• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Kelisanan Baralek Gadang Pada Upacara Perkawinan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga: Pendekatan Semiotik Sosial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tradisi Kelisanan Baralek Gadang Pada Upacara Perkawinan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga: Pendekatan Semiotik Sosial"

Copied!
273
0
0

Teks penuh

(1)

SIBOLGA: PENDEKATAN SEMIOTIK SOSIAL

T E S I S

Oleh:

RISMAN ARBI SITOMPUL 117009029/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI LINGUISTIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister of Saint Pada Program Studi Ilmu Linguistik Sekolah Pascarsarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

RISMAN ARBI SITOMPUL 117009029/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI LINGUISTIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

SEMIOTIK SOSIAL

Nama Mahsiswa : RISMAN ARBI SITOMPUL Nomor Induk Mahasisi : 117009029

Program Studi : Linguistik

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof.T. Silvana Sinar, M.A.,Ph.D) (Drs.Muhammad Takari,M.Hum, Ph.D) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D) (Prof.Dr.Erman Munir, M.Sc)

(4)

Judul Tesis

TRADISI KELISANAN BARALEK GADANG PADA UPACARA PERKAWINAN ADAT SUMANDO MASYARAKAT PESISIR

SIBOLGA: PENDEKATAN SEMIOTIK SOSIAL

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister of Saint pada program studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri.

Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan Tesis ini, telah saya cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan sebagian atau seluruh Tesis ini bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya bersedia menerima sanksi-sanksi lainya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 27 Agustus 2013 Penulis

(5)

PANITIA PENGUJI TESISI

Ketua : Prof. T. Silvana Sinar, MA., Ph.D

(6)

TRADISI KELISANAN BARALEK GADANG PADA UPACARA PERKAWINAN ADAT SUMANDO MASYARAKAT PESISIR

SIBOLGA: PENDEKATAN SEMIOTIK SOSIAL

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Tradisi Lisan Baralek Gadang pada Upacara Perkawinan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga: Pendekatan Semiotik Sosial. Tujuan penilitian ini adalah pertama, untuk mendeskripsikan dan mencari makna semiotik sosial yang terkandung pada tradisi lisan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga; kedua, untuk menemukan kearifan lokal yang terkandung pada proses baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) oleh Halliday (1978), yang menekankan pada pembahasan konteks budaya dan konteks sosial. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif yang dilakukan dengan cara merekam dan mewawancarai narasumber secara langsung. Hasil penelitian yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa makna semiotik sosial yang terkandung pada tradisi lisan baralek gadang pada upacara perkawinan adat Sumando masyarakat Pesisir Sibolga bergeser karena dipengerahui oleh konteks sosial meliputi konteks situasi dan konteks budaya. Konteks situasi dipengaruhi oleh medan (field), pelibat (tenor), sarana (mode). Tradisi lisan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga mengandung 9 nilai kearifan lokal yang merupakan pedoman hidup masyarakat Pesisir Sibolga, yaitu: (1) kearifan berhubungan dengan Allah SWT; (2) kearifan menjaga budaya; (3) kearifan menjaga kesopansantunan; (4) kearifan menjaga nilai kejujuran; (5) kearifan mendidik; (6) kearifan membentuk kesejahteraan; (7) kearifan mempertahankan komitmen; (8) kearifan bergotong royong; dan (9) kearifan menghormati tamu.

(7)

TRADISI KELISANAN BARALEK GADANG PADA UPACARA PERKAWINAN ADAT SUMANDO MASYARAKAT PESISIR

SIBOLGA: PENDEKATAN SEMIOTIK SOSIAL

ABSTRACT

This research is entitled Tradisi Lisan Baralek Gadang pada Upacara Perkawinan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga: Pendekatan Semiotik Sosial. This research aims to: (1) describe and find the meaning of social semiotic of the oral tradition of baralek gadang of sumando‟s wedding ceremony in Sibolga costal community, and (2) find out the local wisdom of baralek gadang process of Sumando‟s wedding ceremony in Sibolga costal community. The theory applied is Semiotic Functional Linguistic (SFL) theory proposed by Halliday (1978), to analyze social and cultural contexts. This research uses qualitative method by interviewing and recording. The results are (1) the meaning of social semiotic of the oral tradition of baralek gadang of Sumando‟s wedding ceremony in Sibolga costal community changes because of social context; situational and cultural contexts. Situational context is influenced by field, tenor and mode. (2) the oral tradition of baralek gadang of Sumando‟s wedding ceremony in Sibolga costal community contains 9 local wisdom meaning as life guidance of Sibolga coastal community, namely (1) wisdom relating to Allah SWT; (2) wisdom to rehabilitate culture; (3) wisdom to rehabilitate politeness; (4) wisdom to rehabilitate honesty value; (5) wisdom to educate; (6) wisdom to produce prosperity; (7) wisdom to keep commitment; (8) wisdom to cooperate; and (9) wisdom to respect guests.

(8)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah-Nya kepada penulis sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan Tesisi ini.

Tesis ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister of Saint pada Sekolah Pascasarjana, Program Studi Linguistik (kajian Tradisi Lisan) Universitas Sumatera Utara.

Selama melukukan penelitian dan penulisan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus kepada: 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM)., Sp.A(K),

selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, MA.,Ph.D, selaku pembimbing I dan sekaligus Ketua Prodi. Linguistik USU, yang telah memberikan dukungan dan motivasi selama penulis menempuh pendidikan hingga selesai.

4. Ibu Dr.Nurlela, M.Hum, selaku sekretaris Program Studi Linguistik Pascasarjan Universitas Sumatera Utara.

(9)

6. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si dan Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D selakuku penguji yang telah memberikan saran dan kritikan yang membangun guna kesempurnaan Tesis ini.

7. Para dosen yang mengajar di Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak ilmu selama penulis mengikuti pendidikan.

8. Ibunda tercinta Nurmaya Hutabarat dan seluruh keluarga (Alm) H. M. Ridwan Sitompul, serta istri Masbulan Harahap, S.Pd.,M.Pd dan anak tercinta Raisah Munira Sitompul, yang senantiasa ikut memberikan dukungan moral dan spiritual selama penulis melukukan penelitian sampai selesainya Tesis ini.

9. Terima kasih penulis ucapkan kepada Kepala SMA Negeri 1 Pinangsori Kabupaten Tapanuli Tengah Drs. Jhonni Hermanto yang telah memberi ijin untuk melanjutkan pendidikan S2.

10. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang juga turut memberikan dukungan semangat dan saran kepada penulis selama penyelesaian Tesis ini.

Selanjutnya, penulis menyadari bahwa Tesis ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk penyempurnaan Tesis ini. Akhir kata, penulis berharap semoga Tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca.

Medan, 27 Agustus 2013

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. DATA PRIBADI

Nama : RISMAN ARBI SITOMPUL

Tempat/Tanggal lahir : Tapanuli Tengah, 10 Desember 1977 Jenis Kelamin : laki-laki

Agama : Islam

Status : Sudah menikah

Alamat : JL.Humala Tambunan No.29 Kecamatan Tukka Kabupaten Tapanuli Tengah

E-mail : risman.arbi@yahoo.com

II. PENDIDIKAN FORMAL 1. SD Negeri 085121 Sibolga 2. SMP Negeri 1 Sibolga

3. SMA Negeri 2 Matauli Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah 4. S1 Universitas Islam Sumatera Utara

5. Akta IV Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

III. RIWAYAT PEKERJAAN

1. Pernah bekerja di PT. Infomedia Nusantara Medan 2. Staf Pengajar di SMP Muhammadiyah 50 Medan 3. Staf pengajar di STM Muhammadiyah 09 Medan

4. Ketua Dikdasmen Muhammadiyah Kabupaten Tapanuli Tengah

(11)

DAFTAR ISI

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA ... 21

2.1 Konsep ... 22

2.1.1 Konsep Tradisi lisan ... 21

2.1.2 Konsep Kearifan Lokal ... 26

2.1.3 Konsep Baralek Gadang ... 29

2.1.3.1 Hal-Hal Yang Harus Diperhatikan Sebelum Baralek Gadang ... 30

(12)

