• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKONOMI WILAYAH DI TIGA DAERAH OTONOMI BARU DI INDONESIA

4.2 Kesejahteraan masyarakat di tiga kabupaten pemekaran

4.2.5 Kesejahteraan masyarakat ditinjau dari kondisi lingkungan hidup di tiga kabupaten pemekaran

4.2.5.4 Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Kabupaten Rote Ndao mempunyai PAD yang kecil sepersepuluh lebih sedikit dibandingkan PAD Kabupaten Rokan Hilir, dan lebih dari satu setengahnya PAD Kabupaten Mamasa. Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Mamasa sangat kecil, hal itu disebabkan karena di Mamasa merupakan kabupaten agraris yang tidak mempunyai industri atau perusahaan yang besar. Kontribusi PAD terbesar dari retribusi daerah, yang berarti pemerintah daerah telah menyediakan fasilitas terlebih dahulu guna kepentingan umum, seperti pasar. Pemerintah daerah diharapkan dapat meningkatkan penerimaan PADnya sesuai dengan potensi daerahnya, tanpa merusak lingkungan hidup.

Permasalahan lingkungan dapat diartikan sebagai masalah habisnya sumberdaya alam karena eksploitasi yang berlebihan yang melebihi tingkat pemulihannya, sehingga membahayakan keberlangsungan makhluk hidup. Persepsi masyarakat terhadap lingkungan hidup di tiga kabupaten terlihat dalam tabel berikut.

Kontribusi PAD terhadap APBD yang rendah dan dominannya dana perimbangan dalam penyelenggaraan pemerintah kabupaten pemekaran menunjukkan ketergantungan fiskal kabupaten pemekaran pada dana perimbangan daripada mengandalkan pembiayaan dari PAD. Kuncoro (2004) telah mengidentifikasi faktor penyebab utama ketergantungan fiskal di Indonesia, setidaknya meliputi : (1) kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah; (2) tingginya derajat desentralisasi dalam bidang perpajakan; (3) kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan; (4) adanya kekhawatiran apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi, maka ada kecenderungan terjadi disintegrasi dan separatisme; (5) kelemahan dalam pemberian subsidi.

Tabel 16 Pendapatan Asli Daerah dan persepsi masyarakat terhadap lingkungan hidup di tiga kabupaten pemekaran

Kabupaten PAD/APBD

(%)

Program lingkungan hidup

Persepsi masyarakat Rokan Hilir - Kecil, jasa

gi-ro dan lain-2 PAD yang sah

- Tidak ada program - Relatif baik

- Banjir dan kebakaran lahan - Disengaja

- Masyarakat kurang peduli LH - Pemda kurang serius menangani Rote Ndao - Kecil, berasal

dari retribusi dan lain-2 PAD yang sah

- Embung penampung air - Hutan yg tertata batas sdh

setengahnya

- Wajib tanam dan me-melihara 5-10 pohon /KK

- Kondisi LH tidak tahu - Kadang terjadi tanah longsor - Hutan gundul

- Masyarakat cukup peduli LH - Pemda serius menangani Mamasa - Kecil sekali,

dari kekayaan daerah yang dipisahkan

- Reboisasi < 5% (2009) - Tidak ada kelanjutan - Tidak ada program lain

- Relatif baik

- Bencana tanah longsor - Struktur tanah dan hujan - Masyarakat kurang peduli LH - Pemda kurang serius menangani Sumber : BPS (2011), data primer (2011) (lihat Lampiran 8, Tabel 10a).

