• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi dari hasil penelitian Implementasi Kebijakan Kurikulum Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka dalam Perspektif Teori Konstruktivisme di Universitas Muhammadiyah Malang adalah sebagai berikut.

1. Implementasi Hak Belajar Mahasiswa dalam Kerangka Kebijakan Kurikulum Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka dalam Perspektif Teori Konstruktivisme di Universitas Muhammadiyah Malang

Pada penelitian ini, peneliti telah mewawancarai beberapa informan atau subjek penelitian mengenai implementasi hak belajar mahasiswa dalam kerangka kebijakan kurikulum Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka. Seperti berikut ini, sebagaimana pernyataan yang disampaikan oleh Bapak RW, Kepala Biro Administrasi Akademik dan Pengembangan AIK:

“...Sejak lama sebenarnya sudah MBKM, sekitar tahun 2017 tapi hanya sebagian seperti magang industri, lalu menjadi anggota FHCI (melibatkan BUMN se-Indonesia), menjadi anggota NUNI (pertukaran pelajar, riset kolaborasi, dan staff mobility), melakukan MoU dengan berbagai PT atau DU/DI. Kemudian implementasinya ikut hibah, kemudian UMM sendiri yang menyelanggarakan, atau bahkan Prodi-Prodi yang berMoU. Karena MBKM ini wujudnya harus banyak bermitra dengan lembaga industri tersebut. Jadi memungkinkan mahasiswa untuk dapat menjalankan program magang. Kalau untuk dari Kemendikbud sendiri tentang hibah ada 13 kegiatan yang diikuti (PKKM, KMMI, IISMA, ICT, COE, IPD, Kerjasama Kurikulum, Kemahasiswaan/HMJ, Program Pembelajaran Asistif, Magang Bersertifikat, Kampus Mengajar, dll ).

Intinya sudah banyak kegiatan MBKM yang dilakukan...” (RW/11.15 WIB/25/11/2021).

Hal ini juga dikemukakan oleh AW selaku Dekan Fakultas Pertanian dan Peternakan (FPP), sebagai berikut:

“...Untuk kebijakan kurikulum MBKM sendiri sudah di jalankan, terutama juga di Prodi-Prodi. Jadi semenjak ada kurikulum tersebut dan diminta menerapkannya, maka harus dijalankan pada saat itu juga. Karena sifatnya juga yang offering jadi harus ada yang ditawarkan. Maka pada akhirnya Prodi-Prodi

32 ini yang diminta untuk mendesain kurikulum berbasis MBKM. Yang jelas kurikulumnya harus bagus karena kalau tidak nanti seperti tidak ada rambu-rambu dalam pelaksanaannya. Jadi kurikulumnya harus didesain sesuai program, adanya konversi, dan ekuivalensi...” (AW/10.00 WIB/09/11/2021).

Berdasarkan kedua arsip di atas, menunjukkan bahwa terlaksananya kebijakan kurikulum Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka mengenai implementasi hak belajar mahasiswa. Hal ini nampak dari perkataan Bapak RW jika MBKM sudah terlaksana, bahkan terdapat 13 kegiatan dari Kemendikbud yang telah diikuti.

Ungkapan yang sama dikatakan oleh Bapak AW bahwa kebijakan kurikulum MBKM sudah dijalankan, terutama pada setiap Prodi. Maka pada akhirnya setiap Prodi berkewajiban untuk mendesain kurikulum berbasis MBKM. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kurikulum MBKM di UMM dilaksanakan sesuai dengan kebijakan program tersebut.

Selanjutnya, untuk pelaksanaan kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka, terutama pada program hak belajar tiga semester di luar Program Studi, Ketua Program Studi Teknologi Pangan (TP) Ibu SR, menyatakan pendapatnya, bahwa:

“...Untuk pengambilan 20 SKS di luar Prodi, bisa lintas Jurusan di dalam Universitas. Dimana Mahasiswa yang mengambil 20 atau 40 SKS di luar Prodi, nanti ada batasan, ada capaian pembelajaran, Standar Kompetensi, yang harus dicapai. Maka Prodi akan mengarahkan pada kegiatan yang akan mencapai kompetensi dan tidak. Dirancang sejak 2021, dan dimampatkan di semester 1 sampai semester 6. 7 dan 8 bebas mengambil di luar Universitas...” (SR/09.00 WIB/6/11/2021).

