• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. BAHAN DAN METODE

4.3. Penelitian Lanjutan

Penelitian lanjutan dilakukan dengan mereformulasi komposisi bahan penyusun tumpi yang telah dibuat pada penelitian pendahuluan. Metode pemasakan ikan, tingkat umur kelapa, perlakuan kelapa parut, dan lama waktu penggorengan yang digunakan berdasarkan produk tumpi terbaik pada penelitian pendahuluan tahap II. Tujuan penelitian lanjutan adalah menghasilkan produk tumpi dengan mutu sensori dan kimia yang lebih baik, menentukan nilai gizi, dan karakterisasi mutu tumpi selama penyimpanan suhu ruang. Penelitian lanjutan ini dilakukan dengan 3 tahap, yaitu (1) mereformulasi komposisi bahan penyusun, (2) menghitung nilai gizi produk tumpi yang dihasilkan, dan (3) karakterisasi mutu kimia, sensori, dan mikrobiologi produk tumpi selama penyimpanan suhu ruang.

4.3.1. Reformulasi bahan penyusun tumpi ikan tuna

Reformulasi yang dilakukan pada penelitian lanjutan tahap I adalah reformulasi terhadap komposisi bahan utama (ikan dan kelapa) dan bahan pengikat (tapioka). Komposisi bahan penyusun produk tumpi berdasarkan referensi lapangan adalah 30% ikan, 45% kelapa, 10% tapioka, dan 15% bumbu. Komposisi tersebut akan direformulasi dengan meningkatkan persentase bahan utama menjadi 80%, bahan pengikat diturunkan menjadi 5%, dan bumbu tetap 15%. Formulasi ini dibuat 5 produk dengan komposisi bahan utama sebesar 80%

dilakukan variasi jumlah antara ikan dan kelapa parut, yaitu ≥50% ikan dan ≤30%

kelapa (Tabel 4).

Produk tumpi yang dihasilkan dari formulasi baru ini dilakukan uji sensori untuk mencari produk terbaik. Pengujian sensori menggunakan uji hedonik (hedonic test). Parameter yang dinilai meliputi kenampakan, warna, rasa, aroma, dan tekstur oleh 84 panelis. Hasil uji sensori dari setiap produk tumpi ikan tuna pada penelitian lanjutan tahap I disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Hasil penilaian sensori dengan uji hedonik tumpi ikan tuna penelitian lanjutan tahap I

Produk tumpi

Parameter penilaian sensori

Kenampakan Rasa Warna Aroma Tekstur

A 5,63±1,18a 6,50±0,91a 5,92±1,33a 6,42±1,16a 6,24±1,14a B 6,49±0,95c 6,60±0,85a 6,64±1,13b 6,56±1,08a 6,46±1,21a C 6,44±0,78c 6,31±1,25a 6,32±1,18a 6,75±0,74b 6,83±0,93b D 7,23±0,77d 6,96±0,90b 7,24±0,89c 7,02±0,76c 7,04±0,91c E 7,25±0,94d 6,91±1,01b 7,16±1,02c 7,25±0,79d 6,79±0,93b F 6,16±0,12b 7,18±0,91c 637±1,14a 6,66±1,01a 6,47±0,94a

Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Simbol A, B, C, D, E dan F merujuk keterangan pada Gambar 5.

1) Kenampakan

Kenampakan merupakan salah satu parameter sensori yang sangat penting dalam produk tumpi menurut penilaian panelis. Setyaningsih et al. (2010) menjelaskan bahwa kenampakan bahan pangan berkaitan erat dengan bentuk, ukuran, kejernihan, kekeruhan, warna, dan sifat-sifat permukaan, misalnya kasar, halus, suram, mengkilap, homogen, heterogen, datar, dan bergelombang. Jika hal tersebut mampu memberikan kesan dan daya tarik yang tinggi, maka keinginan konsumen untuk menilai parameter aroma, rasa, dan tekstur juga tinggi.

Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap kenampakan tumpi ikan tuna, yaitu antara 5,63 sampai 7,25 atau agak suka sampai suka (Tabel 12). Nilai kenampakan tertinggi dari tumpi ikan tuna yang diuji dicapai oleh produk E yaitu 7,25 dan terendah dicapai oleh produk A, yaitu 5,63.

Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 10) menunjukkan bahwa peningkatan persentase jumlah ikan dan pengurangan jumlah kelapa parut berpengaruh nyata terhadap kenampakan produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Dunn (Lampiran 11a)

72

menunjukkan bahwa produk tumpi E tidak berbeda nyata dengan produk tumpi D, tapi berbeda nyata dengan produk tumpi A, B, C, dan F (kontrol). Hal ini disebabkan produk E dan D memiliki bentuk dan ukuran lebih seragam, permukaan halus, dan datar. Kenampakan tumpi ikan tuna hasil reformulasi bahan penyusun disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Kenampakan produk tumpi tuna hasil reformulasi bahan penyusun.

Proses pencetakan tumpi dibuat dengan bentuk dan ukuran seseragam mungkin, yaitu berbentuk segi tiga sama sisi dan ukuran sisi ±3 cm, setelah mengalami pemanasan pada saat proses penggorengan bentuk dan ukuran produk mengalami perubahan. Perubahan bentuk dan ukuran pada masing-masing produk berbeda-beda karena komposisi jumlah bahan penyusun utama juga berbeda. Hasil uji sensori menunjukkan bahwa nilai kenampakan produk tumpi ikan tuna meningkat pada setiap penambahan 5-10% ikan dan penurunan 5-10% kelapa parut. Hal ini diduga karena penambahan jumlah ikan menyebabkan meningkatnya jumlah protein pada produk.

Protein memiliki kemampuan mengikat sejumlah air sehingga penguapan saat penggorengan tidak terlalu besar. Dogan et al. (2005) melaporkan bahwa penambahan bahan baku berkadar protein tinggi pada produk gorengan dapat menekan tingkat kehilangan kadar air. Penguapan air yang rendah terutama di lapisan luar (outer zone) dan kerak (outer zone surface) dapat mengurangi pengerutan (shrinkage) atau pengecilan pada struktur produk. Garayo dan Moreira (2002) mengemukakan bahwa semakin banyak air yang menguap semakin besar volume pengerutan. Pengkerutan yang tidak merata pada suatu produk menghasilkan bentuk yang tidak seragam dan permukaan kusam, kasar, dan bergelombang.

A B C

F E

Bagian dalam (inner zone) produk tumpi tuna saat penggorengan mengalami pembentukan rongga udara mengakibatkan bentuk permukaan produk agak cembung. Bentuk cembung ini akan berkurang seiring penurunan suhu. Molekul air saat proses penggorengan mengalami pemanasan sehingga molekul air yang masih terikat pada struktur bahan menghasilkan tekanan uap. Tekanan uap ini mengakibatkan struktur bagian dalam (inner zone) tumpi mengembang mengikuti batas outer zone. Pengembangan ini juga diduga terjadi karena produk tumpi tuna mengandung pati dari tapioka walaupun dalam jumlah sedikit. Pati tergelatinisasi pada saat terkena panas sehingga granula pati yang semula utuh akan pecah dan membentuk tekstur yang mengembang (Li dan Yeh2001).

2) Warna

Warna merupakan salah satu parameter sensori yang sangat penting dalam produk tumpi menurut penilaian panelis. Garber et al. (2000) melaporkan bahwa warna makanan dapat mempengaruhi kemampuan konsumen untuk mengidentifikasi rasa dan aroma. Warna produk tumpi dihasilkan oleh reaksi maillard saat proses penggorengan berlangsung. Reaksi ini terjadi karena gugus karbonil dari glukosa bereaksi dengan gugus nukleofilik dari group amino protein yang menghasilkan warna khas produk gorengan. Tingkat reaksi pencoklatan dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya suhu, waktu, air, dan keadaan pangan yang terus berubah selama proses penggorengan (Kumar et al. 2006).

Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap warna tumpi ikan tuna pada penelitian lanjutan tahap I, yaitu antara 5,92 sampai 7,24 atau agak suka sampai suka (Tabel 12). Nilai warna tertinggi dari tumpi ikan tuna yang diuji dicapai oleh produk D, yaitu 7,24 dan terendah dicapai oleh produk A, yaitu 5,92.

Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 10) menunjukkan bahwa peningkatan persentase jumlah ikan dan pengurangan jumlah kelapa parut berpengaruh nyata terhadap warna produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Dunn (Lampiran 11b) menunjukkan bahwa produk tumpi Dtidak berbeda nyata dengan produk tumpi E, tapi berbeda nyata dengan produk tumpi A, B, C dan F (kontrol). Hal ini disebabkan produk tumpi D dan E memiliki warna kuning yang cerah dan kelihatan bersih.

74

Warna kuning cerah dan bersih yang terbentuk pada kedua produk tersebut diakibatkan oleh terjadinya reaksi maillard pada saat penggorengan. Reaksi maillard terjadi karena kandungan protein dan karbohidrat produk mengalami degradasi akibat suhu tinggi saat proses penggorengan. Protein terdenaturasi menjadi asam-asam amino dan karbohidrat menjadi gula-gula sederhana, baik yang bersifat reduksi maupun nonreduksi, gula reduksi merupakan jenis gula sederhana yang berperan dalam reaksi maillard. Gugus nukleofilik dari kelompok amino tersebut bereaksi dengan gugus karbonil dari gula reduksi yang kemudian menghasilkan senyawa melanoidin. Ndife et al. (2011) melaporkan bahwa reaksi maillard pada roti terjadi karena kandungan protein pada tepung kedelai bereaksi dengan gula selama proses pemanggangan.

Reaksi antara asam amino dengan gula reduksi merupakan reaksi tahap pertama pada reaksi maillard menghasilkan N-substituted glycosylamine, selanjutnya senyawa ini mengalami reaksi amadori menghasilkan 1-amino-1- dioxy-2-ketosa. Reaksi tahap kedua adalah dehidrasi, fragmentasi, enolisasi, dan stecker degradasi terhadap gula menghasilkan komponen-komponen volatil dan nonvolatil. Reaksi tahap ketiga adalah kondensasi komponen-komponen volatil dan polimerisasi komponen-komponen nonvolatil menghasilkan warna coklat cerah dan polimer (Zamora dan Hidalgo 2005). Perubahan warna cerah menjadi coklat kehitaman atau gelap akan terjadi jika proses ini berlangsung dalam waktu lama atau suhu ditingkatkan (Kumar et al. 2006). Moyano et al. (2002) melaporkan bahwa warna produk gorengan prancis mengalami perubahan seiring bertambahnya waktu penggorengan.

Pembentukan warna kuning cerah juga diduga karena oksidasi lemak pada produk. Penggunaan kelapa parut sebagai salah satu bahan utama menjadi sumber lemak dari produk tumpi tuna. Oksidasi lemak terjadi karena tersedianya oksigen di sekitar ketel penggorengan. Reaksi oksidasi ini menghasilkan hidroperoksida. Hidroperoksida terdekomposisi menjadi lipida peroksil dan radikal hidroksil jika reaksi berlanjut. Pemecahan peroksil dan radikal hidroksil menghasilkan komponen aldehid, keton, hidrokarbon, polimer, dimer, dan asam lemak. Komponen-komponen tersebut akan terkondensasi atau terpolimerisasi membentuk warna kuning atau kuning coklat (Zamora dan Hidalgo2005).

Pembentukan warna produk tumpi tuna juga diduga karena terjadi hidrolisis lemak (santan). Hidrolisis lemak terjadi pada saat penggorengan karena jumlah air bahan cukup tinggi. Reaksi hidrolisis menyebabkan pelepasan ikatan ester dari lemak atau santan kelapa, mengakibatkan terjadinya pembentukan asam lemak, gliserol, monoglisakarida, dan digliserida yang akan mempengaruhi warna coklat produk akhir (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010).

Tingkat kehomogenan adonan, bentuk, dan ukuran produk juga berpengaruh terhadap warna yang dihasilkan. Adonan yang homogen dengan bentuk dan ukuran pencetakan seragam, akan menghasilkan produk akhir tumpi denganwarna yang bersih.

