• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

2. Pendekatan Kontekstual

a. Pengertian Keterlaksanaan Pembelajaran Kontekstual

Keterlaksanaan berasal dari kata laksana, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:627) berarti sifat, laku, atau

perbuatan. Imbuhan keter-an menyatakan sesuatu hal atau peristiwa yang telah terjadi. Dengan demikian keterlaksanaan berarti sesuatu hal yang sudah dapat dilaksanakan. Dalam konteks ini sesuatu hal yang sudah dilaksanakan tersebut adalah pembelajaran kontekstual pada Sekolah Menengah Atas.

Pembelajaran kontekstual menurut Komalasari (2011:7), merupakan pendekatan pembelajaran yang mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata siswa sehari-hari, baik dalam lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, maupun warga negara. Tujuan dari pembelajaran ini adalah untuk menemukan makna materi tersebut bagi kehidupannya.

Menurut Rusnan (2011: 187), pembelajaran kontekstual adalah usaha untuk membuat siswa aktif dalam memompa kemampuan diri tanpa merugi dari segi manfaat. Siswa berusaha mempelajari konsep sekaligus mengkaitkan dan menerapkannya dalam dunia nyata.

Hal yang sedikit berbeda mengenai pengertian pembelajaran kontekstual disampaikan oleh Sanjaya (2006: 255), pembelajaran kontekstual dipahami sebagai suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan yang nyata, sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan keseharian mereka.

Pembelajaran kontekstual menurut Hosnan (2014:267), merupakan konsep belajar di mana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan dan ketrampilan siswa diperoleh dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses mengkontruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.

Berdasarkan definisi yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keterlaksanaan pembelajaran kontekstual adalah suatu strategi pembelajaran yang yang telah dilaksanakan sekolah dengan melibatkan siswa secara aktif. Siswa dilatih untuk dapat menemukan dan memahami materi pembelajaran serta mendorong siswa untuk mampu mengkaitkan materi pembelajaran yang diperolehnya dari kegiatan belajar tersebut dengan kehidupan sehari-hari.

b. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual

Berdasarkan pengertian dari pembelajaran kontekstual, maka menurut Sanjaya (2006:256), ada 5 karakteristik penting dalam pembelajaran kontekstual, yaitu:

1) Pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activiting knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan sebelumnya, dengan

demikian pengetahuan yang diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh.

2) Pembelajaran dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru ini diperoleh dengan cara mempelajari secara keseluruhan terlebih dahulu, kemudian baru memperhatikan detailnya.

3) Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan hanya sekedar dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini.

4) Mempraktikan pengetahuan dan pengalaman (applying knowledge). Siswa harus mampu mempraktikan pengetahuan dan pengalaman belajarnya dalam kehidupan sehari-hari mereka, sehingga akan ada perubahan perilaku yang mereka tunjukkan setelah proses belajar.

5) Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Kegiatan ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan srtategi.

Karakteristik pembelajaran kontekstual juga dikemukakan oleh Fellows (2000) dalam Komalasari (2011: 10-11), dimana ada enam karakteristik yang diuraikan sebagai berikut:

1) Berbasis masalah (problem-based), dimana siswa dituntut untuk meggunakan kemampuan berpikir kritis serta

menggunakan beragai disiplin ilmu untuk mengkaji dan memecahkan suatu masalah atau isu yang berkaitan dengan kehidupan siswa dalam keluarga, sekolah, ataupun masyarakat. 2) Penggunaan berbagai konteks (using multiple contexts), pengalaman peserta didik diperkaya ketika mereka belajar ketrampilan di dalam berbagai konteks, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.

3) Penggambaran keanekaragaman siswa (drawing upon student diversity), peserta didik harus mampu bekerjasama dan

menghormati perbedaan dan sejarah masing-masing,

meluaskan perspektif, dan membangun keterampilan inter- personal.

4) Pendukung pembelajaran pengaturan diri (supporting self- regulated), dalam pembelajaran kontekstual perlu mempertimbangkan prinsip trial-error, menyediakan waktu dan struktur untuk refleksi, dan menyediakan cukup dukungan untuk membantu siswa pindah dari ketergantungan kepada belajar mandiri.

5) Penggunaan kelompok belajar yang saling ketergantungan (using interdependent learning groups), dalam praktiknya harus ada belajar kelompok atau masyarakat belajar untuk memperoleh berbagai pengetahuan, memusatkan pada tujuan,

dan memberi kesempatan semua anggota untuk saling belajar dan mengajar.

6) Memanfaatkan penilaian asli (employing authentic assessment), pembelajaran kontekstual dimaksudkan untuk membangun pengetahuan dan ketrampilan yang penuh makna dengan melibatkan para siswa dalam konteks kehidupan nyata, maka dalam penilaiannya juga harus autentik, sepanjang proses pembelajaan dan terhadap hasil pembelajaran.