Pernyataan tersebut juga dibenarkan oleh Dosen Teknologi Pangan Ibu NH, yang mengampu Matakuliah Kimia Pangan dan Biokimia Pangan dengan kurikulum Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka:

“...Jadi, hak mahasiswa untuk memilih. Dari 20 SKS itu, mahasiswa dapat mengambil di luar Prodinya, di luar dari Kampusnya, dan bahkan ke Luar Negeri. Kententuan Prodi sebenarnya, jadi nanti didapatkan learning out comenya sebagai bagian dari luaran dalam kurikulum. Kemudian juga sesuai dengan Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020...” (NH/11.30 WIB/16/11/2021).

Serupa juga dengan pernyataan Dosen Teknologi Pangan Ibu VAW, yang mengampu Matakuliah Analisa Pangan dan Pangan Fungsional dengan kurikulum Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka:

33

“...Berarti harus membagi lagi pikirannya dari kurikulum yang khusus itu, dari internal yang antar Jurusan lintas Jurusan. Sedangkan yang eksternal berarti harus menyiapkan Prodinya juga dengan beda, Kampusnya juga beda. Harus seperti lokakarya yang sudah dilaksanakan, jadi sesuai kesepakatan antara Dosen Pengampu. Untuk jumlah SKS yang berada di Prodi akan sesuai dengan yang sudah dibahas dalam lokakarya tersebut...” (VAW/10.30 WIB/11/11/2021).

Beberapa pernyataan sebelumnya juga diperkuat oleh data yang didapatkan dari hasil wawancara dengan Bapak RW, Kepala Biro Administrasi Akademik dan Pengembangan AIK:

“...Tetap sesuai dengan SNDIKTI yang 20 dan 40 SKS. Desainnya nati 84 SKS di harus Prodi asal, maksimum 20 SKS lintas Prodi, maksimum 40 SKS lintas Universitas 8 kegiatan MBKM, 144 SKS KPT di Prodinya track lulus...”

(RW/11.15 WIB/25/11/2021).

Seluruh pernyataan di atas bermuara pada satu temuan bahwa pelaksanaan kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka, terutama program hak belajar tiga semester di luar program studi, di mana Perguruan Tinggi wajib memfasilitasi hak bagi mahasiswa (dapat diambil atau tidak) untuk dapat mengambil SKS di luar Perguruan Tinggi paling lama 2 semester atau setara dengan 40 SKS serta dapat mengambil SKS di Program Studi yang berbeda di Perguruan Tinggi yang sama sebanyak 1 semester atau setara dengan 20 SKS. Serta, menyusun kebijakan atau pedoman akademik untuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran di luar Prodi.

Selanjutnya, bentuk kegiatan pembelajarannya dinyatakan oleh Kepala Biro Administrasi Akademik dan Pengembangan AIK, Bapak RW dengan pernyataan sebagai berikut ini:

“...Karena aturan pemerintah (SNDIKTI) harus diikuti. Pemerintah yang memerintahkan/diinstruksikan jadi diikuti. Sebelumnya saja sudah melakukan magang industri, terus ekuivalensi, ibaratnya sebelum pemerintah melakukan UMM sudah melaksakannya dengan payung dari Surat Keputusan Rektor di Tahun 2017 tadi. Jadi sudah melaksanakan sebagian dari 8 kegiatan yang ada.

Setelahnya tinggal meneruskan dan menambahkan kegiatan...” (RW/11.15 WIB/25/11/2021).

Hal ini juga dinyatakan oleh Bapak AW selaku Dekan FPP, sebagai berikut:

“...Karena seperti kemauannya Mendikbud, jadi agar dapat benar-benar terkoneksi dengan dunia industri dan dapat terhubung dengan teorinya. Sehingga terciptanya keseimbangan antara praktek dan teori. Kemudian karena adanya

34 visi Kewirausahaan yang dikembangkan berdasarkan jiwa Kewirausahaan.

Karena saat ini juga banyak yang menuju ke bidang tersebut daripada seperti perkantoran, dll...” (AW/10.00 WIB/9/11/2021).

