• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan dalam memahami Gerakan sosial

Dalam dokumen RE M PU AN D I IN D ON ES IA (Halaman 62-67)

2 Perempuan dan

A. Konsep Gerakan Sosial Ormas Perempuan

2. Pendekatan dalam memahami Gerakan sosial

Dinamika khasanah gerakan sosial yang berkembang di Barat, secara umum terdapat empat perspektif atau pendekatan dalam memahami terjadinya gerakan-gerakan kolektif atau apa yang kemudian disebut sebagai gerakan sosial, yakni perspektif perilaku kolektif (collective  behaviour); mobilisasi sumber daya (resource 

mobilization); proses politik (political  proces) dan gerakan social baru

(new  social  movements) (Rudig et al., 1991; Jenkins & Klandermans, 1995; Klandermans, 1997; Canel & Zachmann, 1997; Banaszak et al., 1998; Porta & Tarrow, 2005; Singh, 2001; Manalu, 2006). Beberapa pendekatan tersebut dapat diringkas sebagai berikut:

Pertama, Perspektif Perilaku Kolektif yang menekankan aspek

krisis perilaku, perasaan dipinggirkan (deprivation), rasa frustrasi yang muncul sebagai dampak perubahan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Kondisi seperti ini mudah dipicu dan berubah menjadi

aksi-aksi kolektif spontan, tidak terorganisir, dan tidak menggunakan saluran-saluran resmi. Dalam bahasa Ted Gurr, misalnya, kekerasan-kekerasan muncul karena terjadinya deprivasi relatif. Perasaan terpinggirkan (deprived) terjadi karena kesenjangan (disparity), antara nilai-nilai ekspektasi dan nilai-nilai kemampuan, yaitu kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Semakin besar dan serius kesenjangan itu, maka potensi kekerasan akan semakin besar pula. Singkatnya, gerakan sosial muncul sebagai akibat ketidakpuasan. Ia kemudian akan semakin berkembang ketika ketidakpuasan ini meluas, dan pada saat yang sama tidak terdapat lagi institusi-institusi yang mampu berperan secara fleksibel yang mampu meresponsnya.

Kedua, Perspektif Mobilisasi Sumber Daya, melihat bahwa masalah

dan ketegangan sosial itu sebagai sesuatu yang nyaris melekat di dalam masyarakat. Kenyataan bahwa ketidakpuasan ansich seringkali tidak menimbulkan gerakan sosial dan tidak pada tempatnya bila menganggap bahwa ketidakpuasan selalu menghasilkan protes. Karena itu, perspektif mobilisasi sumber daya (resource  mobilization) mengajukan tesis baru bahwa organisasi-organisasi gerakan memberikan struktur mobilisasi yang sangat krusial bagi aksi kolektif dalam bentuk apapun. Singkatnya, pendekatan ini menyatakan bahwa gerakan sosial muncul sebagai konsekuensi dari bersatunya para aktor dalam cara-cara yang rasional, mengikuti kepentingan-kepentingan mereka, dan adanya peran sentral organisasi serta para kader dan pemimpin ‘profesional’ untuk memobilisasi sumber-sumber daya yang ada pada mereka.

Ketiga adalah Perspektif Proses Politik, memberikan perhatian

yang sistematis pada lingkungan politik dan institusi di dalam gerakan sosial tersebut berlangsung. Maju-mundur (ebb  and  flow) maupun keberhasilan gerakan social, ditentukan oleh peluang dan hambatan di dalam system politik tertentu, dan lingkungan yang lebih luas, atau apa yang kemudian lebih dikenal secara luas dengan konsep “struktur peluang politik” (political  opportunity  structure, POS). Sederhananya, perspektif ini memandang lingkungan eksternal sangat memengaruhi gerakan sosial. Di Negara yang menganut sistem demokrasi atau konfigurasi politik demokratis. Contohnya, terbuka kesempatan (peluang) bagi rakyat untuk melakukan berbagai bentuk partisipasi politik. Dengan demikian, elemen-elemen gerakan sosial memperoleh keleluasaan mengembangkan dirinya. Sebaliknya, gerakan sosial

akan berjalan lambat di dalam sistem politik yang tertutup dan represif, namun ketertutupan ini dapat juga menstimulasi lahirnya gerakan-gerakan tersembunyi (underground), kekerasan yang brutal, pemberontakan, dan radikalisme.

Keempat, Perspektif Kultural (Gerakan Sosial Baru/GSB)

berkembang sebagai wujud ketidakpuasan pada institusi-institusi sosial dan politik, masyarakat kapitalis maju yakni transformasi dari masyarakat industrial ke paska industrial yang semakin menisbikan batas-batas kelas. Perspektif ini menempatkan konstruksi dan politisasi identitas sebagai perekat para partisipan di dalam keterlibatanya pada gerakan sosial. Gerakan-gerakan seperti ini muncul dalam beragam bentuk, seperti gerakan anti-rasisme, anti-nuklir, pelucutan senjata, feminisme, gerakan lingkungan, regionalisme dan etnisitas, kebebasan sipil, isu-isu kebebasan individual, perdamaian, termasuk gerakan-gerakan gay dan lesbian. Semuanya mengambil bentuk yang anti-institusional, non-hirarkis, terdesentralisasi, dan kaya bentuk (polymorphous). Partisipan di dalam gerakan ini umumnya berasal dari ‘kelas menengah baru’ (new  middle  class), kaum terdidik, seringkali bekerja di sektor-sektor non-produksi seperti akademia, seniman, pekerja sosial kemanusiaan, LSM, dan kaum yang (relatif) terdidik lainnya.

