• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Kebijakan Penanggulangan Perjudian di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara

1. Pendekatan Penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan pendekatan penal dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama yaitu pada tahap pembuatan regulasi dan taha kedua yaitu pada tahap penerapannya (tahap aplikatif) yakni penerapan undang-undang. Tahap yang pertama mencakup pembenaran atau melegalisasi asas-asas, norma- norma, sanksi, dan ketentuan-ketentuan di dalam undang-undang yang akan dibuat, sedangkan pada tahap aplikatif yaitu meliputi penerapan asas-asas, norma-norma, dan ketentuan-ketentuan, sanksi-sanksi di dalam undang-undang terhadap perkara-perkara terkait dengan tindak pidana.

Kebijakan penanggulangan kejahatan melalui pendekatan penal dimaksud di sini adalah mengoptimalkan hukum pidana yaitu KUH Pidana, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 maupun UUITE maupun hukum acaranya seperti KUHAP. Mengoptimalkan hukum pidana baik hukum materiil maupun hukum formil dimaksud dengan tujuan untuk melakukan pemberantasan atau penindakan (refresif) terhadap segala macam praktik-praktik perjudian di wilayah Polda Sumut bilamana tindak pidana perjudian itu sudah terjadi dengan melakukan serangkaian tindakan mulai dari penyelidikan, penangkapan, penyitaan, penggeledahan, penyidikan, hingga menyusun berita acara pemeriksaan untuk segera diserahkan ke penuntut umum dan disidangkan di pengadilan.

Upaya penal merupakan bagian integral dari kebijakan penanggulangan kejahatan yang menggunakan sarana hukum pidana. Polda Sumut dalam praktik penanggulangan perjudian selama ini menggunakan upaya penal dengan menerapkan

Pasal 303 KUH dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah). Selain itu menggunakan Pasal 303 bis KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Ancaman pidana maksimal yang terdapat dalam KUH Pidana maksimal 10 (sepuluh) tahun penjara bagi setiap orang yang menawarkan atau memberi kesempatan untuk bemain judi, tetapi ancaman pidana maksimal selama 4 (empat) tahun penjara bagi setiap orang yang menggunakan kesempatan itu.

Sebelum munculnya Pasal 303 bis KUH Pidana atas diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian dan UUITE, penanganan perkara judi oleh Polri sering kali mengalami kegagalan dalam persidangan. Hal ini disebabkan karena pasal yang mengatur tentang judi hanya diatur dalam satu pasal saja yaitu hanya ada dalam Pasal 303 KUH Pidana terkait dengan penyedia sarana perjudian. Apabila pelaku yang disangkakan sesuai hasil penyidikan adalah pelaku judi yang hanya sebagai pemain atau menggunakan sarana perjudian, maka kecenderunganya tidak dapat dijerat oleh hukum.

Pasal yang diancamkan kepadanya hanya Pasal 303 KUH Pidana saja yang berarti dalam penuntutan hanya dapat dibuat dalam bentuk dakwaan tunggal. Dakwaan tunggal ini mengandung risiko besar, jika dakwaan tunggal tersebut gagal, maka tidak ada alternatif lain kecuali hakim membebaskannya (vrijspraak) bila tidak

bisa membuktikan unsur-unsur perbuatan pidana terhadap pelaku.188

Pertimbangan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian yang menegaskan tindak pidana judi sebagai kejahatan berdasarkan alasan-alasan antara lain bahwa pada hakekatnya perjudian bertentangan dengan nilai-nilai agama, kesusilaan, dan moral pancasila, serta membahayakan kehidupan generasi bangsa, masyarakat dan negara. Bahkan dampak perjudian bila ditinjau dari kepentingan nasional, mempunyai ekses yang negatif dan merusak moral dan mental masyarakat, terutama terhadap generasi muda. Meskipun kenyataannya

Kemudian dengan adanya kebijakan hukum pidana yaitu diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian muncullah Pasal 303 bis KUH Pidana yang dapat menjerat pelaku yang bertindak sebagai pemain judi, sehingga untuk menentukan pasal yang dilanggar oleh pelaku judi dapat dikenakan Pasal 303 KUH Pidana dan/atau Pasal 303 bis KUH Pidana.

Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan perjudian sehubungan dengan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian menetapkan semua tindak pidana perjudian adalah kejahatan. Ini berarti tindak pidana judi bukan merupakan delik pelanggaran tetapi merupakan delik kajahatan. Dalam bentuk apapun dan dalam kondisi bagaimanapun, judi tetap disepakati sebagai kejahatan dan orang-orang yang terlibat didalamnya, baik langsung maupun tidak langsung termasuk sebagai penjahat.

188

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, Sutau Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 56.

hasil judi yang dilegalkan di beberapa negara dapat digunakan untuk usaha-usaha pembangunan, namun ekses negatifnya bila dilegalkan di Indonesia lebih besar daripada ekses positifnya.

Kebiajkan substantif Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian melengkapi kelemahan dalam Pasal 303 KUH Pidana dengan dimasukkannya Pasal 303 bis KUH Pidana, dari semula melarang setiap orang yang menyediakan sarana maupun prasarana bermain judi dan juga melarang bagi setiap orang yang menggunakan sarana tersebut merupakan suatu kemajuan. Ketentuan subtantif dalam KUH Pidana ini dapat digunakan oleh penegak hukum kepada setiap orang yang terlibat bermain secara langsung.

Anehnya kebijakan substantif dalam Pasal 27 ayat (2) UUITE justru mengalami kemunduran sebab Pasal 27 ayat (2) UUITE hanya melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian. Bila diperhatikan pasal-pasal lain dalam UUITE tidak ada pasal yang mengatur larangan perjudian selain daripada Pasal 27 ayat (2) UUITE. Bilapun ada dalam Pasal 34 dan Pasal 45 UUITE bukan mengatur larangan bagi setiap orang yang mengakses atau menggunakan sarana judi online tersebut. Pasal 34 ayat (1) huruf a UUITE hanya mengatur bagi setiap orang yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki perangkat keras atau perangkat lunak komputer yang dirancang atau secara khusus

dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33.

Pasal 34 ayat (1) huruf a UUITE ini mempertegas bahwa subjek yang dilarang dalam UUITE adalah orang atau korporasi yang menyediakan sarana maupun prasarana saja, dan tidak termasuk bagi orang yang turut melakukan permainan judi atau orang yang mengakses permainan judi tersebut. Pasal 45 ayat (1) UUITE hanya mengatur ancaman pidana penjara dan denda bagi setiap orang yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (2) UUITE. Berdasarkan analisis ini dapat disimpulkan bahwa kebijakan subtantif dalam UUITE masih mengandung kelemahan karena tidak diaturnya larangan bagi setiap orang yang mengakses sarana maupun prasarana judi online melainkan hanya melarang penyedia sarana maupun prasarana saja.

Upaya penal sebagai upaya dalam kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).189 Kebijakan penanggulangan kejahatan tidak akan dapat dicapai bila tidak didukung dengan sinergi aparat penegak hukum dalam melaksanakan penegakan hukum. Penegakan hukum pidana mengenai perjudian sudah pasti tidak terlepas dari ketentuan dalam KUH Pidana, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, maupun UUITE sebagaimana telah disebutkan di atas.

189

Dokumen terkait