• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI DAN PENDEKATAN

3.2.3. Pendekatan Profesional

Secara umum tugas konsultan dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian, antara lain adalah:

Dalam hal ini konsultan bertindak sebagai pemberi saran dan bantuan teknis, administrasi Dalam konsep ini konsultan tidak berwenang memutuskan suatu kebijakan atau suatu langkah konkret, karena hal tersebut menjadi tugas dan tanggung jawab dari instansi terkait.

2) Tugas-tugas yang bersifat Task Concept

Dalam hal ini konsultan bertindak untuk melaksanakan suatu kegiatan, baik lingkup organisasi konsultan sendiri, maupun dalam lingkup secara keseluruhan. Dalam konsep ini konsultan berwenang mengambil keputusan dan menentukan kebijakan dimana keputusan yang diambil oleh konsultan bersifat mengikat terhadap pihak-pihak yang terikat oleh konsultan dalam pekerjaan. Konsultan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap semua implikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat dari keputusan yang diambil.

Dalam Pendekatan Profesional perlu kiranya ditekankan mengenai prinsip dasar yang harus dipahami dalam pelaksanaan kegiatan ini, yang meliputi hal-hal sebagai berikut :

a) Pengendalian Pelaksanaan kegiatan

Konsultan akan melakukan kegiatan pengendalian dalam lingkup kerja secara cepat, tepat, praktis dan efisien. Kegiatan pengendalian ini meliputi sasaran, target dan keberhasilan pelaksanaan pekerjaan.

b) Pengaturan Tata Kerja Personil

Konsultan akan membentuk suatu organisasi intern konsultan maupun pembentukan organisasi proyek secara keseluruhan agar dapat berjalan secara efektif dan efisien. Pengaturan tata kerja atau organisasi yang kurang baik akan menyebabkan kegiatan berjalan tanpa arah dan target.

c) Pemeriksaan Kegiatan Kerja

o Penetapan langkah (apa, dimana, dan bagaimana ?) o Pengaturan waktu (kapan ?)

o Penugasan (siapa ?)

o Tahap lanjutan (atau penyelesaian dengan segera). 3.3. METODOLOGI

3. 1 Metode Penelitian

Metode penelitian dilaksanakan sesuai bidang kajian masing-masing. Mengingat pekerjaan ini ada empat bidang kajian, maka dilaksanakan dengan empat metode kajian yang berbeda. Berikut ini penjelasan masing-masing metode penelitiannya.

a. Alat dan Bahan

Bahan yang perlu disiapakn di dalam pelaksanaan pekerjaan penyusunan informasi kerusakan lahan dan atau tanah untuk produksi biomassa Kabupaten Bantul ini antara lain :

 Peta Dasar

Peta Dasar adalah peta yang menyajikan informasi-informasi dasar dari suatu wilayah, antara lain jalan, pemukiman/kampung, sungai, gunung, tutupan lahan, elevasi dan wilayah administrasi. Peta ini menjadi wadah dituangkannya berbagai peta tematik. Skala peta dasar yang akan digunakan sama atau lebih detil dari skala peta yang akan dihasilkan. Sebagai bahan peta dasar dapat menggunakan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) produksi Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal).

 Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Peta RTRW yang digunakan adalah peta RTRW tingkat Kabupaten Bantul. Fungsi dari peta RTRW dalam penyusunan peta kondisi awal tanah adalah sebagai penyaring daerah kerja efektif yang akan disurvey dan dilihat kondisi

tanahnya di lapangan berdasarkan status lahannya. Daerah yang dijadikan sebagai areal kerja efektif adalah daerah yang dapat digunakan untuk pengembangan produksi Biomassa di kawasan budidaya.

 Peta Tanah

Peta tanah diperlukan sebagai bahan untuk penilaian potensi kerusakan tanah. Informasi utama yang diambil dari peta ini adalah jenis tanah. Jenis tanah yang diperoleh dari peta tanah tergantung dari skala peta. Semakin detil skala peta tersebut, semakin banyak informasi sifat tanah yang diperoleh. Jenis (klasifikasi) tanah yang digunakan dapat beragam, umumnya menggunakan sistem klasifikasi Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, USDA) dan kadang-kadang juga disertakan padanannya dari klasifikasi Puslittan dan FAO.

