• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka

2. Pendidikan Karakter

Nilai karakter yang sudah dijelaskan sebelumnya dalam praktik pendidikan karakter merupakan muatan yang ada di dalam kurikulum. Dengan kata lain, nilai-nilai karakter yang ada tersebut diimplementasikan ke dalam kurikulum sekolah. Kurikulum tersebut masuk ke dalam konteks pendidikan karakter yang diartikan secara luas (Hidayat, 2013 : 21). Pendidikan karakter sendiri dapat diartikan secara luas dan sempit.Pendidikan karakter secara luas adalah seluruh usaha sekolah di luar bidang akademis yang bertujuan untuk membantu peserta didik tumbuh menjadi seseorang yang memiliki karakter baik.Dalam arti sempit, pendidikan karakter

diartikan sebagai pelatihan moral yang merefleksikan nilai-nilai tertentu (Najib, 2015: 45).

Sudirman (2010:02) menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah sistem penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga sekolah, atau kampus yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksankan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama lingkungan maupun kebangsaan sehingga menjadi paripurna atau insan kami.

Pendidikan karakter adalah keseluruhan dinamika relasional antara pribadi dengan berbagai macam dimensi, baik dari dalam maupun dari luar dirinya, agar pribadi tersebut semakin dapat menghayati kebebasan sehingga dapat bertanggungjawab atas pertumbuhan dirinya sendiri sebagai pribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka (Doni Koesoema, 2011:123).

Nilai-nilai yang dimaksud di atas, adalah nilai-nilai hidup yang merupakan realitas yang ada di dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut dalam keseharian masyarakat.

Departemen Pendidikan Amerika (dalam Barnawi & M. Arifin, 23 : 2012) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai proses belajar yang memungkinkan siswa dan orang dewasa untuk memahami, peduli, dan bertindak pada nilai-nilai etika inti, seperti; rasa hormat, keadilan, kebajikan, warga Negara yang baik, dan bertanggung jawab pada diri sendiri dan orang lain. Selain itu, pendidikan karakter dikatakan sebagai suatu sistempenanaman nilai-nilai karakter pada peserta didik yang

meliputi komponen: kesadaran, pemahaman, kepedulian, dan komitmen yang tinggi untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Allah SWT, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun masyarakat dan bangsa secara keseluruhan, sehingga menjadi manusia sempurna sesuai kodratnya (Mulyasa, 2012 : 7).

Sedangkan menurut Akhir (2017:80) Pendidikan karakter sesungguhnya bukan sekedar mendidik benar dan salah tetapi mencakup proses pembiasaan tentang perilaku yang baik sehingga mahasiswa dapat memahami, merasakan dan mau berperilaku baik sehingga terbentuklah tabiat yang baik

Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulan bahwa nilai pendidikan karakter merupakan nilai-nilai karakter yang dimuat dalam kurikulum sekolah.Hal tersebut dilakukan secara sadar dan terencana untuk menumbuhkan, mengembangkan, dan menanamkan nilai-nilai karakter pada diri peserta didik.Upaya yang dilakukan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya dicampur tangani oleh pihak sekolah dan seorang guru yang turut serta membantu dalam pembentukan karakter tersebut.

a. Nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter

Nilai-nvilai luhur pendidikan karakter dapat ditemukan dalam budaya Indonesia.Hal tersebut dikarenakan bangsa Indonesia masih memegang dan menjunjung tinggi adat dan budayanya.Nilai-nilai luhur yang berasal dari adat dan budaya lokal hendaknya lebih diutamakan untuk diinternalisasikan kepada peserta didik melalui pendidikan karakter (Wibowo, 2013: 14).Inti dari pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan pengetahuan kepada peserta didik tentang kebaikan dan

keburukan. Pendidikan karakter merupakan proses menanamkan (menginternalisasi) nilai-nilai positif kepada peserta didik melalui berbagai metode dan strategi yang tepat (Yanti, 2016 : 3).