Begitu pula dengan pernyataan yang dinyatakan oleh Ibu SW, Ketua Program Studi TP:

“...Strategi dan metodenya mengikuti alur yang ada. Serta memilih kegiatannya yang ada korelasi dengan kompetensi di Prodi. Seperti, Kewirausahaan, Magang, KKN Tematik, dan Riset/Penelitian...” (SW/09.00 WIB/6/11/2021).

Sejalan pula dengan pendapat Dosen Teknologi Pangan Ibu AH, yang mengampu Matakuliah Kimia Pangan dan Biokimia Pangan dengan kurikulum Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka:

“...Penyelenggaraan KKN Tematik, penggandaan kuliah tamu yang mengundang praktisi dari dunia industri, serta adanya Magang di perusahaan...” (AH/16.00 WIB/17/11/2021).

Dari beberapa pernyataan sebelumnya, secara lengkap penjelasan dari bentuk kegiatan pembelajaran ini dapat dilakukan di dalam Program Studi dan di luar Program Studi meliputi: 1) Pertukaran Pelajar, 2) Magang/Praktik Kerja, 3) Asisten Mengajar di Satuan Pendidikan, 4) Penelitian/Riset, 5) Proyek Kemanuasiaan, 6) Kegiatan Wirausaha, 7) Studi/Proyek Independen, dan 8) KKN Tematik. Dalam hal ini pula, kampus perlu memetakan bidang-bidang apa saja yang feasible dilaksanakan sesuai kondisi institusi dan situasi masing-masing. Kemudian sebuah pendapat dinyatakan oleh Bapak AW selaku Dekan FPP, bahwa:

“...Jadi dengan adanya kurikulum MBKM dan karena yang dicari adalah out comenya juga, sehingga dengan teori tersebut akan mengkonstruk antara teori yang sudah ada dengan praktiknya sendiri. Untuk di Fakultas sendiri, seperti Mahasiswa yang belajar di luar Prodi, nanti akan dikoordinasikan ke Prodi-Prodi untuk merancang kurikulum yang sesuai, yang akan diambil Mahasiswa di luar Prodi itu seperti apa. Kemudian dicocokkan dengan Kompetensi. Kemudian nanti Mahasiswa akan mengikuti rule yang ada sepenuhnya. Ada beberapa Mahasiswa juga, yang sudah mengambil perkuliahan di luar Universitas lewat NUNI bahkan ke luar negeri melalui Erasmus Mundus. Nanti nilai dari Matakuliah bisa dikonversikan dan dicocokan...” (AW/10.00 WIB/9/11/2021).

Hal ini juga di perkuat dalam pernyataan yang disampaikan Bapak RW, Kepala Biro Administrasi Akademik dan Pengembangan AIK:

35

“...Coba bayangkan, sebelum MBKM saja UMM sendiri sudah melakukannya, setelahnya disuruh cocok apa tidak? Kan sudah kelihatan. Meskipun sebelum ada putusan tentang program tersebut UMM sudah melaksanakan sebagian dari 8 kegiatan yang ada. Setelahnya tinggal meneruskan dan menambahkan kegiatan...” (RW/11.15 WIB/25/11/2021).

Berangkat dari dua pernyataan di atas bahwa kebijakan kurikulum MBKM menjadi sebab pengurangan mata kuliah atau perubahan bentuk pembelajaran dari perkuliahan di kampus menjadi kegiatan luar kampus yang dapat direkognisikan.

Kebijakan tersebut juga mewujudkan pembelajaran di Perguruan Tinggi yang otonom dan fleksibel sehingga mahasiswa yang mengikuti program ini juga merasakan kelebihannya yang didapat.

Jadi dengan adanya pandangan tersebut, kelebihan terhadap pelaksanaan program ini juga dirasakan dan dinyatakan F, salah satu mahasiswa yang mengikuti pertukaran pelajar pada program ini:

“...Tentunya ada dampak yang lebih, seperti meningkatnya kepercayaan diri dengan kemampuan yang dimiliki setelah digali lebih dalam, menambah pengetahuan yang dibutuhkan, dan keluar dari zona nyaman karena Matakuliah yang diambil berbeda dengan Jurusan yang ditempuh saat ini...” (F/18.00 WIB/11/11/2021).