 Peta Lereng

Peta lereng merupakan hasil olahan dari peta topografi. Kemiringan lahan berkaitan erat dengan potensi erosi sebagai faktor utama penyebab kerusakan tanah sehingga dijadikan bahan penilaian potensi kerusakan tanah. Peta lereng yang mudah didapat diantaranya bersumber dari peta satuan lahan. Peta satuan lahan terdiri dari kumpulan peta-peta dasar seperti peta lereng, peta tanah dan sebagainya. Peta tersebut diantaranya bisa didapat di BBSDL (Balai Besar Sumber Daya Lahan) dan di Bakosurtanal. Peta lereng juga dapat dipersiapkan dengan DEM (digital elevation model} yaitu melakukan interpolasi peta kontur digital. DEM terbaru didapatkan dengan metode korelasi image digital dari dua image optik yang sama namun diambil dari sudut berbeda. Sumber image antara lain citra dari SPOT, ASTER dan sebagainya.

 Peta Curah Hujan

Curah hujan merupakan unsur yang paling penting dari iklim dan menjadi agen utama kerusakan tanah melalui proses erosi. Untuk itu ketersediaan data ini diperlukan dalam penentuan potensi kerusakan tanah. Peta hujan biasanya

disusun dari peta isohyet. BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika) ditingkat provinsi kadang juga menyusun peta hujan. Sumber lain adalah peta hujan yang disusun oleh Bappeda masing-masing daerah kabupaten, kota atau Provinsi.

 Peta Penggunaan / Penutupan Lahan

Umumnya kerusakan tanah di Indonesia terjadi sebagai pengaruh aktivitas manusia (penggunaan lahan) baik pertanian, kehutanan, pertambangan, industri dan sebagainya. Karena itu peran peta penggunaan lahan (land use) sangat penting sebagai salah satu bahan penilaian potensi kerusakan tanah. Dalam pendugaan potensi kerusakan tanah, peta penggunaan/penutupan lahan yang digunakan adalah peta terbaru yang masih relevan menggambarkan kondisi penggunaan/penutupan lahan saat verifikasi lapang dilakukan. Jika tidak tersedia, peta ini dapat disusun berdasarkan data Citra. Beberapa jenis citra yang dapat digunakan antara lain citra Landsat, SPOT, ASTER dan Quick Bird.  Peta dan data lainnya

Peta dan data lain seperti peta lahan kritis atau laporan langsung dari masyarakat atau instansi terkait tentang adanya kerusakan tanah pada kawasan tertentu, maka informasi tersebut dapat diakomodir dalam peta kondisi awal jika posisi dan sebarannya diketahui.

Beberapa peralatan lapangan yang perlu disiapakn di dalam pelaksanaan pekerjaan penyusunan informasi kerusakan lahan dan atau tanah untuk produksi biomassa Kabupaten Bantul ini antara lain :

 Alat-alat pengukur parameter-parameter kerusakan tanah sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 07 tahun 2006

 GPS, kompas, klinometer/abney level

 Audio visual yang bisa digunakan untuk menyimpan data  Form isian data kondisi tanah

 ATK b. Cara Kerja

Khusus untuk penelitian kerusakan lahan untuk produksi biomassa ini menggunakan data sekunder. Adapun cara kerjanya adalah sebagai berikut : o Mengumpulkan data penelitian kerusakan lahan untuk produksi biomassa di

Daerah Kabupaten Bantul.

o Melakukan tabulasi data hasil laboratorium dan pengamatan lapangan pada setiap hasil penelitian

o Memasukkan lokasi-lokasi titik pengamatan pada peta o Melakukan survey dan pengamatan lapangan

o Menyusun desain rehabilitasi kerusakan lahan untuk produksi biomassa c. Lokasi-lokasi

Lokasi yang dijadikan obyek penelitian adalah 17 Kecamatan di Kabupaten Bantul yaitu :

