TINJAUAN PUSTAKA
2.1.6 Peranan Jamur dalam Penyakit Bawaan Makanan
Jamur merupakan mikroorganisme eukariotik, menghasilkan spora, tidak punya klorofil, dan berkembang biak secara seksual dan aseksual. Jamur tergolong menjadi 2 golongan yaitu kapang dan khamir. Kapang adalah jamur yang mempunyai filamen sedangkan khamir adalah jamur sel tunggal yang tidak mempunyai filamen. Jamur dapat bersifat parasit yaitu memperoleh makanan dari benda hidup atau bersifat saprofit yaitu memperoleh makanan dari benda mati.
Secara umum jamur berkembang biak dengan cara aseksual atau
seksual. Spora aseksual dari jamur adalah konidiospora, sporangiospora,
oidium, klamidospora dan blastospora. Sedangkan spora seksual dihasilkan dari peleburan dua nukleus, terbentuk lebih jarang, dan dalam jumlah yang sedikit dibandingkan dengan spora aseksual. Ada beberapa
tipe spora seksual yaitu askospora, basidiospora, zigospora dan oospora.
Pertumbuhan fungi pada berbagai bahan pangan, terutama bahan pangan pokok seperti beras, gandum, jagung, juga biji-bijian seperti kedelai, kacang hijau, kacang tanah, sangat merugikan kesehatan manusia dan juga hewan. Bahan makanan pokok seringkali disimpan dalam jumlah
besar dalam suatu gudang. Apabila kondisi dalam gudang tersebut kurang baik, maka besar sekali kemungkinannya fungi tertentu akan tumbuh dalam bahan pangan tertentu. Dikenal Spesies-spesies fungi tersebut umumnya dari genus Aspergillus dan Penicillium dan dikenal sebagai
kapang gudang (storage moulds) diantaranya Aspergillus oryzae,
Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Aspergillus tamarii, Penicillium citrinum dan Penicillium italicum. Disamping itu juga ditemukan dari
genus Alternaria, Fusarium, dan Culvularia.
Hasil metabolisme kapang-kapang tersebut yang bersifat racun dikenal sebagai mikotoksin. Gejala keracunannya dikenal sebagai mikotoksikosis. Mikotoksin tidak hanya dihasilkan oleh kapang tapi juga oleh cendawan. Menurut Hudler (1998) diantara cendawan yang menarik terdapat jenis-jenis bila dimakan menyababkan halusinasi (menghayal
tanpa sadar), antara lain dari genus Psylocybin, spesiesnya antara lain P.
mexicana, P. caerulescens dan P. cubensis. Cendawan Psylocybin sp.
Menghasilkan toksin psylocybin.
Hingga saat ini telah dikenal 300 jenis mikotoksin, lima jenis diantaranya sangat berpotensi menyebabkan penyakit baik pada manusia maupun hewan, yaitu aflatoksin, okratoksin A, zearalenon, trikotesena (deoksinivalenol, toksin T2) dan fumonisin. Menurut Bhat dan Miller (1991) sekitar 25-50% komoditas pertanian tercemar kelima jenis mikotoksin tersebut.
Perbedaan sifat-sifat kimia, biologik dan toksikologik tiap mikotoksin menyebabkan adanya perbedaan efek toksik yang ditimbulkannya. Selain itu, toksisitas ini juga ditentukan oleh: (1) dosis atau jumlah mikotoksin yang dikonsumsi; (2) rute pemaparan; (3) lamanya pemaparan; (4) spesies; (5) umur; (6) jenis kelamin; (7) status fisiologis, kesehatan dan gizi; dan (8) efek sinergis dari berbagai mikotoksin yang secara bersamaan terdapat pada bahan pangan (Bahri et al., 2002).
