• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.3 KONSEP TEORI PENDIDIKAN KESEHATAN .1Pengertian Pendidikan Kesehatan .1Pengertian Pendidikan Kesehatan

2.3.6 Pendidikan Kesehatan Pada Anak Sekolah Dasar

Usaha kesehatan melalui sekolah-sekolah adalah salah satu langkah yang lebih efektif dibandingkan dengan beberapa usaha lainnya. Hal tersebut dimungkinkan mengingat bahwa masyarakat sekolah mempunyai persentase yang tinggi, peka terhadap pendidikan pada umumnya, usia

yang mudah dibimbing dan dibina sehingga dapat meyebarkan

modernisasi (agent of change).

Kesehatan akan tercapai apabila terjadi perubahan ke arah positif dapat dilihat dari pengetahuan, nilai, sikap dan prilaku individu yang bersangkutan. Pendidikan kesehatan disekolah memusatkan usaha kepada individu atau kelompok individu selama waktu tertentu dalam hidupnya, yaitu kehidupan sekolah.mengingat pertumbuhan, perkembangan, keadaan lingkungan dan kesehatan anak saling berkaitan. Maka agar berfungsi dengan baik,perlu dilakukan pendidikan kesehatan disekolah untuk menangani berbagai hal yang dapat mengganggu kesehatan anak didik.

Bila kita lihat dari materi yang termuat dari GBPP Penjaskes untuk sekolah dasar(SD) dari kelas I s/d III adalah penanaman kebiasaan hidup sehat, sedangkan pada anak kelas IV s/d VI mampu melaksanakan pencegahan terhadap penyakit menular, melaksanakan tugas UKS serta melaksanakan pertolongan pertama terhadap penyakit yang sederhana.

Untuk dapat berhasil dengan baik, yaitu meningkatkan pengetahuan anak didik, memupuk mental yang baik, meningkatkan keterampilan dan meningkatkan perilaku sehat dikalangan anak didik, maka dilakukan pendidikan kesehatan pada anak sekolah dasar (Depkes RI, 2003).

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Makhluk hidup tidak bisa terlepas dari kebutuhan pokok seperti pangan (makanan) di samping kebutuhan sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal atau rumah) (Perry & Potter, 2006). Tentunya makanan yang dikonsumsi oleh manusia harus dengan kualitas maupun kuantitas yang cukup agar dapat terpenuhi kebutuhan gizi seseorang sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas sumber daya manusia (Riris, 2013). Makanan merupakan sumber energi untuk mendukung hidup manusia, tetapi makanan juga dapat menjadi wahana unsur pengganggu kesehatan bahkan membawa

toksik ( BPS, 2009).

Namun ada dua hal yang harus diperhatikan dalam pemenuhan gizi yaitu

ketahanan atau ketersediaan pangan (food security) dan keamanan pangan

(food safety) yang berarti makanan harus dalam jumlah cukup dan aman untuk dikonsumsi (Badan Karantina, 2007). Selain makanan yang harus dalam jumlah cukup dan aman, makanan juga harus bermutu untuk dikomsumsi, menurut UU No. 7 tahun 1996 tentang mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi dan

standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan minuman.

Ketika permasalahan pertama dapat diatasi (food security), ada hal baru yang

muncul yang semakin kritis adalah permasalahan food safety/keamanan

Dalam memberikan asupan gizi harus diperhatikan keamanannya. Asupan nutrisi dan gizi yang baik akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak secara optimal. Anak usia sekolah, 7-10 tahun, membutuhkan zat gizi lengkap agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, serta melakukan berbagai aktivitas secara sehat (Fauzi, 2008). Sejumlah faktor perlu diperhatikan agar anak tumbuh kembang dengan gizi baik. Seperti pola makan, jenis makanan, jumlah, dan jadwalnya. Lalu kebiasaan menjalani pola hidup bersih dan sehat. Dan tak kalah penting adalah fasilitas kebersihan dan kesehatan yang menunjang gizi baik untuk anak. Kebiasaan anak menjaga kebersihan diri dan lingkungan di sekolah, termasuk dalam memilih jajanan sehat dan ketersediaan kantin sehat di sekolah juga turut mempengaruhi status gizi anak (Sutardji, 2007).

Dapat kita ketahui bahwa jenis jajanan yang dijual disekitar sekolah itu belum tentu terjamin kebersihannya seperti: tahu goreng, mie bakso dengan saus, gulali, batagor, mie instan dan sebagainya. Warna dan jenis kemasan jajanan yang biasa dikonsumsi anak usia sekolah kerap memang menarik, tetapi orang kadang tidak tahu seperti apa kandungan gizi jajanan tersebut, bahkan kalau dicermati dengan baik-baik, sangat berbahaya jenis jajanan seperti ini untuk kesehatan anak (Khosman, 2003). Adapun bahaya dari jajanan yang tidak baik, akan mengakibatkan dampak yang tidak baik bagi kesehatan anak. Dampak dari itu adalah timbulnya penyakit yang disebabkan oleh makanan atau sering disebut dengan istilah penyakit bawaan makanan (WHO, 2006).

