• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Pendekatan Semiotik Sosial

Landasan berpijak teori yang digunakan pada penelitian ini adalah LSF yang dikemukakan oleh Halliday. Menurut teori LSF, linguistik berperan dalam menganalisis teks dengan tujuan untuk membedakan makna dalam konteks paradigma dan makna dalam konteks sistemika (Halliday, 1985:xxviii). Konteks paradigm berfungsi sebagai system, sementara konteks sistematika dikenal dengan

struktur bahasa. Manusia dapat mengenterpretasikan hubungan secara paradigma dengan sistem.

Teori pendekatan semiotik sosial (social semiotics) yang perkenalkan oleh Halliday tahun 70-an dikenal dengan teori LSF (Linguistik Sistemik Fungsional). Teori LSF oleh M.A.K. Halliday memandang bahasa adalah sistem arti dan sistem lain (yaitu sistem bentuk dan ekspresi) untuk merealisasikan arti tersebut.

Sistem semiotik sosial adalah sistem makna yang direalisasikan melalui sitem linguistik. Sementara sistem semiotik linguistik adalah semantik, yaitu sebagai suatu bentuk realisasi dari semiotik sosial oleh (Sinar, 2010:28)

Selanjutnya menurut Sinar (2010:17) TLFS juga menjelaskan bahasa terdiri atas tiga strata yakni, strata fonologi yang membicarakan bunyi bahasa, leksikogramatika yang membicarakan konstruksi pembentukan klausa, dan semantik yang menyangkut penyatuan klausa menjadi wacana yang bermakna.

Pada penelitian ini peneliti menfokuskan pada kontekstual pendekatan LSF menganut pandangan bahwa bahasa adalah sistem semiotik sosial, dimana keberhasilan menganalisis wacana atau teks tergantung kepada konteks sosial yang dihubungkan dengan konteks situasi, konteks budaya dan ideologi. Sistem semiotik sosial adalah sistem makna yang direalisasikan melalui sistem linguistik. Sistem semiotik linguistik adalah semantik, yaitu sebagai suatu bentuk realisasi dari semiotik sosial.

Konsep semiotik sosial adalah bahwa hubungan setiap manusia dengan lingkungan manusia penuh dengan arti dan arti-arti tersebut dipelajari melalui interaksi seseorang dengan orang lain yang melibatkan lingkungan arti tersebut (Sinar, 2011:21). Dari keterangan di atas maka setiap manusia atau individu

selalu melakukan interaksi satu sama dalam kehidupannya lain, dan apa yang dihasilkan itu akan memberikan makna tersendiri.

Menurut Sinar (2010:83-84) konteks ideologi adalah pemahaman atau kepercayaan, nilai yang dianut atau dipakai bersama oleh masyarakat. Ideologi juga menjadi konsep sosial yang menentukan nilai yang terdapat dalam masyarakat. Ideologi muncul karena ada masyarakat yang mendominasi dalam arti positif. Kemudian terjalin hubungan bahasa dengan masyarakat dan penguasa. Kekuasaan dapat membentuk pandangan masyarakat terhadap sesuatu objek sehingga masyarakat meyakini pandangan tersebut menjadi suatu kebenaran.

Konteks situasi menurut Sinar (2010:56) yaitu dimensi berkaitan dengan hubungan antara orang yang berinteraksi tersebut dengan pelibat (tenor), yang terkait dengan aktivitas sosial mereka disebut dengan medan (field) dan yang berhubungan dengan peran dan fungsi bahasa dikenal dengan sarana (mode). Untuk membangun pemahaman yang kongkrit dari sebuah teks maka harus melibatkan banyak komponen yaitu apa yang sedang dibicarakan atau sering disebut medan. Kemudian siapa yang menyampaikan teks tersebut atau sering disebut dengan pelibat, dan bagaimana teks itu dilakukan atau sering kita sebut dengan istilah sarana.