Menurut Muslich (2007: 42), 7 karakteristik pembelajaran kontekstual adalah sebagai berikut:

1) Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks autentik, yaitu pembelajaran yang diarahkan pada ketercapaian keterampilan dalam konteks kehidupan nyata atau pembelajaran yang dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah (learning in real life setting).

2) Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang bermakna (meaningful learning).

3) Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa (learning by doing).

4) Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok,

berdiskusi, saling mengoreksi antarteman (learning in a group).

5) Pembelajaran memberikan kesempatan untuk menciptakan rasa kebersamaan, bekerjasama, dan saling memahami antara satu dengan yang lain secara mendalam (learning to know each other deeply).

6) Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif, dan mementingkan kerjasama (laerning to ask, to inquiry, to work, together).

7) Pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan (learning as an enjoy activity).

Dari berbagai pandangan tentang karakteristik pembelajaran kontekstual yang dimuat dalam bukunya, Komalasari (2011: 13-15),

juga mengungkapkan pandangannya mengenai karakteristik pembelajaran kontekstual sebagai beriut:

1) Keterkaitan (relating). Dalam hal ini, proses pembelajaran memiliki keterkaitan dengan bekal pengetahuan (prerequisite knowledge) yang telah ada pada diri siswa dan dengan konteks pengalaman kehidupan dunia nyata siswa.

2) Pengalaman langsung (experience). Pembelajaran yang menerapkan pengalaman langsung adalah proses pembelajaran

yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mengontruksi pengetahuan dengan cara menemukan dan mengalami langsung.

3) Aplikasi (applying). Proses pembelajaran ini menekankan pada penerapan fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang dipelajari dalam situasi dan konteks lain yang berbeda sehingga bermanfaat bagi kehidupan siswa.

4) Kerjasama (cooperating). Proses pembelajaran mendorong kerjasama di antara siswa, antara siswa dengan guru dan sumber belajar. Kerjasama dapat dilakukan dengan kerja kelompok, saling bertukar pikiran, komunikasi interaktif antar sesama teman ataupun guru, dan bahkan juga penghormatan terhadap perbedaan dalam setiap individu.

5) Pengaturan diri (self-regulating). Proses pembelajaran mendorong siswa untuk mengatur diri dan pembelajarannya secara mandiri.

6) Asesmen autentik (authentic assessment). Pembelajaran mengukur, memonitor, dan menilai semua aspek hasil belajar (kognitif, afektif, psikomotor), baik yang tampak sebagai hasil akhir dari suatu proses pembelajaran maupun berupa perubahan dan perkembangan aktivitas, dan perolehan belajar selama proses proses pembelajaran di dalam kelas ataupun di luar kelas.

c. Prinsip-prinsip pembelajaran kontekstual

Muslich (2007: 48-48), menyatakan beberapa prinsip dalam pembelajaran kontekstual yang harus diperhatikan oleh guru sebgai berikut:

1) Belajar pada hakekatnya adalah real-world learning, yaitu belajar dari kenyataan yang bisa diamati, dipraktikkan, dirasakan, dan diuji coba.

2) Belajar adalah mengutamakan pengalaman nyata, bukan pengalaman yang hanya diangan-angankan saja, yang tidak bisa dibuktikan secara empiris.

3) Belajar adalah berpikir tingkat tinggi, yaitu berpikir kriti yang mengedepankan siklus inquiry mulai dari mengamati, bertanya, mengajukan dugaan sementara (hipotesis),

mengumpulkan data, menganilisis data, sampai dengan merumuskan kesimpulan (teori).

4) Kegiatan pembelajaran berpusat pada siswa, yaitu

pembelajaran yang memberikan kondisi yang memungkinkan siswa melakukan serangkaian kegiatan secara maksimal. 5) Kegiatan pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa

untuk aktif, kreatif, dan kritis.

6) Kegiatan pembelajaran menghasilkan pengetahuan bermakna dalam kehidupan siswa.

7) Kegiatan pembelajaran harus dekat dengan kehidupan nyata. 8) Kegiatan pembelajaran harus bisa menunjukkan perubahan

perilaku siswa sesuai dengan yang diinginkan.

9) Kegiatan pembelajaran diarahkan pada praktik, bukan menghafal.

10)Pembelajaran harus bisa menciptakan siswa belajar (learning), bukan guru mengajar (teaching).

11)Sasaran pemebelajaran adalah pendidikan (education), bukan pengajaran (instruction).

12)Pembelajaran diarahkan pada pembentukan perilaku

“manusia” yang membudaya.

13)Strategi pembelajaran diarahkan pada pemecahan masalah, sehingga siswa lebih berpikir kritis.

