• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

2.1 Teori yang Mendukung .1 Pengertian Matematika .1 Pengertian Matematika

2.1.3 Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)

Matematika selalu dihadapi secara nyata oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari. Matematika merupakan bentuk aktivitas manusia melandasi pengembangan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia. Aktivitas manusia dalam kesehariannya tidak pernah lepas dengan masalah hitungan, sehingga hal tersebut yang melandasi adanya Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (Freudenthal dalam Wijaya, 2012: 20). Menurut Freudenthal, aktivitas pokok yang dilakukan dalam RME meliputi menemukan masalah dan soal kontekstual, memecahkan masalah, menata materi dan bahan ajar.

Banyak yang mengartikan kata “realistik” sebagai “real-world” yang berarti dunia nyata dan beranggapan bahwa PMRI merupakan pendekatan pembelajaran matematika yang selalu menggunakan masalah sehari-hari. Van den Heuvel-Panhuizen mengungkapkan penggunaan kata realistik tidak sekedar menunjukkan adanya suatu koneksi dengan dunia nyata, tetapi lebih mengacu pada fokus pendidikan matematika realistik dalam menempatkan penggunaan

20 penekanan suatu situasi yang bisa dibayangkan siswa (Wijaya, 2012: 20). Permasalahan yang terdapat pada PMRI bukan hanya sekedar permasalahan yang memang senyatanya ada dan dihadapi oleh siswa, namun permasalahan tersebut dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dan dapat dibayangkan oleh siswa. Jadi, pendekatan PMRI merupakan pendekatan pembelajaran pada matematika yang menggunakan situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari.

2.1.3.1Sejarah Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)

Pada tahun 1970-an, universitas Utrecht, yang memiliki lembaga penelitian tentang pendidikan matematika, melakukan upaya pembaharuan pendidikan matematika yang dipelopori oleh Hans Freudental. Lembaga tersebut diberi nama dengan Freudental Institute, dan karya pembaharuannya diberi nama dengan “Realistic Mathematics Education (RME)” yang bertumpu pada realitas dalam kehidupan sehari-hari (Suryanto, 2010: 37). Realistic Mathematics Education (RME) merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika di Belanda. Indonesia adalah satu negara yang mengadaptasi Realistics Mathematics Educations (RME) dan memberi nama Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). PMRI awalnya terbentuk sebagai usaha sekelompok pendidik matematika yang peduli terhadap masalah pendidikan matematika. Kerjasama matematika antara Belanda dengan Indonesia dimulai pada tahun 1990-an (Suryanto, 2010: 13). PMRI mulai dikenalkan dan diuji coba pada tahun 2000. Hasil yang diperoleh sangat mengagumkan. Ketakutan guru pada penurunan hasil ternyata tidak terbukti. Suasana belajar yang tidak membuat tegang terlihat pada pembelajaran matematika. Guru pun merasa tertantang dengan penggunaan

21 kreativitas dan inisiatif mereka dalam mengajar. Rasa percaya diri dan kerjasama antara siswa dengan guru juga membuat pembelajaran lebih bermakna. Akhirnya pada tahun 2011, nama Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) lahir sebagai suatu gerakan peduli matematika yang mengusahakan peningkatan kualitas pendidikan matematika di Indonesia (Suryanto, 2010: 14). Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) kini mulai dikenal oleh dunia pendidikan sebagai salah satu pendekatan belajar yang digunakan dalam mata pelajaran matematika.

Dari penjelasan terkait dengan PMRI di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Pendekatan PMRI adalah pendekatan untuk pembelajaran matematika dengan menekankan keaktifan siswa mencari, menemukan dan memecahkan masalah dengan memberi pengalaman langsung kepada anak serta mengkaitkan pada kehidupan anak sehari-hari, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna.

2.1.3.2Prinsip Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)

PMRI mengadaptasi tiga prinsip dari RME seperti yang diungkapkan oleh Gravemeijer (Marpaung, 2008: 4) yaitu meliputi “Guide reinvention and progressive mathematization, didactical phenomenology, and from informal to formal mathematics.”

Prinsip pertama yaitu guide reinvention (penemuan kembali secara terbimbing) merupakan penekanan terhadap penemuan kembali secara terbimbing melalui masalah-masalah kontekstual yang dapat dipahami oleh siswa (Suryanto, 2010: 41). Progressive mathematization (matematisasi progesif) adalah pemberian

22 penekanan pada pematematikaan yang dapat diartikan sebagai upaya untuk mengarahkan ke pemikiran matematis.