3) Rasa

Rasa merupakan salah satu parameter sensori yang sangat penting dalam produk tumpi menurut penilaian panelis. Rasa produk tumpi gorengan akan terbentuk akibat pemanasan. Penggorengan dengan suhu tinggi mengakibatkan terjadinya degradasi komponen-komponen penyusun protein, lemak, karbohidrat dan komponen minor lain dalam produk tersebut menjadi komponen-komponen primer. Reaksi antara komponen primer tersebut menghasilkan rasa yang bisa meningkatkan atau mengurangi rasa produk pangan bersangkutan (Winarno 2008).

Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa tumpi ikan tuna pada penelitian lanjutan tahap I, yaitu antara 6,31 sampai 7,18 atau agak suka sampai suka (Tabel 12). Nilai rasa tertinggi dari tumpi ikan tuna yang diuji dicapai oleh produk F (kontrol), yaitu 7,18 dan terendah dicapai oleh produk C, yaitu 6,31.

Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 10) menunjukkan bahwa peningkatan persentase jumlah ikan dan pengurangan jumlah kelapa parut berpengaruh nyata terhadap rasa produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Dunn (Lampiran 11c) menunjukkan bahwa produk tumpi F (kontrol) berbeda nyata dengan produk tumpi lainnya, ini berarti bahwa kontrol memiliki rasa lebih lezat dari pada produk yang mengalami peningkatan jumlah ikan dan penurunan jumlah kelapa parut. Rata-rata panelis menyukai produk tumpi dengan kandungan kelapa parut yang tinggi. Kelapa parut mengandung santan dan air yang tinggi (Solangi dan Iqbal 2011). Walaupun dalam produk tumpi tuna lemak ini tidak berbentuk santan, tapi

76

proses penggorengan menyebabkan terjadinya penguapan air dan penggumpalan bagian yang bukan minyak serta menimbulkan rasa dan aroma khas yang harum (DMPPIPT 2001). Kebiasaan panelis mengkonsumsi produk tumpi dengan komposisi kelapa tinggi masih ikut berpengaruh dalam pengujian sensori.

Tingkat kesukaan panelis juga terlihat tinggi terhadap produk tumpi D dan E. Artinya, panelis juga menyukai produk yang memiliki rasa khas ikan. Rasa khas ikan diduga terbentuk dari reaksi maillard, yaitu reaksi antara asam-asam amino dengan gula hasil degradasi karbohidrat saat penggorengan berlangsung menghasilkan N-substitusi glikosilamin. Glikosilamin ini mengalami reaksi Amadori Rearrengement menghasilkan 1-amino-1-dioksi-2-deoksa (Zamora dan Francisco 2005). Reaksi selanjutnya, yaitu dehidrasi atau fragmentasi gula menghasilkan komponen, misalnya furans, pyrones, cyclopentenes, carbonyls dan asam-asam. Reaksi stecker degradasi menghasilkan komponen nonvolatil, misalnya aldehid dan sulfur. Interaksi antara komponen-komponen tersebut menghasilkan rasa manis, asam, asin, pahit, dan umami (Bastos et al. 2012). Gabungan dan interaksi dari rasa tersebut diduga menghasilkan rasa khas produk tumpi yang disukai oleh panelis (Winarno 2008).

Oksidasi lemak juga diduga berpengaruh terhadap pembentukan rasa produk. Zamora dan Francisco (2005) melaporkan bahwa reaksi nonenzimatik misalnya oksidasi lemak dan reaksi maillard menyebabkan terjadinya perubahan terhadap tekstur, warna, aroma, rasa, dan nilai gizi produk, baik menguntungkan ataupun merugikan. Lipid hidroperoksida yang dihasilkan dari tahap awal oksidasi akan membentuk rasa jika mengalami reaksi lanjutan atau polimerisasi.