Sejalan pula dengan pernyataan H mahasiswa yang mengikuti pertukaran pelajar pada program ini:

“...Secara pribadi tidak mengambil 2 Matakuliah wajib di semester 5 karena SKS yang diambil mencapai 24 SKS, dimana kurikulum MBKM mewajibkan 20 SKS di PT penerima. Kemudian kesulitan untuk memilih kosentrasi sesuai Jurusan. Namun mendapatkan pengalaman baru, dapat mengenal Matakuliah yang ada di luar Prodi, serta ilmu yang lebih sesuai yang dibutuhkan...” (H/13.00 WIB/11/11/2021).

Kemudian pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat Ibu SW, selaku Ketua Program Studi TP:

“...Merubah maindset, dimana bebas untuk belajar menemukan sesuatu dari pengalaman yang dimiliki dengan penggabungan pengalaman baru...”(SW/09.00 WIB/6/11/2021).

Berdasarkan dari hasil wawancara yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa membuat dan menyempurnakan kebijakan program Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka di Universitas Muhammadiyah Malang telah menjadi

36 harapan untuk pengurangan mata kuliah atau perubahan bentuk pembelajaran dari perkuliahan di kampus menjadi kegiatan luar kampus yang dapat direkognisikan.

Sehingga sebagaimana seharusnya kebijakan tersebut dipersiapkan, direncanakan, dimplementasikan, dan dievaluasi juga harus terus dilakukan dengan melakukan berbagai terobosan, inovasi, kreativitas, perluasan kerjasama, peningkatan kualitas pelayanan, dan seterusnya.

2. Kendala yang dihadapi dari Implementasi Hak Belajar Mahasiswa dalam Kerangka Kebijakan Kurikulum Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka dalam Perspektif Teori Konstruktivisme di Universitas Muhammadiyah Malang

Berikut ini adalah beberapa kutipan dari hasil wawancara peneliti dengan informan atau subjek penelitian mengenai kendala yang dihadapi dari implementasi hak belajar mahasiswa dalam kerangka kebijakan kurikulum Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka. Salah satunya, selayaknya seperti yang dikemukakan oleh Kepala Biro Administrasi Akademik dan Pengembangan AIK, Bapak RW:

“...Kalau kendala dari Negara sediri jelas sudah banyak. Untuk sosialisasi MBKM ini saja, sebenarnya sudah seri ketiga, nanti seri keempatnya di Syiah Kuala University. Tentunya nanti akan ada banyak pertanyaan tentang suatu kebijakan yang mana tidak serta merta langsung bisa berjalan, karena perubahannya ini cukup drastis. Sebenarnya dimulainya kan dari OBE. Tapi sebelum itu di KPT orientasinya sudah CP berati sudah OBE juga dan kemudian diperbaiki. Berawal 2012 memakai KKNI dengan SNDIKTI di tahun tersebut juga. Tetapi 2017 mulai sepenuhnya menerapkan OBE dan berikutnya OBE MBKM. Hambatannya itu tadi, karena MBKM ini tergolong baru, jadi dalam mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan itu belum tersistem, jadi masih enterynya manual. Namun ini sudah ada flow chartnya, nanti akan dibuat oleh bagian Infokom dan nanti baru tersistem. Semua kegiatan sudah ada flow chart atau pun aturan detailnya tetapi itu tadi masih manual...” (RW/11.15 WIB/25/11/2021).

Bapak AW selaku Dekan FPP juga menyebutkan pendapat yang selaras, sebagai berikut:

“...Kalau untuk dosen itu sering kali tidak toleran terhadap sistem yang dikembangkan. Sedangkan untuk Mahasiswanya secara umum tergantung Mahasiswa tersebut. Karena kebijakan ini juga opsional, Mahasiswa diberikan kebebasan untuk mengambilnya atau tidak...”(AW/10.00 WIB/9/11/2021).

