumnya seperti Badan Koordinasi Antar Desa (BKAD) sangat perlu dipikirkan. Dasarnya semangat koordinasi antar desa tentu tidak saja bicara tentang pengelolaan sumber daya alam (SDA) tetapi juga terkait dengan proses pengembangan kapasitas atau sebagai forum pembelajran bagi pemerintahan desa dan masyarakat desa.

Sistem Informasi Desa sebagai instrumen komunikasi antar desa sangat baik dikembangkan yang disesuiakan dengan keadaan desa, seperti pada daerah yang masih jauh dari infrastruktur telekomunikasi berbasis Internet bisa dikembangkan dengan infratruktur lain seperti Radio Komunitas dan lain sebagainya.

c. Tentang segi-segi apa yang kawan kawan(para peserta) harus kuasai, atau pengetahuan tentang apa saja yang harus kuasai/dimiliki,

sedemikian rupa sehingga kerja-kerja pendampingan menjadi lebih efektif (langkah pendampingan sampai kepada maksud). Apa rencana pribadi kawan kawan untuk mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan tersebut. Apa saran kepada Badan Prakarsa Pemberdayaan Desa dan Kawasan.

Pengetahuan dan pengalaman memfasilitasi forum multi pihak, mediasi konflik antar desa dan fasilitasi rencana pembangunan daerah dan penyususnan kebijakan daerah. Hal tersebut menjadi bagian yang bisa dimamfaat untuk memfasilitasi program pembaharuan desa dan anatar desa yang terhubung dengan pemerintahan daerah,

d. Adapun rencana yang akan dikembangkan adalah

1. Mengadakan pertemuan seluruh perangkat desa bertujuan membangun kesadaran seluruh aparat desa se Kabupaten melalui organisasi pemerintahan desa, sehingga kegiatan tersebut terbangun dari bawah, dalam rangka penyesuaian kebutuhan dan kepentingan desa masing-masing. Hal ini juga bisa menjadi cikal-bakal model pembangunan kawasan desa. 2. Mendinamisir forum desa se kabupaten yang telah ada

sebagai wadah komunikasi antar desa

3. Kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil lainnya, seperti jurnalis independen, RTIK dan LSM yang ada di kabupaten maupun di Propinsi dalam pengembngan program. Seperti pelatihan jurnalisme warga dll

e. tentang rencana kongkrit Kawan, baik dalam kerangka pendidikan (pelatihan) maupun dalam kerangka program SIDeKa. Dalam hal ini setiap peserta diminta menyusun rencana kerja kongkrit untuk melakukan pengorganisasian SIDeKa.

Program kongkrit di Kab Dharmasraya Prop Sumbar

1. pertemuan Asosiasi wali Nagari (Aswana) dengan tujuan sosialisasi UU Desa peluang dan tantangan, target: sosialisasi UU Desa, sosialisasi program, menyusun rencana aksi bersama dalam rangka program. Pertemuan direncanakan 2 kali pertemuan (pertemuan kedua fokus pada membuat rencana aksi bersama). Rencana aksi ini didorong pembiayaannya oleh sunber dana kabupaten atau nagari-nagari secara mandiri. 2. pembuatan website dan pelatihan jurnalisme warga bersama

AJI (aliansi jurnalis independen)

3. pembentukan paguyuban penggiat nagari Online di sumbar bersama komunitas AJI RTIK Sumbar dll sebagai pelanjut gerakan gerakan desa membangun (GDM) di Sumbar

MUTHIA ULFAH

muthiaulfah@gmail.com [Pesisir Selatan – Sumatera Barat]

MENINGKATKAN TRANSPARAN DAN AKUNTABILITAS

Dalam dokumen Sistem Informasi Desa dan Kawasan (Halaman 106-123)