• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Literatur

Dalam dokumen RE M PU AN D I IN D ON ES IA (Halaman 29-36)

Dalam memperkuat kedudukan buku ini, beberapa penelitian terdahulu dicantumkan sebagai alasan untuk memperkuat argumentasi yang selama inisudah di bangun. Beberapa hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan topik buku ini akan dibagi kepada dua kelompok topik. Pertama yang terkait dengan gerakan perempuan di Indonesia

dan kedua yang terkait dengan perkembangan wacana gender dalam Islam.

Pertama, penelitian tentang gerakan perempuan di Indonesia,

penulis menemukan beberapa penelitian besar seperti yang dilakukan oleh Cora Vreede – de Struers (1960). Penelitian Antropologis yang dilakukan dan dibukukan tahun 1960 ini merekonstruksi hubungan antara persoalan perkawinan dan pendidikan dengan bangkitnya perlawanan kaum perempuan Hindia – Belanda pada awal hingga pertengahan abad ke 20. Studi ini menyoroti sistem kekerabatan dan system pengetahuan untuk mengungkap basis argument kebangkitan perempuan di Indonesia baik dalam melawan adat maupun kolonialisme. Perempuan Indonesia direkonstruksi melalui akar sosio-kulturalnya pada lembaga perkawinan dan pendidikan sehingga mencapai kesatuan pandang untuk merobohkan adat istiadat di bidang itu. Kesadaran personal yang kemudian menjadi kesadaran organisasi perempuan menjadi landasan bagi terbangunnya sikap nasionalisme dalam melawan penjajahan.

Sistem kekerabatan (yang ditularkan dan dilanggengkan melalui lembaga perkawinan) di Indonesia berakar pada tiga sistem: Matrilineal, Patrilineal, dan Bilineal. Ketiga system kekerabatan itu bersintesis dengan Islam (sebagai agama yang dianut oleh mayoritas orang Indonesia) dalam menghasilkan hukum perkawinan yang mengatur kedudukan perempuan di dalamnya. Adat perkawinan (termasuk perceraian) dibingkai oleh fiqih Islam dengan menempatkan perempuan sebagai mahluk domestik. Keberadaannya sebagai “penjaga rumah” tidak berarti memiliki kekuasaan terhadap properti perkawinan seperti harta kekayaan dan anak, tetapi posisi itu membuat perempuan terkurung dalam posisi subordinatnya. Perempuan tidak memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan perkawinan, laki-laki lah yang memegang penuh hak-hak poligami, perceraian, dan pewarisan. Praktik perjodohan pada masa itu, membuat akses perempuan terhadap pendidikan menjadi rendah. Maka terbangunlah citra tentang perempuan yang bodoh dan hidup sebagai “penjaga rumah”.

Problem kultural itu yang menjadi basis perhatian gerakan perempuan Indonesia awal abad 20. Mereka memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan, karena diasumsikan dengan pendidikan yang tinggi, usia kawin pada perempuan bisa ditunda. Dan dengan pendidikan, hak-hak dan kedudukan perempuan

dalam lembaga perkawinan dapat diperbaiki. Organisasi-organisasi perempuan itu lalu menggeser ide perlawanannya itu kepada hal-hal yang bersifat politis ketika berhadapan dengan pemerintah kolonial. Isu tentang hak pilih dan keterwakilan pribumi mengemuka ketika perwakilan untuk anggota Volksraad ditempati oleh perempuan Belanda. Penelitian ini selain mengungkap evolusi gerakan perempuan dari sosio-kultural menjadi emansipasi, juga memotret konflik antara organisasi yang sekuler vs Islam tentang poligami. Pada saat penelitian ini selesai dibukukan, konflik tentang poligami di kalangan organisasi-organisasi perempuan di Indonesia belum selesai.

Sementara itu, Sukanti Suryochondro (1984), melakukan penelitian sosiologis pada akhir 1970an dengan menelusuri ‘common 

value’ yang menjadi dasar gerakan organisas-organisasi perempuan.