Konteks budaya yaitu suatu proses sosial yang bertahap dan beriorentasi pada tujuan, dan dalam masyarakat sering dijumpai interaksi sosial berbahasa. konteks budaya menjadi ragam yang merujuk kepada proses sosial karena anggota dalam suatu budaya melalui tahapan-tahapan perlu mencapai tujuan agar teks yang disampaikan dapat dimengerti. Selanjunya dikatakan bahwa genre adalah

budaya di dalam tahapan berbahasa, yang digunakan oleh sekelompok masyarakat (Sinar, 2010:65))

Konsep bahasa sebagai semiotik sosial merupakan wujud dalam masyarakat itu sendiri sebagai hasil interaksi antara manusia dengan alam semesta. Maka dapat disimpulkan bahwa bahasa tidak langsung berhubungan dengan alam melainkan bahasa dikelola dengan akal budinya manusia sebagai perantara sebelum masuk ke dalam bahasa.

Halliday (1978:108) mengatakan bahasa adalah semiotik sosial dengan pengertian bahwa petanda dan penanda dalam bahasa ditentukan oleh masyarakat pemakai bahasa. Makna atau arti yang dibuat dalam bahasa merupakan kesepakatan atau konvensi antar manusia sebagai anggota masyarakat. Demikian juga realisasi „arti‟ ke dalam penanda ditentukan oleh aturan masyarakat. Dengan kata lain petanda dan penanda dalam bahasa ditentukan oleh masyarakat pemakai bahasa melalui evolusi bahasa, budaya dan peradaban manusia. Nilai atau hikmah dalam budaya manusia telah menyatu dengan bahasa. Hal ini menegaskan dan menguatkan bahwa bahasa adalah semiotik sosial.

Pada prinsipnya masyarakat diatur oleh berbagai sistem, salah satunya semiotik sebagai teori tentang tanda, maka masyarakat dapat dikatakan berdimesi semiotik. Masyarakat yang berwujud manusia dikelilingi oleh tanda, diatur oleh tanda, ditentukan oleh tanda, bahkan dipengaruhi oleh tanda sehingga dengan demikian terdapat kelompok semiotik (semiotik group) dalam masyarakat, misalnya kelompok pedagang yang diatur oleh tanda-tanda tertentu yang berlaku dalam kelompok mereka sendiri dan secara bersama-sama dengan kelompok lain membentuk sosial semiotik. Greimas (dalam Pateda, 2001:31)

2.2.1.1 Semiotik Sosial

Menurut Halliday (1978:108) bahasa adalah suatu sistem semiotik sosial. Sistem semiotik bahasa tersebut meliputi unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan unsur konteks yang berada diluar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks sosial. Konteks sosial merupakan unsur yang mendampingi bahasa dan merupakan wadah terbentuknya bahasa. Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa atau teks terbentuk juga merupakan semiotik.

Kress dan Van Leeuwen (1996:5) menyatakan bahwa ada tiga aliran besar semiotik yang menerapkan konsep teori berasal dari domain linguistik dan domain nonlinguistik sebagai sarana komunikasi. Salah satu diantara teori itu adalah semiotik sosial (social semiotics) yang diperkenalkan oleh Halliday (1978).

Secara umum bahasa sebagai semiotik sosial menurut Halliday (1978:108) terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu: teks, situasi, register, kode, sistem linguistik (meliputi sistem semantik, dan struktur sosial). Namun pada penelitian ini peneliti hanya mengambil beberapa elemen penting yang dianggap berhubungan dalam menganalisis bahasa sebagai semiotik sosial. Dibawah ini dapat kita lihat gambar struktur bahasa sebagai semiotik sosial yang digunakan oleh peneliti dalam menganalisis bahasa sebagai semiotik sosial setelah disederhanakan dari skematik yang dibuat oleh Halliday (1978:108), dan disesuaikan dengan kerangka berpikir peneliti dalam meneliti bahasa sebagai semitoik sosial.

