• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebagai suatu pendekatan dalam ilmu poltik, pendekatan pluralisme dikembangkan dengan berpijak pada pendekatan institusionalisme dan pendekatan behavioralisme. Pendekatan pluralisme menekankan peran partai sebagai mata rantai yang menghubungkan rakyat dengan pemerintah, dan melahirkan hubungan yang dinamis di antara keduanya. Keharmonisan hubungan antara rakyat dan pemerintah terwujud dalam keterlibatan politik dalam jumlah atau dalam efektivitas yang pada akhirnya akan membawa perubahan yang cukup besar dalam proses pembuatan kebijakan publik. Pluralisme menekankan segi yang aktif, pengetahuan politik yang cukup dan adaptif melalui sarana peran serta umum pada berbagai tingkatan politik dan dalam keragaman lembaga-lembaga politik.

Penggabungan antara pendekatan kelembagaan dan pendekatan tingkah laku telah melahirkan tinjauan tentang proses yang terjadi di dalam struktur. Pendekatan ini kurang memperhatikan bagaimana badan-badan pemerintah, badan pembuat kebijakan, badan pekerja (aparat pemerintah biasa) bekerja, ketimbang bagaimana kekuasaan dibagi di antara berbagai macam kelompok, baik swasta maupun pemerintah. Kelompok-kelompok tersebut bisa saja berupa kelompok kepentingan etnis seperti persatuan suku, agama, dan lain-lain. Dari sudut pandang pluralisme menurut David E. Apter, politik merupakan proses interaksi

warga negara untuk mempengaruhi arah maupun substansi kebijakan publik31

Semakin banyak masyarakat yang berperan serta dalam politik dan semakin beragamnya pola dan cara berperan serta, maka semakin tajam pula persaingan antar kelompok. Jika tidak ditemukan cara mengkoordinasi dan mengontrol, atau cara mengarahkan persaingan yang demikian, maka sistem politik akan kelebihan beban, yang nantinya akan menyebabkan ambruknya sistem tersebut. Maka peran serta masyarakatpun menjadi tidak berarti.

. Pendekatan ini melahirkan dua pokok yang menjadi perhatian kaum pluralis itu sendiri. Yang pertama adalah non-partisan yakni warga negara yang tidak berperan aktif, yang diasingkan atau mengasingkan diri dari proses politik, yang kedua, boleh dikatakan sebagai paradoks pluralis, yang berkenaan dengan peran serta yang berlimpah. Tingkat partisipasi yang tinggi dari masyarakat bisa mengakibatkan para pembuat kebijakan tidak bisa berbuat banyak, karena pertentangan kebijakan yang hendak dibuat, dengan isu-isu kebijakan yang ditawarkan kelompok-kelompok masyarakat.

Dalam analisisnya, kaum pluralis memanfaatkan dan mengembangkan dua pokok pemikiran institusional, yaitu “kontrol legislatif terhadap eksekutif”, dan kedaulatan rakyat. Artinya, bagaimana kekuasaan negara dikendalikan oleh rakyat, dan bagaimana rakyat diwakili sebagai warga negara. Merujuk pada prinsip ini, kaum pluralis beranggapan bahwa, karena berbagai pelayanan dan kegiatan pemerintah dibiayai oleh warga negara, maka adalah hak warga negara untuk ikut serta dalam mengelola pemerintahan.

31

Dalam teori kaum pluralis, kedua prinsip tersebut dikembangkan melampaui batas-batas politik yang formal. Syarat pluralisme adalah pemilih harus mencakup seluruh warga negara/pemilih harus bersifat semesta. Menurut pendekatan ini, tidak boleh ada pembatasan diskriminatif dalam pemberian suara. Sebaliknya, prinsip kontrol legislatif terhadap eksekutif harus diperluas, tidak hanya sampai tingkat pemerintahan yang terendah (kecamatan, kabupaten/kota), tetapi juga harus meliputi seluruh lembaga pemerintahan.

Pluralisme masyarakat selanjutnya akan melahirkan pluralisme politik. Luasnya kesempatan dan beragamnya cara berperan serta dalam politik telah menyambung perantaraan (perbedaan) yang ada di antara berbagai kelompok yang ada dalam masyarakat. Cakupan hal ini diperluas melalui sarana pertumbuhan jaringan masyarakat yang berinteraksi, perkumpulan sukarela, kelompok kepentingan, dan partai-partai politik. Perbedaan antara ruang privat dan publik telah semakin semu. Karena politik semakin kompleks, timbullah masalah kesopanan, atau hal-hal yang menyangkut kelakuan (baik atau buruk). Pengaruh telah menembus jalur-jalur kekuasaan, sehingga kelompok lobby sering kali berhasil merancang sebuah kebijakan yang sangat menguntungkan usaha atau kegiatan para kliennya (pelanggannya). Dalam suatu sistem, di mana informasi sama dengan kekuasaan, organisasi-organisasi dalam sistem tersebut akan berusaha memobilisasi informasi tersebut. Dalam sistem yang seperti ini, siapa yang menguasai informasi, dialah yang memperoleh kekuasaan yang istimewa.

Pluralisme selanjutnya dari kehendak dan kecenderungan individu dan kelompok, dan bagaimana kesemua hal itu dimanifestasikan dalam sebuah kebijakan publik. Meskipun pendekatan ini dibangun di atas pendekatan

behaviraolisme, namun perpektif yang digunakan lebih didominasi oleh tradisi filsafat utilitarianisme. Teori perilaku utility (kepentingan/keperluan) berhubungan erat dengan bagaimana membentuk koalisi, perilaku pemilih, dan kecenderungan lainnya yang ada dalam masyarakat. Model dasar dalam banyak hal, sama halnya dengan ilmu ekonomi, ia juga semakin terperosok pada masalah kuantifikasi.manfaat dan maksimumisasi harus dapat diukur dengan indikator, seperti bagaimana frekuensi kemenangan berdebat koalisi legislatif, sejauh mana frekuensi pemilih dan dukungan partai. Stabilitasi politik merupakan ukuran pelaksanaan kegiatan pemerintah, yaitu ”kebaikan yang terbesar untuk jumlah yang terbesal“ dengan menetapkan dan mewujudkan agenda dan program yang menguntungkan.

Kaum pluralis mengarah ke model utility atau model politik psikologis sesuai dengan tinjauan mereka. Pertama membantu mereka menilai strategi pengambilan kebijakan pemerintah melalui sarana umpan balik. Menurut pendekatan ini, stimulus dan persaingan kelompok akan menghasilkan berbagai bentuk masukan, sehingga pemerintah bisa membuat kebijakan yang layak. Dengan kata lain, dengan adanya masukan dari berbagai kelompok yang ada dalam masyarakat, maka pemerintah akan mampu membuat kebijakan yang memberi kepuasan maksimum bagi sebagian besar warga masyarakat.

Dalam menjawab persoalan (masalah penelitian) yang telah dirumuskan, penulis hanya menggunakan pendekatan instituonalisme. Hal ini disebabkan oleh konsepsi penelitian yang telah dirumuskan lebih merujuk pada apa yang telah digambarkan oleh pendekatan instituonalisme. dengan kata lain, peneliti mendefinisikan nilai-nilai politik sebagai wujud dari kesetiaan para anggota

dewan terhadap garis kebijakan partai, di mana mereka bernaung. Jadi politik dalam hal ini lebih merujuk pada institusi politiknya, bukan pada perilaku.

Dokumen terkait