Hasil penelitian ini memotret variasi dan diferensiasi organisasi-orgasnisasi wanita di Jakarta, struktur dan fungsinya, serta posisinya sebagai gerakan sosial. Penelitian ini menghasilkan kategori nilai-nilai yang menjadi dasar perkembangan organisasi wanita serta periodisasi gerakan wanita di Indonesia dari kurun 1912-1975.

Suryochondro menemukan nilai-nilai persatuan dan gotong royong menjadi pengikat bagi gerakan yang dilakukan organisasi-organisasi perempuan di Indonesia secara umum. Secara khusus gerakan itu memiliki latar belakang yang seirama dengan konteks social bangsa Indonesia sesuai jamannya. Dia melakukan periodesasi gerakan perempuan berdasarkan konteks gerakan ke Indonesia an dengan cirri-ciri yang melekat pada periode-periode itu yaitu:

Tabel 3. Periodesasi Gerakan Perempuan 1912 – 1928 1928 – 1942 1942 – 1945 1945 – 1950 1950 – 1959 1959 – 1966 1966 - 1975

Disebut periode awal munculnya kesadaran perempuan Indonesia akan harga diri dan pentingnya pendidikan untuk menghilangkan ketidak adilan.

Berintegrasi dengan kepentingan perjuangan nasional tentang kesadaran untuk merdeka dan mengusahakan terwujudnya kesamaan hak.

“Fuzinkai” membantu garis depan dan garis belakang pada perang kemerdekaan.

Revolusi fisik, mempertahankan kemerdekaan bangsa. Masa demokrasi liberal, munculnya organisasi-organisasi, tujuan utamanya meningkatkan derajat dan hak-hak perempuan, pengabdian masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan keluarga.

Masa demokrasi terpimpin, organisasi perempuan terseret pertentangan komunis – non komunis.

Pemerintahan orde baru, banyak organisasi perempuan didirikan berdasarkan status suami yang diintegrasikan dengan jawatan/dinasnya. Tema pokoknya adalah peningkatan partisipasi dalam pembangunan.

Penelitian lain dilakukan oleh Saskia E. Wieringa (2010), yang melihat Gerwani sebagai gerakan setengah otonom dari PKI dengan tiga alur pengabdian yang mengadopsi gagasan Feminisme, Sosialisme, dan Nasionalisme. Ketiga landasan gerakan itu oleh Gerwani berhasil dijadikan sebagai identitas diri dalam mempertahankan loyalitasnya memberikan kepada perempuan Indonesia suara politik dalam pergolakan politik nasional. Dalam kesimpulannya, kehancuran Gerwani memberikan dampak besar terhadap gerakan perempuan lain, bahkan terhadap mereka yang tidak melakukan perlawanan. Terjadi kemerosotan suara politik kaum perempuan sebagaimana yang pernah diraih selama perjuangan nasional.

Pasca kemerdekaan, ketika ketegangan politik berada di atas permukaan, dominasi maskulin mewarnai dinamika itu dan partai-partai politik tidak lagi memerlukan dukungan perempuan. Gerakan perempuan disempitkan oleh laki-laki menjadi hanya gerakan yang mengurusi urusan sosial. Pada saat itu Gerwani menyimpang dari proses penggiringan itu yang dalam istilah Wieringa disebut “tetap

bertumpu pada model Srikandi ketika organisasi perempuan lain digiring menjadi Sumbadra”. Gerwani dipandang sangat strategis oleh PKI karena perlunya dukungan massa perempuan dalam perolehan suara partai. Keterlibatan yang terlalu nyata dalam kancah politik nasional ini disadari oleh para pimpinan Gerwani sebagai faktor yang membuat mereka terasing dari organisasi perempuan lain. Meskipun para pemimpin PKI dinilai tidak konsisten memihak kepentingan perempuan, tetapi mereka terseret oleh arus retorika Sukarno yang mengajak kaum perempuan Indonesia bersatu di bawah Manipol.