Tabel 3.1 Lokasi survei kajian pemetaan biomassa tanah di Kabupaten Bantul

No Lokasi Koordinat

Kecamatan Desa Zona E S

1 Banguntapan Banguntapan 49 M 434446.00 m E 9138149.00 m S 2 Dlingo Muntuk 49 M 439239.44 m E 9125860.91 m S 3 Sedayu Argomulyo 49 M 420804.00 m E 9138781.00 m S 4 Jetis Patalan 49 M 428005.00 m E 9125726.00 m S 5 Sewon Timbulharjo 49 M 429504.00 m E 9129692.00 m S 6 Kretek Parangtritis 49 M 422434.00 m E 9116487.00 m S 7 Pandak Gilangharjo 49 M 423893.00 m E 9126073.00 m S 8 Pajangan Guwosari 49 M 423307.00 m E 9128124.00 m S 9 Piyungan Sitimulyo 49 M 437399.00 m E 9131896.00 m S 10 Imogiri Trimulyo 49 M 432516.00 m E 9128315.00 m S 11 Pundong Seloharjo 49 M 427728.00 m E 9120589.00 m S 12 Pleret Wonokromo 49 M 432171.60 m E 9129793.61 m S 13 Bambanglipuro Sumbermulyo 49 M 426344.00 m E 9122269.75 m S 14 Sanden Srigading 49 M 420385.07 m E 9117435.04 m S 15 Srandakan Poncosari 49 M 414691.81 m E 9116859.62 m S

16 Kasihan Bangunjiwo 49 M 425002.58 m E 9131883.12 m S

17 Bantul Trirenggo 49 M 427940.90 m E 9127010.95 m S

d. Metode Pengukuran

1. Parameter untuk Tanah di Lahan Kering

Tanah di lahan kering adalah tanah yang berada di lingkungan tidak tergenang yang pada umumnya merupakan tanah mineral (bukan tanah organik). Tanah-tanah ini berada di wilayah beriklim basah maupun beriklim kering. Bentuk lahannya dapat beragam dari datar sampai bergunung, sehingga proses erosi perlu mendapat perhatian, terutama pada lahan yang miring.

a) Erosi

Erosi adalah perpindahan material tanah dari tempat semula ke tempat lain terutama disebabkan oleh air sebagai agensia pengangkut. Metode Pengukuran : Pengukuran langsung.

b) Ketebalan solum

Ketebalan solum adalah jarak vertikal dari permukaan tanah sampai ke lapisan yang membatasi keleluasaan perkembangan sistem perakaran. Lapisan pembatas tersebut meliputi : lapisan padas/batu, lapisan beracun (garam, logam berat, alumunium, besi), muka air tanah, dan lapisan kontras.

Metode Pengukuran : Pengukuran langsung c) Kebatuan Permukaan

Kebatuan permukaan adalah persentase tutupan batu di permukaan tanah. Batu adalah semua material kasar yang berukuran diameter > 2 mm.

Metode Pengukuran : Pengukuran langsung imbangan batu dan tanah dalam unit luasan

d) Komposisi Fraksi

Komposisi fraksi tanah adalah perbandingan berat dari pasir kuarsitik (50 – 2.000 µm) dengan debu dan lempung (< 50 µm). Tanah tidak dapat menyimpan hara dan air bilamana kandungan pasir kuarsanya > 80 %. Pasir yang mudah lapuk (vulkanik) yang berwarna gelap tidak termasuk dalam definisi ini. Pengamatan ini khusus diberlakukan untuk tanah pasiran berwarna keputih-putihan yang jika diraba dengan ibu jari dan telunjuk pada kondisi basah terasa kasar dan relatif tidak liat atau lekat (untuk memperkirakan kadar pasir kuarsitik > 80%). Untuk tanah di luar ketentuan di atas tidak diperlukan pengamatan lebih lanjut, cukup dengan perabaan (liat, lekat, tidak terasa kasar akibat dominasi pasir).

Metode Pengukuran : Gravimetrik e) Berat Isi

Berat isi/berat volume (BI) atau kerapatan bongkah tanah (bulk density) adalah perbandingan antara berat bongkah tanah dengan isi/volume total tanah, diukur dengan metode lilin (bongkah tanah dilapisi lilin). Tanah dikatakan bermasalah bila BI tanah tersebut > 1,4 g/cm³ dimana akar sulit menembus tanah tersebut.

Metode Pengukuran : Gravimetrik pada satuan volume f) Porositas Total

Porositas total tanah adalah persentase ruang pori yang ada dalam tanah terhadap volume tanah.

g) Derajat Pelulusan Air

Derajat pelulusan air atau permeabilitas tanah adalah kecepatan air melewati tubuh tanah secara vertikal dengan satuan cm/jam.

