• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Calon Guru

Dalam dokumen PROFESI KEPENDIDIKAN (Halaman 90-94)

BAB V KINERJA GURU

A. Pendidikan Calon Guru

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru mewajibkan guru memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik. Pada Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 ditegaskan bahwa sertifikat pendidik bagi guru diperoleh melalui program pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi,

baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun masyarakat. Pendidikan tersebut dilaksanakan setelah jenjang program S-1 (Sarjana).

Pendidikan akademik S1 dan pendidikan profesi guru, keduanya diselenggarakan oleh perguruan tinggi (LPTK). Artinya, kebijakan pendidikan calon guru berada di tangan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Kalau boleh lebih rinci, Direktorat Jenderal Kelembagaan Iptek dan Dikti bertanggungjawab terhadap mutu Kelembagaan LPTK, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan bertanggungjawab terhadap mutu akademik LPTK, dan Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti bertanggungjawab terhadap mutu sarana-prasarana dan sumber daya manusia LPTK, dan seterusnya. Kolaborasi dan sinergitas antar unit utama itu sangat menentukan keberhasilan upaya perbaikan sistem pendidikan calon guru.

Saat ini ada lebih dari 450 LPTK, dengan jumlah mahasiswa lebih dari 1.5 juta. Jika jumlah mahasiswa 1.5 juta, maka diperkirakan lulusan sarjana kependidikan sekitar 300.000 orang per tahun. Sedangkan kebutuhan guru hanya sekitar 40.000 orang per tahun. Kita diancam over supply. Kenapa ini terjadi? Rupanya hukum ekonomi juga berlaku di sektor pendidikan. Sejak program sertifikasi guru diselenggarakan tahun 2007 dan kemudian tahun 2008 guru mulai mendapatkan tunjangan profesi, maka guru menjadi profesi yang semakin seksi. Masyarakat beramai-ramai ingin menjadi guru. Lalu peminat masuk LPTK meningkat tajam.

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, fenomena ini lalu ditangkap oleh penyelenggara pendidikan guru. Usulan pendirian LPTK dan prodi kependidikan melonjak tajam. Bahkan ada joke sinis, perguruan tinggi yang dalam keadaan di ujung maut pun, akan bugar kembali ketika izin pembukaan prodi kependidikan disetujui. Bukan saja ancaman over supply yang menggelisahkan, tetapi logika saya mengatakan, dengan jumlah sebesar itu, mustahil mengontrol mutu proses penyelenggaraan pendidikan dan lulusan LPTK. Kegelisahan saya diperkuat oleh temuan Tim Evaluasi Kinerja Akademik yang dibentuk Menristekdikti beberapa tahun yang lalu. Kebobrokan mutu penyelenggaraan pendidikan di LPTK mendominasi temuan dengan berbagai modus.

Guru tidak sekedar dituntut harus pintar, tetapi sekaligus harus pintar memintarkan siswanya. Pintar yang pertama berkaitan dengan mutu substansi bidang ilmunya, pintar kedua berhubungan dengan kemampuan pedagogis. Pintar pertama berkaitan dengan pendidikan akademik S1, pintar kedua berhubungan dengan pendidikan profesi. Guru tidak sekedar harus pintar menguasai ilmu mengelas, tetapi juga harus pintar mengajarkan kepada siswanya bagaimana cara mengelas yang benar. Mengaitkan aspek peningkatan profesionalitas guru, apalagi mengevaluasi sampai ke persoalan akhlak (kepribadian guru), maka sungguh kita akan menemui paradoks yang pelik. Di sisi lain, kita tampaknya juga “kewalahan” mengontrol mutu pendidikan S1 Kependidikan. Dalam kondisi seperti ini, maka benteng terakhir

penjaga mutu calon guru tinggal satu, yaitu Pendidikan Profesi Guru (PPG). Jika penyelenggaraan PPG ini gagal kita kontrol, habis sudah harapan melahirkan sosok guru-guru mahasakti sebagaimana diuraikan di atas.

Mengingat keragaman luaran LPTK, pemetaan kompetensi lulusan berdasarkan kajian yang seksama tentang koherensi antar-komponen dalam pendidikan guru, yakni kebutuhan akan guru profesional berkualitas dalam konteks regional dan global, profil dan kompetensi guru yang ada, penataan terhadap program pendidikan guru dan model peluncurannya (delivery system), serta asesmen terhadap kompetensi guru yang ada perlu dirumuskan. Dengan asumsi para mahasiswa telah menguasai kompetensi akademik yang dipersyaratkan dan dipandang sebagai individu yang telah matang (dewasa), desain pendidikan guru lebih tepat menggunakan model gabungan atau eklektif, menggabungkan pendidikan guru berbasis kompetensi yang dikembangkan ke dalam pendidikan guru berbasis capian pembelajaran dengan model pendidikan guru berbasis reflektif (reflective model) dan model kontruktivis, model pendidikan guru berbasis kolaborasi di antara calon guru (mahasiswa), dosen, dan guru pamong yang memiliki kompetensi yang unggul. Dalam model gabungan ini, guru yang hebat hanya mungkin dihasilkan oleh LPTK yang hebat dengan sumber daya manusia yang hebat pula.

