• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. BAHAN DAN METODE

4.2. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui metode pemasakan ikan, tingkat umur kelapa, dan perlakuan kelapa parut terbaik yang akan digunakan dalam penelitian lanjutan serta menentukan lama penggorengan untuk mendapatkan produk tumpi pada 3 tingkat kematangan, yaitu sebelum matang atau setengah matang, matang, dan lewat matang. Penelitian pendahuluan ini dilakukan dalam 2 tahap, yaitu: (1) penentuan metode pemasakan ikan dan tingkat umur kelapa; dan (2) penentuan perlakuan kelapa parut dan lama penggorengan. 4.2.1. Penentuan pemasakan ikan dan tingkat umur kelapa terbaik

Penentuan pemasakan ikan dan tingkat umur kelapa terbaik yang digunakan untuk membuat tumpi adalah berdasarkan penilaian sensori. Penentuan ini dilakukan untuk memilih cara pemasakan ikan dan tingkat umur kelapa yang akan digunakan pada penelitian selanjutnya.

Pengujian sensori merupakan cara pengujian menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk menilai mutu produk perikanan yang sudah mengalami proses pengolahan. Alat indera yang digunakan dalam pengujian ini meliputi penglihatan, pencicip, pembau, dan peraba. Penilaian menggunakan alat indera ini meliputi spesifikasi mutu kenampakan, warna, bau, rasa, dan tekstur. Tingkat penerimaan panelis terhadap suatu produk dapat diketahui dengan penggunaan metode uji sensori (SNI 2006).

Pengujian sensori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu uji hedonik (hedonic test). Uji hedonik adalah metode uji yang digunakan untuk mengukur tingkat kesukaan terhadap suatu produk pangan dengan menggunakan lembar penilaian skala 1 sampai 9 (SNI 2006). Pengujian dilakukan oleh 30 orang panelis non standar. Parameter yang dinilai meliputi: 1) kenampakan; 2) aroma; 3) rasa; dan 4) tekstur. Hasil uji sensori dari setiap produk tumpi ikan tuna pada penelitian pendahuluan tahap I disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil penilaian sensori dengan uji hedonik tumpi ikan tuna penelitian pendahuluan tahap I

Produk Tumpi

Parameter penilaian sensori

Kenampakan Rasa Aroma Tekstur

I1K1 5,60±1,66a 5,92±1,76a 6,02±1,59a 5,67±1,67a I1K2 7,32±1,30d 6,78±1,04b 6,93±0,97b 6,67±1,42b I1K3 6,70±0,96c 6,25±1,36a 6,55±1,13a 6,58±1,33b I2K1 5,62±1,51a 6,03±1,62a 5,93±1,70a 5,72±1,72a I2K2 5,93±1,44a 5,09±1,68a 6,57±1,25a 5,93±1,55a I2K3 6,35±1,61b 6,90±1,07c 6,70±1,14b 6,80±1,39b

Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).

Simbol I1K1, I1K2, I1K3, I2K1, I2K2 dan I2K3 merujuk keterangan pada Gambar 3. 1) Kenampakan

Kenampakan adalah salah satu parameter penting yang mempengaruhi indera penglihatan seseorang dalam menentukan tingkat kesukaannya terhadap suatu produk pangan. Setyaningsih et al. (2010) menjelaskan bahwa kenampakan bahan pangan berkaitan erat dengan bentuk, ukuran, kejernihan, kekeruhan, warna, dan sifat-sifat permukaan, misalnya kasar, halus, suram, mengkilap, homogen, heterogen, datar, dan bergelombang. Jika hal tersebut mampu memberikan kesan dan daya tarik yang tinggi, keinginan konsumen untuk menilai parameter aroma, rasa, dan tekstur juga tinggi. Tujuan utama penggorengan pada

50

produk pangan adalah meningkatkan mutu makan (eating quality) dan kelezatan (palatability) terhadap produk secara keseluruhan karena pada saat pemasakan terjadi konversi zat gizi ke dalam bentuk yang lebih sederhana dan dapat dicerna oleh tubuh (Pedreschi et al. 2005). Sifat sensori produk, misalnya rasa, aroma, tekstur, dan kenampakan lebih disukai konsumen (O’Brien2009).

Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap kenampakan tumpi ikan tuna, yaitu antara 5,60 sampai 7,32 atau agak suka sampai suka (Tabel 6). Nilai kenampakan tertinggi dari tumpi ikan tuna yang diuji dicapai oleh produk I1K2 (ikan panggang + kelapa setengah tua), yaitu 7,30 dan terendah dicapai oleh produk I1K1 (ikan panggang + kelapa muda), yaitu 5,60.

Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 2) menunjukkan bahwa metode pemasakan ikan dan tingkat umur kelapa berpengaruh nyata terhadap kenampakan produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Dunn (Lampiran 3a) menunjukkan bahwa produk tumpi I1K2 berbeda nyata dengan produk tumpi lainnya. Hal ini disebabkan produk tumpi I1k2 mempunyai warna lebih menarik, cerah, kelihatan bersih, permukaan yang merata, dan bentuk beraturan sehingga lebih disukai dan diterima oleh panelis. Kenampakan tumpi tuna yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan tahap I disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Kenampakan produk tumpi tuna pada penelitian pendahuluan tahap I.

Kenampakan tumpi I1K2 yang lebih disukai panelis diduga karena kadar air kelapa setengah tua tidak terlalu tinggi dan tidak mengandung minyak yang banyak sehingga pembentukan kerak pada permukaan produk terjadi dengan cepat dan kapiler-kapiler yang terbentuk tidak besar menghasilkan produk dengan permukaan mulus dan merata (Moreno et al. 2010). Kenampakan tersebut juga

I1K2

I1K1 I1K3

dipengaruhi oleh pembentukan warna pada produk akibat proses penggorengan. Pemanasan akibat penggorengan menyebabkan terjadinya pencoklatan nonenzimatik, yaitu reaksi maillard dan oksidasi lemak (Zamora dan Hidalgo 2005).

Reaksi maillard adalah reaksi antara asam amino, peptida atau protein dengan gula tereduksi. Gugus karbonil dari gula reduksi bereaksi dengan gugus nukleofilik group amino dari protein (Zamora dan Hidalgo 2005). Gula reduksi merupakan golongan gula dari karbohidrat yang dapat mereduksi senyawa- senyawa penerima elektron. Ujung dari suatu gula reduksi adalah ujung yang mengandung gugus aldehid dan keton bebas. Jenis-jenis gula pereduksi adalah glukosa, fruktosa, dan galaktosa dari monosakarida; laktosa dan maltosa dari kelompok disakarida. Glukosa dan fruktosa banyak terkandung pada kelapa yang mulai mengalami kematangan. Solangi dan Iqbal (2011) melaporkan bahwa pembentukan gula reduksi (glukosa dan fruktosa) dalam kelapa terjadi pada tahap awal pematangan (setengah tua), sedangkan pembentukan gula non reduksi terjadi pada kelapa matang atau kelapa tua. Moyano et al. (2002) menjelaskan bahwa pembentukan warna kuning emas pada kentang goreng prancis disebabkan oleh reaksi maillard yang dipengaruhi oleh kandungan gula pereduksi, suhu, dan lama waktu penggorengan.

Pembentukan warna produk gorengan juga dipengaruhi oleh oksidasi lemak. Oksidasi lemak selama proses penggorengan terjadi karena oksigen bebas tersedia cukup banyak di sekitar wadah penggorengan. Oksidasi lemak menghasilkan peroksida-peroksida yang akan terpecah menjadi komponen lipid peroxyl dan hydroxyl radical. Reaksi lebih lanjut menyebabkan komponen lipid peroxyl dan hydroxyl radical ini menghasilkan aldehid dan keton yang akan terkondensasi dan terpolimerisasi menghasilkan warna kuning sampai kuning kecoklatan (Zamora dan Hidalgo2005).

Produk sekunder dari reaksi maillard dan oksidasi lemak juga bisa saling mempengaruhi dan saling bereaksi antara satu dengan lainnya dalam membentuk warna kuning kecoklatan pada produk pangan dari lemak dan karbohidrat. Masing-masing reaksi tersebut memiliki komponen utama yang terbentuk pada tahap pertama reaksi, yaitu komponen amadori (1-amino-1-deoxy-2-ketosa) dari

52

reaksi maillard dan komponen hidroperoksida dari oksidasi lemak. Kedua komponen ini menghasilkan senyawa glyoxal dan methylglyoxal karena pemanasan akibat penggorengan yang terus berlangsung. Senyawa glyoxal dan methylglyoxal tersebut menimbulkan warna kuning kecoklatan akibat reaksi polimerisasi karbonil amin. Komponen amadori dan peroksida juga menghasilkan komponen volatil dan nonvolatil jika mengalami reaksi lanjutan. Hasil reaksi lanjutan dari komponen volatil dan nonvolatil ini menghasilkan senyawa hidroxyalkylpyrroles yang akan menghasilkan warna kuning kecoklatan bila mengalami reaksi polimerisasi (Hidalgo dan Zamora 2000; Zamora dan Hidalgo 2005).