4.1.1.1 Fase Risik-Risik ... 78

4.1.1.5.3 Sub-Fase Upacara Prakata Kepala Desa dan Tokoh Adat ... 84

4.1.1.5.4 Sub-Fase Penetapan Sangsi ... 85

4.1.1.5.5 Sub-Fase Pengambilan Hari Barinai ... 86

4.1.1.6 Fase Mato Karajo ... 86

4.1.1.6.1 Sub-Fase Tepung tawar, Bakonde, dan Mandi limo ... 87

4.1.1.6.2 Sub fase pemberangkatan marapule dan penyambutan di rumah anak daro ... 88

4.1.1.6.3 Sub-Fase Upacara Akad Nikah ... 89

4.1.1.6.4 Sub-fase Upacara Makan Beradat ... 90

4.1.1.6.5 Sub-Fase-penyerahan dan penerimaan Marapule ... 93

(13)

BAB V MAKNA INTERPERSONAL BARALEK GADANG

DAN KONTEKS SOSIAL ... 128

5.1 Makna Teks BG Pada Upacara Perkawinan Adat Sumando ... 128

5.1.1 Makna Teks Risik-risik Baralek Gadang ... 129

5.1.2 Makna teks Marisik ... 133

5.1.3 Makna teks Maminang BG ... 158

5.1.4 Makna teks Manganta Kepeng/Batunangan ... 163

5.1.5 Makna Teks Mata Karajo BG ... 168

5.1.5.1 Teks mangarak Marpule ... 168

5.1.5.2 Makna Teks Penyerahan dan Penerimaan Marapule ... 171

5.2 Makna Konteks Sosial BG pada Upacara Perkawinan Adat Sumando ... 184

5.2.1 Makna Sosial budaya Marisik ... 184

5.2.2 Makna Sosial budaya Makan Sirih ... 185

5.2.3 Makna Sosial budaya Musyawarah ... 186

5.2.4 Makna Sosial Budaya Meminang Dan Mengantar Uang ... 187

5.2.5 Makna Sosial Budaya Menentukan Hari Pernikahan ... 189

5.2.6 Makna Sosial Budaya Mengundang Famili Dan Keluarga ... 189

5.2.7 Makna Sosial Budaya Memakai Inai ... 190

5.2.8 Makna Sosial Budaya Tepung Tawar, Bakonde dan Mandi Limo ... 191

5.2.9 Makna Sosial Budaya Mengantar Dan Menyambut Marapule ... 192

5.2.10 Makna Sosial Budaya Akad Nikah ... 193

5.2.11 Makna Sosial Budaya Pembacaan Ta‟liq ... 196

5.2.12 Makna Sosial Budaya Makan Beradat ... 198

5.2.13 Makna Sosial Budaya Penyerahan dan Penerimaan Marapule ... 199

5.2.14 Makna Sosial Budaya Mengarak Kedua Mempelai dengan Sikambang ... 200

5.2.15 Makna Sosial Budaya Basikambang ... 202

5.2.16 Makna Sosial Budaya Basanding ... 202

5.2.17 Makna Sosial Budaya Pakaian Pengantin ... 204

5.2.18 Makna Sosial Budaya Menghias Rumah ... 206

5.2.19 Makna Sosial Budaya Resepsi Pernikahan ... 207

5.2.20 Makna Sosial Budaya Mengantar Mempelai Perempuan ke Rumah Suaminya ... 209

BAB VI KEARIFAN LOKAL PADA TRADISI LISAN BARALEK GADANG ... 211

6.1. Agama Islam sebagai dasar Sosial Baralek Gadang ... 211

6.2. Kearifan Lokal Dalam Tradisi Lisan “Baralek Gadang” ... 216

(14)

6.2.2 Kearifan Menjaga Budaya ... 219

6.2.3 Kearifan Menjaga Kesopansantunan ... 221

6.2.4 Kearifan Menjaga Nilai Kejujuran ... 222

6.2.5 Kearifan Mendidik ... 223

6.2.6 Kearifan Membentuk Kesejahteraan ... 225

6.2.7 Kearifan Bermusyawarah ... 226

6.2.8 Kearifan Bergotong-Royong ... 227

6.2.9 Kearifan Menghormati Tamu ... 228

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 230

7.1 Simpulan ... 230

7.2 Saran ... 231

DAFTAR PUSTAKA ... 232

Lampiran 1 DAFTAR PERTANYAAN ... 236

Lampiran 2 BIODATA INFORMAN ... 237

(15)

TRADISI KELISANAN BARALEK GADANG PADA UPACARA PERKAWINAN ADAT SUMANDO MASYARAKAT PESISIR

SIBOLGA: PENDEKATAN SEMIOTIK SOSIAL

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Tradisi Lisan Baralek Gadang pada Upacara Perkawinan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga: Pendekatan Semiotik Sosial. Tujuan penilitian ini adalah pertama, untuk mendeskripsikan dan mencari makna semiotik sosial yang terkandung pada tradisi lisan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga; kedua, untuk menemukan kearifan lokal yang terkandung pada proses baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) oleh Halliday (1978), yang menekankan pada pembahasan konteks budaya dan konteks sosial. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif yang dilakukan dengan cara merekam dan mewawancarai narasumber secara langsung. Hasil penelitian yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa makna semiotik sosial yang terkandung pada tradisi lisan baralek gadang pada upacara perkawinan adat Sumando masyarakat Pesisir Sibolga bergeser karena dipengerahui oleh konteks sosial meliputi konteks situasi dan konteks budaya. Konteks situasi dipengaruhi oleh medan (field), pelibat (tenor), sarana (mode). Tradisi lisan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga mengandung 9 nilai kearifan lokal yang merupakan pedoman hidup masyarakat Pesisir Sibolga, yaitu: (1) kearifan berhubungan dengan Allah SWT; (2) kearifan menjaga budaya; (3) kearifan menjaga kesopansantunan; (4) kearifan menjaga nilai kejujuran; (5) kearifan mendidik; (6) kearifan membentuk kesejahteraan; (7) kearifan mempertahankan komitmen; (8) kearifan bergotong royong; dan (9) kearifan menghormati tamu.

(16)

TRADISI KELISANAN BARALEK GADANG PADA UPACARA PERKAWINAN ADAT SUMANDO MASYARAKAT PESISIR

SIBOLGA: PENDEKATAN SEMIOTIK SOSIAL

ABSTRACT

This research is entitled Tradisi Lisan Baralek Gadang pada Upacara Perkawinan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga: Pendekatan Semiotik Sosial. This research aims to: (1) describe and find the meaning of social semiotic of the oral tradition of baralek gadang of sumando‟s wedding ceremony in Sibolga costal community, and (2) find out the local wisdom of baralek gadang process of Sumando‟s wedding ceremony in Sibolga costal community. The theory applied is Semiotic Functional Linguistic (SFL) theory proposed by Halliday (1978), to analyze social and cultural contexts. This research uses qualitative method by interviewing and recording. The results are (1) the meaning of social semiotic of the oral tradition of baralek gadang of Sumando‟s wedding ceremony in Sibolga costal community changes because of social context; situational and cultural contexts. Situational context is influenced by field, tenor and mode. (2) the oral tradition of baralek gadang of Sumando‟s wedding ceremony in Sibolga costal community contains 9 local wisdom meaning as life guidance of Sibolga coastal community, namely (1) wisdom relating to Allah SWT; (2) wisdom to rehabilitate culture; (3) wisdom to rehabilitate politeness; (4) wisdom to rehabilitate honesty value; (5) wisdom to educate; (6) wisdom to produce prosperity; (7) wisdom to keep commitment; (8) wisdom to cooperate; and (9) wisdom to respect guests.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kota Sibolga merupakan salah satu daerah yang terletak di Provinsi Sumatera Utara. Masyarakatnya yang multietnik menjadikan daerah ini terkenal dengan semboyan “Negeri berbilang kaum”. Berdasarkan administratif pemerintahan, Kota Sibolga terdiri dari empat kecamatan, yakni: (a) Kecamatan Sibolga Kota, (b) Kecamatan Sibolga Utara, (c) Kecamatan Sambas, dan (d) Kecamatan Sibolga Selatan. Ke empat Kecamatan ini dihuni oleh berbagai etnik, seperti etnik Melayu 2.382 jiwa, Karo 425 jiwa, Simalungun 295 jiwa, Tapanuli/Toba 45.695 jiwa, Mandailing 4.612 jiwa, Pakpak 164 jiwa, Nias 6.293 jiwa, Jawa 5.283, Minang 8.793 jiwa, Cina 3.496 jiwa, Aceh 2.613, suku lainnya 1.690 jiwa. Total keseluruhan berjumlah 81.699 jiwa (Hasil Sensus Dinas Kependudukan kota Sibolga Thn 2000)

Masyarakat Pesisir Sibolga hidup dalam sebuah kebudayaan. Menurut Ki. Hajar Dewantara yang dikutip oleh Supartono (2009:31) kebudayaan berarti buah budi manusia dan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman. Kebudayaan merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya. Semua ini dilakukan untuk mencapai keselamatan dan kebahagian yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

(18)

kebudayaan pesisir. Takari, dkk (2008:124) menyatakan bahwa kebudayaan masyarakat pesisir adalah merupakan melting pot (creole) antara keturunan beberapa kelopok etnik, seperti: Minangkabau, Batak Toba, Mandailing-Angkola, dan Melayu. Dalam masa yang panjang terus berinteraksi dan membentuk sebuah kebudayaan, yang kemudian mengidentitaskan kebudayaannya sendiri sebagi kebudayaan etnik Pesisir. Pada masa kini, dalam konteks pembangunan di Indonesia, masyarakat Pesisir ini, biasanya dikategorikan pula sebagai sebuah kelompok etnik.