Rasa produk tumpi juga dipengaruhi oleh penambahan bumbu. Bumbu merupakan bahan tambahan dalam suatu produk yang berperan memberi rasa khas, meningkatkan rasa, dan menekan rasa tertentu menjadi rasa yang diinginkan serta bisa berfungsi sebagai antimikroba. Bumbu yang digunakan dalam produk ini terdiri dari campuran lengkuas, daun serei, bawang merah, lada bubuk, dan garam sangat berperan dalam pembentukan rasa khas tumpi. Lengkuas, daun serei, bawang merah, dan lada bubuk mengandung oleoresin (komponen nonvolatil). Oleoresin ini diduga memiliki efek sinergi dengan komponen nonvolatil yang dihasilkan oleh reaksi maillard untuk membentuk citarasa yang

disukai oleh panelis. Garam yang ditambahkan bersamaan dengan bumbu berfungsi untuk lebih mempertegas rasa (Cahyadi 2008).

Nilai rasa juga dipengaruhi oleh penilaian panelis terhadap warna. Singh (2006) melaporkan bahwa dalam pemasaran produk makanan, warna berperan untuk menambah atau mengurangi selera makan, membedakan produk dengan pesaing, dan meningkatkan suasana hati serta mengurangi persepsi waktu tunggu. Sekitar 62-90 persen penilaian konsumen terhadap produk didasarkan pada warna saja. Jika nilai warna suatu produk tinggi, nilai rasa juga biasanya tinggi. Hubungan antara kedua parameter ini akan terjadi jika keduanya tidak jauh berbeda dari ciri khasnya.

4) Aroma

Aroma merupakan salah satu parameter sensori yang penting dalam produk tumpi menurut penilaian panelis. Bau dapat mengevaluasi aroma makanan dan dibutuhkan dalam memberikan penilaian terhadap rasa. Aroma makanan yang harum akan lebih merangsang selera. Unsur harus dalam wujud gas atau komponen yang bersifat volatil untuk merangsang sensasi dari aroma (Winarno 2008). Aroma berguna untuk mendeteksi makanan segar atau tengik atau bahkan beracun. Aroma memiliki daya tarik dalam menentukan rasa produk tumpi.

Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap aroma tumpi ikan tuna pada penelitian lanjutan tahap I, yaitu antara 6,42 sampai 7,25 atau agak suka sampai suka (Tabel 12). Nilai rasa tertinggi dari tumpi ikan tuna yang diuji dicapai oleh produk E, yaitu 7,25 dan terendah dicapai oleh produk A, yaitu 6,42.

Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 10) menunjukkan bahwa peningkatan persentase jumlah ikan dan pengurangan jumlah kelapa parut berpengaruh nyata terhadap aroma produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Dunn (Lampiran 11d) menunjukkan bahwa produk tumpi E berbeda nyata dengan produk tumpi lainnya, termasuk kontrol. Penilaian panelis yang tinggi terhadap produk tumpi E diduga disebabkan oleh persentase jumlah ikan yang tinggi. Protein ikan yang tinggi mengalami degradasi saat penggorengan berlangsung menghasilkan asam-asam amino. Asam amino ini bereaksi dengan gula reduksi dari kelapa parut saat penggorengan berlangsung menghasilkan 1-amino-1-deoxy-2-ketosa (Zamora dan Hidalgo 2005).

78

Reaksi selanjutnya akan menghasilkan komponen-komponen volatil yang mengandung oksigen atau nitrogen dan berperan dalam pembentukan aroma khas gorengan. Senyawa-senyawa aroma yang mengandung oksigen antara lain 2,3- utanedione,2,3-pentanedione, methylpropanal, 3-methylbutanal, phenylacetal- dehyde, 3-hydroxy-4,5-dimethyl-2(3H)-furanone, dan 2,5-dimethyl-4-hydroxy- 3(2H)-furanone. Senyawa-senyawa aroma yang mengandung nitrogen antara lain 2-ethyl-3,5-dimethylpyrazine, 2,3-diethyl-5-methylpyrazine, dan 2-acetyl-1- pyrroline (Bastos et al. 2012).

Tabel 12 memperlihatkan bahwa peningkatan jumlah daging ikan dan penurunan jumlah kelapa parut berkorelasi secara positif dengan tingkat penilaian panelis terhadap aroma produk tumpi tuna. Penambahan 5% ikan dan penurunan 5% kelapa parut, menyebabkan tingkat kesukaan panelis juga ikut naik. Hal ini diduga karena daging ikan tuna mempunyai aroma yang khas bila mengalami pemanasan.