Pembentukan kerak pada produk tumpi I1K1 tidak terjadi dengan baik, bahkan yang terjadi adalah terbentuk permukaan yang agak gelap. Warna gelap ini diduga karena kadar air, kadar galaktomanan dan kadar fosfolipida kelapa muda cukup tinggi. Kadar air yang terdapat di bagian permukaan produk menyebabkan terjadinya reaksi hidrolisis terhadap fosfolifida menghasilkan senyawa monogliserida, digliserida, asam lemak bebas dan gliserol (Warner 2002). Senyawa-senyawa tersebut bisa mengalami proses kondensasi dan polimerisasi menghasilkan warna gelap. Senyawa galaktomanan merupakan senyawa yang larut sempurna dalam air (Barlina 1999). Air yang berikatan dengan senyawa galaktomanan ini susah menguap mengakibatkan kerak tidak terbentuk dengan baik walaupun suhu dan lama waktu penggorengan ditingkatkan.

Metode pemasakan ikan juga diduga ikut berpengaruh terhadap kenampakan produk tumpi yang dihasilkan. Daging ikan yang dimasak dengan pemanggangan lebih cerah dan lebih putih daripada daging ikan yang dimasak dengan pengasapan sehingga hampir semua produk tumpi yang terbuat dari ikan asap memiliki kenampakan kusam dan agak coklat dibandingkan dengan produk dari ikan panggang pada tingkat umur kelapa yang sama. Hal tersebut diduga dipengaruhi oleh senyawa-senyawa asap yang masuk ke dalam daging ikan saat proses pengaapan berlangsung (Swastawati et al. 2007).

2) Rasa

Rasa merupakan faktor penting yang menjadi dasar diambilnya keputusan oleh konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Produk pangan yang nilai gizinya tinggi, higienis, warna, dan aromanya baik, tapi memiliki rasa tidak enak, maka nilai gizi itu tidak bisa termanfaatkan karena tidak seorangpun yang akan menkosumsi (Setyaningsih et al. 2010).

Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa tumpi ikan tuna, yaitu antara 5,09 sampai 6,90 atau netral sampai suka (Tabel 6). Nilai kenampakan tertinggi dari tumpi ikan tuna yang diuji dicapai oleh produk I2K3 (ikan asap + kelapa tua), yaitu 6,90 dan terendah dicapai oleh produk I2K2 (ikan asap + kelapa setengah tua), yaitu 5,09.

Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 2) menunjukkan bahwa metode pemasakan ikan dan tingkat umur kelapa berpengaruh nyata terhadap rasa produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Dunn (Lampiran 3b) menunjukkan bahwa produk tumpi I2K3 (ikan asap + kelapa tua) berbeda nyata dengan produk tumpi lainnya. Hal ini disebabkan produk tumpi I2K3 mempunyai rasa gurih dibandingkan dengan produk tumpi lainnya. Rasa ini diduga terbentuk karena kandungan lemak (santan) tinggi pada kelapa tua mengalami degradasi oleh suhu tinggi. Lin dan Wilkens (2006) melaporkan adanya senyawa methylketones (C7, C9, C11, C13, C15) dan delta-lakton (C6, C8, C10, C12, C14) dalam kelapa parut yang mempengaruhi rasa enak. Rasa juga diyakini berasal dari ikan asap. Swastawati et al. (2007) menjelaskan bahwa rasa merupakan ciri khas ikan asap yang disebabkan oleh senyawa fenol dan aldehida sumber asap.