Kebudayaan pesisir meliputi; (1) kesenian pesisir terdiri dari kesenian sikambang, tari-tarian, alat musik, tatarias pengantin, nama pelaminan, pernak pernik pelaminan, irama vokal; (2) adat istiadat pesisir terkenal dengan adat sumando; (3) masakan khas pesisir seperti kue dan gulei (Pasaribu, 2008:54, 81,273).

Adat istiadat adalah merupakan salah satu bagian dari kebudayaan. Menurut Soedarsono (dalam Pasaribu, 2008:54) menyatakan bahwa adat istiadat mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya manusia, baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun tindakan dan karya manusia, dalam menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa adat merupakan kebiasaan dari satu masyarakat dalam mengatur dan memberi buah pikirannya untuk menghasilkan karya dan dijadikan sebagai sarana pendukung pada masyarakat itu sendiri.

(19)

melaksanakan upacara perkawinan. Masyarakat Pesisir Sibolga memiliki adat istiadat yang disebut dengan adat sumando. Menurut Panggabean, dkk. (1995:191) sumando adalah satu kesatuan ruang lingkup kebudayaan suku Pesisir, yang meliputi adat istiadat, kesenian, bahasa, makanan dan lain-lain. Dari kutipan di atas maka dapat dikatakan bahwa masyarakat pesisir Sibolga memiliki adat istiadat perkawinan yang khas, disebut dengan nama perkawinan adat sumando.

Adat sumando secara umum berdasar kepada ajaran-ajaran agama Islam. Konsepnya tercermin dalam adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah. Artinya adat sumando pada suku Pesisir mendasarkan ide, pelaksanaan, dan penghayatannya pada ajaran-ajaran Islam.

Dalam Islam dan kebudayaan Pesisir, manusia adalah makhluk sosial, yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Manusia sebagai makhluk individu memiliki berbagai kelebihan alamiah yang dianugerahi oleh Allah. Selain itu, manusia biasanya membentuk kelompok sosial berdasarkan berbagai persamaan dan tujuan. Kelompok manusia bisa saja berbentuk keluarga inti, keluarga luas (batih), etnik, kelompok profesi, ras, bangsa dan seterusnya. Dalam konteks ini, manusia selalu ingin melanjutkan peradabannya dan generasi keturunannya. Kesinambungan generasi ini penting agar manusia tidak musnah di muka bumi. Oleh sebab itu, manusia dianugerahi Tuhan untuk meneruskan keturunan ini melalui hubungan perkawinan yang diatur oleh norma-norma agama dan adat. Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama dan norma-norma adat.

(20)

terutama moralitas. Di antara kelompok manusia yang pernah ada dan kemudian dimusnahkan Allah adalah suku Ad, Tsamud, Madyan, kaum Nabi Luth, kaum Nabi Nuh, dan lain-lainnya. Kaum Nabi Luth misalnya, dimusnahkan Allah karena para kaum lelakinya menyukai sesama lelaki. Kalau praktik sebegini dibiarkan, tentu saja generasi manusia akan musnah, karena hubungan seksual antara lelaki dengan lelaki atau antara perempuan dengan perempuan dapat dipastikan tak akan dapat menghasilkan generasi manusia baru. Yang benar adalah hubungan antara lelaki dan perempuan yang sihat roh dan fisiknya, disahkan agama, berhubungan suami-isteri, insya Allah akan menghasilkan generasi manusia. Agar generasi yang baru ini menjadi pintar, sehat, saleh, dan menjadi rahmat kepada orang lain dan lingkungan sekitar, maka diperlukan pendidikan, baik pendidikan agama atau ilmu lainnya.

Seorang pakar antropologi Eropah, Gough (1959) melihat perkawinan, di sepanjang masa dan semua tempat di dunia ini, sebagai satu kontrak menurut adat-istiadat, yang bertujuan untuk menetapkan pengabsahan anak yang baru dilahirkan sebagai anggota yang bisa diterima masyarakat. Dalam usaha menemukan definisi yang universal, Goodenough memusatkan pemikirannya kepada hak atas seksualitas wanita yang diperoleh berdasarkan kotrak sosial.

(21)

yang bersangkutan dianggap memenuhi syarat untuk melahirkan anak (Goodenough, 1970:12-13).

Dalam berbagai kebudayaan manusia di dunia ini, terjadi beberapa orientasi dalam perkawinan. Ada masyarakat yang mendasarkan pada perkawinan monogami, adapula yang membolehkan poligami, namun ada pula yang membolehkan perkawinan dalam bentuk penyimpangan sosial dan moralitas umum, yaitu perkawinan poliandri, yaitu satu perempuan kawin dengan dua atau lebih suami. Dalam beberapa kelompok masyarakat, dua orang lelaki atau lebih bisa bersama-sama menggauli wanita secara seksual, yang biasanya melibatkan sekelompok saudara laki-laki (poliandri fraternal). Poliandri sering dihubungkan dengan ketidakseimbangan penduduk, yang disebabkan oleh kebiasaan membunuh bayi perempuan. Sebagai contoh, di Himalaya, poliandri dilakukan karena tujuannya mengurangi jumlah keluarga yang terlalu besar, sementara lahan pertanian terbatas luasnya. Dalam Islam praktik demikian amatlah dilarang. Begitu juga hubungan incest. Semua ini adalah aturan Allah bagi makhluk manusia ciptaan-Nya, agar manusia menjadi rahmat kepada alam, bukan merusak alam atau generasi keturunannya.

(22)

adil kepada isteri-isterinya, maka kawinlah dengan satu perempuan saja. Dimensi pembelajaran ayat ini adalah bahwa Allah menciptakan lebih banyak perempuan dibandingkan lelaki. Agar perempuan-perempuan dapat suami, maka tentu saja secara umum harus ada laki-laki yang beristeri lebih dari satu untuk melakukan respons terhadap eksistensi jenis kelamin yang penuh dengan rahasia Ilahi. Dalam realitasnya, di negara-negara Islam mayoritas rakyatnya kawin secara monogami. Selengkapnya tentang aturan poligami dalam Islam lihat Al-Qur‟an surat Annisa ayat 3 berikut ini.

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap

(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil1, maka (kawinilah) seorang saja,2 atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Upacara perkawinan hanyalah salah satu rangkaian dari sejumlah upacara pusingan (siklus) hidup manusia. Siklus hidup manusia biasanya dimulai dari

1

Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam memenuhi keperluan isteri seperti pakaian, makanan, perhiasan, kesehatan, hiburan, tempat tinggal, giliran kunjungan, rasa aman, dan lain-lain yang bersifat lahiriah.

2

(23)

sejak janin, lahir, akil baligh atau dewasa, khitan, perkawinan, memiliki anak, memasuki keorganisasian, kematin, pascakematian, dan seterusnya.

Secara sosiologis dan agama, fungsi utama perkawinan adalah untuk melanjutkan generasi keturunan manusia sepanjang zaman, dan manjaga peradaban manusia. Sedangkan guna perkawinan di antaranya adalah: memuaskan nafsu biologis manusia, menerima dan memberi kasih sayang kepada pasangan hidup, membina keluarga, menyatukan dua keluarga besar, dan sebagainya. Dalam hal ini agama dan adat memegang peran utama dalam upacara perkawinan. Pengabsahan perkawinan selalu melibatkan para pemuka agama pada semua agama di dunia. Ritual perkawinan melibatkan aspek adat dan agama sekali gus. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat Pesisir, yang wilayah budayanya mencakup Tapanuli Tengah dan Sibolga di pantai barat Provinsi Sumatera Utara.