14)Situasi pembelajaran dikondisokan agar siswa lebih banyak bertindak (acting), sedangkan tugas guru adalah mengarahkan. 15)Hasil belajar diukur dengan berbagai cara, bukan hanya

dengan tes tertulis.

d. Komponen Pembelajaran kontekstual

Pembelajaran kontekstual memiliki 7 komponen utama yang harus dikembangkan. Berikut 7 komponen dalam pembelajaran kontekstual yang dikemukakan Ditjen Dikdasmen (2003: 10-19) dalam Komalasari (2011: 11-13):

1) Konstruktivisme (constructivism).

Kontruktivisme adalah proses membangun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Pembangunan penegetahuan dilakukan sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Manusia harus membangun pengetahuan tersebut, dan memberi makna melalui pengalaman yang nyata dalam kehidupannya. Pengetahuan yang terbangun bukan hanya dari objek yang dipelajari, tetapi juga dari kemampuan siswa sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang diamatinya.

Piaget dalam Sanjaya (2006: 264), menyatakan hakekat kontruktivisme pengetahuan sebagai berikut:

a) Pengetahuan merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.

b) Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.

c) Struktur konsepsi konsepsi membentuk pengetahuan bila

konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan

pengalaman seseorang. 2) Menemukan (inquiry).

Proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh diharapkan bukan hanya hasil dari mengingat seperangkat fakta, melainkan hasil dari penemuan sendiri. Proses sistematis yang dimaksud adalah: (1) observasi, (2) bertanya, (3) mengajukan dugaan, (4) mengumpulkan data, dan (5) penarikan kesimpulan.

3) Bertanya (questioning).

Penggalian informasi lebih efektif apabila dilakukan melalui kegiatan bertanya. Konfirmasi terhadap apa yang sudah diketahui juga akan lebih efektif melalui kegiatan tanya- jawab.

Menurut Sanjaya (2006: 266), belajar pada hakekatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat

dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu, sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir dan menaggapi suatu masalah.

Menurut Komalasari (2011: 12), kegiatan bertanya bagi guru dipandang sebagai kegiatan untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa bertanya merupakan bagian penting dalam melakukan inquiry, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.

4) Masyarakat belajar (learning community)

Pada komponen ini menyatakan bahwa hasil belajar sebaiknya diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Guru harus membiasakan siswa untuk melakukan kerjasama dan memanfaatkan sumber belajar dari teman-teman belajarnya, yang tentu saja tidak hanya teman kelas tetapi dalam cakupan yang lebih luas atau masyarakat belajar lain di luar kelas.

Hasil belajar dapat diperoleh dengan sharing antarteman, antarkelompok, dan antara yang tahu dan yang tidak tahu, baik di dalam maupun di luar kelas (keluarga dan masyarakat). Ketika siswa dibiasakan untuk menerima dan memberikan pengalan yang luas kepada orang lain, maka saat itu pula siswa akan mendapatkan pengalaman yang lebih banyak dan nyata.

5) Pemodelan (modelling)

Pemodelan yang dimaksud adalah dalam proses pembelajaran diperlukan kegiatan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Dalam hal ini guru bisa menjadi model untuk memberikan pemahaman terhadap siswa, misalnya dengan menunjukkan cara mengoperasikan suatu alat. Tetapi guru bukan satu-satunya model, artinya model dapat dirancang dengan melibatkan siswa, atau bahkan mendatangkan seorang ahli tentang suatu materi dari luar sekolah.

Kegiatan pemodelan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang lebih nyata kepada siswa, atau sebagai alternatif untuk mengembangkan pembelajaran agar siswa bisa memenuhi harapannya secara menyeluruh, dan membantu mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh guru.

6) Refleksi (reflection)

Menurut Sanjaya (2006: 268), refleksi adalah proses pengandapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dialami atau dilakukan.

Pada saat refleksi, siswa diberi kesempatan untuk mencerna, menimbang, mambandingkan, menghayati, dan melakukan diskusi dengan dirinya sendiri (learning to be).

Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari suatu proses yang bermakna pula, yaitu melalui penerimaan, pengolahan, dan pengendapan untuk kemudian dapat dijadikan sandaran dalam menanggapi gejala yang muncul kemudian.

7) Penilaian yang sebenarnya (authentic assessment)

Penilaian keberhasilan pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh perkembangan kemampuan intelektual saja, akan tetapi perkembangan seluruh aspek. Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan semata hasil, dan dengan berbagai cara. Penilaian dapat berupa penilaian tertulis, dan penilaian berdasarkan perbuatan, penugasan, produk, atau portofolio.

Penilaian yang autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian ini dilakukan selama terus-menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, tekanan penilaian diarahkan kepada proses belajar bukan kepada hasil belajar. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak; apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental siswa.

Dokumen terkait