Aroma produk tumpi juga dipengaruhi oleh penambahan bumbu. Bumbu merupakan bahan tambahan dalam suatu produk yang berperan memberi aroma khas dan menekan bau tertentu menjadi aroma yang diinginkan. Bumbu yang digunakan dalam produk ini terdiri dari campuran lengkuas, daun serei, bawang merah, lada bubuk, dan garam sangat berperan dalam pembentukan rasa khas tumpi. Lengkuas, daun serei, bawang merah, dan lada bubuk mengandung minyak atsiri (komponen volatil) yang berfungsi sebagai pembentuk aroma khas (Cahyadi 2008).

5) Tekstur

Tekstur merupakan salah satu parameter sensori yang penting dalam produk tumpi menurut penilaian panelis. Tekstur adalah manifestasi sifat sensori dan fungsional dari struktur, mekanik dan permukaan produk pangan yang terdeteksi melalui indera penglihatan, pendengaran, sentuhan, dan kinestesis. Tekstur adalah kualitas kunci dari suatu produk makanan, misalnya kelembutan, kehalusan, kekerasan, konsistensi, sifat merekat, kerapuhan, dan kerenyahan dalam makanan (Szczesniak 2002).

Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur tumpi ikan tuna pada penelitian lanjutan tahap I, yaitu antara 6,24 sampai 7,04 atau agak suka

sampai suka (Tabel 12). Nilai tekstur tertinggi dari tumpi ikan tuna yang diuji dicapai oleh produk D, yaitu 7,08 dan terendah dicapai oleh produk A, yaitu 6,24. Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 10) menunjukkan bahwa peningkatan persentase jumlah ikan dan pengurangan jumlah kelapa parut berpengaruh nyata terhadap aroma produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Dunn (Lampiran 11e) menunjukkan bahwa produk tumpi D berbeda nyata dengan produk tumpi lainnya, termasuk kontrol. Penilaian panelis yang tinggi terhadap produk tumpi D karena tekstur lebih kompak, lembut, agak padat, dan agak keras serta mengalami keretakan yang teratur pada bagian permukaan saat ditekan dengan jari. Tekstur tersebut terbentuk diduga disebabkan oleh penguapan air diikuti dengan mengerasnya struktur produk pada saat proses penggorengan terjadi.

Kandungan air tinggi pada produk tumpi yang biasa bersumber dari kelapa parut berkurang seiring penurunan jumlah penggunaan kelapa dan peningkatan jumlah ikan. Hal ini mengakibatkan protein dan lemak mampu mengikat sejumlah air menghasilkan struktur bahan yang kompak, padat, dan agak keras serta garing di bagian permukaan setelah mengalami peroses penggorengan. Gerrard (2002) melaporkan bahwa reaksi maillard berpengaruh terhadap pembentukan tekstur dan daya cerna produk gorengan melalui protein cross-linking. Sanz et al. (2006) menjelaskan bahwa jenis dan komposisi bahan penyusun berpengaruh terhadap karakteristik sensori produk pangan.

Perubahan kadar air yang diiringi dengan peningkatan kadar protein dapat meningkatkan tingkat kekerasan dan kerenyahan tekstur produk. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Ndife et al. (2011) pada produk roti yang melaporkan bahwa penambahan tepung kedelai yang berprotein tinggi menghasilkan tekstur yang baik. Li et al. (2012) melaporkan bahwa nilai kekerasan, kelembutan, dan kerenyahan daging babi meningkat ketika terjadi penguapan air, denaturasi protein myofibrillar, dan penyusutan protein kolagen oleh tingginya suhu penggorengan. Odenigbo et al. (2012) melaporkan bahwa penggorengan dengan suhu tinggi menyebabkan struktur seluler dan struktur sub seluler ubi jalar mengalami perubahan karena terjadi gelatinisasi pati. Perubahan struktur tersebut menyebabkan tekstur ubi jalar menjadi kencang, keras, dan elastis.

80

6) Produk tumpi terbaik

Penentuan produk tumpi terbaik pada penelitian lanjutan tahap I dilakukan dengan menggunakan metode Bayes berdasarkan penilaian sensori. Kriteria yang menjadi objek penilaian dalam penentuan produk tumpi tuna terbaik adalah kenampakan, warna, rasa, aroma, dan tekstur.