37 Selaras pula dengan pendapat yang dinyatakan oleh Ibu SW Ketua Program Studi TP:

“...Untuk kendala yang dihadapi kemarin itu belum menyusun kurikulum yang memang dikhususkan untuk MBKM akhirnya kesulitannya di ekuivalensi untuk pencocokan ke mananya, kemudian untuk memahamkan kepada bapak/ibu dosen yang senior kadang justru yang susah daripada yang muda...” (SW/09.00 WIB/6/11/2021).

Selain itu terdapat pula beberapa pernyataan terkait kendala tersebut yang dinyatakan oleh H selaku mahasiswa yang mengikuti kegiatan pertukaran pelajar pada program ini:

“...Kurang lebihnya saat menyesuaikan materi kuliah yang didapatkan di luar kampus berbeda dengan kampus asal, adanya perbedaan waktu, dan kebijakan yang ditetapkan di awal program tiba-tiba banyak tergeserkan dengan kebijakan baru mengenai dana dan proses belajar secara luring yang muncul pada pertengahan proses perkuliahan akibat adanya pandemi ini...” (H/13.00 WIB/11/11/2021).

Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh F selaku mahasiswa yang mengikuti pertukaran pelajar pada program ini:

“...Kurang lebihnya saat menyesuaikan materi kuliah yang didapatkan di luar kampus, berbeda dengan kampus asal...” (F/18.00 WIB/11/11/2021).

Selain dari pernyataan kedua mahasiswa tersebut, kendala tersebut juga dirasakan oleh Ibu VAW, selaku Dosen yang mengampu Matakuliah Analisa Pangan dan Pangan Fungsional dengan kurikulum Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka:

“...Mungkin karena kondisi pandemi, jadi pelaksanaan dari program ini kurang maksimal. Dosen dan Mahasiswa jarang bertatap muka, Mahasiswa juga kurang bisa berinteraksi satu sama lain. Terus ada kendala juga karena pandemi ini, jadi untuk praktikumnya yang seharusnya berjalan selama 1 semester tetapi akan dilaksanakan selama 1 hari penuh. Ini selebihnya mengkhawatirkan, karena Mahasiswa ini tergolong masih prematur kalau harus dilangsungkan dalam sekaligus praktikum ini...” (VAW/10.30 WIB/11/11/2021).

Salah satu dari kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka adalah untuk memfasilitasi terutama program hak belajar tiga semester di luar Program Studi.

Melalui skema fasilitasi ini, mahasiswa dikondisikan untuk melakukan setidaknya empat hal, yaitu: a) menentukan secara otonom pengalaman belajar yang akan

38 ditempuh, b) berpikir dan bersikap lintas disiplin (interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner), c) mengembangkan hard skill dan soft skill, serta d) meningkatkan pengalaman belajar di luar perkuliahan. Dengan keempat hal tersebut, lulusan PT mampu menghadapi realitas dan tantangan di bidang ilmu pengetahuan, IDUKA (Industri, Dunia Usaha, dan Dunia Kerja), dan dinamika masyarakat.

Sehingga, dari beberapa pembahasan dan analisis yang telah dibahas sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa, atas dasar adanya tuntutan tersebutlah terdapat pula beberapa kendala yang memang harus dihadapi dalam pelaksanaanya.

Karena tak jarang pula akan acap kali mengalami adaptasi sesuai dengan kebutuhan yang terus berkembang.

3. Solusi Terhadap Kendala yang dihadapi dari Implementasi Hak Belajar Mahasiswa dalam Kerangka Kebijakan Kurikulum Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka dalam Perspektif Teori Konstruktivisme di Universitas Muhammadiyah Malang

Berdasarkan pada peneitian ini terdapat beberapa solusi terhadap kendala yang dihadapi dari implementasi hak belajar mahasiswa dalam kerangka kebijakan kurikulum Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibu SW, selaku Ketua Program Studi TP:

“....Solusinya lebih banyak untuk mengadakan rapat, evaluasi, lokarya, persamaan persepsi antar dosen. Karena untuk menyamakan persepsi yang susah. Serta idealnya dapat dilihat dari metode survei dengan kuisioner yang diberikan kepada Mahasiswa yang terkait program ini, terkait dengan respon yang didapat selama mengikuti pengalaman belajar di luar kampus tersebut, dan ada apa tidak peningkatan skillnya...” (SW/09.00 WIB/6/11/2021).