Figura2: Representasi skematis bahasa sebagai semiotik sosial dalam Baralek gadang

Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan masing-masing elemen sesuai dengan peran masing-masing sebagai berikut:

konsep teks adalah semua kegiatan yang sifatnya linguistik atau kebahasaan baik bentuk ujaran maupun tulisan, dalam konteks operasional dapat dibedakan berdasarkan konteks situasi seperti yang terdapat dalam kamus. Teks merupakan bagian paling penting dari proses semantik. Itu berarti dapat dikatakan bahwa teks dapat merupakan pilihan pada waktu yang bersamaan, dengan kata lain teks dapat didefinisikan sebagai perwujudan dari maksud atau arti apa yang dimaksud.

Konteks sosial merupakan peran masyarakat dalam melakukan interaksi Bahasa Sebagai Sistem Semiotik Sosial

T E K S BG

Konteks Sosial

Konteks Situasi

Medan Pelibat Sarana

Makna Interpersonal Kearifan Lokal Konteks Bahasa Konteks Budaya Subjek/Predikator/ Keterangan

konteks sosial dengan konteks situasi. Di mana konsep teks yang disampaikan itu berupa teks lisan yang mana setiap kata atau kalimat yang disampaikan mengandung makna tersendiri. Dari konteks sosial maka akan muncul pemaknaan terhadap teks berdasarkan kepada konteks situasi dan konteks budaya.

Konteks Situasi adalah lingkungan yang mana di dalamnya ada teks yang berperan terhadap hidup. Ini merupakan konsep yang telah ditetapkan dalam linguistik. Konteks situasi tidak hanya diinterpretasikan dalam istilah kongkrit sebagai sebuah laporan singkat tentang audiovisual melainkan lebih jauh lagi, sebuah representasi dari lingkungan tertentu memiliki hubungan yang relevan dengan teks. Konteks sosial merupakan salah satu jenis situasi (situation type). Struktur semiotik yang merupakan sebuah jenis situasi mempunyau tiga dimensi, yaitu aktivitas sosial yang sedang berlangsung (on going social activity, peran hubungan (the role relationship involved), dan sarana simbolik atau retorik (the symbolic) yang merujuk pada medan (Field), sarana (mode), dan pelibat (tenor).

Sementara Sinar (2010:24) mengatakan dalam kontek situasi terdapat tiga variable sebagai penentu faktor siatuasi yakni; 1) Medan, 2) sarana dan 3) pelibat. Medan yakni membicarakan kegiatan berinteraksi yang mempunyai dua dimensi yakni apa yang dibicarakan dan untuk apa dibicarakan, pelibat merujuk kepada siapa yang dibicarakan atau siapa yang terlibat dalam pembicaraan tersebut, dan sarana adalah bagaimana pembicaraan itu dilakukan.

Konteks budaya merupakan bagian penting dari setiap interaksi, di mana konteks budaya akan memberikan pemahaman yang kongkrit kepada masing-masing individu terhadap apa yang sedang dilakukan mulai dari awal sampai kepada akhir kegiatan. Konteks budaya merupakan rangkaian kegiatan yang harus

dilalui karena dianggap merupakan syarat untuk mencapai kesempurnaan acara. Dari kedua konteks di atas maka akan memunculkan nilai-nilai kearifan lokal yang merupakan kekayaan budaya lokal.

Kearifan lokal Sibarani (2012:1) mengemukakan bahwa kearifan lokal adalah remembering the past, understanding the present, and preparing the future “mengingat masa lalu, memahami masa kini, dan mempersiapkan masa depan”. Dengan kata lain kearifan lokal adalah merupakan nilai-nilai budaya yang terkandung pada suatu situasi baik itu konteks sosial, konteks situasi dan konteks budaya.

Sementara Halliday (dalam Handayani, 2012:35) mengatakan bahwa terdapat tiga hal penting sistem komunikasi bahasa yaitu ideasional merepresentasikan aspek pengalaman manusia di dalam dan diluar khususnya sebagai sistem tanda. Dengan kata lain harus mampu mempresentasikan objek dan hubungannya dengan dunia di luar bahasa sebagai sistem representasi. Metafungsi interpersonal menawarkan hubungan antara pencipta tanda dengan penerima tanda. Metafungsi tekstual menjelaskan pembentukan teks, kerumitan tanda-tanda yang dihubungkan baik secara internal maupun eksternal.