Beberapa pendapat menyebutkan pengertian nilai-nilai karakter; disiplin, berkomunikasi/bersahabat, jujur, kerja keras, cinta tanah air dan religius. Nilai karakter disiplin merupakan sikap yang mentaati peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan tanpa pamrih, kontrol yang kuat terhadap penggunaan waktu, tanggungjawab atas tugas yang diamanahkan serta bersungguh-sungguh ( Naim, 2012 : 142). Selanjutnya, Ardy (2013 : 78) menjelaskan nilai berkomunikasi/ bersahabat sebagai; manusia merupakan mahluk sosial, yang harus mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi sehingga dapat menjalin hubungan dengan orang lain. Dan, nilai karakter jujur adalah perilaku jujur didasarkan pada mengenal kekurangan dan kelebihan diri sendiri (Barnawi &Arifin, 2012 : 74).

Nilai karakter kerja keras dapat diartikan sebagai suatu usaha yang terus dilakukan (tidak pernah menyerah) dalam menyelesaikan pekerjaan atau yang menjadi tugasnya sampai tuntas (Kesuma, dalam Wawan suryo 5 : 2014). Nilai karakter cinta tanah air merupakan suatu sikap yang dilandasi ketulusan dan keikhlasan yang diwujudkan dalam perbuatan untuk kejayaan tanah air dan kebahagiaan bangsanya (Solihah, 2015 : 17). Sedangkan nilai karakter religius adalah nilai yang mengacu pada nilai-nilai dasar yang terdapat dalam agama Islam (Siswanto, 2013 : 99).

Melengkapi uraian tersebut Heritage Foundation (dalam Mulyasa, 2012 : 15) merumuskan sembilan karakter dasar yang menjadi tujuan pendidikan karakter. Kesembilan karakter tersebut adalah: 1) cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya; 2) tanggung jawab, disiplin dan mandiri; 3) jujur; 4) hormat dan santun 5) kasih sayang, peduli, dan kerjasama; 6) percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah; 7) keadilan dan kepemimpinan; 8) baik dan rendah hati; 9) toleransi, cinta damai dan persatuan.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat ambil kesimpulan bahwa nilai-nilai pendidikan karakter dapat ditemukan dalam budaya Indonesia.Nilai-nilai karakter tersebut telah dikaji kedalam beberapa aspek yang mengandung hal- hal positif.Nilai karakter tersebut diberikan kepada peserta didik melalui pendidikan karakter di sekolah.

b. Tujuan Pendidikan Karakter

Proses dan tujuan dari pendidikan karakter adalah adanya perubahan kualitas yang meliputi 3 aspek pendidikan, yakni kognitif, afektif,psikomotorik yang dijadikan sebagai patokan dalam peningkatan wawasan, perilaku dan keterampilan, serta terwujudnya insan yang berilmu dan berkarakter (Barnawi & M. Arifin, 2012 : 28). Selanjutnya Mulyasa (2012 : 9) menyatakan pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu, proes dan hasil pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang sesuai dengan standar kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan.

Selain itu, tujuan pendidikan karakter dalam setting sekolah ada 3 yaitu: 1) Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dengan cara memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku anak baik saat masih sekolah maupun setelah lulus. 2) Mengoeksi perilaku peserta didik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dikembangkan sekolah dengan bertujuan meluruskan berbagai perilaku negatif anak menjadi positif. 3) Memmbangun koneksi yang harmonis dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab karakter bersama (Ardy, 2013 : 70).

Jadi, tujuan dari pendidikan karakter yaitu adanya perubahan yang mengarah kedalam kualitas yang lebih baik lagi.Perubahan tersebut tidak hanya mencakup ranah kognitif, afektif, psikomotorik saja, tetapi dapat meningkatkan mutu dan kepribadian khas yang dapat di terapkan pada kehidupan sehari-hari.Kepribadian yang khas dapat diterapkan baik di sekolah maupun dirumah yang terlaksana dengan seimbang.

c. Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah

Implementasi pendidikan karakter di setiap sekolah dapat dikatakan berbeda-beda, sekolah tentunya memiliki manajemen dan cara tersendiri dalam mengimplementasikan nilai-nilai karakter yang ada. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan menginternalisasikan nilai-nilai karakter kedalam 3 kegiatan disekolah, yaitu dalam kegiatan pembelajaran, kegiatan esktrakurikuler dan kegiatan pembiasaan. Internalisasi nilai-nilai karakter melalui kegiatan pembiasaan merupakan proses menanamkan nilai-nilai karakter yang berguna, melalui kegiatan pembiasaan

secara rutin dan spontan agar peserta didik mampu meyakini dan mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari (Najib, 2012 : 66).