Prinsip kedua yaitu didactical phenomenology (fenomenologi didaktis) yang menekankan penekanan pada pembelajaran yang mendidik serta memberikan pengenalan terhadap topik-topik matematika pada siswa. Hal ini selaras dengan tujuan pembelajaran PMRI yaitu menciptakan pengalaman belajar yang bermakna dan sikap positif terhadap matematika pada anak (Gravemeijer dalam Marpaung, 2008: 4)

Prinsip ketiga yaitu from informal to formal mathematics (dari matematika formal ke matematika informal) yang menunjukan adanya fungsi jembatan berupa model. PMRI berpangkal pada masalah kontekstual yang mampu membuat siswa mengembangkan model belajarnya sendiri. Model yang masih mirip dengan masalah kontekstual disebut dengan matematika informal. (Gravemeijer dalam Marpaung, 2008: 4).

Dapat disimpulkan bahwa PMRI memiliki tiga prinsip, yang mengadaptasi dari RME yaitu 1) penemuan kembali secara terbimbing; merupakan penekanan terhadap penemuan secara terbimbing melalui masalah kontekstual yang dapat dipahami oleh siswa, 2) fenomenologi didaktis; menekankan pada pembelajaran yang mendidik serta memberikan pengenalan terhadap topik-topik matematika pada siswa, 3) dari matematika formal ke informal; menunjukan adanya jembatan berupa model yang membuat siswa mengembangkan model belajarnya sendiri.

23

2.1.3.3Karakteristik PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia)

Pendidikan Matematika Realistik Indonesia mempunyai 5 karakteristik yang dikemukakan oleh Treffers (1987). Lima karakteristik PMRI itu adalah penggunaan konteks, penggunaan model, kontruksi siswa, interaktivitas dan keterkaitan.

a. Penggunaan konteks

Karakteristik pertama PMRI yaitu penggunaan konteks. Konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata namun bisa dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut bermakna dan bisa dibayangkan dalam pikiran siswa. Melalui penggunaan konteks siswa dilibatkan secara aktif untuk melakukan kegiiatan eksplorasi permasalahan (Wijaya, 2012: 21).

b. Penggunaan Model

Karakteristik kedua yaitu penggunaan model. Model berfungsi untuk menjembatani pengetahuan dan matematika tingkat konkret menuju matematika tingkat formal (Wijaya, 2012: 22). Model yang dimaksud adalah benda konkret ataupun semi konkret seperti gambar dan skema. Penggunaan model tidak harus berupa benda yang menjadi media dengan harga mahal, tetapi cukup menggunakan benda di sekitar yang mampu dimanfaatkan sedemikian rupa (Siswono, 2006: 5).

c. Konstruksi atau Kontribusi Siswa

Karakteristik ketiga merupakan kontruksi siswa. Dalam pembelajaran perlu sekali diperhatikan sumbangan atau kontribusi siswa

24 yang berupa ide, variasi jawab atau variasi pemecahan masalah (Suryanto, 2010: 44). Siswa memiliki kebebasan untuk mengembangkan strategi pemecahan masalah sehingga diharapkan akan diperoleh strategi yang bervariasi. Karakteristik ini tidak hanya bermanfaat dalam membantu siswa memahami konsep matematika, tetapi juga sekaligus mengembangkan aktivitas dan kreativitas (Wijaya, 2012: 22).

d. Interaktivitas

Karakteristik yang keempat adalah adanya interaktivitas yang merupakan proses sosial dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran jelas bahwa sangat diperlukan adanya interaksi baik antara siswa dan siswa, siswa dan guru, Interaksi mungkin terjadi antara siswa dan sarana, antara siswa dengan matematika atau lingkungan (Suryanto, 2010: 45).

e. Keterkaitan

Karakteristik lima adalah keterkaitan antar konsep matematika. Keterkaitan dalam pelajaran matematika mampu mengenalkan dan membangun lebih dari satu konsep matematika secara bersama walaupun tetap ada konsep yang mendominasi (Wijaya, 2012: 23). Matematika adalah suatu ilmu yang terstruktur dengan konsistensi yang ketat. Keterkaitan antara topik dan konsepnya sangat kuat sehingga sangat dimungkinkan adanya integrasi antara topik-topik.

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat lima karakteristik dalam PMRI yaitu 1) penggunaan konteks; konteks yang dimaksud adalah hal bermakna dan dapat dibayangkan oleh pikiran anak, 2)penggunaan