Metode Pengukuran : Permeabilitas 2. Parameter untuk Tanah di Lahan Basah

Tanah di lahan basah (rawa) adalah tanah yang berada dalam lingkungan yang selalu tergenang air, sehingga lingkungan tersebut senantiasa bersifat reduktif. Oleh karena karakteristik lingkungan yang demikian maka pada lahan basah dapat dijumpai tanah gambut. Tanah gambut adalah tanah yang berkembang dari hasil penumpukan bahan organik yang diluruhkan oleh produksi biomassa hutan hujan tropika. Disamping tanah gambut, di rawa juga dijumpai tanah aluvial (mineral), bila lingkungan pengendapan bersuasana marine tanah mineral tersebut dapat mengandung bahan sulfidik, seperti mineral pirit (FeS2). Pembukaan rawa pada umumnya dilakukan dengan membuat saluran drainase untuk menurunkan permukaan air dan memperbaiki aerasi tanah. Akibatnya jika tanah tersebut merupakan tanah gambut maka akan terjadi subsidensi yaitu penurunan permukaan gambut. Jika tanah tersebut merupakan tanah mineral yang berpirit, maka akan terjadi oksidasi pirit yang menyebabkan keasaman ekstrim (pH < 3,5).

a) Subsidensi Gambut

Subsidensi gambut adalah laju penurunan permukaan tanah gambut akibat adanya saluran drainase pada pembukaan lahan, dihitung dengan satuan tebal (cm) untuk tiap satuan waktu (tahun). Tanah gambut yang dibuka menyebabkan terhentinya proses penumpukan gambut. Tanah gambut dikatakan rusak bila kumulatif penurunan muka gambut > 35 cm/5 tahun.

Metode Pengukuran : Pengukuran langsung b) Kedalaman Lapisan Berpirit

Kedalaman lapisan berpirit adalah posisi mulai ditemukan lapisan berpirit atau material sulfidik dari permukaan tanah. Material sulfidik adalah senyawa ferosulfida (FeS2) yang stabil dalam kondisi reduktif dan dapat terurai pada kondisi oksidatif. Bila lapisan ini dijumpai pada kedalaman < 25 cm dari permukaan tanah, berpotensi membahayakan pertumbuhan tanaman karena tanah tersebut akan teroksidasi. Identifikasi tanah berpirit dilakukan dengan menggunakan oksidator kuat (H2O2 30 - 40% teknis).

Metode Pengukuran : Reaksi oksidasi dan pengukuran langsung c) Kedalaman Air Tanah Dangkal

Kedalaman air tanah dangkal adalah tinggi permukaan air di dalam tanah, yang diukur dari permukaan tanah. Jika air tanah > 25 cm pada musim hujan dapat dipakai sebagai tanda bahwa rawa mengalami oksidasi sehingga akan menyebabkan terjadinya penurunan muka gambut dan atau keasaman tanah (pH < 3,5). Metode Pengukuran : Pengukuran langsung

3. Parameter untuk Tanah di Lahan Kering dan Tanah di Lahan Basah a) pH Tanah

pH adalah tingkat keasaman tanah yang dicerminkan oleh konsentrasi H+ dalam tanah. Nilai pH menjadi bermasalah jika pH < 4,5 atau > 8,5 untuk tanah di lahan kering dan pH < 4,0 atau > 7,0 untuk tanah di lahan basah.

Metode Pengukuran : Potensiometrik b) Daya Hantar Listrik (DHL)

Nilai DHL adalah pendekatan kualitatif dari kadar ion yang ada di dalam larutan tanah, di luar kompleks serapan tanah. Semakin besar

kadar ionik larutan akan semakin besar DHL-nya. DHL dinilai dengan satuan mS/cm atau µS/cm, pada suhu 25º C. Nilai DHL > 4 mS mengkibatkan akar membusuk karena terjadi plasmolisis.