Penggunaan bumbu, misalnya lengkuas, serei, bawang merah, dan merica memberikan rasa khas produk tumpi. Cahyadi (2008) mejelaskan bahwa rempah- rempah memiliki kandungan oleoresin yang berperan dalam pembentukan dan penegas rasa makanan. Winarno (2008) menjelaskan bahwa komponen rasa dari bahan-bahan penyusun akan berinteraksi dengan komponen rasa primer dengan menimbulkan peningkatan intensitas rasa atau penurunan intensitas rasa (taste compensation). Komponen-komponen tersebut dapat meningkatkan intensitas rasa khas produk tumpi I2K3.

54

Pembentukan rasa tersebut juga dihasilkan dari reaksi maillard yang terjadi akibat pemanasan saat penggorengan. Zamora dan Francisco (2005) menjelaskan bahwa tahap awal dari reaksi maillard, misalnya dehidrasi dan fragmentasi gula serta degradasi stecker menghasilkan komponen nonvolatil yang berperan dalam pembentukan rasa produk gorengan. Komponen nonvolatil yang diduga berperan dalam memberikan rasa tersebut, misalnya gula-gula sederhana, asam-asam amino dan asam-asam lemak serta garam. Bastos et al. (2012) melaporkan bahwa tahap dehidrasi dan fragmentasi gula serta degradasi asam-asam amino oleh reaksi stecker degradasi menghasilkan senyawa nonvolatil yang berperan memberikan rasa manis, pedas, dan campuran dari berbagai rasa tersebut, namun reaksi selanjutnya akan menghasilkan rasa hangus dan pahit.

3) Aroma

Aroma dihasilkan dari interaksi zat-zat dengan jutaan rambut getar (silia) pada sel epitelium olfakori, yaitu suatu bagian yang berwarna kuning terletak di langit-langit rongga hidung di atas tulang turbinate. Zat penyusun produk harus bersifat menguap, sedikit larut dalam air atau dalam minyak, dan harus sempat menyentuh silia sel alfaktori untuk diteruskan ke otak agar menghasilkan aroma. Bau yang biasa diterima oleh hidung dan otak secara umum adalah campuran empat bau utama, yaitu harum, asam, tengik, dan hangus (Winarno 2008). Industri pangan menganggap bahwa uji aroma sangat penting karena dapat dengan cepat memberikan hasil mengenai kesukaan konsumen terhadap produk. Aroma yang enak akan menggugah selera, sedangkan aroma yang tidak enak akan menurunkan selera konsumen untuk mengkonsumsi produk tersebut (Setyaningsih et al. 2010). Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap aroma tumpi ikan tuna, yaitu antara 5,93 sampai 6,93 atau agak suka sampai suka (Tabel 6). Nilai aroma tertinggi dari tumpi ikan tuna yang diuji dicapai oleh produk I1K2 (ikan panggang + kelapa setengah tua), yaitu 6,93 dan terendah dicapai oleh produk I2K1 (ikan asap + kelapa muda), yaitu 5,93.

Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 2) menunjukkan bahwa metode pemasakan ikan dan tingkat umur kelapa berpengaruh nyata terhadap aroma produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Dunn (Lampiran 3c) menunjukkan bahwa produk tumpi I1K2 (ikan panggang + kelapa setengah tua) dan I2K3 (ikan asap +

kelapa tua) berbeda nyata dengan produk tumpi lainnya atau lebih disukai oleh panelis. Hal ini disebabkan oleh aroma khas tumpi lebih kuat pada produk I1K2 dan I2K3. Kuatnya aroma pada kedua produk tersebut karena saat penggorengan berlangsung terbentuk berbagai komponen volatil akibat degradasi kandungan kelapa, ikan, dan bumbu. Lemak kelapa akan mengalami oksidasi saat penggorengan karena oksigen di sekitar ketel penggorengan tersedia dalam jumlah yang cukup. Lin dan Wilkens (2006) melaporkan bahwa daging kelapa parut akan mengeluarkan komponen volatil yang beraroma khas, enak, dan harum bila mengalami pengolahan pada suhu diatas 70oC. Komponen-komponen volatil tersebut antara lain octanol, 2-heptanol, 2-octanol, 2-nonanol, hexanol, ethyl decanoate, 2-undecanol, 2-phenylethanol, benzothiazole, delta- undecalactone, delta-octalactone, dan delta-decalactone. Aroma tersebut juga berasal dari ikan asap. Swastawati et al. (2007) melaporkan bahwa ikan asap memiliki aroma khas yang disebabkan oleh senyawa karbonil dan fenol (guaiacol, 4-metty-guaiacol, 2,6-dimetoksi fenol) menempel dan melakukan penetrasi ke dalam daging ikan saat proses pengasapan berlangusng. Aroma produk ini juga dihasilkan dari penggunaan bumbu. Bahan baku pembuatan bumbu mengandung minyak atsiri yang akan menguap bila bahan tersebut diolah.