Wibowo (2013 : 15) menjelaskan bahwa implementasi pendidikan karakter bisa dilakukan dengan: a) Terintegrasi dalam pembelajaran yaitu kesadaran akan pentingnya nilai-nilai yang diintegrasikan dalam tingkah laku peserta didik yang berlangsung dalam proses pembelajaran di kelas; b) Terintegrasi dalam pengembangan diri melalui kegiatan ekstrakurikuler; c) Terintegrasi dalam manajemen sekolah yaitu yang berkaitan dengan pengelolaan peserta didik, peraturan sekolah, sarana dan prasarana, keuangan, pembelajaran dan lain sebagainya. Sejalan dengan pendapat tersebut, Mulyasa (2012 : 10) menjabarkan bahwa pada umumnya pendidikan karakter menekankan pada keteladanan, penciptaan lingkungan,dan pembiasaan yang dijadikan metode pendidikan utama dan memiliki pengaruh besar terhadap peserta didik.

Kesimpulan yang dapat di ambil adalah implementasi yang dilakukan disekolah dapat dilakukan dengan pembiasaan.Terintegrasi ke dalam 3 hal penting yaitu; pembelajaran yang kaitannya dengan siswa, pengembangan diri seperti program ekstrakurikuler di luar jam efektif belajar siswa, dan terintegrasi dalam manajemen sekolah.Artinya, sekolah juga harus memperhatikan kondisi lingkungan yang dimiliki, sarana prasarana, dan sebagainya.

Implementasi pendidikan karakter di Sekolah menurut Pedoman Kemendiknas dapat dilakukan melalui :

1) Implementasi pendidikan dalam kurikulum

Kurikulum dalam istilah pendidikan sebagaimana pendapat Ronald C. Doll (dalam Mudiofir, 2011:1) menyatakan, “the curriculum of a school is the formal and

informal content adn process by which llear gain knowledge and understanding, develope, skill adn alter attitudes appreciations and values under the auspice of that school” (kurikulum sekolah adalah muatan dan proses, baik formal maupun informal

yang diperuntukkan bagi pembelajar untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman, mengembangkan keahlian dan mengubah apresiasi sikap dan nilai dengan bantuan sekolah). Atau dengan kata lain kurikulum merupakan rencana atau petunjuk arah pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang kemudian diwujudkan dalam suatu rangkaian proses pembelajaran. Tujuan pendidikan sendiri akan membantu siswa dalam mengembangkan potensi agar mampu menghadapi tantangan, menghadapi problematika hidup dan persaingan dalam dunia kerja sehingga mereka mampu mengatasi problematika tersebut secara arif dan kreatif.

2) Implementasi pendidikan karakter dalam pembelajaran

Implementsi pendidikan karakter dalam pembelajaran yang dimaksud disini adalah pada mata pelajaran yang ada disekolah, implementasi pendidikan karakter dalam pembelajaran harus dilakukan dengan strategi yang matang dengan melihat kondisi dan kemampuan siswa serta lingkungan sekitarnya. Hal tersebut sejalan dengan wagiran yang menyatakan bahwa Pelaksanaan integritas karakter dalam pendidikan memiliki prinsip-prinsip umum seperti: tidak mengubah sistem pendidikan yang berlaku, tidak mengubah kurikulum, pembelajaran menggunakan

prinsip learning to know, learning to learn, learning to be, dan learning to live

together, dan dilaksanakan secara kontestual sehingga terjadi pertautan antara

pendidikan dan kebutuhan nyata siswa, Wagiran ( 2011:197).

Mengimplementasikan nilai-nilai karakter pada pembelajaran bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai pada siswa akan pentingnya pendidikan karakter, sehingga mereka mampu mengimplementasikan nilai-nilai tersebut tingkah laku sehari-hari.

Dalam kurikulum 2013 pengimplementasian nilai-nilai pendidikan karakter ke dalam Kompotensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD). Selanjutnya kompetensi dasar yang didapat dinyatakan dengan nilai-nilai pendidikan karakter tersenut dikembangkan pada Rencana Program Pembelajaran (RPP). Guru berperan dalam mengintegrasikan dan mengembangkan nilai-nilai karakter ke dalam proses pembelajaran yang menyenangkan dan dapat diterima siswa sesuai dengan kurikulum.