Pemerintah daerah juga dapat melakukan upaya peningkatkan PAD melalui optimalisasi peran BUMD dan BUMN. Peranan investasi swasta dan perusahaan milik Negara/daerah diharapkan dapat berfungsi sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah (engine of growth dan sebagai center of economic activity). Dari sisi eksternal, daerah dituntut untuk menarik investasi asing agar

bersama-sama swasata domestic mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta menimbulkan multiplier effect yang besar (Mardiasmo 2002)

Kabupaten Rote Ndao dengan kondisi lingkungan yang kering, masyarakat tidak dapat menilai, bagaimana kondisi lingkungan hidupnya. Masyarakat sering kesulitan mencari air bersih, apalagi pada musim kemarau. Dalam wawancara dengan Bupati Rote Ndao, yang memprogramkan pembuatan “embung-embung” atau tandon air sehingga pada musim kemarau air di Kabupaten Rote Ndao masih tersedia. Bencana banjir memang tidak pernah terjadi di Kabupaten Rote Ndao karena topografi yang berbukit, tetapi bencana alam seperti tanah longsor, kebakaran, angin topan, kecelakaan di laut kadang terjadi. Bupati Rote Ndao juga menjelaskan : “Karena topografinya Kabupaten Rote Ndao tidak pernah banjir, yang ada kadang longsor”.

Jawaban responden menggambarkan bahwa kadang-kadang terjadi bencana alam, terutama bencana kebakaran, angin topan dan kecelakaan laut. Berdasarkan penuturan masyarakat bencana tanah longsor, kebakaran dan angin topan kadang membawa korban jiwa dan harta (wawancara dengan Bapak Sh, hari Senin malam, tanggal 19 September 2011 di warung). Rote Ndao Dalam Angka 2010 juga mencatat, di tahun 2009 terjadi bencana alam sebanyak hampir tigapuluh kejadian (kebakaran, angin topan dan kecelakaan di laut) dengan jumlah korban satu meninggal dunia, lebih empatpuluh orang luka dengan taksiran kerugian hampir mencapai satu miliar.

Penyebab bencana menurut persepsi masyarakat Rote Ndao yang utama adalah dikarenakan ketidakpedulian masyarakat terhadap lingkungan serta hutan yang telah rusak. Hal itu diperkuat pernyataan Bupati Rote Ndao “Penyebab longsor, hutan gundul. Setiap KK wajib menanam pohon 5 – 10 batang dan wajib memeliharanya”. Walaupun begitu, masyarakat ada yang menganggap pemerintah masih kurang dapat mengendalikan lingkungan.

Kondisi sumberdaya alam (hutan dan sumberdaya air) yang ada di Kabupaten Rote Ndao masih baik menurut persepsi masyarakat. Hal tersebut juga ditunjang oleh program Bupati Kabupaten Rote Ndao, Drs. LH, MM yang mengatakan : “Membangun ‘embung-embung’ di beberapa tempat untuk menampung air. Dengan harapan pada musim kemarau, tandon air masih tersedia dan dapat mencukupi kebutuhan masyarakat. ‘Embung’ ini merupakan salah satu usaha untuk mengembalikan kelestarian lingkungan dan sumberdaya air yang memang rawan dan kurang baik di Kabupaten Rote Ndao”

(hasil wawancara dengan Bupati Rote Ndao di ruang kerjanya pada hari Senin, tanggal 19 September 2011). Embung telah dibuat sebelum otonomi tahun 1990, jumlah ‘embung’ saat ini mencapai 426 buah, sebanyak 324 buah dibangun era bupati sekarang (Bapak Drs, LH, MM), dan pembangunan embung terus ditambah. Walaupun begitu, ada juga responden yang menggannggap sumberdaya yang ada sudah rusak bahkan sangat rusak.