Pembentukan aroma pada produk tumpi tuna juga dipengaruhi oleh reaksi maillard yang terjadi akibat panas saat penggorengan. Zamora dan Francisco (2005) melaporkan bahwa hasil reaksi antara asam-asam amino dengan gula-gula reduksi akan mengalami reaksi lanjutan, yaitu dehidrasi dan fragmentasi gula serta degradasi stecker menghasilkan konmponen volatil yang berperan dalam pembentukan aroma khas produk gorengan. Bastos et al. (2012) melaporkan bahwa produk dari reaksi maillard diklasifikasikan berdasarkan hasil dehidrasi dan fragmentasi gula, misalnya furans, pyrones, cyclopentenes, carbonyls serta berdasarkan reaksi stecker degradasi asam amino, misalnya aldehid dan sulfur. Lebih lanjut Bastos et al. (2012) melaporkan bahwa jenis dan turunan dari senyawa-senyawa volatil tersebut berperan dalam memberikan aroma khas produk, terutama yang mengandung oksigen, misalnya 2,3-butanedione, 2,3- pentanedione, methylpropanal, 3-methylbutanal, phenylacetaldehyde, 3-hydroxy-

56

4,5-dimethyl-2(3H) furanone, dan 2,5-dimethyl-4-hydroxy-3(2H)-furanone dan yang mengandung nitrogen, misalnya 2-ethyl-3,5-dimethylpyrazine, 2,3-diethyl-5- methylpyrazine, dan 2-acetyl-1-pyrroline.

Setyaningsih et al. (2010) mengemukakan bahwa adanya dua atau lebih bau dalam produk pangan dapat bercampur untuk saling menguatkan atau saling menutupi. Bau yang ditimbulkan oleh bahan-bahan penyusun tumpi I1K2 dan I2K3 bercampur untuk saling menguatkan dalam membentuk aroma produk yang disukai konsumen.

4) Tekstur

Tekstur adalah hasil pengamatan yang berupa sifat lunak, liat, keras, halus, kasar, dan sebagainya. Szczesniak (2002) melaporkan bahwa tekstur adalah manifestasi sifat sensori dari struktur dan permukaan suatu produk pangan yang terdeteksi melalui indera penglihatan, sentuhan, dan pendengaran. Ramırez et al. (2005) melaporkan bahwa tekstur merupakan salah satu sifat sensori yang paling penting dalam proses seleksi dan konsumsi makanan. Penilaian tekstur tumpi ikan tuna berkaitan dengan tingkat kekerasan produk. Tumpi yang disukai panelis adalah tumpi yang tidak terlalu keras dan tidak terlalu lunak atau liat. Tingkat kekerasan tumpi yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan tahap I dipengaruhi oleh metode pemasakan ikan dan tingkat umur kelapa sebagai bahan baku utama.

Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur tumpi ikan tuna, yaitu antara 5,67 sampai 6,80 atau agak suka sampai suka (Tabel 6). Nilai tekstur tertinggi dari tumpi ikan tuna yang diuji dicapai oleh produk I2K3 (ikan asap + kelapa tua), yaitu 6,80 dan terendah dicapai oleh produk I1K1 (ikan panggang + kelapa muda), yaitu 5,67.

Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 2) menunjukkan bahwa metode pemasakan ikan dan tingkat umur kelapa berpengaruh nyata terhadap tekstur produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Dunn (Lampiran 3d) menunjukkan bahwa produk tumpi I2K3 (ikan asap + kelapa tua) tidak berbeda nyata dengan tumpi I1K2 (ikan panggang + kelapa setengah tua) dan I1K3 (ikan panggang + kelapa tua), tapi berbeda nyata dengan produk tumpi I1K1 (ikan panggang + kelapa muda), I2K1 (ikan asap + kelapa muda), dan I2K2 (ikan asap + kelapa setengah tua). Disukainya produk tumpi I2K3, I1K2, dan I1K3 karena memiliki tekstur