Gerwani mengklaim diri anggotanya memiliki ideologi sebagai ibu yang militan. Perempuan dalam “Keluarga Manipolis Sejati” dikonstruk harus punya kesadaran politik yang tinggi sekaligus benteng yang dapat “menghancurkan segala usaha untuk membelokan revolusi, membuat keluarga militan dan menjadi pejuang tangguh untuk menciptakan masyarakat sosialis secepatnya”. Bencana yang menghantam Gerwani sesudah Oktober 1965 direfleksikan oleh Umi Sarjono (Ketua Umum Gerwani) hanya sebagai akibat dari perlawanan terhadap poligami yang mereka perjuangkan terlalu keras dan juga hubungannya dengan perkembangan militansi kiri pada organisasi itu. Periode antara Oktober 1965 sampai Maret 1967 dalam bahasa Wieringa disebut kudeta yang berjalan perlahan dan berujung pada penggulingan Sukarno, telah menjadikan Gerwani sebagai sasaran fitnah dan kampanye kebencian.

Penelitian Julia Suryakusuma (1919), bahkan secara ekstrim melihat posisi perempuan dibentuk dan diarahkan oleh pemerintahan Orde Baru melalui “penciptaan” keperempuanan dalam konstruk pengiburumahtanggaan. Ibuisme sebagai paham “penjinakan” (domestication) mempunyai implikasi pematahan semangat, segregasi, dan depolitisasi perempuan. Perempuan diasingkan dari proses pembangunan, baik dalam kebijakan maupun praktik yang tercermin dalam program khusus perempuan, bahkan kementrian khusus perempuan. Pemerintan Orede Baru menemukan cara paling mudah untuk membatasi perempuan yaitu dalam katagori utama sebagai istri. Hal ini telah menciptakan budaya “ikut suami” yang dilambangkan oleh asosiasi istri pegawai negeri sipil (PNS). Meski menjadi ibu juga penting, namun urutannya nomor dua dibanding katagori utama “istri”. Dengan demikian hirarki gender dipaksakan di atas hirarki kekuasaan birokratis negara. Negara mengontrol pegawai negeri sipil laki-laki, yang selanjutnya mengontrol istri-istri

mereka, yang balas mengontrol suami-suami mereka serta istri-istri junior, dan juga anak-anak mereka. Dengan cara ini, pengontrolan dan pengembangbiakan masyarakat tertentu – yaitu masyarakat Pancasila—yang mendukung kepentingan negara, dapat dipastikan. Ibuisme negara acap bersifat feudal, dalam strukturnya yang hirarkis, proses-prosesnya yang tidak demokratis, serta orientasinya pada status. Yang paling utama, kecenderungan feudal ini tampak dalam pemberian kehormatan kepada perempujan pada posisi organisatoris yang bersumber dari statusnya sebagai istri seseorang, bukan karena kemampuannya sendiri. Selain itu, ibuisme negara berorientasi pada kota dan cenderung menyebarkan kegiatan dan nilai yang tidak ada kaitannya dengan kenyataan hidup perempuan desa.

Kedua, hasil penelitian yang menyangkut topik wacana keadilan

gender dalam Islam, penulis menemukan hasil penelitian yang dilakukan Tim PPIM-UIN Jakarta (Ropi, 2003), berkenaan dengan bergulirnya masalah keseteraan gender dan upaya perubahan sosial budaya dalam masyarakat Indonesia. Penelitian ini memotret keterlibatan organisasi-organisasi yang berbasis agama dalam proses sosialisasi wacana itu. Karena ormas islam dianggap memiliki peran sangat berarti dalam proses pembentukan wacana sosial intelektual islam, maka pemikiran pemimpin ormas Islam itu dianggap merepresentasikan perkembangan wacana tentang gender di Indonesia.