Pengelolaan lingkungan hidup oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Rote Ndao serius dilaksanakan. Hal itu juga dirasakan oleh masyarakat berkat hasil usaha Bupati Kabupaten Rote Ndao untuk memperbaiki tatanan air dengan membangun ‘embung’ sebagai tandon air di musim kemarau yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Bupati juga mewajibkan setiap Kepala Keluarga di Kabupaten Rote Ndao menanam pohon 5 – 10 batang di halaman rumahnya. Bupati Rote Ndao mengatakan : “Kesadaran masyarakat di Kabupaten Rote Ndao akan lingkungan hidup sangat tinggi, karena mereka menyadari kondisi Rote yang harus ekstra dalam memelihara lingkungan hidupnya”. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan seorang warga Bapak Y yang mengatakan : “Kami menanam pohon itu karena kami sendiri butuh Bapak, dengan adanya pohon, lingkungan kami jadi terasa tidak begitu panas. Memang ada perintah dari Bapak Bupati untuk menanam pohon di lingkungan kita masing-masing, Bapak. Itu menjadi tambahan semangat kami untuk menanam pohon lebih banyak dan lebih peduli akan tanaman kami” (wawancara dengan Bapak Y, hari Selasa tanggal 20 Septermber 2011, di halaman rumahnya). Menurut informasi dari aparat pemerintah, sampai saat ini pohon yang ditanam dan diperlihara oleh masyarakat per kepala keluarga diperkirakan sudah mencapai 100 pohon, karena program tanam pohon dimulai jauh sebelum otonomi daerah (1987), dan saat ini lebih digalakkan lagi.

Jawaban responden pada umumnya ‘tidak tahu’ ada pelanggaran pemanfaatan tata ruang atau tidak. Tetapi dengan melihat lebih seksama, maka pelanggaran pemanfaatan tata ruang banyak terjadi di Kabupaten Rote Ndao. Pelanggaran tersebut terjadi karena masyarakat kurang mengetahui akan fungsi dan peruntukan suatu lahan yang dia miliki. Seorang warga mengatakan pernah ditegur seorang petugas karena membangun warungnya terlalu menjorok ke luar jalan, katanya : “Pak, ini jangan menjorok ke jalan karena mengganggu pejalan dan melanggar aturan” (sebagaimana hasil wawancara dengan pemilik warung pada hari Selasa, tanggal 20 September 2011).

Jadi pelanggaran yang terjadi disebabkan ketidaktahuan masyarakat akan tataguna lahan yang ada di Kabupaten Rote Ndao.

Topografi Kabupaten Mamasa bergunung-gunung, secara keseluruhan terletak pada ketinggian 1.750 – 2.950 meter di atas permukaan laut dan suhu udara rata-rata 260 Celcius dan pada bulan tertentu (Februari-Maret, Juni-Juli, September dan Desember 2009) suhu mencapai minimum yaitu 210

Kabupaten Mamasa dengan alamnya yang indah akan dikembangkan sebagai daerah wisata, memiliki objek wisata di setiap kecamatan yang kesemuanya sebanyak 62

Celcius. Lebih dari separuh (66,80%) wilayahnya bergunung-gunung dengan kemiringan lebih dari 40 derajat. Wilayah berbukit dengan kemiringan 15 – 40 derajat merupakan wilayah terluas kedua (32,4%) yang meliputi area sekitar 896 kilometer persegi. Sisanya (0,7%) merupakan wilayah bergelombang. Dengan topografi seperti itu, jalan menuju Mamasa berkelok-kelok dan mendaki dengan lebar jalan sekitar 5-7 meter. Seluruh jalan dalam kondisi rusak. Baik itu jalan beraspal milik provinsi sepanjang 64,20 kilometer, jalan kerikil antarkecamatan sepanjang 160,48 kilometer dan jalan tanah antardesa sepanjang 565,34 kilometer (Tim Litbang Kompas, 2005). Kondisi saat ini tidak jauh berbeda dengan kondisi tahun 2005 tersebut, hanya jalan di Kota Mamasa lebih baik dan sedang dibangun jalan poros Mamasa dengan cor yang baru mencapai lebih kurang 15 kilometer dari Kota Mamasa, dan sedang dalam pengerjaan pembangunan jalan tembus yang diharapkan dapat menghubungkannya dengan Kabupaten Toraja, dengan panjang jalan lebih kurang 23 kilometer. Pelabuhan udara sedang dalam proses pembangunan di Kecamatan Sumarorong, yang nantinya diharapkan menjadi pintu masuk utama ke Kota Mamasa. Jaringan telepon kabel sampai saat ini belum ada. Sarana komunikasi menggunakan telepon genggam dengan dua jaringan telepon seluler yang dapat digunakan – kalau cuaca tidak baik, tidak dapat berfungsi dengan baik. Kantor pos ada dua tempat yaitu di Kecamatan Mamasa dan Kecamatan Sumarorong. Kabupaten Mamasa yang mempunyai topografi bergunung-gunung berhawa sejuk tersebut, lahannya sangat subur bagi tanaman kopi arabika, robusta, kakao, dan kelapa yang diusahakan oleh masyarakat (perkebunan rakyat). Hasil kopi masyarakat petani dari Kabupaten Mamasa terkenal berkualitas baik, tetapi karena tidak adanya pegolahan dan kurangnya pemasaran maka kopi hasil dari petani Mamasa dibawa ke Kabupaten Toraja, diolah dan dipasarkan di sana dengan nama “Kopi Toraja”.