Metode Pengukuran : Tahanan listrik c) Nilai Redoks (Eh)

Nilai redoks adalah suasana oksidasi-reduksi tanah yang berkaitan dengan ketersediaan atau ketidaktersediaan oksigen di dalam tanah. Jika nilai Eh < 200 mV berarti suasana tanah reduktif (tanah di lahan kering), bila nilai Eh > - 100 mV pirit dapat teroksidasi (tanah berpirit di lahan basah), dan bila nilai Eh > 200 mV gambut dapat teroksidasi/ terdegradasi. Pengukuran nilai redoks menggunakan pH meter yang mempunyai teraan redoks dan elektroda platina. Pengukuran hanya dilakukan pada tanah tergenang lama/alamiah (stagnasi), pada tanah di lahan basah maupun di tanah di lahan kering. Metode Pengukuran : Tegangan listrik

d) Mikroba Tanah

Jumlah mikroba tanah adalah total populasi mikroba di dalam tanah yang diukur dengan colony counter. Pada umumnya jumlah mikroba normal adalah 107 cfu/g tanah. Tanah dikatakan rusak bila jumlah tersebut < 102 cfu/g tanah baik untuk di lahan kering maupun di lahan basah. Pengukuran ini sulit untuk dilaksanakan di lapangan, untuk itu pengukuran parameter ini hanya dilakukan pada kondisi spesifik, misalnya tanah tercemar limbah B3.

Metode Pengukuran : Plating technique e. Metode Analisis

Metodologi yang dipakai untuk melaksanakan pekerjaan Penyusunan Informasi Kerusakan Lahan dan atau Tanah Untuk Produksi Biomassa mengacu pada kriteria baku kerusakan tanah sesuai dengan PP No. 150 tahun 2000 yaitu

menggunakan metode matching dan metode skoring dari frekwensi relatif kerusakan tanah.

Peta Kerusakan Lahan dan atau Tanah Untuk Produksi Biomassa merupakan output akhir yang berisi informasi tentang status, sebaran dan luasan kerusakan tanah pada wilayah yang dipetakan. Peta ini disusun melalui dua tahapan evaluasi yaitu matching dan skoring. Secara terperinci penetapan status kerusakan tanah diuraikan sebagai berikut:

a) Metode Matching

Matching adalah membandingkan antara data parameter-parameter kerusakan tanah yang terukur dengan kriteria baku kerusakan tanah (sesuai dengan PP No. 150 tahun 2000). Matching ini dilakukan pada setiap titik pengamatan. Dengan metode ini, setiap titik pengamatan dapat dikelompokan ke dalam tanah yang tergolong rusak (R) atau tidak rusak (N).

b) Metode skoring dari frekwensi relatif kerusakan tanah

Metode skoring dilakukan dengan mempertimbangkan frekwensi relatif tanah yang tergolong rusak dalam suatu poligon. Yang dimaksud dengan frekwensi relatif (%) kerusakan tanah adalah nilai persentase kerusakan tanah didasarkan perbandingan jumlah contoh tanah yang tergolong rusak yaitu hasil pengukuran setiap parameter kerusakan tanah yang sesuai dengan kriteria baku kerusakan tanah, terhadap jumlah keseluruhan titik pengamatan yang dilakukan dalam poligon tersebut.

Dalam menetapkan status kerusakan tanah langkah-langkah yang dilalui adalah sebagai berikut:

a. Menghitung frekwensi relatif (%) dari setiap parameter kerusakan tanah.

b. Memberi nilai skor untuk masing-masing parameter berdasarkan nilai frekwensi relatifnya dengan kisaran nilai dari 0 sampai 4.

c. Melakukan penjumlahan nilai skor masing-masing parameter kriteria kerusakan tanah.

d. Penentuan status kerusakan tanah berdasarkan hasil penjumlahan nilai skor pada poin 3 (Tabel 3.2).

Tabel 3.2 Skor kerusakan tanah berdasarkan frekwensi relatif dari berbagai parameter kerusakan tanah

Frekwensi relatif tanah rusak

(%) Skor Status kerusakan tanah

0-10 0 Tidak rusak

11-25 1 Rusak ringan 26-50 2 Rusak sedang 51-75 3 Rusak berat 76-100 4 Rusak sangat berat

Sumber : Pedoman teknis penyusunan peta status kerusakan tanah untuk produksi biomassa

Dalam penentuan status kerusakan tanah pada lahan kering, nilai maksimal penjumlahan skor kerusakan tanah untuk 10 parameter kriteria baku kerusakan adalah 40. Sedangkan nilai skor maksimal pada lahan basah adalah 20, 24 atau 28, tergantung pada-banyak parameter yang diukur.Misalkan jika jenis tanah lahan basah berupa tanah mineral atau tanah gambut dengan lapisan substratum bukan pasir kwarsa, maka parameter yang diukur berjumlah 6 (nilai redoks tanah gambut dan subsidensi tidak diukur) sehingga nilai skor maksimalnya 24. Contoh lain, jika jenis tanah lahan basah berupa tanah gambut dengan lapisan substratum pasir kwarsa, maka parameter yang diukur berjumlah 7 (nilai redoks tanah yang mengandung pirit tidak diukur) dan nilai skor maksimalnya adalah 28.