Dalam penelitian tentang topik Proliferasi Wacana Gender dalam Islam, terlihat pengaruh karya-karya feminis Muslim dunia dalam memberi kontribusi dan spirit yang memicu lahirnya kebangkitan gerakan feminism Islam di Indonesia. Karya-karya mereka tidak saja menjadi rujukan dalam dialog kritis tentang isu gender dalam konteks ke Indonesiaan, tetapi juga mendorong perjuangan praksis liberatif dalam mengadvokasi masalah domestikasi, subordinasi, dan diskriminasi yang menjadi agenda gerakan perempuan. Keterlibatan ormas-ormas Islam dalam merespons isu-isu gender terungkap melalui concern mereka terhadap tema-tema tertentu dalam upaya mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam masyarakat.

Di dalam Aisyiyah terdapat empat tahapan evolutif yang secara historis dapat dikatakan sebagi pemihakan ideologis terhadap isu gender yaitu; tahapan penegasan kedudukan perempuan di tengah laki-laki, penegasan ruang gerak dan hak-hak perempuan, penegasan perempuan sebagai pembina keluarga, dan penegasan peranan

perempuan dalam pembangunan. Sedangkan di dalam Muslimat NU, pergulatan dialogis mengenai isu kesetaraan gender dijawab langsung oleh keterlibatan organisasi itu dalam setiap persoalan yang dihadapi perempuan Indonesia. Karena sifat gerakannya yang terkait langsung dengan organisasi induknya (NU), maka Muslimat juga terlibat dalam berbagai dinamika organisasi, termasuk ketika organisasi ini masuk partai politik pada masa Orde Lama. Sikap responsif terhadap setiap persoalan perempuan, menjadikan Muslimat memiliki akar sejarah perjuangan dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam berbagai spektrum.

Penelitian Siti Syamsiyatun (2010), mengenai dinamika diskursus gender di dalam organisasi Nasyiatul Aisyiyah (NA), yaitu organisasi sayap Muhammadiyah untuk perempuan muda, menemukan kesimpulan yang mendua dari para anggota NA menyangkut wacana keserataan gender yakni berdasarkan kategori tema (isu). Berkenaan dengan isu kepemimpinan politik perempuan, pendidikan, karir publik dan kepemilikan, anggota NA cenderung dekat dengan pandangan feminis sekuler. Ideologi keluarga sakinah menjadi kampanye organisasi yang diyakini dapat menghapus tindakan kekerasan, juga dengan menyediakan pusat layanan konsultasi dan konseling bagi yang membutuhkan. Sedangkan mengenai isu moralitas dan legitimasi pilihan seks, mereka lebih dekat kepada pandangan Islamist salafi. Sebagai organisasi, NA digambarkan tidak ‘terlalu feminis’ oleh aktivis feminis, tidak ‘se-Islamis’ para Islamis Salaf, dan tidak ‘terlalu nasionalis’ menurut kelompok nasionalis seperti KOWANI, DW, atau PKK.

Hasil-hasil penelitian terdahulu itu menggambarkan dua hal. 

Pertama, menyangkut kondisi gerakan perempuan dalam periode

tertentu dan pencapaiannya, tetapi bukan kajian yang menganalisis pencapaian gerakan perempuan dalam mengubah posisi strategis gender. Kedua, menggambarkan perkembangan wacana keadilan gender yang ada di masyarakat berikut resistensi mereka terhadap wacana itu, tetapi bukan kaitannya dengan pencapaian program organisasi. Dengan temuan itu, penulis menganggap topik yang menjadi masalah utama dan tujuan penelitian disertasi ini akan memberi gambaran yang berbeda dan menjadi alat evaluasi bagi efektifitas gerakan pemberdayaan untuk dapat mengubah posisi strategis perempuan, yang dapat dilihat dalam tingkat partisipasi kualitatif dan partisipasi kuantitatif perempuan.

Dalam dokumen RE M PU AN D I IN D ON ES IA (Halaman 29-36)