obyek (Mamasa Dalam Angka 2010). Dalam wawancara dengan seorang tokoh masyarakat yang mengatakan : “Contohnya seperti wisata budaya Kuburan Tedong-tedong Minanga di Kecamatan Mamasa, wisata alam Air Terjun Sarambu dan Permandian Air Panas di Desa Tadisi Kecamatan Sumarorong, Agro Wisata Perkebunan Markisa di Kecamatan Mamasa, Wisata Budaya Rumah Adat, Perkampungan Tradisional Desa Ballapeu, Tradisi Mebaba' dan Mangngaro di Nosu merupakan tradisi yang unik yang tidak ada di tempat lain. Memang kebudayaan Mamasa mirip kebudayaan Toraja, maka sering disebut Toraja Barat” (wawancara dengan Bapak Dm, tanggal 5 Oktober 2011 di rumahnya). Kawasan hutan di Kabupaten Mamasa seluas 198.647 hektar atau 66,09% dari total luas wilayah. Kawasan hutan terdiri dari hutan lindung dan hutan produksi terbatas. Semua kecamatan berhutan, untuk Kecamatan Rantebulahan Timur tidak ada data. Lahan kritis dalam kawasan hutan mencapai 40.349 hektar (20,31%) dan di luar kawasan hutan seluas 64.213 hektar. Realisasi reboisasi untuk penanggulangan telah mencapai 4.295 hektar (2009), sedangkan program selanjutnya belum jelas. Kabupaten Mamasa tidak mempunyai industri yang besar sehingga PADnya sangat kecil, 2,25 persen kontribusinya pada APBD (2009).

Lingkungan hidup yang ada di Kabupaten Rokan Hilir keadaan masih terjaga dengan baik. Walaupun begitu, ada sebagian responden yang mengatakan tidak terjaga, hal tersebut dipicu oleh adanya pencurian kayu di hutan-hutan. Bencana banjir dan bencana kabut akibat kebakaran lahan kelapa sawit warga di Kabupaten Rokan Hilir kadang terjadi. Jawaban responden tersebut menggambarkan bahwa jarang terjadi bencana alam. Walaupun begitu, Riau Dalam Angka 2010 mencatat, di tahun 2009 di Kabupaten Rokan Hilir terjadi bencana alam sekali dengan jumlah korban menderita 186 orang, 91 rumah hancur, 78 rumah rusak. Jawaban responden menyatakan bahwa bencana kebakaran lahan mencapai 4-6 kali dalam setahun.

Penyebab bencana menurut persepsi masyarakat Rokan Hilir yang utama adalah dikarenakan ketidakpedulian masyarakat terhadap lingkungannya. Menurut seorang warga, Bapak Sb mengatakan : “Membakar hutan atau lahan sudah menjadi kebiasaan penduduk di sini Pak, untuk membersihkan lahan dari alang-alang dan semak belukar, karena lebih cepat daripada dengan membabatnya, lebih murah dan praktis. Dengan lahan yang luas, kalau dibabat kapan selesainya?”. Walaupun begitu, masyarakat ada yang menganggap bahwa pemerintah kurang dapat mengendalikan lingkungan.