Menurut Pasaribu (2011: 2) kata sumando dalam bahasa Batak artinya cantik dan sesuai, yang artinya secara mendalam adalah besan berbesan. Sementara Pengertian adat sumando adalah mencakup tatacara adat pernikahan daerah Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga antara lain: sejak mulai dari marisik sampai kepada acara saling kunjung kepada keluarga kedua belah pihak atau sering disebut tapanggi.

(24)

sumando yang ada pada suku Minangkabau yang ada di Sumatera Barat dan sekitarnya. Pasaribu (2008:5) mengatakan bahwa pengukuhan adat tersebut dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1851 dihadapan Residen Conprus (Belanda) dan selanjutnya dapat dipergunakan sebagai pedoman.

Pada mulanya adat yang tertinggi berada pada Raja atau Kuria. Seterusnya tingkat pelaksanaan adat berada pada empat lapisan, yaitu: fakir miskin dada, orang miskin lamukku,Ata orang kayo dan keturunan raja Bare(hasil wawancara 10 Desember 2012 dengan Bapak Fahrudin Sinaga).

Menurut Panggabean, dkk. (1995:193) bahwa ketentuan-ketentuan perkawinan dalam adat sumando tersebut adalah sebagai berikut.

a. Pernikahan dapat terjadi apabila pria meminang wanita terlebih dahulu dengan menyerahkan sejumlah uang atau barang. Uang atau barang disebut mahar, sebagai tanda pengikat, bahwa pada waktu tertentu akan dilangsungkan pernikahan nantinya dilaksanakan ijab qabul di hadapan wali dan saksi. Adat sumando tidak mengenal tuhor atau jujuran seperti dalam pernikahan adat Batak.

b. Tanggung jawab rumah tangga dan keluarga berada pada pihak pria. Anak yang dilahirkan memakai marga dari suku orang tua laki-laki.

(25)

menjadi 1:1, dengan demikian bukan menurut hukum faraid dan bukan pula adat Batak.

d. Apabila terjadi perceraian diantara suami istri maka suami meninggalkan rumah kediaman sedangkan istri tetap tinggal menempati rumah itu. Mengenai harta pembawaan dan yang diperoleh selama pernikahan (harta gonogini) ditentukan kemudian.

Adat Sumando merupakan “campuran” dari hukum Islam, adat Minangkabau, dan adat Batak. Artinya semua hal-hal yang baik diterima dan yang tidak sesuai dengan tatakrama dan sikap hidup sehari-hari masyarakat Pesisir diabaikan. Itulah disebut dengan adat bersandi sarak dan sarak bersandi kitabullah artinya adat berdampingan dengan kebiasaan atau perilaku dan perilaku berlandaskan kepada kitab Allah (wawancara dengan Bapak Fahrudin Sinaga)

Orang sumando mempunyai motto yakni Bulek ai dek dipambulu, bulek kato dek mufakat, dek saiyo mangko sakato, dek sakato mangko sapakat. Artinya semua permasalahan pada akhirnya diputuskan lewat musyawarah, dan dalam musyawarah itu akan disatukan pendapat dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang terbaik (wawancara dengan bapak Fahrudin Sinaga).

(26)

Proses pelaksanana upacara pernikahan adat sumando pada masyarakat pesisir Sibolga, tidak terlepas dengan budaya tradisi lisan. Tradisi lisan selalu digunakan sebagai media untuk menunjang terlaksananya acara dengan baik dan sempurna. Selain dari pada itu, tradisi lisan juga mencakup pelbagi pengetahuan dan adat istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan.

Dalam pelaksanaan upacara pernikahan ini, selalu digunakan kalimat-kalimat, pantun, pribahasa, talibun, dan lkain-lainnya yang diucapkan oleh telangke baik dari pihak perempuan maupun laki-laki calon mempelai. Tradisi lisan ini merupakan ekspresi dari filsafat hidup etnik Pesisir di Sibolga dan Tapanuli Tengah. Contoh pantun, kalimat, talibun, dan sejenisnya itu dapat dilihat pada contoh cuplikan konteks berikut ini.

(a) Pantun

Bahasa Pesisir Arti dalam Bahasa Indonesia Anak Cino babaju sitin

Bahasa Pesisir Arti dalam Bahasa Indonesia Ala gaharu cindano pulo

Kok ala tau mangapo batanyo pulo

Sudah gaharu cendana pula Sudah tahu mengapa bertanya pula

(c) Kalimat-kalimat adat sumando saat marisik:

(27)

keharibaan Allah SWT, karena atas rahmatnya berupa kesehatan dan kelapangan langkah, sehingga kito dapek bakumpu di rumah kami ko.Seiring salam dan salawat kito kapado Rasulullah Muhammad SAW nan ala mambaok kito dari alam nan kalam kapado alam nan panuh kebahagian sampei saat kiniko. Sadang mato hari basinar tarang, angin bahambus manyapu alam, sadang ambun bararak tenggi, ruponyo manjadi tando tamu datang karumah kamiko. Duduk di pondok dagang sangsei, na mambuek hati raso kasanang. Kadatangan dusanak ka rumah kamiko, harapan kami manjadi sabuah kahormatan bagi kami urang nan kurang budi, miskin pulo bahaso.

haribaan Allah SWT, karena atas rahmat-Nya berupa kesehatan dan kelapangan langka, sehingga kita dapat berkumpul di rumah kami ini. Seiring salamn dan salawat kita kepada Rasulullah Muhammad SAW yang membawa kita dari alam yang kelam kepada alam yang penuh kebahagiaan sampai saat kini. Sedang matahari bersinar terang, angin berhembus menyapu alam, sedang awan berarak tinggi, rupanya menjadi tanda tamu datang ke rumah kami ini. Duduk di rumah kami apa adanya, membuat hati merasa senang. Kedatangan para tamu ke rumah kami ini, harapan kami menjadi kehormatan bagi kami sebagai orang yang kuyrang budi, serta miskin pula bahasa kami.

Sebait pantun di atas mencerminkan diri bahwa hamba (yang merujuk kepada pengantin pria) adalah seorang yang miskin dan melarat. Artinya sang hamba tersebut tidak memiliki harta dunia sebagaimana yang selalu disyaratkan dalam semua perkawinan di dunia ini. Ini adalah bentuk dari ekspresi diri yang merendah-rendahkan kedudukan, yang lazim dilakukan dalam budaya Pesisir. Orang yang merendah-rendah seperti itu dipandang sebagai ekspresi rendah hati dan tidak sombong. Pantun ini terdiri dari empat baris dalam sebait. Baris pertama dan kedua adalah sampiran, sementara baris ketiga dan keempat adalah isi. Antara sampiran dan isi biasanya memiliki kaitan yang erat pula secara kebahasaan.

(28)

batanyo pula. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah sudah gaharu cendana pula, sudah tahu bertanya pula, atau pura-pura saja tidak tahu sebenarnya sangat tahu.

Pada contoh ketiga terdapat kalimat-kalimat dalam bahasa Pesisir, yang mengekspresikan ajaran-ajaran Islam, seperti ucapan salam, syukur kepada Allah sebagai Tuhan, salam dan salawat kepada nabi Muhammad, dan lain-lain. Inti dari paragraf ini adalah mengucapkan selammat datang kepada tetamu (dari pihak pengantin laki-laki) yang datang ke pihak rumah pengantin wanita. Dalam wacana ini terdapat makna-makna budaya dan kearifan lokal. Misalnya bahwa sebagai tuan rumah biasanya pihak perempuan selalu merendahkan keadaan. Demikian juga pihak tetamu selalu merendah-rendahkan keadaannya, tidak meninggi apalagi menyombongkan diri.

Menurut Endaswara (2008:151) tradisi lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut kemulut secara turun temurun. Adapun ciri tradisi lisan yaitu: (1) lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional; (2) menggambarkan budaya milik kolektif tertentu yang tidak jelas siapa penciptanya; (3) lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka, dan pesan mendidik; (4) sering melukiskan tradisi kolektif tertentu; (5) tradisi lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise, dan (6) tradisi lisan sering bersifat menggurui.

(29)

dua kata, yaitu baralek dan gadang. Baralek artinya perhelatan, sementara gadang artinya besar (wawancara dengan bapak Fahrudin Sinaga.

Kata kelisanan dalam penelitian ini hanya merupakan suatu istilah yang dipakai dalam menjelaskan BG pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga yang menggambarkan situasi komunikasi lisan. Tradisi kelisanan dengan tradisi lisan tidak mempunyai perbedaan yang signifikan. Dalam KBBI (1984:603) didefinisikan arti dari lisan dan kelisanan itu adalah perkataan yang diucapkan dengan mulut bukan dengan tulisan.

