• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2. Pendekatan Komunikatif

Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang dilandasi oleh pemikiran kemampuan menggunakan bahasa dalam komunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Dalam hal ini, bahasa tidak dipandang sebagai seperangkat kaidah, tetapi sebagai sarana untuk berkomunikasi. Ini berarti, bahasa ditempatkan sesuai fungsinya, yaitu sebagai alat komunikasi (Widharyanto, 2006: 2). Peran guru sebagai fasilitator. Guru tidak lagi menguasai kelas dan materi dalam pembalajaran, karena yang dipentingkan dalam pembelajaran komunikatif ini berorientasi pada kemampuan berkomunikasi melalui bahasa.

Tiga teori yang melandasi pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa, yaitu teori kompetensi komunikatif, teori linguistik, dan teori belajar bahasa.

1) Teori Kompetensi Komunikatif

Hymes via Kurniasari (2004: 15) mendefinisikan kompetensi komunikatif sebagai penguasaan secara naluri penutur asli untuk menggunakan dan memahami

bahasa secara wajar dalam proses komunikasi atau interaksi dengan orang lain dalam kontak sosial. Seseorang dikatakan memiliki kompetensi komunikatif jika orang itu telah memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menggunakan bahasa dalam konteks komunikasi seutuhnya (Hymes via Prasetyo, 2003: 13). 2) Teori Linguistik

Dalam teori linguistik, pandangan yang mendasari pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa, yakni: (a) bahasa adalah suatu sistem yang dipakai untuk mengungkapkan arti, (b) fungsi utama bahasa adalah untuk mengungkapkan arti, (c) struktur bahasa memungkinkan pemakaian komunikatif dan fungsional bahasa, dan (d) satuan-satuan utama bahasa bukanlah ciri-ciri gramatikal tetapi kategori arti komunikatif dan fungsional (Richards dan Rodgers via Prasetyo, 2003: 13).

3) Teori Belajar Bahasa

Tiga prinsip yang mendasari teori belajar bahasa dalam pendekatan komunikatif, yaitu: (a) prinsip komunikasi, berorientasi pada kegiatan-kegiatan komunikasi yang dapat meningkatkan pembelajaran, (b) prinsip tugas, mengacu pada aktivitas-aktivitas pemakaian bahasa untuk melaksanakan tugas-tugas yang bermakna sehingga dapat meningkatkan pembelajaran, (c) prinsip kebermaknaan, menjadikan dasar bahwa bahasa yang bermakna akan menjadi pendorong siswa untuk mempelajari bahasa tersebut (Littlewood via Kurniasari, 2004: 16).

Pendekatan komunikatif menurut Finoccaro dan Brumfit (1983) dalam Sumardi (1992:100) mempunyai ciri-ciri pokok sebagai berikut.

(2) Belajar bahasa berarti belajar berkomunikasi.

(3) Tujuan yang ingin dicapai adalah kemampuan komunikatif.

(4) Materi pelajaran disusun dan ditahapkan melalui pertimbangan isi dan fungsi bahasa.

(5) Siswa diharapkan dapat berinteraksi dengan orang lain melalui kerjasama berpasangan atau kelompok, baik secara langsung maupun tulisan.

Menurut Littlewood (1991) dalam buku Zuchdi (2001: 38) pemikiran pendekatan komunikatif didasarkan pada pemikiran berikut ini.

(1) Pendekatan komunikatif membuka diri pandangan yang lebih luas tentang bahasa. Hal ini terutama menyebabkan orang melihat bahwa bahasa tidak terbatas pada tata bahasa dan kosakata, tetapi juga pada fungsi komunikatif bahasa.

(2) Pendekatan komunikatif membuka diri bagi pandangan yang luas dalam pembelajaran bahasa. Hal itu menimbulkan kesadaran bahwa mengajarkan bahasa tidak cukup dengan memberikan kepada siswa bentuk-bentuk bahasa asing, tetapi siswa harus mampu mengembangkan cara-cara menerapkan bentuk-bentuk itu sesuai dengan fungsi bahasa sebagai sarana komunikasi dalam situasi dan waktu yang tepat.

Sehubungan dengan pendapat itu, Littlewood (1991) mengemukakan beberapa alternatif teknik pembelajaran bahasa. Dalam kegiatan belajar mengajar, kepada siswa diberikan latihan, antara lain seperti di bawah ini.

(1) Memberi informasi secara terbatas

pasangan yang cocok, dan menemukan informasi yang ditiadakan. (a) Mengidentifikasi gambar

Dua orang siswa ditugasi mengadakan percakapan (bertanya jawab) tentang benda-benda yang terdapat di dalam gambar yang disediakan oleh guru. Pertanyaan dapat mengenai warna, jumlah, bentuk, dan sebagainya.