Demikian pula isunya, mengalami pergeseran dari isu-isu redistributif ke isu-isu kualitas hidup (quality of life) dan paska-material. Ringkasnya, GSB melihat gerakan-gerakan kontemporer merupakan respons terhadap ketidakcakapan struktur politik dan ekonomi masyarakat pasca-industrial. Ia berbeda dengan gerakan-gerakan lain karena struktur organisasinya yang terdesentralisasi, menggunakan taktik inkonvensional, dan fokusnya pada isu-isu budaya dan identitas (lihat Tabel 1) (Manalu, 2006).

Tabel 4 Perspektif Gerakan Sosial

Perspektif Gerakan

Sosial

Para Ahli

Pendukung Tesis Utama Kritik Perilaku

Kolektif Le Bon (1960), Hoffer (1951), Blummer (1969), Kornhauser (1959), Smelser (1971), Toch (1966), Gurr (1970) dll.

Gerakan sosial muncul sebagai respon

spontan ketidakpuasan terhadap situasi baru yang diciptakan modernisasi dan berlangsung cepat (rapid modernization) Cenderung memandang gerakan sosial sebagai respons emosional dan irasional 

an sich.

Kurang

memperhitungkan basis atau organisasi gerakan dan keterkaitannya satu sama lain dalam membangun gerakan– gerakan yang lebih besar. Mobilisasi Sumber Daya Mancur Olson (1965), Zald dan Ash (1966), McCarthy dan Zald (1977), Anthony Oberschall (1973, 1978), Charles Tilly (1978), dll. Ketidakpuasan tidak selalu melahirkan protes karena individu merupakan aktor rasional (mempertimbangkan

cost and benefits).

Gerakan sosial akan terjadi dan mampu bertahan dengan mobilisasi sumber daya (material dan non material) yang ada dalam organisasi. Organisasi gerakan menjadi perhatian.

Terlalu menekankan aspek rasional. Kurang memperhitungkan aspek kesadaran, cita-cita, kultur, dan ideologi. Organisasi gerakan menimbulkan gejala birokratisasi, oligarkisasi, dan institusionalisasi. Gerakan sosial diposisikan secara pasif, sebagai variable dependen.

Proses

Politik Michael Lipsky (1970), Peter Eisinger (1973), Jenkins dan Perrow (1977), McAdam (1982, 1989, 1998), Kitschelt (1986), Brockett (1991), Kriesi, et al (1992), dll. Perhatian sistematis pada struktur peluang politik yang mempengaruhi kelangsungan gerakan sosial. Struktur peluang politik mencakup antara lain tingkat keterbukaan, tingkat stabilitas susunan elit yang berkuasa, adanya pengelompokan dan perpecahan elite, dan kapasita Negara serta kecenderungannya untuk menindas.

Konsep

eksplanatorisnya kuat, namun lemah jika dipergunakan pada kasus yang spesifik. Terbukanya peluang tidak senantiasa menguntungkan bagi gerakan sosial, tetapi juga menjadi kesempatan bagi lawan-lawannya untuk melemahkan gerakan.

Gerakan

Sosial Baru Alain Touraine (1977-1981), Claus Offe (1985), Laclau dan Mouffe (1985), Alberto Melucci (1982,1989, 1996), Inglehart (1990), Rajendra Singh (2001)

Perspektif ini melihat gerakan-Kurang mampu melihat keterkaitan gerakan kontemporer sebagai respons terhadap ketidakcakapan struktur politik dan ekonomi masyarakat pascaindustrial. Ia berbeda dengan gerakan-gerakan lain karena struktur organisasinya yang terdesentralisasi, menggunakan taktik inkonvensional, dan fokusnya pada isu-isu budaya dan identitas.

Kurang mampu melihat keterkaitan gerakan-gerakan sosial yang berlangsung sepanjang masa. Menafikkan gerakan-gerakan kontemporer di Negara-negara nonpascaindustrial. Menafikkan peran organisasi-organisasi gerakan dan bagaimana organisasi tersebut memelihara dinamika gerakan secara berkelanjutan. Perspektif ini juga membesar- besarkan seolah-olah perubahan kultural bisa

dipisahkan dari isu-isu politik konvensional, seperti hukum dan keadilan distributive Keempat perspektif utama yang terdapat dalam kajian gerakan sosial tersebut, dapat digunakan untuk memotret strategi organisasi dalam mengubah relasi gender di masyarakat, tentu dibutuhkan sampel gerakan yang dipandang cukup representatif dalam memotret permasalahan penelitian disertasi ini. Dan dalam dinamika gerakan

pemberdayaan perempuan yang sangat beragam di Indonesia, Aisyiyah dan Muslimat dipandang oleh peneliti dapat menjawab kebutuhan itu. Keduanya dapat dikatagorikan sebagai organisasi permpuan berbasis keagamaan (Islam), yang tentunya memiliki dinamika pergulatan pemikiran keagamaan dan gerakan social dalam menanggapi tantangan dan peluang kesetaraan gender.

Karena Aisyiyah dan Muslimat sebagai organisasi gerakan pemberdayaan bagi kaum perempuan, tentunya tidak lepas dari tujuan gerakan perempuan secara umum yang menginginkan terciptanya keadilan gender antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan

pribadi dan masyarakat.20 Meski secara sendiri-sendiri setiap gerakan

perempuan memiliki landasan dan tujuan yang berbeda, namun secara umum gerakan perempuan memilki agenda yang sama untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan di berbagai sektor kehidupan, mulai bidang pendidikan, pekerjaan, sampai politik. Secara sosial budaya, gerakan perempuan juga melakukan upaya mengeluarkan perempuan dari stereotype budaya yang menghambat perempuan memperoleh hak-haknya seperti laki-laki.

Dalam dokumen RE M PU AN D I IN D ON ES IA (Halaman 62-67)