LPTK penyelenggara PPG harus memiliki sumber daya pendukung yang memadahi, baik dalam aspek sumber daya manusia (dosen dan tenaga kependidikan), maupun sarana-prasarana pendukung yang mencakup perpustakaan, laboratorium, Sekolah Pembinaan Profesi Guru/sekolah laboratorium kependidikan, asrama dan sarana penunjang lainnya.

Untuk memperkokoh pembentukan sikap dan perilaku guru profesional yang dapat digugu dan ditiru, keberadaan asrama sangat penting dalam tahapan pendidikan profesi. Asrama merupakan bagian tdak terpisahkan dari sarana dan prasarana pendidikan guru. Dalam penyelenggaraan PPG, asrama tidak sekedar sebagai tempat untuk tidur, tetapi lebih berfungi sebagai tempat untuk menyemaikan sikap dan perilaku guru profesional melalui berbagai kegiatan penguatan sikap dan perilaku guru yang tahan uji, pantang menyerah, memiliki daya juang yang tinggi, dapat bertahan dalam menunaikan tugas di daerah yang penuh dengan tantangan dan rintangan. Asrama secara fisik harus dirancang untuk menjadi wahana interaksi calon guru profesional dalam membentuk aspek sikap dan perilaku yang harus digugu dan ditiru (role model) yang mampu menyelami tugas dan kewajibannya. Keterampilan berkomunikasi dan berkolaborasi secara lebih inten dapat dikembangkan dalam wahana asrama ini. Berbagai keterampilan sosial dan akademik dikembangkan melalui berbagai kegiatan kokurikuler pendidikan profesi guru dan ekstra kurikuler yang dapat mempersipakan calon guru profesional dengan kompetensi yang lebih utuh. Semua itu bisa dibentuk dalam kegiatan di asrama. Kegiatan asrama harus

menjadi ciri khas pendidikan calon guru yang membedakan dengan mahasiswa prodi lainnya.

Kolaborasi yang sinergis antara LPTK, pemerintah, dan sekolah merupakan kunci keberhasilan program yang harus diwujudkan secara terencana, harmoni dan berkelanjutan, yang diarahkan pada dwitunggal tujuan, yaitu: (a) perkembangan dan pertumbuhan peserta didik secara optimal, (b) perkembangan profesionalisme guru dan calon guru. Diyakini bahwa guru yang baik hanya dapat dihasilkan melalui perbaikan pada kedua lembaga tersebut. Sekolah laborartorium dan sekolah mitra sebagai teaching school sangat penting perannya dalam proses induksi guru dalam rangkaian pendidikan profesi guru terpadu. Program induksi berupa pemantapan dan pengembagan kompetensi guru profesional melalui kegiatan collaborative teaching atau lesson study merupakan tahapan yang harus ditempuh sebelum calon guru ditetapkan dan diangkat penuh oleh Pemerintah sebagai guru profesional. Hanya yang lulus dari program induksi ini dapat diangkat dan ditetapkan sebagi guru profesional. Standarisasi sumber daya manusia (aspek pendidikan dosen dan tenaga kependidikan), serta sarana-prasarana pendukung lainnya, bukan saja diperlukan untuk menjamin mutu proses pembelajaraan dan mutu lulusan, tetapi sekaligus juga berfungsi sebagai seleksi alamiah LPTK abal-abal yang ikut masuk dan mencoba mengacaukan upaya mulia melahirkan calon guru profesional masa depan.

Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan Republik indonesia Nomor 87 tahun 2013 Tentang Program pendidikan profesi guru prajabatan, pasal Pasal 6 berbunyi kualifikasi akademik calon peserta didik program PPG adalah sebagai berikut:

a. S1 Kependidikan yang sesuai dengan program pendidikan profesi yang akan ditempuh;

b. S1 Kependidikan yang serumpun dengan program pendidikan profesi yang akan ditempuh;

c. S1/DIV Nonkependidikan yang sesuai dengan program pendidikan profesi yang akan ditempuh;

d. S1/DIV Nonkependidikan serumpun dengan program pendidikan profesi yang akan ditempuh;

e. S1 Psikologi untuk program PPG pada PAUD atau SD.

Pasal tersebut mengisyaratkan bahwa calon guru bisa berasal dari non kependidikan. Ini artinya akan semakin banyak keran-keran penghasil guru dan itu sulit untuk dikalkulasikan seberapa banyak. Namun, berita baiknya adalah para calon guru akan semakin bersaing sehingga diharapkan kualitasnya semakin meningkat. Apalagi ditulis pada ayat duanya bahwa calon peserta program PPG yang memiliki kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e harus mengikuti dan lulus matrikulasi. Sehingga tidak mudah bagi lulusan nonkependidikan untuk bisa lulus program pendidikan guru prajabatan.

B. Pendidikan Profesi Guru Pra jabatan

Dalam dokumen PROFESI KEPENDIDIKAN (Halaman 90-94)