Dalam upacara baralek gadang, yang memegang peranan penting dalam upacara adalah talangkai. Menurut Nainggolan (2005:1) talangkai merupakan orang yang memilik peranan penting dalam mengatur prosesi atau tata cara upacara sehingga nantinya dapat terlaksana dengan sempurna. Tradisi kelisanan baralek gadang mengandung makna makna semiotik sosial, dan nilai-nilai kearifan lokal, selain itu tradisi lisan berfungsi sebagai sistem nilai, pengetahuan tradisional, hukum, sistem kepercayaan, dan agama.

Menurut Sibarani (2012:112) kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Jika kearifan lokal itu difokuskan pada nilai budaya, maka dapat juga didefinisi dengan cara lain yakni kearifan lokal adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana.

(30)

memperlihatkan bagaimana praktik-praktik tradisi lisan pada upacara baralek gadang, terkait dengan sistem kehidupan masyarakat pesisir Sibolga. Untuk menganalisis data penelitian, peneliti menggunakan teori semiotik sosial yang dikembangkan oleh Halliday (1978). Alasan menggunakan teori semiotik sosial dalam menganalisis tradisi kelisanan baralek gadang adalah untuk memberi penjelasan bahwa kegiatan berbahasa pada tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga memiliki simbol-simbol dan makna yang saling berhubungan antara Penguasa (Tuhan) dengan alam, serta menjelaskan makna yang terkandung pada tradisi kelisanan tersebut.

Menurut Halliday (1978:108) bahasa merupakan semiotik sosial. Sistem semiotik bahasa meliputi unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan unsur-unsur konteks yang berada di luar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks sosial. Konteks sosial adalah merupakan unsur yang mendampingi bahasa dan merupakan wadah terbentuknya bahasa. Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa atau teks terbentuk, juga merupakan semiotik. Konsep umum yang terpenting dalam teori semiotik sosial bahasa menurut Halliday (1978:108) adalah teks, situasi, register, kode, sistem linguistik (meliputi sistem semantik), dan struktur sosial.

(31)

terkandung dalam teks tradisi kelisanan Baralek gadang pada upacara perkawinan masyarakat pesisir Sibolga.

Pada masa sekarang pengetahuan masyarakat tentang tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando, belum dikembangkan baik melalui jalur pendidikan ataupun jalur lain, sehingga tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando pesisir Sibolga semaki hari kian terabaikan. Padahal bila dikaji dan dianalisis, makna semiotik sosial yang ada dalam tradisi lisan tersebut mengandung nilai kearifan lokal dan mengandung nilai-nilai filosofi adat dan tradisi yang terpatri pada komunitas adat tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa pertimbangan peneliti dalam menyikapi masalah ini, di antaranya.

(1) Masyarakat Sibolga merupakan masyarakat yang multietnik yang membentuk satu kesatuan budaya masyarakat Pesisir dengan motto negeri berbilang kaum, namun etnik setempat adalah etnik Pesisir, sebagai tuan rumah.

(2) Perkawinan bagi masyarakat pesisir Sibolga dikenal dengan adat sumando.

(3) Proses pernikahan adat sumando dimulai dari marisik sampai dengan tapanggi dipandu oleh seorang talangkai.

(4) Talangkai mempunyai peranan yang sangat penting dalam tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan masyarakat pesisir Sibolga. Di mana saat talangke menggunakan kata-kata dalam menyampaikan maksud dan tujuan memiliki makna kearifan lokal.

(32)

1.2Rumusan Masalah

Menurut pendapat Subyantoro, dkk (2006:30) mencari, merumuskan, dan mengidentifikasi masalah: yaitu menetapkan masalah penelitian, apa yang dijadikan masalah penelitian dan apa objeknya. Untuk mengidentifikasi atau menyatakan masalah yang spesifik dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan penelitian (research question) kepada informan, namun pertanyaan tersebut belum dapat memberikan penjelasan (explanation) yang memuaskan berdasarkan teori (hukum/dalil) yang ada.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah makna-makna semiotik sosial pada tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga? 2. Nilai-nilai kearifan lokal apakah yang terdapat pada tradisi kelisanan

baralek gadang pada upacara adat Sumando masyarakat Pesisir Sibolga?

1.3 Tujuan Penelitian

Merujuk pada masalah maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan makna semiotik sosial tradisi kelisanan baralek gadang

pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga.

(33)

1.4Manfaan Penelitian

Temuan penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis dan praktis. Adapun manfaat teoretis dan praktis dari penelitian ini dapat diuraikan seagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis kiranya penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Memperkaya kajian linguistik pada umumnya dan makna semiotik sosial secara spesifik.

b. Memperkaya kajian tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga sebagai kajian yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal.

c. Menjadi bahan acuan bagi para peneliti yang memfokuskan pada bidang budaya dan bahasa, terutama kajian adat pesisir Sibolga Tapanuli Tengah

1.4.2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

(34)

b. Mengetahui makna semiotik sosial yang terkandung pada tradisi kelisanan Baralek gadang pada upacara perkawinan adat Sumando Pesisir Sibolga serta nilai kearifan lokal.

c. Memberikan pengetahuan tentang bagaimana upacara baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando Pesisir Sibolga.

d. Sebagai upacara lanjutan guna melestarikan adat istiadat, budaya yang mulai ditinggalkan komunitas pemakainya, sehingga dapat terjaga nilai-nilai adat dan budaya sebagai kearifan lokal untuk mempersatukan masyarakat pemakainya.

e. Dapat memberikan masukan pemikiran kepada pemerintah kota Sibolga dan semua pihak yang terkait untuk dapat melestarikan tradisi lisan baralek gadang pada upacara perkawinan adat Sumando masyarakat Pesisir Sibolga.

1.5 Penjelasan Istilah

Pada tulisan ini digunakan beberapa istilah yang memiliki makna berbeda dengan ilmu diluar ilmu linguistik, oleh karena itu penjelasan istilah pada penelitian ini dimaksudkan agar ada persamaan persepsi mengenai istilah yang digunakan. Penggunaan istilah tersebut sesuai dengan konsep istilah pada bidang linguistik, istilah tersebut yaitu:

(35)

kearifan lokal, sistem nilai, sistem kepercayaan dan religi serta berbagai hasil seni.

2. Nilai adalah sesuatu yang sesuai dengan norma ideal menurut masyarakat pada masa tertentu. Selanjutnya Barthes (1957:140-142) mengatakan ada tiga ciri - ciri nilai, yaitu : (1) nilai yang berkaitan dengan subjek; (2) nilai tampil dalam konteks praktis, di mana subjek ingin membuat sesuatu; (3)

nilai menyangkut sifat yang „ditambah‟ oleh subjek pada sifat-sifat yang

dimiliki oleh objek, nilai tidak dimiliki oleh objekpada dirinya.

3. Menurut Pateda (2001:28) mengatakan semiotik adalah kajian tentang sistem tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda.

4. Sumando menurut Panggabean, dkk (1995:191) adalah satu kesatuan ruang lingkup kebudayaan suku pesisir; terdiri dari adat istiadat pesisir, kesenian pesisir, bahasa pesisir dan makanan pesisir.

5. Sinar (2011:167) mengatakan bahwa kearifan lokal adalah merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki sekelompok (etnis) manusia yang diperoleh melalui pengalamannya hidup secara terwujud dalam ciri budaya yang dimilikinya.

6. Soedarsono (dalam Pasaribu, 2008:65) mengatakan perkawinan adalah suatu ikatan batin antara pria dan wanita sebagai pasangan suami istri, dengan tujuan membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.

(36)

yang biasa terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan, satu kegiatan pesta tradisional yang di atur menurut tata dan adab atau hukum di masyarakat dalam rangka memperingati peristiwa-peristiwa, dengan ketentuan adat yang bersangkutan

8. Risik-risik adalah suatu kegiatan pihak keluarga lelaki untuk menyelidiki anak wanita yang bakal menjadi calon istri (Pasaribu, 2011:8)

9. Maminang adalah meminta seorang perempuan untuk dijadikan istri untuk anak laki-laki (Pasaribu, 2011:9)

10.Sirih tanyo adalah sirih selengkapnya yang merupakan syarat yang diberikan oleh calon marapule kepada orang tua anak perempuan yang dipinang (hasil wawancara dengan bapak Fahrudin Sinaga)

11.Manganta kepeng artinya mengantar uang mahar yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. (hasil wawancara dengan bapak Rajoki nainggolan dan bapak Fahrudin Sinaga)

12.Mata karajo adalah hari dilaksanakannya akad nikah (Pasaribu, 2011:36) 13.Manjalang-jalang menurut Pasaribu (2011:26) adalah mohon doa restu

kepada orang tua sebelum akad nikah dilaksanakan.