(b) Menemukan/mencari pasangan yang cocok

Guru memberikan gambar kepada sekelompok siswa yang masing- masing mendapat sebuah gambar yang berbeda. Seorang siswa yang lain (diluar kelompok) diberi duplikat salah satu gambar yang telah dibagikan. Siswa ini harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada teman-temannya yang membawa gambar, dengan tujuan untuk mengetahui identifikasi atau ciri-ciri gambar yang mereka bawa. Dari hasil tanya jawab itu, siswa (pembawa duplikat) tersebut harus dapat menemukan siapa diantara teman-temannya itu yang membawa gambar yang cocok dekat duplikat yang dibawanya.

(c) Menemukan informasi yang ditiadakan

Guru memberi informasi, tetapi ada bagian-bagian yang sengaja ditiadakan. Siswa ditugasi mencari atau menemukan bagian yang tidak ada itu. Kemudian si A mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada si B, sehingga si (A) dapat mengetahui gambar mana yang tidak ada pada gambar milik B.

Jadi, Pembelajaran bahasa yang komunikatif mengutamakan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Guru sebagai fasilitator dan mengkoordinasikan kegiatan siswa di kelas agar berjalan dengan baik. Dalam pendekatan, komunikatif guru berperan sebagai indivindu yang diharapkan memberi nasihat, memantau kegiatan

siswa, menentukan latihan, dan memberikan bimbingan (Littlewood melalui Sumardi, 1992: 102).

Selain pendekatan di atas terdapat beberapa pendekatan dalam pembelajaran bahasa yakni (1) pendekatan konstruktivisme, (2) pendekatan kooperatif, (3) pendekatan SAL, (4) pendekatan kontekstual, dan (5) pendekatan terpadu (Widharyanto, 2006: 7). Kelima pendekatan tersebut diuraikan di bawah ini.

1) Pendekatan Konstruktivisme

Pendekatan konstruktivisme merupakan pendekatan dalam pembelajaran bahasa yang memberi kesempatan kepada siswa untuk menguasai pemahaman dan keterampilan baru melalui bekal awal pengetahuan yang sudah terbentuk dalam pemikirannya, yang sering disebut dengan istilah skemata atau jaringan (Widharyanto melalui Cahyanto, 2004: 24).

Skemata atau jaringan tersebut karena faktor interaksi anak dan guru, teman sebaya, orang tua, ataupun media yang dekat dengan anak seperti televisi, majalah, dan sebagainya. Skemata ini akan terus berkembang seiring dengan proses aktif dan kreatif yang dialaminya. Sehubungan dengan hal itu, maka siswa perlu diberi kesempatan untuk menguasai pengetahuan sendiri, mengkonstruksi pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan baru itu kemudian mengkaitkannya dengan skemata yang sudah dimilikinya. Peran guru dalam pendekatan konstruktivisme ini adalah sekedar memfasilitasi, mendampingi, dan memberikan pengarahan atau proses konstruksi yang dilakukan sis wa (Cahyanto, 2004: 25).

2) Pendekatan Kooperatif

Dalam pendekatan kooperatif, siswa perlu berkompetisi, bekerjasama, dan mengembangkan solidaritas. Pembelajaran bahasa perlu memberikan kesempatan kepada siswa dalam mengembangkan semangat berkompetisi secara sehat, untuk memperoleh penghargaan, bekerjasama, dan solidaritas. Kegiatan pembelajaran juga perlu menyediakan tugas-tugas yang memungkinkan siswa bekerja secara mandiri dan bervariasi dengan kerja kelompok (Widharyanto, 2006: 8).

3)Pendekatan SAL (Student Active Learning)

Pendekatan Student Active Learning adalah pembelajaran yang mendasarkan diri pada prinsip bahwa pengetahuan itu ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan oleh siswa sendiri dan bukan merupakan transferan pengetahuan oleh guru kepada siswa, bukan sesuatu yang dilakukan oleh guru terhadap siswa. Student Active Learning mendasar ciri pada prinsip bahwa yang aktif dalam

proses belajar bukan hanya segi kognitif siswa saja melainkan juga segi emosional siswa, dan bahkan fisik siswa (Widharya nto, 2006: 8).