Selain faktor dari peran mikroba,bakteri,virus dan jemur. Ada faktor lain yang dapat terjadinya penyakit bawaan makanan, yaitu sebagai berikut:
a. Demografi masyarakat
Meningkatnya kelompok individu immunocompromised sebagai
akibat dari peningkatnya penderita human immunodeficiency virus
(HIV), penderita penyakit kronis, orang lanjut usia (manula), akan lebih peka terhadap infeksi bakteri patogen yang ditularkan melalui
makanan (foodborne diseases), seperti Salmonella, Campylobacter,
Listeria. Kemajuan teknologi kedokteran, seperti transplantasi organ tubuh dan keberhasilan pengobatan kanker, telah meningkatkan harapan hidup manusia, tetapi disisi lain hal ini dapat meningkatkan
kepekaan individu terhadap infeksi foodborne diseases.
b. Human behavior
Perubahan pola konsumsi masyarakat turut memberikan kontribusi
banyaknya fast-food restaurrant, peningkatan kebiasaan makan di
luar rumah (eating away from home), peningkatan konsumsi buah
segar, salad yang banyak menggunakan sayuran segar/mentah,
makanan-makanan yang dimasak tidak sempurna (seperi hamburger,
scembel eggs, dll).
Produk-produk segar tersebut lebih mudah kontaminasi oleh patogen, baik pada tahap pertumbuhan, panen, dan pendistribusian. Sedangkan produk-produk yang dimasak setengah matang atau tidak sempurna mengakibatkan bakteri-bakteri patogen tidak mati oleh pemasakan tersebut.
c. Perubahan di bidang industri dan teknologi
Peningkatan industri makanan berskala besar yang tersentralisasi pada satu tempat atau di kota-kota besar akan membawa resiko
terhadap peningkatan penyebaran foodborne diseases. Bila suatu
produk terkontaminasi di tempat asal ketika diproduksi, maka dengan mudah akan terjadi penyebaran penyakit/patogen sampai ke tempat
pendistribusian produk tersebut. Sebagai contoh, adanya infeksi S.
enteritidis pada ayam-ayam bibit di peternakan-peternakan pembibitan. Hal ini akan memudahkan terjadinya penyebaran agen penyakit, melalui anak ayam atau telur ayam,
d. Perubahan dalam pola perjalanan/travel dan perdagangan global
Hal ini banyak terjadi para wisatawan-wisatawan (traveler’s
diseases). Para wisatawan tersebut dapat terinfeksi oleh penyakit ditempat yang dikunjunginya, dan akan terbawa ke tempat asalnya.
Dengan terbukanya perdagangan internasional (global), maka akan
membawa konsekuensi terhadap penyebaran penyakit secara bebas.
Masuknya bakteri S. enteritidis ke Indonesia diduga bersamaan
dengan importasi bibit-bibit ayam dari Eropa.
e. Adaptasi mikroba
Adanya adaptasi atau mutasi mikroba terhadap lingkungan dan seleksi alam. Pengobatan antimikroba, untuk hewan dan manusia, yang terus-menerus dan tidak terkontrol akan mengakibatkan timbulnya bakteri-bakteri yang resisten.
Menurut Departemen Kesehatan RI (2005) beberapa penyakit yang bersumber dari makanan dapat digolongkan menjadi :
1. Food Infection (bacteria dan viruses) atau makanan yang terinfeksi seperti terinfeksi Salmonella, Shigela, Cholera, Tularemia, Tuberculosis, Brucellosis, Hepatitis.
2. Food Intoxication (bacteria) atau keracunan makanan bakteri
seperti Staphylococcus food poisning, Clostridium perfringens
food poisoning, Bortulam food poisoning, Vibrio parahaemoliticus food poisoning, Bocilus food poisoning.
3. Chemical Food Borne Illnes atau keracunan makanan karena bahan kimia, seperti Cadmiun, zink, insektisida dan bahan kimia lain.
4. Poisoning Plant and Animal atau keracunan makanan karena hewan dan tumbuhan beracun, seperti jengkol, jamur, kentang, ikan buntal.
5. Parasites atau penyakit parasit seperti cacing Taeniasis,
Cystircercosis, Trichinosis dan Ascariasis.
2.1.7 Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Bawaan Makanan