(37)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA

Pada Bab sebelumnya telah dijelaskan latar belakang mengapa penelitian ini dilakukan, kemudian yang menjadi pembahasan dari penelitian ini dan tujuan serta manfaat dari penelitian. Pada bagian ini dibagi menjadi tiga yakni konsep, landasan teori, dan kajian pustaka. Konsep yakni meliputi tradisi lisan BG, kearifan lokal BG, dan baralek Gadang pada pernikahan adat Somando masyarakat pesisir Sibolga. Landasan teori yang digunakan pada penelitian ini adalah LFS (Linguistik Sistemik Fungsional) yang dikemukakan oleh Halliday, alasan peneliti memilih teori LFS adalah untuk melihat dan menemukan perbedaan makna semiotik dan makna interpersonal antara tatabahasa formal dengan tatabahasa fungsional yang terdapat pada teks. Selanjutnya pada bagian ini juga dijelaskan mengenai kajian pustaka yang memiliki hubungan atau kontribusi terhadap penelitian ini.

2.1 Konsep

(38)

2.1.1 Konsep Tradisi Lisan

Tradisi lisan merupakan berbagai pengetahuan dan adat istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan pada masyarakat tertentu. Menurut Pudentia (2008:184). Tradisi lisan bukan hanya mengandung cerita mitos dan dongeng, akan tetapi juga mengandung berbagai hal-hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, seperti kearifan lokal, sistem nilai, pengetahuan tradisional, sejarah, hukum, pengobatan, sistem kepercayaan (religi), hasil seni dan upacara adat, seperti adat perkawinan yang dimiliki komunitas adat sebagai pemilik tradisi lisan tersebut adalah bagian dari tradisi lisan.

Tradisi lisan itu sendiri dapat dilihat sebagai suatu peristiwa budaya atau sebagai suatu bentuk kebudayaan yang diciptakan kembali untuk dimanfaatkan, dikembangkan, dan dilestarikan sebagai suatu bentuk kebudayaan, oleh karena itu perlu dijaga agar tetap lestari. Salah satu usaha untuk menggali dan mengembangkan potensi tradisi lisan, termasuk perlindungan kekayaan intelektual budaya Indonesia, yakni melalui penelitian yang terstruktur dan berkelanjutan. Sumber utama kajiannya adalah penutur, nara sumber pemilik tradisi lisan yang diteliti yang meliputi masyarakat pemilik atau pendukung yang berkaitan. Di samping tradisi dan narasumber utamanya yang masih hidup atau merupakan living traditions, ingatan kolektif yang tersimpan dalam masyarakat dan tradisi tersebut (memory traditions) juga dimasukkan dalam kategori tradisi lisan (Pudentia, 2008:259).

(39)

kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lisan yang bukan lisan (non verbal). Oral traditions are the Community‟s traditionally cultural activities inheritied orally

from one generation to the other generations either the tradition is verbal or

non-verbal.

Lebih lanjut Sibarani (2012:43-46) mengemukakan ada beberapa ciri Tradisi lisan yaitu:

1. Merupakan kegiatan budaya, kebiasaan atau kebudayaan berbentuk lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.

2. Memiliki kegiatan atau peristiwa sebagai konteks penggunaanya. 3. Dapat diamati dan ditonton.

4. Bersifat tradisional. Ciri tradisi lisan ini harus mengandung unsur warisan etnik baik murni bersifat etnik maupun kreasi baru yang ada unsur etnik.

5. Diwariskan secara turun temurun. Tradisi lisan itu diwariskan dari satu generasi kegenerasi lain.

6. Proses penyampain dari mulut ke telinga. Ciri inilah yang menjadikan kebiasaan atau budaya bukan lisan (non-verbal culture) tergolong tradisi lisan karena budaya bukan lisan itu, seperti adat istiadat, disampaikan orang tua dari mulut melalui berbicara sampai ketelinga anak-anaknya melalui mendengar. 7. Mengandung nilai-nilai dan norma-norma budaya.

8. Memiliki versi-versi.

(40)

10. Berpotensi direvitalisasi dan diangkat sebagai sumber industri budaya.

Dari penjelasan di atas maka perlu sekali membangun sebuah paradigma yang melihat tradisi lisan sebagai sebuah kekuatan, dapat dibuktikan di mana sebagian masyarakat kita mampu berdialog secara baik dengan kekuatan-kekuatan lain termasuk kekuatan hegemoni dan kekuatan di luar dirinya. Paradigma ini terbangun dari suatu pandangan bahwa tradisi lisan merupakan perwujudan kegiatan sosial budaya sebuah komunitas masyarakat pemakainya.

Pada tradisi lisan tidak dapat dipisahkan antara produk budaya dan masyarakat penghasilnya. Keduanya sangat tergantung satu sama lain. Tanpa masyarakat pendukungnya, tradisi tidak akan pernah dapat dihadirkan apalagi diteruskan. Sebaliknya, tanpa tradisi, masyarakat pemiliknya akan kehilangan identitas kemanusiaannya dan kehilangan banyak hal penting, khususnya pengetahuan tradisional, kearifan lokal, dan nilai-nilai yang pernah hidup dan sudah menyatu pada komunitas tersebut.

(41)

pesisir Sibolga, walaupun sudah mengalami perkembangan, tetapi tetap tidak melepaskan diri dari norma-norma tradisi yang telah berlaku turun temurun.

Tradisi kelisanan pada masyarakat Sibolga memiliki tatanan atau aturan yang tertib dipimpin oleh seseorang yang disebut talangke. Talangke berfungsi sebagai pemandu jalannya upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga. Keputusan akhir upacara adat yang berwujud tradisi lisan diputuskan oleh tokoh adat dan diketahui kepala desa.

Upacara perkawinan khususnya dan pada upacara adat pada umumnya, setiap keputusan yang diambil oleh tokoh adat bersama dengan kepala desa melalui proses upacara adat istiadat yang panjang dan bertele-tele, tetapi tetap dengan jalan musyawarah dan merupakan keputusan bersama. Pada upacara adat istiadat ini juga setiap orang diposisikan sesuai dengan hubungan kekerabatanya. Sehingga tidak jarang sesorang yang tidak diberi kesempatan untuk menempati posisi yang selayaknya dia peroleh pada acara adat istiadat tersebut, dia merasa kurang dihargai (Pasaribu, 2011:5)

Tradisi kelisanan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga yang dianalisis dalam wujud teks lisan, teks lisan tersebut dituliskan, kemudian yang dianalisis adalah makna semiotik dan nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat pada upacara perkawinan adat masyarakat pesisir Sibolga, dengan pendekatan semiotik sosial.

(42)

preservasi, dan revitalisasi tradisi lisan, yaitu tradisi lisan pada pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga.

Hal ini menurut Fortes (dalam Tilaar, 2000: 54-55) dari pewarisan budaya ada variabel-variabel yang perlu dicermati yakni; unsur-unsur yang ditransmisikan/diwariskan, proses pewarisan, dan cara pewarisannya. Dalam hal ini unsur-unsur yang diwariskan adalah nilai-nilai budaya, tradisi-tradisi masyarakat, dan pandangan-pandangan hidup masyarakat yang mengandung kearifan, kebenaran esensial, dan ide.

2.1.2 Konsep Kearifan lokal

Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang sepatutnya secara terus-menerus harus tetap dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal atau berhubungan dengan khalayak umum.

Selanjutnya Sibarani (2012:1) mengemukakan bahwa kearifan lokal adalah remembering the past, understanding the present, and preparing the future

“mengingat masa lalu, memahami masa kini, dan mempersiapkan masa depan”.

(43)

serta memberikan solusi pada permasalahan itu dengan mengimplementasikan nilai-nilai tradisi masa lalu.

Sementara Haba (2007:11) menjelaskan kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercaya dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi masyarakat. Lebih lanjut (Haba 2007:4) menjelaskan bahwa ada beberapa fungsi dari kearifan lokal yakni: (1) sebagai penanda sebuah komunitas; (2) elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama, dan kepercayaan; (3) kearifan lokal tidak bersifat memaksa atau dari atas (top done), tetapi sebuah unsur kultural yang ada dalam masyarakat, karena itu daya ikatnya lebih mengena dan bertahan; (4) kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas; (5) lokal wisdom akan mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan meletakkannya di atas common ground atau kebudayaan yang dimiliki, dan (6) kearifan lokal dapat berfungsi mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebagai sebuah mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir bahkan merusak, solidaritas komunal yang dipercaya dan tumbuh di atas kesadaran bersama, dari sebuah kominitas terintegrasi.

