• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Pengembangan Wilayah di Era Desentralisasi

Pemekaran suatu wilayah apabila dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam analisis ekonomi (klasik atau liberal) yang berkisar pada komoditas “apa” yang diproduksi (what to produce), “bagaimana” memproduksinya (how to produce) dan “untuk siapa” komoditas tersebut diproduksi (for whom to produce) dapat diterapkan, maka daerah pemekaran wilayah sebagai daerah otonomi baru dituntut apa saja yang harus diproduksi oleh pemerintahan daerah otonomi baru untuk dapat mensejahterakan dan melayani masyarakat, bagaimana pemerintah daerah otonomi baru mengatur partisipasi masyarakat dalam memproduksinya dan bagaimana pemerintah daerah otonomi baru mendistribusikannya sehingga masyarakat dapat menikmati dan sejahtera. Selain hal itu, daerah otonomi baru dapat merupakan kategori wilayah perencanaan atau wilayah program yang sangat penting artinya apabila dikaitkan dengan masalah-masalah kebijakan nasional atau regional. Adisasmita (2008) mengatakan pada tingkat nasional atau regional, tata ruang perencanaan diperlukan oleh pemerintah sebagai alat untuk mencapai sasaran pembangunan yang telah ditetapkan. Pembagian wilayah perencanaan disusun berdasarkan pada analisis kegiatan sektoral yang teralokasikan pada satuan lingkungan geografis. Wilayah perencanaan merupakan satuan wilayah pengembangan, di mana program-program pembangunan dilaksanakan.

Selanjutnya gejala ekonomi pada daerah pemekaran yang baru akan lebih jelas dan nyata apabila faktor tata ruang wilayah diterapkan dalam kerangka analisis ekonomi pada perencanaan pembangunannya. Adisasmita (2008) mengatakan ada lima persoalan utama ekonomi wilayah, pertama adalah berhubungan dengan penentuan lansekap ekonomi dan faktor jarak, yaitu mengenai penyebaran kegiatan-kegiatan ekonomi pada tara ruang wilayah. Kedua, berkaitan dengan diintroduksinya konsep wilayah dalam analisis teoritik. Wilayah diartikan sebagai sub sistem spasial dari sistem ekonomi nasional. Dengan konsep wilayah tersebut telah mendorong penyusunan rencana pembangunan spasial dan pembangunan regional serta pengukuran aktivitas ekonominya. Ketiga, menganalisis interaksi antara wilayah-wilayah. Keempat, analisis optimum atau keseimbangan antar wilayah-wilayah. Kelima, berkatian dengan kebijakan wilayah. Kebijakan ekonomi wilayah dimaksudkan sebagai kegiatan-kegiatan yang berusaha untuk memperhatikan dan memperhitungkan pengaruh perilaku ekonomi pada suatu lingkungan spasial.

Selain hal itu, distribusi Produk Domestik Bruto (PDB) nasional menurut wilayah atau provinsi merupakan indikator utama di antara indikator-indikator lainnya yang umum digunakan untuk mengukur derajat penyebaran dari hasil pembangunan ekonomi di suatu negara. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang relatif sama antar provinsi/kabupaten/kota memberi suatu indikasi bahwa distribusi PDB nasional relatif merata antar provinsi/kabupaten/kota, yang berarti kesenjangan ekonomi antar provinsi/kabupaten/kota relatif kecil. Dengan kata lain, semakin besar perbedaan dalam pangsa PDB nasional antar provinsi/kabupaten/kota, semakin besar ketimpangan dalam pembangunan ekonomi antar provinsi.

Tambunan (2003) mengatakan data BPS mengenai PDRB dari 27 provinsi menunjukkan bahwa sebagian besar dari PDB nasional berasal dari provinsi-provinsi di pulau Jawa, khususnya provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Selama dekade 90-an, provinsi-provinsi tersebut menyumbang lebih dari 60% terhadap pembentukan PDB Indonesia. Di pulau Jawa sendiri terjadi ketimpangan, terutama antara Jakarta dengan wilayah di luar Jakarta. DKI Jakarta dengan jumlah penduduk hanya sekitar 5% dari total populasi di Indonesia menikmati 15% hingga 16% lebih dari PDB nasional, sedangkan Jawa Timur misalnya paling tinggi hanya sekitar 15% pada tahun 1996 dan 1997, atau Jawa Tengah sekitar 10%. Memang dilihat dari data BPS sejak 1980-an hingga saat ini dan dibandingkan dengan 1970-an dan periode sebelumnya, diperoleh suatu gambaran adanya dekonsentrasi dari DKI Jakarta ke daerah-daerah