Proses pembelajaran didasarkan pada upaya menguasai kompetensi pada tingkat yang memuaskan dengan memperhatikan karakteristik konten kompetensi dimana pengetahuan adalah konten yang bersifat tuntas (mastery). Keterampilan kognitif dan psikomotorik adalah kemampuan penguasaan konten yang dapat dilatihkan. Sedangkan sikap adalah kemampuan penguasaan konten yang lebih sulit dikembangkan dan memerlukan proses pendidikan yang tidak langsung, (Uji Publik Kurikulum 2013:5-6).

3) Budaya Sekolah

proses belajar mengajar antara guru dengan murid. Sistem pendidikan di sekolah merupakan sistem pendidikan formal yang mana pelaksanaannya dilakukan secara terencana dan terperinci. Sekolah berfungsi mengembangkan kemampuan siswa dari segi hard skill, Soft Skill serta nilai-nilai kebaikan dalam diri mereka. Hal tersebut sejalan dengan Sjarkawi (2006:42), yang mengemukakan bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan bertanggung jawab untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan kecakapan siswa dalam menetapkan suatu keputusan untuk bertindak atau untuk tidak bertindak.

Proses pengembangan karakter siswa di sekolah menurut Zamroni (2011;178), memiliki pola, rencanakan, laksanakan, refleksi dan apa langkah selanjutnya. Tentu saja dengan pelaksanaan yang dilakukan secara berkesinambungan dan terus menerus. Hal tersebut dimaksudkan agar pendidikan karakter memanfaatkan pengalaman yang telah dilalui, tidak mengulang kesalahan, dan senantiasa memperbaiki tindakan yang telah dilakukan. Proses yang berkesinambungan tersebut diwujudkan dalam pembiasaan dan budaya sekolah. Hal tersebut sejalan dengan kutipan berikut:

Pendidikan karakter, khususnya yang bersifat sikap sebenarnya merupakan perwujudan dari kesadaran diri yang sebagaian besar merupakan bagian dari aktivitas sehari-hari manusia (Wagiran, 2011:199). Secara teori aspek sikap atau ranah afektif lebih efektif bila dilaksanakan melalui kegiatan sehari-hari. Misalnya sikap disiplin dan kemandirian siswa akan lebih mudah tertanam dan dikembangkan pada siswa bila hal tersebut telah menjadi suatu kebiasaan sehari-hari di sekolah.

d. Hubungan Nilai Karakter dengan Mata Pelajaran Sosiologi

Sosiologi adalah ilmu yang mengkaji interaksi manusia dengan manusia lain dalam kelompok (seperti keluarga, kelas sosial atau masyarakat) dan produk-produk yang timbul dari interaksi tersebut, seperti nilai norma serta kebiasaan yang dianut oleh kelompok atau masyarakat tersebut.

Sosiologi adalah mata pelajaran yang mempelajari tentang kehidupan manusia dalam berbagai dimensi ruang dan waktu serta berbagai aktivitas kehidupannya atau ilmu yang mempelajari tentang masyarakat.. Mata pelajaran Sosiologi bertujuan untuk menghasilkan warga negara yang religius, jujur, demokratis, kreatif, kritis, senang membaca, memiliki kemampuan belajar, rasa ingin tahu, peduli dengan lingkungan sosial dan fisik, berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan sosial dan budaya, serta berkomunikasi secara produktif.

Ruang lingkup Sosiologi terdiri atas pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang dikembangkan dari masyarakat dan disiplin ilmu sosial. Penguasaan keempat konten ini dilakukan dalam proses belajar yang terintegrasi melalui proses kajian terhadap konten pengetahuan.

Materi Sosiologi mencakup kehidupan manusia dalam: (1) tempat dan lingkungan, (2) waktu perubahan dan keberlanjutan, (3) organisasi dan sistem sosial, (4) organisasi dan nilai budaya, (5) kehidupan dan sistem ekonomi, dan (6) komunikasi dan teknologi. Pengemasanmateri Sosiologi jenjang pendidikan.

Sosiologipelajaran yang memadukan konsep-konsep dasar dari berbagai ilmu sosial yang disusun melalui pendekatan pendidikan dan disesuaikan

denganmerupakan matapsikologis serta kelayakan dan kebermaknaannya bagi siswa dalam kehidupannya.Dengan memberikan sumbangan berupa konsep-konsep ilmu yang diubah sebagai “pengetahuan” yang berkaitan dengan kehidupan sosial yang harus dipelajari murid.Oleh karena itu dalam rangka pendidikan karakter ada banyak nilai karakter yang memungkingkan ditanamkan melalui pembelajaran Sosiologi.