Ada sepuluh prinsip pokok SAL yang merupakan koreksi atas pengajaran “tradisional” yang berorientasikan “teacher centered” (Widharyanto, dkk., 2003: 14- 18), yaitu (1) siswa adalah subjek pembelajaran, (2) belajar dengan melakukan sesuatu, (3) pembelajaran berorientasi kelompok, (4) pembelajaran dengan variasi model belajar auditori, visual, dan kinestetik, (5) guru bukan satu-satunya sumber pengetahuan dan pengalaman, (6) penciptaan interaksi multiarah, (7) pembelajaran dengan melibatkan seluruh pikiran, emosi, dan tubuh, (8)

pembelajaran haruslah menyenangkan, santai, dan menarik hati, (9) rancangan fisik kelas yang bebas, leluasa, dan variatif, dan (10) pembelajaran dengan model berkreasi dan bukan mengkonsumsi.

Jadi, pendekatan SAL adalah pendekatan dalam pengelolaan kegiatan belajar-mengajar yang melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Siswa secara aktif belajar bahasa Indonesia melalui aktivitas berlatih, membahas, menelaah, dan memperbaiki keterampilan berbahasa.

4) Pendekatan Kontekstual

Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang dikaji di kelas dengan situasi dunia nyata siswa. Siswa juga dibantu menghubungkan pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam konteks kehidupan sebayanya, keluarga, dan masyarakat (Depdiknas, 2006: 7).

Tujuh komponen utama pembelajaran yang mendasari penerapan pembelajaran kontekstual adalah sebagai berikut (Depdiknas, 2006: 11–15). (1) Kontrukstivisme (Constructivism)

Pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. Dalam pandangan konstruktivis, strategi lebih diutamakan daripada mengingat pengetahuan, maka tugas guru yaitu (a) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa, (b) memberi kesempatan bagi siswa

menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan (c) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar. Jadi, bukan guru yang menjadi pusat kegiatan, melainkan siswa.

(2) Bertanya (Questioning)

Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru unt uk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Kegiatan ini sangat penting bagi siswa untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui.

(3) Menemukan (Inquiry)

Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya.

Langkah- langkah kegiatan menemukan (inquiry) meliputi: (a) merumuskan masalah, (b) mengamati atau melakukan observasi, (c) menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, tabel, dan karya lainnya, (d) mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, atau guru.

(4) Masyarakat Belajar (Learning Community)

Konsep Learning Community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Praktiknya dalam pembelajaran terwujud dalam pembentukan kelompok kecil, pembentukan kelompok besar,

mendatangkan ahli ke kelas, bekerja dengan kelas sederajat, bekerja kelompok dengan kelas di atasnya, dan bekerja dengan masyarakat.

(5) Pemodelan (Modeling)

Dalam sebuah pembelajaran keterampilan maupun pengetahuan selalu ada model yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara melafalkan, dan sebagainya. Dalam hal ini, guru bukan satu-satunya model, tetapi bisa melibatkan siswa sebagai model atau mendatangkan model dari luar.

(6) Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari, atau berpikir tentang apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian aktivitas atau pengetahuan yang baru diterima. Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses pengetahuan yang dimiliki siswa, diperluas melalui konteks pembelajaran yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Guru membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. (7) Penilaian Sebenarnya (Authentic Assessment)

Penilaian autentik adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar.

Karakteristik authentic assessment, yaitu (a) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung, (b) yang diukur adalah

keterampilan dan performansi, (c) bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif, (d) berkesinambungan, (e) terintegrasi, dan (f) dapat digunakan sebagai feed back.

5) Pendekatan Terpadu atau Integratif

Pendekatan ini memadukan empat keterampilan yaitu berbicara, menyimak, menulis, dan membaca, dengan aspek-aspek kebahasaan yaitu kemampuan berbahasa dan bersastra. Hal tersebut disebabkan pendekatan terpadu merupakan pendekatan dalam pembelajaran bahasa berdasarkan pada keutuhan dan totalitas yang tidak dapat dipisah-pisah atau diskret (Widharyanto melalui Cahyanto, 2004: 23).

Pendekatan terpadu dilandasi oleh munculnya dua fenomena komunikasi dalam pembelajaran bahasa. Seperti yang diungkapkan dalam Widharyanto (2003: 2) berikut ini.

Dalam komunikasi lisan, ketika satu orang berbicara, orang lainnya mendengarkan. Begitu untuk seterusnya dan terjadi secara bergantian sesuai dengan kebutuhan komunikasi. Dalam komunikasi tulis, ketika seseorang menulis, tulisan itupun akan dibaca oleh orang lain. Begitu juga seterusnya dan terjadi secara bergantian sesuai dengan kebutuhan komunikasi.

Berdasarkan fenomena di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran bahasa perlu diterapkan pendekatan yang memadukan berbagai keterampilan berbahasa dengan aspek-aspek kebahasaan.

Dokumen terkait