Penyakit bawaan makanan adalah suatu penyakit karena adanya agen yang masuk kedalam tubuh manusia melalui proses pencernaan makanan,

seperti cholera, helminthic infections (kecacingan), dysenter (disentri), dan

tifus (Barakki, 2005). Penyakit bawaan makanan merupakan penyakit menular, sehingga agen dengan mudah masuk kedalam tubuh melalui

makanan yang dikonsumsi (Depkes, 2005). Menurut WHO 2012, penyakit

bawaan makanan seperti diare, disentri, kolera dan tifus. Merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang banyak membebani. Penyakit tersebut merenggut banyak korban dalam kehidupan manusia dan menyebabkan kematian. Penyakit bawaan makanan merupakan salah satu penyebab utama kematian di negara berkembang dan menyebabkan 1,9 juta kematian orang per tahun di tingkat global. Bahkan di negara maju 1/3 dari populasi terinfeksi penyakit bawaan makanan.

Patogen bawaan pangan (foodborne pathogen) adalah penyebab utama

kejadian luar biasa (outbreask) atau penyakit bawaan makanan (foodborne

diseases) di dunia. Dapat kita lihat dari data kejadian penyakit bawaan

makanandari tahun 2009-2012 semakin meningkat, dimana kejadian penyakit

bawaan makanan pada tahun 2009-2010 sebanyak 1.527 kasus, sehingga 29.444 kasus penyakit, yang dirawat dirumah sakit sebanyak 1.184 kasus, dan sebanyak 23 orang meninggal dunia, sedangkan pada tahun 2011-2012 wabah penyakit bawaan makanan sebanyak 1.632 kasus, kasus penyakit sebanyak 29.112, yang dirawat dirumah sakit sebanyak 1.750 kasus dan sebanyak 68 meninggal dunia (CDC, 2012).

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit atau Centers for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan bahwa setiap tahunnya di Amerika Serikat, terdapat 1 dari 6 orang atau 48 juta orang sakit, yang dirawat di rumah sakit sebanyak 128.000, dan sebanyak 3.000 meninggal dari kasus penyakit bawaan pangan (CDC, 2012).

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013, penyakit

menular yang ditularkan melalui makanan dan minuman (foodborne diseases)

berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan keluhan responden terdiri dari tifoid 2,2%, hepatitis 1,2% dan diare 3,5%. Kejadian ini terjadi pada anak

usia sekolah (5–14 tahun), kejadian diare menempati urutan ke–5 terbanyak

setelah kelompok usia, balita dan lansia yaitu sebesar 9,0%. Typhoid pada kelompok usia sekolah menempati prevalensi tertinggi dibandingkan semua kelompok usia yang ada yaitu sebesar 1,6%. Sedangkan di Sumatera Utara kejadian tifoid 2,7% , hepatitis 1.9% dan diare 4,9%. Hasil Riskesdas hanya menunjukkan jumlah kasus tetapi tidak dijelaskan secara detail jumlah Kejadian Luar Biasa (KLB), jumlah penderita yang dirawat inap atau jumlah kematian akibat penyakit menular, pravalensi keracunan makanan secara nasional juga tidak ditemukan sementara fenomena keracunan sering terlihat hampir setiap hari melalui televisi ataupun surat kabar.

Menurut sampurno (2005), menyatakan bahwa masalah penyakit bawaan makanan sudah menjadi langganan di Indonesia. Hampir setiap tahun kasus penyakit bawaan makanan selalu ada, hal ini disebabkan oleh pengelolaan makanan yang tidak higienis.

Selain dalam pengelolaan makanan yang tidak higienis, penyakit bawaan makananan juga dapat disebabkan oleh faktor dari pengetahuan siswa itu sendiri. Sesuai dengan hasil penelitian Saputra (2012) menyatakan bahwa adanya hubungan antara tingkat pengetahuan siswa/i tentang kualitas fisik makanan dengan perilaku jajanan siswa sekolah dasar. Pengetahuan anak dapat diperoleh baik secara internal maupun eksternal. Untuk pengetahuan secara internal yaitu pengetahuan yang berasal dari dirinya sendiri berdasarkan pengalaman sedangkan secara eksternal yaitu pengetahuan berasal dari orang lain sehingga pengetahuan anak akan bertambah (Solihin, 2005).

Menurut penelitian Bondika 2011, menyatakan bahwa dalam prilaku memilih makanan jajanan sekolah memiliki pengetahuan baik sebanyak 24,7%. Dampak dari kurangnya pengetahuan siswa/i dalam memilih makanan jajanan sekolah akan mengakibatkan anak-anak tersebut menderita penyakit bawaan makanan seperti penyakit seperti diare, cacingan, anemia (Andarwulan, 2009). Dan anak-anak usia sekolah merupakan kelompok yang beresiko tinggi tertularnya penyakit tersebut (Antara, 2004).

Penyakit bawaan pangan/makanan dapat berakibat pada kehilangan produktivitas, menurunnya kualitas hidup manusia dan kematian (Depkes, 2003). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 04 Mei 2015 pada anak kelas IV, V dan VI SDN 060929 Medan Johor secara acak. Didapatkan bahwa dari 10 siswa/i terdapat 6 siswa/i yang pernah mengalami penyakit bawaan makanan seperti diare, tifus, hepatitis dan

cacingan. Pada tahun 2009, Meena Siwach melaporkan bahwa pendidikan kesehatan pada anak sekolah dasar dapat meningkatkan pengetahuan mengenai kesehatan secara signifikan. Sesuai dengan dengan pernyataan Nursalam (2009) menyatakan bahwa pendidikan kesehatan merupakan pembentuk pengetahuan, sikap, motivasi dan praktek untuk meningkatkan atau mempertahankan kesehatan.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti tertarik untuk memberikan pendidikan kesehatan tentang penyakit bawaan makanan kepada siswa/i kelas IV, V dan VI SDN 060929 Medan Johor.

Dokumen terkait