Begitupun dengan pernyataan Ibu NH Dosen yang mengampu Matakuliah Kimia Pangan dan Biokimia Pangan dengan kurikulum Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka:

“...Kurang lebih sama seperti sebelumnya. Hanya harus adanya kesinambungan terus-menerus antara kompetensinya yang dibutuhkan. Karena jika solusi ini tidak ditemukan jawabannya maka pemikiran Mahasiswanya masih grambyang.

Padahal ini adalah untuk penguatan kompetensi tersebut...” (NH/11.30 WIB/16/11/2021).

39 Dibenarkan pula oleh pernyataan Ibu AH, selaku Dosen yang mengampu Matakuliah Kimia Pangan dan Biokimia Pangan dengan kurikulum Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka:

“...Pemberian suatu kriteria yang dapat diukur sendiri, ini bisa menjadi cara untuk mengukur tingkat keberhasilan kurikulum MBKM...” (AH/16.00 WIB/17/11/2021).

Selain beberapa pernyataan dari Ketua Program Studi TP, serta dari dua Dosen yang mengampu Matakuliah Kimia Pangan dan Biokimia Pangan. Sebagai mahasiswa yang mengikuti kegiatan pertukaran pelajar pada program ini, H juga menyampaikan penyataannya, bahwa sebagai mahasiswa harus memiliki Kompetensi supaya dapat menjadi lulusan (output) yang employability skill, yaitu memiliki keterampilan, pengetahuan, dan kompetensi yang sesuai, sebagai berikut:

“...Menurut pribadi ini bukanlah solusi ideal, namun dari versi pribadi solusi yang akan ditempuh supaya program yang sedang dikuti berhasil adalah dengan niat, tujuan, dan alasan awal untuk mengikuti program ini. Namun harus lebih aktif secara individu untuk membenagun pengatahuan baru dengan tindakan nyata...” (H/13.00 WIB/11/11/2021).

Hal serupa juga dinyatakan oleh F mahasiswa yang mengikuti kegiatan pertukaran pelajar pada program MBKM:

“...Menurut diri pribadi karena program ini merupakan angkatan pertama Mahasiswa di Prodi sendiri, jadi masih kurang matang sistemnya. Maka dari itu, untuk lebih kearah adanya peningkatan dan perbaikan teknisnya terlebih dahulu.

Untuk yang satu ini kembali dengan nama programnya, jadi harus adanya wujud nyatanya. Soalnya selama pandemi realisasi dari program ini sendiri tidak ada...”

(F/18.00 WIB/11/11/2021).

Berdasarkan dari beberapa pernyataan sebelumnya, Kepala Biro Administrasi Akademik dan Pengembangan AIK, Bapak RW, menyampikan solusi yang sekiranya lebih efektif dalam mengatasi atas beberapa kendala yang dihadapi dari implementasi hak belajar Mahasiswa dalam kerangka kebijakan kurikulum Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka, sebagai berikut ini:

“...Kalau ini tergantung dari permasalahannya, nanti berjenjang. Apakah ini masalah dari kebijakan (berarti pimpinan), kalau permasalahan teknis ditangani di BAA, karena di BAA ada yang menangani khusus masalah MBKM. Jadi

40 dilihat jenjangnya saja, tapi diantara yang mendasar biasanya di Prodi dan ini juga tergantung permasalahanya...” (RW/11.15 WIB/25/11/2021).

Dari beberapa hasil wawancara di atas dapat dianalisis dan disimpulkan bahwa terdapat beberapa tindakan perbaikan, berupa solusi, diantaranya seperti pengadaan sosialisasi kemudian dimonitoring, dievaluasi, dari kedua tahap antara monitoring dan evaluasi tersebut akan menentukan berhasil tidaknya program MBKM dilaksanakan. Kemudian, yang terakhir adalah adanya peningkatan yang merupakan tahapan ketika standar tercapai kemudian yang diawali dengan kebijakan ditingkatkan secara berkala dan berkelanjutan. Maka dengan demikian diharapkan pada akhirnya dapat menghasilkan lulusan (output) yang employability skill, yaitu memiliki keterampilan, pengetahuan, dan kompetensi yang sesuai.

Dokumen terkait