Berbasarkan wawancara dengan salah seorang aparat, Bapak R : “Pemerintah telah menghimbau untuk tidak membakar lahan atau hutan pada waktu membersihkan lahan, karena dapat menimbulkan bahaya seperti kabut asap yang dapat menyebabkan penyakit dan mengganggu penerbangan. Tetapi karena lahan warga masyarakat yang luas dan tidak punya peralatan lain yang memadai, maka warga terpaksa melakukan pembakaran”. Sekretaris Daerah Kabupaten Rokan Hilir, Bapak H. S, SH. juga mengatakan : “Kerusakan lingkungan terutama karena kebakaran lahan, terutama terjadi pada lahan pengusaha HPH. Untuk membersihkan alang-alang di lahannya dengan dibakar”.

Kondisi sumberdaya alam (hutan dan sumberdaya air) yang ada di Kabupaten Rokan Hilir masih baik menurut persepsi masyarakat. Walaupun begitu, ada juga responden yang menggannggap sumberdaya yang ada sudah rusak bahkan sangat rusak. Hal ini apabila dikaitkan dengan adanya lahan kritis di Kabupaten Rokan Hilir seluas 208.073,87 hektar atau 23,43% dari seluruh luas wilayah, maka jawaban responden tersebut sangat sesuai. Lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang ada di Kabupaten Rokan Hilir keadaan masih terjaga dengan baik, menurut persepsi masyarakat. Walaupun begitu, ada sebagian responden yang mengatakan tidak terjaga dan dalam penjelasannya, hal tersebut dipicu oleh adanya pencurian kayu di hutan-hutan.

Alikodra, et.al (2004) mengatakan, untuk ke depan, kemampuan pembangunan daerah secara bertahap supaya diarahkan pada kegiatan yang dapat membatasi kerusakan sumberdaya alam dan lingkngannya. Bahkan, sebaiknya diarahkan bagi kegiatan-kegiatan yang dapat menjamin kelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya dan memberi manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakatnya. Kondisi di tiga kabupaten pemekaran tentang program-program pemerintah dalam melestarikan lingkungan hidup dan persepsi masyarakat apabila dibuat dalam diagram terlihat dalam gambar berikut. Kondisi yang ideal adalah pemerintah daerah yang mempunyai program-program untuk kelestarian lingkungan hidup, ada bencana atau tidak ada bencana. Kalau bencana sudah terjadi atau diperkirakan bakal terjadi membuat program penanggulangan bencana.

Kabupaten Mamasa yang terletak di pegunungan sering terjadi bencana alam, seharusnya pemerintah daerah sudah mengantisipasinya dengan larangan mendirikan bangunan di lereng-lereng bukit dan di hutan-hutan untuk mengurangi bencana. Reboisasi perlu diteruskan untuk memperbaiki hutan yang rusak.

Kabupaten Rokan Hilir yang kaya raya dengan pendapatannya yang tinggi, pertama yang harus dilakukan dengan tindakan preventif membuat program untuk penanggulangan bencana kebakaran lahan, dengan peraturan daerah tentang larangan membakar lahan perkebunan. Isinya berupa hukuman denda bagi yang melakukan pelanggaran peraturan daerah tersebut, bahkan kalau perlu dipidanakan - hukuman badan. Bagi warga yang mentaati peraturan daerah diberikan penghargaan dan kompensasi. Hal ini memang berat untuk dilaksanakan karena lahan-lahan warga maupun HPH sangat luas. Untuk meringankan beban warga supaya tidak membakar lahan, dengan pemberian kompensasi atau penghargaan dapat menjadi alternatif yang baik; sedangkan untuk HPH tidak ada kompensasi atau penghargaan. Kedua, mengurangi bencana kebakaran hutan dengan tindakan membuat hujan buatan, atau menyedot air sungai untuk memadamkan kebakaran.

BAB V

ANALISIS KEWILAYAHAN SOSIAL-EKONOMI-LINGKUNGAN DI