lain di sekitar DKI Jakarta. Hal ini tampaknya dipengaruhi oleh penyebaran kegiatan-kegiatan ekonomi, khususnya industri dan jasa, ke daerah Jabotabek yang masuk kawasan Jawa Barat. Walaupun demikian, DKI Jakarta masih tetap merupakan pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Dikatakan selanjutnya, salah satu fakta yang memprihatinkan adalah bahwa jika output agregat dihitung tanpa minyak dan gas (migas), kontribusi PDB dari wilayah-wilayah yang kaya migas, seperti DI Aceh, Riau dan Kalimantan Timur lebih kecil lagi. Pada tahun 1995 DI Aceh menyumbang sekitar 3% terhadap PDB nasional; tanpa gas hanya menumbang 50%nya. Ini artinya 50% dari perekonomian DI Aceh, relatif terhadap perekonomian nasional, tergantung pada sektor gas. Riau dan Kalimantan Timur juga demikian, dengan minyak kedua provinsi tersebut pada tahun 1995 menyumbang sekitar 5% terhadap PDB Indoneisa; tanpa minyak peran dari masing-masing propinsi provinsi hanya 2% dan 2,9%. Pada tahun 2000, kontribusi output regional yang dihasilkan oleh DI Aceh dan Kalimantan Timur dengan dukungan sektor migas terhadap PDB nasional menurun menjadi masing-masing 2,5% dan 1,6%, sedangkan dari Riau meningkat menjadi 3,4%. Hal ini memberi kesan bahwa sektor migas bukan suatu jaminan bagi kinerja ekonomi dari suatu wilayah yang kaya akan migas. Data distribusi PDRB dengan dan tanpa migas menurut harga konstan (1993-2000) dalam persentase yang dihimpun dari BPS adalah DKI Jakarta yang sama sekali tidak punya SDA memiliki saham PDB nasional jauh lebih besar daripada DI Aceh, Riau dan Kalimantan Timur. Satu hal yang pasti sebagai penyebabnya adalah bahwa perekonomian DKI Jakarta jauh lebih produktif dibandingkan dengan perekonomian dari tiga provinsi yang kaya SDA tersebut, karena DKI Jakarta memiliki SDM dan infrastruktur yang jauh lebih banyak dengan kualitas yang jauh lebih baik dibandingkan yang ada di tiga provinsi tersebut.

Menurut Wiranto (2008), dampak yang ditimbulkan desentralisasi terhadap kegiatan perencanaan adalah : (1) wewenang daerah dalam kegiatan perencanaan yang penuh, sehingga proses pengambilan keputusan terjadi di tingkat lokal, hubungan horizontal-internal menjadi kuat dibandingkan hubungan vertikal-eksternal; (2) peran lembaga perwakilan semakin besar dibandingkan dengan eksekutif, rasionalitas perencanaan melembah dibandingkan rasionalitas kontituen, metoda dan proses perencanaan berubah dari teknikal ke politikal dengan partisipasi penuh dari berbagai pihak berkepentingan melalui forum-forum; dan (3) sumber pembiayaan dari pihak

pemerintah provinsi dan pusat berkurang, sehingga kekuasaan alokasi sumberdaya berada di tingkat lokal.

Pegembangan daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah mensyaratkan untuk fisik kewilayahan provinsi paling sedikit mempunyai cakupan lima kabupaten atau kota, untuk kabupaten mempunyai cakupan paling sedikit lima kecamatan, artinya kalau yang tercakup bisa enam kecamatatan maka hal ini dapat dikatakan sesuai dengan teori Christaller prinsip administratif k=7. Rustiadi, et.al (2009) menyatakan, ada tiga penataan lokasi pusat menurut Christaller, yaitu :

(1) Prinsip Hierarki Pusat Christaller k=3. Kepentingan relatif lokasi pusat tergantung pada jumlah dan order barang dan jasa yang disediakan. Christaller (1933) berpendapat bahwa sistem lokasi pusat membentuk suatu hierarki yang teratur. Keteraturan dan hierarki tersebut didasarkan atas prinsip bahwa suatu tempat menyediakan tidak hanya barang dan jasa untuk tingkatannya sendiri tetapi juga semua barang dan jasa yang ordernya lebih rendah seperti Gambar 2. Model Christaller mencerminkan suatu hubungan tetap antara setiap level dalam hiearki.

(2) Prinsip Lalu Lintas Christaller k = 4 (Christaller’s Traffic Principle k = 4). Menurut Christaller traffic principle, distribusi lokasi pusat sangat tepat jika beberapa tempat tersebut dibangun selurus dan semurah mungkin. Tempat-tempat yang tidak terlalu penting dapat dikesampingkan. Berdasarkan traffic principle, lokasi pusat akan terbentuk sebagai jalur traffic yang lurus yang menyebar dari titik pusat. Prinsip ini menghasilkan hierarki lokasi pusat dengan aturan k = 4. Pusat A yang ordernya paling tinggi mendominasi lokasi pasar dari pusat-pusat yang berorder lebih rendah yang ada di bawahnya.

(3) Prinsip administratif Christaller k = 7. Prinsip administrasi Christallerr mengatur hierarki lokasi pusat dari sudut pandang politik atau administrasi. Selain itu, prinsip ini mengatur bahwa seluruh pusat-pusat dari order yang lebih rendah karena alasan politik dimasukkan ke dalam yang berorder tertinggi (Gambar 2c) di atas. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa keenam titik pusat yang ordernya lebih rendah sepenuhnya menjadi sub ordinat dari pusat A, sehingga titik A mendominasi ketujuh market area di

bawahnya (1 market area (pusat) + 6 sub ordinat market area di bawahnya). Jadi dapat dikatakan, pada intinya teori Christaller adalah pentingnya penataan spasial secara fungsional untuk menjadikan suatu wilayah maju dan berkembang.

(a) (b) (c)

K = 3 k = 4 k = 7

Gambar 2 Tiga alternatif tata ruang pusat-pusat (central places) menurut Christaller (a) Prinsip pasar (k=3), (b) Prinsip aliran, (c) Prinsip administratif (k = 7) (Sumber : Rustiadi et.al (2009)

Dalam perspektif jangka panjang, suatu pengembangan wilayah harus menjadi suatu upaya untuk menumbuhkan perekonomian wilayah dan lokal (local economic development), sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri. Jelas bahwa inisiatif pembangunan secara lokal dan regional memegang kunci sangat penting, dan pemerintah daerah serta organisasi lokal tidak bersifat pasif atau menunggu inisiatif pusat (Firman, 2008).

Dengan demikian, pengembangan wilayah di era desentralisasi seharusnya dapat meningkatkan perekonomian lokal atau wilayah dengan memanfaatkan potensi-potensi wilayah yang ada, karena daerah diberi kewenangan dan kebebasan dalam mengelola sumberdaya yang ada di wilayahnya.