yang agak padat, tapi tidak terlalu keras. Tekstur yang disukai tersebut diduga terbentuk karena kandungan air kelapa setengah tua dan kelapa tua tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan kelapa muda. Penguapan air saat proses penggorengan berlangsung menghasilkan struktur yang agak padat dan kerak yang baik. Muchtadi dan Ayustaningwarno (2010) menjelaskan bahwa tekstur bahan pangan akan mengalami perubahan selama penggorengan yang akan meningkatkan mutu makan (eating quality) karena terbentuk kerak yang renyah pada permukaan pangan akibat penguapan air. Denaturasi dan koagulasi protein yang terjadi akibat panas juga berpengaruh terhadap tekstur bahan pangan. Gerrard (2002) melaporkan bahwa reaksi maillard berpengaruh terhadap pembentukan tekstur dan daya cerna produk gorengan melalui protein cross- linking.

Rata-rata tumpi yang dibuat dari kelapa muda memiliki tekstur yang agak lunak dan liat sehingga kurang disukai oleh panelis. Tekstur lunak dan liat pada produk tumpi I1K1 dan I2K1 diduga terbentuk karena sifat fisikokimia kelapa muda yang mengandung galaktomanan tinggi dan protein rendah. Barlina (2004) melaporkan bahwa kelapa muda mengandung galaktomanan tinggi sehingga hanya cocok diolah untuk produk pangan semi padat yang membutuhkan tekstur kenyal atau lunak. Galaktomanan adalah polisakarida yang hampir seluruhnya larut dalam air sehingga berperan sebagai membentuk larutan kental dan gel. 5) Produk tumpi terbaik

Penentuan produk tumpi terbaik pada penelitian pendahuluan tahap I dilakukan berdasarkan hasil uji sensori dengan metode Bayes. Metode Bayes merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif dengan tujuan menghasilkan nilai yang optimal. Keputusan yang optimal dihasilkan dengan mempertimbangkan berbagai kriteria (Marimin dan Maghfiroh 2011). Kriteria yang menjadi objek penilaian dalam penentuan produk tumpi tuna terbaik adalah parameter sensori.

Analisis menggunakan metode Bayes diawali dengan melakukan perangkingan terhadap parameter yang diamati berdasarkan indeks kepentingan menurut penilaian panelis, jumlah panelis yang memberi penilaian yaitu 30 orang.

58

Parameter dengan nilai tertinggi pada metode Bayes mendapat skor lima, sedangkan parameter dengan nilai terendah mendapat skor satu. Nilai kepentingan untuk masing-masing parameter, yaitu nilai 1 bila parameter uji tidak penting, nilai 2 bila kurang penting, nilai 3 bila biasa, nilai 4 bila penting, dan nilai 5 bila sangat penting. Nilai kepentingan terhadap parameter sensori produk tumpi ikan tuna berdasarkan penilaian panelis disajikan pada Tabel 7 dan hasil analisis Bayes terhadap produk tumpi tuna disajikan pada Tabel 8.

Tabel 7 Nilai kepentingan parameter sensori tumpi ikan tuna yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan tahap I

No Parameter Nilai kepentingan

1 2 3 4 Rasa Kenampakan Aroma Tekstur 5 5 4 4

Tabel 8 Hasil analisis metode Bayes terhadap produk tumpi tuna yang dihasilkan pada penelitian tahap I pendahuluan

Parameter Nama produk Nilai

bobot I1K1 I1K2 I1K3 I2K1 I2K2 I2K3

Rasa 2 5 4 3 1 6 0,29 Kenampakan 1 6 5 2 3 4 0,29 Tekstur 1 5 4 2 3 6 0,22 Aroma 2 6 3 1 4 5 0,20 Total Nilai 3,29 10,49 6,67 3,09 6,03 9,43 1,00 Rangking 5 1 3 6 4 2

Hasil analisis Bayes menunjukkan bahwa produk tumpi tuna I1K2 (ikan panggang + kelapa setengah tua) memiliki nilai tertinggi, yaitu 10,487 sehingga berada pada peringkat I. Produk I1K2 ini menjadi produk tumpi tuna terbaik sehingga pemasakan ikan dan tingkat umur kelapa yang telah digunakan pada pembuatan produk tumpi terbaik ini akan digunakan pada penelitian pendahuluan tahap II, yaitu ikan panggang dan kelapa setengah tua.