(44)

lokal genius hilang atau musnah, kepribadian bangsa memudar, karena hal-hal sebagai berikut.

1. Kearifan lokal merupakan pembentuk identitas yang inheran sejak lahir.

2. Kearifan lokal bukan sebuah keasingan bagi pemiliknya.

3. Keterlibatan emosional masyarakat dalam penghayatan kearifan lokal kuat.

4. Pembelajaran kearifan lokal tidak memerlukan pemaksaan. 5. Kearifan lokal mampu menumbuhkan harga diri dan percaya

diri.

6. Kearifan lokal mampu meningkatkan martabat bangsa dan Negara.

Sementara Sibarani (2012:5) mengatakan bahwa ada nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal tersebut, antara lain:

1. Kerja keras (seperti: etos kerja, keuletan, inovasi, visi dan misi kerja, dan disiplin kerja)

2. Gotong royong (melakukan dan menyelesaikan pekerjaan secara bersama)

3. Kerukanan (sikap toleransi antar umat beragama, etnik, budaya) 4. Penyelesaian konflik (sikap dalam menyelesaikan masalah sesuai

dengan hukum adat)

5. Kesehatan (Menjaga hidup baik secara pribadi maupun masyarakat)

(45)

7. Menjaga lingkungan (penjagaan lingkungan untuk tetap menjaga rantai kehidupan)

8. Pelestarian dan inovasi budaya (pemeliharaan dan pengembangan warisan budaya)

9. Penguatan identitas (tetap menjaga keaslian budaya)

10.Peningkatan kesejahteraan (menambah pendapatan masyarakat) 11.Hukum (norma-norma dan aturan-aturan adat yang telah

ditetapkan dan harus dipatuhi)

Menurut Sayuti (2005:12) usaha untuk menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas daerah-daerah nusantara. Dari pernyataan di atas maka jelas bahwa kearifan lokal yang terdapat pada budaya daerah sudah sejak lama hidup dan berkembang. Maka dari itu perlu diadakan pemeliharaan dan pelestarian budaya daerah tersebut demi membangun kerinduan pada kehidupan masyarakat terdahulu, dimana hal itu merupakan tolak ukur kehidupan masa sekarang.

2.1.3 Konsep Baralek Gadang

(46)

dengan adat yang berlaku. Namun sesuai dengan perkembangan zaman, maka ada sebagian rangkaian acara yang mengalami pergeseran yakni tergantung dengan situasi dan kondisi.

Baralek gadang berasal dari dua kata, yaitu baralek dan gadang. Baralek artinya perhelatan, sementara gadang artinya besar. Jadi baralek gadang itu memiliki pengertian secara umum yakni perhelatan besar salah satunya adalah perkawinan yang memiliki prosesi rangkaian kegiatan dari awal sampai selesainya acara semuanya diatur oleh adat yang berlaku pada masyarakat etnis pesisir Sibolga. (Hasil wawancara 10 Desember 2012 dengan bapak fahrudin Sinaga) Istilah Baralek gadang selain ada di daerah Sibolga, di daerah Sumatera Barat juga dipergunakan istilah ini dalam acara-acara besar. Baralek gadang di daerah Sumatera Barat adalah ungkapan bahasa Minang yang berarti perhelatan besar. Baralek gadang umumnya diadakan untuk menyambut atau merayakan suatu momentum penting dalam kehidupan masyarakat Minang, bisa pernikahan atau hal lainnya. Hajatan ini juga sekaligus untuk berbagi kegembiraan dan perwujudan rasa syukur atas karunia yang diberikan sang maha pencipta (http://theordinarytrainer.wordpress.com/2011/06/20/baralek gadang/, diunduh 25 April 2013)

2.1.3.1 Hal-Hal Yang Harus Diperhatikan Sebelum Baralek Gadang

(47)

akademis, upacara naik haji, upacara mendirikan dan memasuki rumah baru, upacara anak lahir, upacara kelahiran, dan upacara perkawinan.

Upacara dalam KBBI (2001:1250) meliputi: (1) Tanda-tanda kebesaran; (2) peralatan (menurut adat istiadat) rangkaian tindakan atau pebuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama; (3) perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting.

Adat dalam KBBI (2001:7) sebagai berikut: (1) aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; (2) cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan; (3) Wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dan lainnya berkaitan dengan suatu sistem.

Upacara adat yaitu: upacara yang berhubungan dengan adat sesuatau masyarakat. (KBBI, 2001: 1250)

Upacara perkawinan adat atau rangkaian upacara perkawinan (seremonial) mempelai yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala yang dipimpin oleh pengetua adat atau pemuka agama. Dalam kamus bahasa Indonesia (2001:1250) adat merupakan kebiasaan, sementara kebiasaan itu merupakan bagian dari kebudayaan.

(48)

lingkungannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya untuk mencapai kedamaian dan/atau kesejahteraan hidupnya.

Sementara Supartono (2004:30) memberikan penjelasan tentang kebudayaan yakni kebudayaan berasal dari kata budh artinya akal dalam bahasa sansakerta, kemudian menjadi kata budhi (tunggal) atau budhaya (majemuk), sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Sementara dalam bahasa Inggris, kebudayaan adalah culture, berasal dari kata culere (bahasa Yunani) yang berarti mengerjakan tanah. Dengan mengerjakan tanah, manusia mulai hidup sebagai penghasil makanan (food producing). Hal ini berarti, manusia telah berbudi daya mengerjakan tanah karena telah meninggalkan kehidupan yang hanya memungut hasil alam saja (food gathering)

Menurut Pasaribu (2011:5) pelaksanaan upacara perkawinan adat pesisir Sibolga yang biasa disebut dengan istilah adat Sumando, ini ditetapkan pada tanggai 1 Maret 1851 oleh residen Conprus (Belanda) untuk seterusnya dapat dipergunakan sebagai pedoman. Pada mulanya adat yang tertinggi berada pada Raja atau Kuria, Pengertian Sumando dalam bahasa Batak adalah cantik, dan secara lebih khusus lagi artinya adalah besan berbesan. Pengertian adat sumando mencakup tatacara adat pernikahan di daerah pesisir Sibolga Tapanuli Tengah antara lain; mulai dari marisik sampai kepada acara saling kunjung mengunjungi antara kedua belah pihak atau sering disebut dengan istilah tapanggi.

(49)

1. Sistem pernikahan/perkawinan meliputi proses sebagai berikut: usaha memperoleh pasangan, tatacara melamar/meminang, kewajiban dan sangsi perjanjian, pelaksanaan aqad nikah, tempat aqad nikah, waktu aqad nikah, acara sesudah nikah, peresmian pernikahan.

2. Penataan tempat acara pernikahan yakni: hiasan rumah, hiasan pelaminan, hiasan kamar pengantin, hiasan lokasi pesta.

3. Kesenian sebagai berikut: kesenian menjelang pernikahan (malam baine dan malam Basikambang), kesenian pada hari peresmian (mangarak Marapule, masuk rumah, basanding - hiburan umum) 4. Prosesi mengatur kehadiran mempelai laki-laki menghadiri aqad

nikah, mengatur acara mengarak Marapule (pengantin laki-laki) serta prosesi mempelai laki-laki memasuki kamar.

5. Pakaian adat meliputi: pakaian kebesaran yang dipergunakan oleh mempelai laki laki (Marapule), pakaian yang dikenakan oleh pihak perempuan (Adak daro), waktu yang tepat untuk mengenakan baju kebesaran adat.

6. Perlengkapan sebagai berikut: tempat sirih yang digunakan saat meminang, tempat mahar pernikahan, tempat upah-upah dan tepung tawar.

(50)

Pada upacara perkawinan adat biasanya menggunakan tanda-tanda kebesaran adat (menurut adat istiadat tersebut), sehingga serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut adat, sehingga upacara perkawinan adat dapat diselenggarakan sebagai suatu perayaan atau upacara adat. Begitu halnya dengan masyarakat etnis Sibolga yang memiliki adat perkawinan yang khas yang disebut dengan adat sumando merupakan aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim menurut keputusan adat pada masyarakat pesisir Sibolga Tapanuli Tengah.