Dari penjumlahan nilai skor tersebut dilakukan pengkategorian status kerusakan tanah. Berdasarkan status kerusakannya, tanah dibagi ke dalam 5 kategori, yaitu tidak rusak (N), rusak ringan (R.I), rusak sedang (R.II), rusak berat (R.III) dan rusak sangat berat (R.IV). Status kerusakan tanah berdasarkan penjumlahan nilai skor kerusakan tanah disajikan dalam Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Status Kerusakan Tanah Berdasarkan Nilai Akumulasi Skor Kerusakan Tanah Untuk Lahan Kering dan Basah

Simbol Status kerusakan

lahan Lahan Nilai akumulasi skor kerusakan tanah Kering Tanah gambut berstratum Lahan Basah

pasir kuarsa Tanah gambut lain atau mineral

N Tidak Rusak 0 0 0

R.I Rusak Ringan 0 – 14 1 – 12 1 – 8 R.II Rusak Sedang 15 – 24 13 – 17 9 – 14 R.III Rusak Berat 25 – 34 18 – 24 15 – 20 R.IV Rusak Sangat Berat 35 – 40 25 - 28 21 – 24

Sumber : Pedoman teknis penyusunan peta status kerusakan tanah untuk produksi biomassa.

Contoh cara penentuan status kerusakan tanah pada lahan kering digambarkan dalam Tabel 3.3 dan pada lahan basah yaitu tanah gambut di atas pasir kuarsa pada Tabel 3.4. Dalam Gambar 3.2 hasil penjumlahan dari skor frekwensi relatif adalah 7, artinya status kerusakan tanah tergolong rusak ringan. Sedangkan pada Tabel 3.4, hasil penjumlahan skor frekuensi relatif adalah 13, artinya status kerusakan tanah tersebut tergolong rusak sedang.

Tabel 3.4 Tabulasi Tata Cara Penilaian Kerusakan Tanah Berdasarkan Persentase Frekuensi Relatif Pada Lahan Kering

No. Kriteria Baku Kerusakan Tanah Frekwensi Relatif

Kerusakan Tanah (%) Skor Frekwensi Relatif

1 Ketebalan solum 40 2

2 Kebatuan permukaan 20 1 3 Komposisi fraksi kasar 20 1

4 Berat isi (BI) 10 0

5 Porositas total 10 0

6 Derajad pelulusan air 20 1

7 pH (H2O) 1:2,5 0 0

8 Daya hantar listrik (DHL) 0 0

9 Redoks 0 0

10 Jumlah mikroba 30 2

Jumlah skor 7*

Keterangan: * Angka menunjukkan status kerusakan tanah tergolong rusak ringan

Tabel 3.5 Tabulasi Cara Penilaian Kerusakan Tanah Berdasarkan Persentase Frekuensi Relatif Pada Lahan Basah (Tanah Gambut Di Atas Pasir Kuarsa)

No. Kriteria baku kerusakan tanah Frekwensi relatif kerusakan tanah (%)

Skor frekwensi relatif 1 Subsidensi gambut di atas pasir

kuarsa

50 2

2 Kedalaman lapisan berpirit dari

permukaan tanah 0 0

3 Kedalaman airtanah dangkal 76 4 4 Redoks tanah berpirit - - 5 Redoks untuk gambut 30 2

6 pH (H2O) 1:2,5 25 1

7 Daya hantar listrik (DHL) 60 3

8 Jumlah mikroba 20 1

Jumlah skor 13*

Keterangan: * Angka menunjukkan status kerusakan tanah tergolong rusak sedang

Sumber : Pedoman teknis penyusunan peta status kerusakan tanah untuk produksi biomassa

BAB IV

Dokumen terkait