Dalam buku pengembangan Budaya dan Karakter Bangsa.Pedoman Sekolah (Kemendiknas, 2010:47-48) tentang peta nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa berdasarkan mata pelajaran, teridentifikasi 11 nilai karakter yang memiliki keterkaitan antara mata pelajaran Sosiologi di SMA. Nilai- nilai karakter yang dimaksudkan di atas dapat dilihat dalam Tabel berikut:

Tabel 2.1 Nilai karakter terkait sosiologi SMA Sumber: Kemendiknas, 2010:47-48 No.

Nilai karakter terkait sosiologi SMA No. Nilai karakter untuk satuan pendidikan

1 Religius 1 Religius

2 Toleransi 2 Jujur

3 Disiplin 3 Toleransi

4 Kreatif 4 Disiplin

5 Demokratis 5 Kerja keras

6 Rasa ingin tahu 6 Kreatif

7 Semangat kebangsaan 7 Mandiri

8 Menghargai prestasi 8 Demokratis

9 Bersahabat 9 Rasa ingin tahu

10 Senang membaca 10 Semangat kebangsaan

11 Peduli lingkungan 11 Cinta tanah air 12 Menghargai prestasi 13 Bersahabat/ komunikatif 14 Cinta damai 15 Gemar membaca 16 Peduli lingkungan 17 Peduli social 18 Tanggung jawab

Nilai-nilai karakter sebagaimana yang tertera di dalam tabel menunjukkan bahwa dari 18 nilai karakter yang dianjurkan untuk dikembangkan pada setiap pendidikan, 11 diantaranya yang terkait dengan pembelajaran IPS.Tujuan-tujuan tersebut mengharuskan pembelajaran solsiologi mengintegrasikan nilai-nilai untuk mengembangkan karakter warga negara yang baik.

Peran sosiologi dalam pembentukan karakter yaitu jika dalam kurikulum sebelumnya guru diwajibkan untuk menyisipkan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran, dan pendidikan karakter itu harus tercantum dalam silabus serta rencana pembelajaran, maka dalam kurikulum baru, hal yang semacam dengan pendidikan karakter sudah masuk dalam Kompetensi Inti di setiap mata pelajaran, yaitu menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dan menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia .

Kemampuan atau kompetensi tersebut, diharapkan dapat tercapai setelah guru membelajarkan para peserta didiknya dengan bahan ajar sesuai dengan disiplin ilmu atau mata pelajarannya dan menjadikan peserta didiknya mampu memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin-tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait

penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah, dan mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan. Penanaman nilai-nilai pendidikan karakter melalui mata pelajaran Sosiologi dapat ditinjau dari beberapa aspek, di antaranya: materi Sosiologi yang telah dianalisis nilai-nilai karakternya, RPP dan Silabus Sosiologi yang berkarakter, metode penanaman oleh guru, media pembelajaran berbasis karakter dan evaluasi penanaman nilai-nilai pendidikan karakter

Dalam mata pelajaran sosiologi sendiri terdapat sisipan dalam kompetensi dasar, untuk pembentukan karakter siswa, yaitu dari kompetensi dasar yang terdapat dalam silabus pembelajaran sosiologi di sekolah terdapat kompetensi dasar yaitu :

1) Memperdalam nilai agama yang dianutnya dan menghormati agama lain

2) Mensyukuri keberadaan diri dan keberagaman sosial sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa

3) Merespon secara positif berbagai gejala sosial di lingkungan sekitar e. Landasan Teori

Teori sosiologi Karl Marx (1818-1883) dianggap sebagai pelopor utama dari teori konflik. Bahkan, Riyadi Soeprapto dalam “Interaksionisme Simbolik” menyebutnya sebagai sebagai mahaguru perspektif konflik. Dasar pemikiran Marx yang diambil adalah mengenai eksploitasi besar-besaran yang dianggap sebagai

penggerak utama kekuatan-kekuatan sejarah. Marx memandang adanya perbedaan kelas yang salah satunya disebabkan oleh proyek industrialisasi, dan hal ini hanya mengejar keuntungan secara ekonomi semata. (Soeprapto, 2002: 72).