4.2.2. Penentuan perlakuan kelapa dan lama penggorengan tumpi tuna terbaik Parameter yang menjadi fokus penilaian pada produk hasil penelitian pendahuluan tahap II adalah pengaruh perlakuan terhadap kelapa parut sebagai bahan penyusun utama dan lama waktu penggorengan yang digunakan dalam

memproduksi tumpi. Perlakuan yang digunakan terhadap kelapa parut adalah diperas satu kali, tidak diperas, dan disangrai. Produk tumpi yang dihasilkan adalah produk setengah matang (precooked tumpi), matang (cooked tumpi), dan lewat matang (overcooked tumpi). Waktu yang digunakan untuk menghasilkan ketiga produk tersebut menjadi parameter penilaian. Penentuan produk terbaik dilakukan dengan analisis mutu sensori menggunakan 60 orang panelis non- standar. Parameter yang diamati adalah kenampakan, rasa, warna, aroma, dan tekstur. Skala penilaian adalah 1 sampai 9 (SNI, 2006). Hasil penilaian sensori dan lama penggorengan untuk masing-masing produk tumpi ikan tuna pada penelitian ini disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Hasil penilaian sensori dengan uji hedonik dan lama penggorengan produk tumpi ikan tuna pada penelitian pendahuluan tahap II

Produk tumpi

Lama

penggorengan

Parameter

Kenampakan Rasa Warna Aroma Tekstur

K1t1 45-60’ 6,68±1,20c 6,67±1,08c 7,05±1,03d 6,83±1,01d 6,72±0,85d K1t2 60-95’ 6,80±1,19d 6,63±1,01c 6,47±1,19c 6,78±0,76d 6,65±0,88c K1t3 95-140’ 5,65±1,36a 6,28±1,32a 5,68±1,40a 6,15±1,05b 6,07±1,19a K2t1 55-60’ 6,32±1,21b 6,65±0,92c 6,03±1,39b 6,98±1,23d 5,97±1,23a K2t2 60-100’ 7,18±1,10d 7,07±0,80d 7,22±1,03d 7,03±0,90d 7,08±0,94e K2t3 100-150’ 5,77±1,87a 6,50±1,17b 5,37±1,41a 6,08±1,37b 6,45±1,29b K3t1 45-60’ 5,88±1,37a 6,60±1,01b 5,75±1,41a 6,25±1,37c 6,33±1,17a K3t2 60-90’ 5,75±1,27a 6,30±1,00a 5,57±1,38a 5,97±1,31a 6,22±1,40a K3t3 90-140’ 5,57±1,57a 5,83±1,20a 5,33±1,51a 5,58±1,34a 6,15±1,25a Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b,c,d,e) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Simbol K1t1, K1t2, K1t3, K2t1, K2t2, K2t3, K3t1, K3t2, dan K3t3 merujuk keterangan pada Gambar 4.

Semua produk yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan tahap II ini, segera setelah diangkat dari ketel penggorengan langsung diletakkan dalam tempat di bawah suhu ruang untuk menghentikan proses pemasakan (penggorengan).

Tabel 9 menunjukkan bahwa perlakuan kelapa parut berpengaruh terhadap waktu penggorengan produk tumpi pada masing-masing tingkat kematangan. Waktu yang diperlukan untuk menggoreng produk precooked tumpi (K1t1, K2t1, K3t1), cooked tumpi (K1t2, K2t2, K3t2), dan overcooked tumpi (K1t3, K2t3, K3t3) berturut-turut adalah 45-60 detik, 60-100 detik, dan 90-150 detik.

60

Produk akan berada pada kondisi precooked jika sudah menimbulkan aroma khas dan berwarna kuning muda pada bagian permukaan. Produk K1t1 (produk precooked tumpi dari kelapa parut diperas 1 kali) dan K1t3 (produk precooked tumpi dari kelapa parut sangrai) memiliki lama penggorengan yang sama, yaitu antara 45-60 detik, sekitar 5 detik lebih cepat mengalami proses precooked dari produk K1t2 (produk precooked tumpi dari kelapa parut tidak diperas) yang memiliki lama penggorengan antara 55-60 detik. Semua produk precooked tumpi akan segera mengalami pematangan sempurna setelah sampai pada detik ke-60 yang ditandai dengan terapungnya produk dan berubahnya warna kuning muda menjadi kuning sampai kuning kecoklatan serta aroma khas tumpi yang lebih

Dokumen terkait