2.1.3.2Fase Baralek Gadang Pada Pernikahan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga

Pasaribu (2011:7-9) mengatakan bahwa dalam setiap adat pernikahan pasti ada beberapa rangkaian acara adat yang harus dilewati. Begitu halnya dengan adat Pernikahan etnis masyarakat pesisir Sibolga memiliki berbagai tatacara yang meliputi rangkaian prosesi kegiatan sebagai berikut:

1. Marisik.

Marisik adalah satu kegiatan pihak keluarga laki-laki untuk menyelidiki anak wanita yang bakal menjadi calon istri anak laki-lakinya. Marisik ini biasanya dilakukan dengan santai, biasanya dilakukan pihak laki-laki yang diperantarai oleh seorang yang disebut dengan Talangke

2. Maminang.

Maminang adalah merupakan rangkaian dimana pihak laki-laki akan menayakan berapa mahar atau bantuan yang akan diserahkan kepada calon istri dan sekaligus menentukan kapan akan diantarkan.

(51)

- Menentukan hari (proses menentukan waktu akan dilaksanakannya akad nikah)

- Acara keberangkatan (proses dimana pihak laki-laki akan bergerak menuju rumah pihak perempuan dengan membawa uang mahar yang dimasukkan ke dalam kampi. Uang mahar tersebut dibawa oleh seorang ibu-ibu dengan cara menggendong. - Acara penyambutan di rumah Perempuan. (pihak perempuan

akan menyambut pihak laki-laki dengan menaburkan beras kunyit kepada semua rombongan

- Acara kepala desa dan tokoh adat. (kegiatan setelah kedua belah pihak duduk bersama, maka pihak kepala desa yang selanjutnya akan memandu acara didampingi oleh kepala adat)

- Penetapan sangsi (kepala desa dan tokoh adat akan menetapkan sangsi kepada kedua belah pihak yang ingkar setelah ada kesepakatan bersama)

- Acara pengambilan hari (prosisi ini dilakukan dengan cara memotong kambing serta diadakan kenduri dengan mengundang kaum kerabat terdekat, tokoh masyarakat dan kepala desa) 4. Acara pernikahan. (setelah semua rampung maka selanjutnya akan

diadakan acara pernikahan yang memiliki rangkaian yakni persiapan di tempat kedua belah pihak)

- Pemberangkatan marapule (sebelum keberangkatan maka terlebih dahulu semua rombongan diberi maka nasi tuei. Pada saat keberangkatan rombongan akan diiringi atau diarak oleh pasukan gelombang XII. Rombongan juga akan dihibur dengan kesenian sikambang yang dipandu oleh seorang anak alek) - Upacara akad nikah (setelah pihak pengantin laki-laki sampai di

rumah pihak perempuan maka selanjutnya akan diadakan acara akad nikah yang dipimpin oleh tuan kadi, dan disaksikan oleh dua orang saksi)

(52)

- Tata cara makan beradat (pada prosesi ini yang berhak untuk ikut diutamakan orang yang sudah berkeluarga. Orang yang biasanya jadi penghidang atau sering disebut janang harus mengerti tatacara menghidang, serta tempat duduk harus disesuaikan dengan adat yang berlaku)

- Resepsi pernikahan (dilaksanakan di rumah perempuan dengan diiringi kesenian sikambang, dan dilanjutkan sampai malam dimulai setelah shalat Isya dengan tujuan agar seluruh warga dapat menikmatinya)

5. Acara balik hari (kegiatan ini dilaksanakan setelah selesai seluruh rangkaian upacara adat, atau bisa dikatakan keesokan harinya dengan membawa makanan ke rumah orang tua laki-laki)

2.1.4 Falsafah Masyarakat Pesisir Sibolga

Setiap masyarakat adat memiliki keyakinan nilai-nilai luhur yang kuat sehingga dijadikan pedoman dalam mengatur berjalannya tatanan adat istiadat.

Masyarakat etnis Sibolga memiliki falsafah hidup “adat basandi sarak dan sarak

basandi kitabullah artinya bahwa penduduk masyarakat Sibolga sangat menghargai adat sebagai bahagian dari kehidupan masyarakat kota Sibolga dan semua itu diatur oleh norma-norma agama “Kitab Suci Al-qur‟an”. (Hasil wawancara dengan Bapak Fahrudin Sinaga)

(53)

Nilai-nilai luhur masyarakat adat tersebut tidak tertulis tetapi sudah menyatu dan menjadi ketentuan yang mengikat batin diantara masyarakat. Makna yang terkandung pada falsafah itu yaitu setiap masyarakat lahir telah memiliki nilai-nilai luhur sebagai pandangan hidup dalam dirinya (wawancara dengan bapak Fahrudin Sinaga bulan Desember 2012)

2.2 Landasan Teori

Bagian ini menjelaskan secara detail kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini. Pada penelitian ini peneliti menggunakan kerangka teori linguistik Sistemik Fungsional (LSF) yang di populerkan oleh Halliday, meliputi fungsi dan penggunaan bahasa. Fungsi dan penggunaan bahasa itu meliputi bahasa sebagai sistem, bahasa adalah fungsional, fungsi bahasa adalah membuat makna, bahasa adalah sistem semiotik sosial dan penggunaan bahasa adalah kontekstual. Namun pada penelitian ini peneliti memfokuskan pada bahasa sebagai sistem semiotik sosial, yang meliputi makna ideasional, interpersonal dan tekstual. Ketiga jenis makna ini dikenal sebagai metafungsi bahasa (Sinar, 2010:21)

2.2.1 Pendekatan Semiotik Sosial

(54)

struktur bahasa. Manusia dapat mengenterpretasikan hubungan secara paradigma dengan sistem.

Teori pendekatan semiotik sosial (social semiotics) yang perkenalkan oleh Halliday tahun 70-an dikenal dengan teori LSF (Linguistik Sistemik Fungsional). Teori LSF oleh M.A.K. Halliday memandang bahasa adalah sistem arti dan sistem lain (yaitu sistem bentuk dan ekspresi) untuk merealisasikan arti tersebut.

Sistem semiotik sosial adalah sistem makna yang direalisasikan melalui sitem linguistik. Sementara sistem semiotik linguistik adalah semantik, yaitu sebagai suatu bentuk realisasi dari semiotik sosial oleh (Sinar, 2010:28)

Selanjutnya menurut Sinar (2010:17) TLFS juga menjelaskan bahasa terdiri atas tiga strata yakni, strata fonologi yang membicarakan bunyi bahasa, leksikogramatika yang membicarakan konstruksi pembentukan klausa, dan semantik yang menyangkut penyatuan klausa menjadi wacana yang bermakna.

Pada penelitian ini peneliti menfokuskan pada kontekstual pendekatan LSF menganut pandangan bahwa bahasa adalah sistem semiotik sosial, dimana keberhasilan menganalisis wacana atau teks tergantung kepada konteks sosial yang dihubungkan dengan konteks situasi, konteks budaya dan ideologi. Sistem semiotik sosial adalah sistem makna yang direalisasikan melalui sistem linguistik. Sistem semiotik linguistik adalah semantik, yaitu sebagai suatu bentuk realisasi dari semiotik sosial.

Gambar

Figura2:  Representasi skematis bahasa sebagai semiotik sosial dalam Baralek gadang
Figura1.  Model Konstruksi analisa data
Table 4.1: Konteks Budaya Baralek Gadang
Table 4.2 Konteks Situasi Baralek Gadang

Referensi

Dokumen terkait

Daftar PTS Pembinaan yang Didelete dari Daftar 243 (Nama tidak bisa ditelusuri/tidak ada lagi di menu hapus, Jumlah Dosen Tetap=0, Mhs=0, Rasio 1:0) per 09 Januari 2016 pukul

CABANG OLAHRAGA BULU TANGKIS MA/SMA/SMK PUTRA 1.. Kota

[r]

Dalam turunannya konsep jihad dapat terinternalisai menjadi karakter, dan dapat dipelajari menjadi pendidikan karakter bangsa Indonesia maka diantara karakter yang

Hasil penelitian uji hipotesis II penambahan breathing exercise pada senam hamil terhadap kapasitas vital paru ibu hamil yang dilakukan pada responden kelompok

Filipina beralasan bahwa aktivitas Vietnam tidak mengancam karena dilakukan dalam skala kecil dibandingkan China yang melakukan pembangunan dengan skala besar.. Namun, tidak

Pada minggu ke- 8 keparahan penyakit karat daun rata-rata pada perlakuan kontrol dan fungisida tidak berbeda nyata yaitu sebesar 42,96% dan 44,10%, sedangkan

pengetahuan remaja tentang seks bebas, dan risiko hubungan seksual dapat dilihat data dari Kementerian Kesehatan RI dalam survei mengenai status kesehatan remaja