Struktur sosial (social structure) terdiri dari tiga tingakatan, yang pertama yaitu menggambarkan dan memberi arti terhadap berbagai jenis dari kontek sosial, dimana arti senantiasa dapat berubah. Perbedaan kelompok sosial dan jejaring komunikasi juga sangat menentukan, atau sering disebut dengan Tenor (pelibat) dimana pelibat adalah realisasi fungsi antarpersona. Kedua, status dan peran hubungan dalam sebuah situasi adalah jelas merupakan hasil dari struktur sosial.

Menurut Halliday (1978:108) yang pertama adalah bahasa sebagai semiotik sosial. Hal ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan (encode) representasi dunia yang dikonstruksikan secara sosial. Dalam pandangannya Halliday berpendapat bahwa bahasa adalah produk proses sosial. Dalam komunikasi berdasarkan pengalaman yang dimilikinya yang bersifat intersubjektif itu masing-masing partisipan akan menafsirkan teks yang ada. Dengan demikian, makna akan selalu bersifat ganda. Teks tertanam dalam konteks situasi, sebuah contoh dari jenis konteks atau situasi umum sosial, struktur semiotik. Hal ini mengandaikan interpretasi dari sistem sosial sebagai semiotik sosial, dimana sistem makna mendapat tempatnya dalam realitas budaya.

Formulasi “bahasa sebagai semiotik sosial” berarti menafsirkan bahasa dalam kontes sosiokultural tempat kebudayaan itu sendiri ditafsirkan dalam terminologi semiotik sebagai sebuah sistem informasi. Dengan kata lain bahasa sebagi semiotik sosial berkembang dalam akar kebudayaan atau penafsiran budaya setempat. Inkulturasi penafsiran semiotik berperan penting dalam hal ini sesuai dengan kebudayaan tempat bahasa itu berkembang sebagai semiotik sosial. Dalam level yang amat konkret, bahasa itu berisi teks atau wacana, yakni pertukaran makna (exchang of meaning) dalam konteks interpersonal. Bahasa pada hakitanya mengkaji teks atau wacana.

Menurut Halliday (1978:108) bahasa sebaga semiotik sosial. Hal ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan representasi dunia yang dikontruksikan secara sosial. Halliday memberi tekanan pada keberadaan konteks sosial bahasa yakni fungsi sosial yang menentukan bahasa dan bagaimana perkembangannya. Selanjutnya Halliday (1978) berpendapat bahwa sebagai

semiotik sosial berarti menafsirkan bahasa dalam konteks sosiokultural tempat kebudayaan itu sendiri di tafsirkan dalam terminologi semiotik sebagai sebuah sistem informasi.

Menurut Lecouven yang dikutip oleh Awang Dharmawan, (dalam forum nadzhab Djaung, 27 Januari 2011) menjelaskan ada empat demensi utama dalam mengembangkan semiotika sosial yaitu:

1. Discurse merupakan bagian semiotika sosial yang memfokuskan bagaimana sumber-sumber semantik digunakan untuk membangun representasi dan kehadiran.

2. Genre yaitu berhubungan dengan penggunaan sumber semiotik untuk menetapkan interaksi komunikatif yang berhubungan dengan representasi, baik dalam percakapan ataupun unsur komunikasi lain yang memisahkan waktu dan jarak.

3. Style, bersangkaut paut dan berhubungan secara langsung dengan gaya hidup individu yang dipertontonkan dalam aktivitas komunikasi, yang secara tersirat ataupun tersurat, menyatakan identitas dan nilai-nilai yang dianutnya.

4. Modality yaitu bagian yang mempelajari penggunaan-penggunaan semiotik untuk menciptakan atau mengkomunikasikan kebenaran atau nilai-nilai relitas dari represntasi-representasi mereka, baik itu sebagai fakta atau fiksi, membuktikan kebenaran atau dugaan, dll.