Analisis Bayes dilakukan dengan terlebih dahulu membuat peringkat indeks kepentingan terhadap parameter sensori yang menjadi objek pengamatan sesuai penilaian panelis. Jumlah panelis yang memberikan penilaian adalah 30 orang. Nilai kepentingan untuk masing-masing parameter, yaitu nilai 1 bila parameter uji tidak penting, nilai 2 bila kurang penting, nilai 3 bila biasa, nilai 4 bila penting, dan nilai 5 bila sangat penting. Nilai kepentingan terhadap parameter sensori produk tumpi tuna yang dihasilkan pada penelitian lanjutan tahap I sama dengan nilai kepentingan parameter sensori pada penelitian pendahuluan tahap II (Tabel 10). Hasil analisis Bayes terhadap produk tumpi tuna yang dihasilkan pada penelitian lanjutan tahap I disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Hasil analisis Bayes terhadap produk tumpi tuna yang dihasilkan pada penelitian lanjutan tahap I

Parameter Produk tumpi Nilai

bobot A B C D E F Kenampakan 1 4 3 5 6 2 0,22 Rasa 2 3 1 5 4 6 0,22 Warna 1 2 4 6 5 3 0,22 Aroma 1 2 4 5 6 3 0,17 Tekstur 1 2 5 6 4 3 0,17 Total Nilai 1,22 2,65 3,30 5,39 5,00 3,43 1,00 Rangking 6 5 4 1 2 3

Tabel 13 menunjukkan bahwa produk tumpi tuna D (formula: 65% ikan+15% kelapa+5% tapioka+15% bumbu) memiliki total nilai tertinggi, yaitu 5,36 sehingga berada pada peringkat I. Produk D menjadi produk tumpi tuna terbaik hasil reformulasi bahan penyusun. Produk tersebut akan dianalisis proksimat, dihitung nilai gizi, dan disimpan pada suhu ruang. Analisis mutu yang dilakukan selama penyimpanan adalah sensori, mikrobiologi, dan kimia. Produk tumpi tuna terbaik hasil reformulasi bahan penyusun disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Produk tumpi terbaik hasil reformulasi bahan penyusun 4.3.2. Karakteristik kimia tumpi terbaik

Karakteristik kimia produk tumpi tuna terbaik hasil reformulasi bahan penuyusun dilakukan berdasarkan analisis proksimat untuk mengetahui kandungan air, protein, lemak, abu, dan karbohidrat. Hasil analisis proksimat produk tumpi tuna terbaik disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 Karakteristik kimia produk tumpi tuna hasil reformulasi bahan penyusun Parameter kimia Kandungan kimia (%)

Kadar air 42,91±0,46 Kadar protein 29,72±0,40 Kadar lemak 13,79±0,12 Kadar karbohidrat 11,46±0,77 Kadar abu 2,13±0,11 1) Kadar air

Kadar air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena dapat mempengaruhi kenampakan, citarasa dan tekstur produk akhir. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegeran dan daya tahan bahan bersangkutan. Sebagian besar dari perubahan-perubahan bahan pangan terjadi dalam media air, baik air yang ditambahkan maupun yang berasal dari bahan itu sendiri (Winarno 2008).

Tabel 14 menunjukkan bahwa kadar air merupakan kadar kimia tertinggi dari produk tumpi tuna. Kadar air produk ini diduga dipengaruhi oleh kadar air bahan baku yang digunakan, perlakuan terhadap bahan baku, komposisi bahan penyusun dan proses pengolahan. Perlakuan yang dilakukan terhadap daging ikan tuna sebelum diolah menjadi produk tumpi adalah pemasakan dengan

82

pemanggangan. Pemanggangan mengakibatkan terjadinya penguapan air dari dalam daging ikan disamping tujuan utamanya untuk mematangkan daging (Gokoglu et al. 2004). Penggunaan ikan dengan komposisi yang lebih besar (65%) daripada bahan penyusun lainya diduga memiliki peran terhadap kadar air

Dokumen terkait