Perjuangan masyarakat kelas adalah konsepsi mendasar yang saat itu banyak dikonsepsikan oleh Karl Marx. Hal ini dipicu oleh kondisi masyarakat kala itu yang dikepung oleh industrialisasi abad 19. Industrialisasi memunculkan kelas kaum buruh dan industrialis yang pada akhirnya mendorong adanya alienasi. Perspektif konflik yang berakar pada pemikiran Karl Marx diakui oleh para sosiolog sebagai salah satu jalan keluar sehingga sangat erat dengan revolusi. Sekalipun demikian, konflik di sini tidak dimaksudkan sebagai suatu revolusi yang radikal apalagi sampai menumpahkan darah. Sebab, bagaimana pun Marx adalah seorang humanis.

Pada intinya, teori konflik melihat adanya pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Jadi, dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Di dalam teori ini, juga dibicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda, yang menghasilkan superordinasi dan subordinasi.

Perbedaan kepentingan dari kedua hal inilah yang kemudian menimbulkan konflik. Namun, teori konflik sendiri juga mengungkapkan bahwa konflik dalam proses sosial ini diperlukan untuk menciptakan suatu perubahan sosial, baik ke arah yang negatif maupun positif.

Teori konflik yang dimunculkan oleh Karl Marx ini pernah sekian lama diabaikan oleh para sosiolog. Namun, baru di tahun 1960-an, teori ini kembali dimunculkan. Beberapa sosiolog yang membangkitkan kembali teori konflik

misalnya C. Wright Mills [1956-1959], Lewis Coser: [1956] dan yang lain [Aron, 1957; Dahrendorf, 1959, 1964; Chambliss, 1973; Collins, 1975].

Berbeda dengan para fungsionalis yang melihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu keseimbangan yang statis, maka para teoritisi konflik cenderung melihat masyarakat berada pada konflik terus-menerus dalam kelompok dan kelas.

Para teoritisi konflik, bahkan mengklaim bahwa para fungsionalis telah gagal mengajukan pertanyaan “secara fungsional bermanfaat”, ini ditujukan untuk siapa. Keseimbangan yang serasi yang dimaksud pada fungsionalis dianggap hanya bermanfaat bagi sebagian orang saja, sementara bagi sebagian yang lain justru merugikan.

Teoritisi konflik memandang bahwa suatu keseimbangan masyarakat seperti yang dimaksud para fungsionalis ini adalah khayalan semata, lantaran mereka tidak mampu mengejawanahkan bagaimana kelompok yang dominan melakukan eksploitasi terhadap kelompok lain dan membungkamnya.

Dalam teori Marx, eksistensi hubungan pribadi dalam produksi dan kelas-kelas sosial dipandang sebagai elemen kunci yang ada dalam banyak masyarakat. Marx juga berpendapat bahwa perubahan sosial yang tercipta banyak dipengaruhi oleh adanya pertentangan yang terjadi antara kelas dominan dan kelas yang tersubordinasi.

Teori sosiologi perilaku sosial yang dikemukakan oleh Peter Michael Balau. Blau menerima prinsip pertukaran sosial dari B.F Skinner dan George C. Homans.

Bagi Blau fenomena daya tarik individu akan ganjaran sosial merupakan asal usul struktur sosial. Yang menarik individu ke dalam asosiasi

Karena mengharapkan ganjaran instrinsik dan ekstrinsik. Ganjaran ekstrinsik dapat berupa uang, barang-barang atau jasa-jasa, sedang ganjaran instrinsik dapat berupa kasih sayang, pujian, kehormatan, dan kecantikan.

Ada dua persyaratan yang harus dipenuhi perilaku yang menjurus pada pertukaran sosial. Persyaratan tersebut adalah :

1) Perilaku harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai melalui interaksi dengan orang lain.

2) Perilaku harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut.

Perhatian utama teori Blau ditujukan pada perubahan dalam proses-proses sosial yang bergerak dari struktur sosial yang sederhana menuju struktur sosial yang lebih kompleks. Perhatian ini dapat dilihat pada perkembangan sistem stratifikasi dalam kelompok- kelompok yang lebih kompleks. Pada tahap awal pembentukan kelompok, individu mencoba menunjukkan nilai mereka bagi kelompok. Para

Dokumen terkait