• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reformulation Tumpi Tuna (Thunnus sp) as SULSELBAR “Indigenous Traditional Food” and Quality Characterization in Room Temperature Storage.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Reformulation Tumpi Tuna (Thunnus sp) as SULSELBAR “Indigenous Traditional Food” and Quality Characterization in Room Temperature Storage."

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

REFORMULASI TUMPI TUNA (Thunnus sp) SEBAGAI

INDIGENOUS TRADITIONAL FOOD” SULSELBAR DAN KARAKTERISASI MUTU SELAMA PENYIMPANAN SUHU RUANG

AGUSSALIM M

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul ”Reformulasi Tumpi Tuna (Thunnus Sp) sebagai ”Indigenous Traditional Food” SULSELBAR dan Karakterisasi Mutu Selama Penyimpanan Suhu Ruang” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Nopember 2013

(4)

AGUSSALIM M. Reformulation Tumpi Tuna (Thunnus sp) as SULSELBAR

Indigenous Traditional Food” and Quality Characterization in Room Temperature Storage. Supervised by of RUDDY SUWANDI and WINI TRILAKSANI.

The main objective of this study was to produce tumpi tuna that high in nutrition, healthy, safe, and sensory acceptable. Study was conducted in two stages: a preliminary and advanced study. The preliminary study was conducted in order to determine effect of cooking method of fish, the maturity of coconut, the shredded coconut treatment and the duration of deep fat frying to the sensory quality of tumpi. Main study was conducted in 3 stages: reformulate the composition of ingredient, calculate the nutritional value of tumpi tuna products, and characterize the tumpi tuna quality in room temperature storage. Tumpi made from the mixture of grilled tuna and grated medium ripe coconut without squeezing with frying time 60 to 100 seconds had the best sensory acceptability. Reformulation of 65% fish, 15% grated coconut, 5% starch, and 15% seasonings produced the best tumpi tuna. With serving size 65 g, this product contributes 33%, 15%, and 2% Indonesian Recommended Daily Allowance for protein, fats, and carbohydrate respectively and release 189 calories. The self life product in room temperature was 3 days based on microbiological quality.

(5)

RINGKASAN

AGUSSALIM M. Reformulasi Tumpi Tuna (Thunnus sp) sebagai ”Indigenous Traditional Food” SULSELBAR dan Karakterisasi Mutu selama Penyimpanan Suhu Ruang. Dibimbing oleh RUDDY SUWANDI dan WINI TRILAKSANI.

Tumpi merupakan salah satu jenis makanan tradisional Sulawesi Selatan dan Barat (SULSELBAR) yang telah dikenal sejak lama secara turun-temurun, terbuat dari campuran ikan, kelapa parut, tapioka, dan bumbu. Penyajian makanan ini ditujukan untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan tradisi masyarakat setempat, diantaranya kegiatan keagamaan, pernikahan, pertemuan keluarga, syukuran, dan khitanan. Di sebagian daerah SULSELBAR, produk ini tidak hanya disajikan pada kegiatan-kegiatan tersebut, tapi sudah diproduksi dan dipasarkan. Masyarakat mengalami kendala dalam memproduksi produk ini karena umur simpan yang relatif singkat. Di daerah-daerah perkotaan, seperti Makassar dan sekitarnya, produk tumpi sudah jarang ditemukan. Kendala yang dihadapi masyarakat dalam pengembangan produk tumpi adalah biaya mahal dan butuh waktu lama, tidak ada panduan baku tentang prosedur pembuatan, komposisi bahan penyusun, nilai gizi dan umur simpan, serta tidak ada program khusus pemerintah untuk mengembangkan produk ini, akibatnya, generasi sekarang lebih tertarik terhadap produk-produk modern dan tidak tertarik lagi untuk memproduksi, mengkonsumsi, apalagi mengkaji produk tumpi. Jika kondisi ini tidak diupayakan penyelesaiannya, produk tumpi ini akan hilang dan punah.

Reformulasi merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan agar produk tumpi tetap eksis di masyarakat tanpa mengurangi ciri khasnya sebagai produk asli daerah. Reformulasi bertujuan menghasilkan produk tumpi dengan nilai gizi tinggi, sehat, aman, awet, dan diterima secara sensori, sehingga berpotensi mendukung program ketahanan dan kemandirian pangan karena menggunakan bahan baku lokal. Ikan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu ikan tuna karena memiliki struktur daging padat, nilai gizi tinggi, dan edible portion sekitar 50-60%. Ketersediaan ikan tuna sebagai bahan baku cukup besar dan mudah diperoleh karena hampir seluruh perairan Indonesia dapat menghasilkan ikan ini.

(6)

menghasilkan produk tumpi dengan mutu sensori dan kimia yang lebih baik; (2) menghitung nilai gizi tumpi tuna terbaik; (3) mengkarakterisasi mutu tumpi tuna terbaik selama penyimpanan suhu ruang.

Metode pemasakan ikan dan tingkat umur kelapa berpengaruh terhadap nilai sensori produk tumpi tuna. Produk tumpi yang terbuat dari ikan panggang dengan campuran kelapa parut setengah tua memiliki nilai sensori terbaik. Perlakuan yang diberikan terhadap kelapa parut (diperas satu kali, tidak diperas, dan disangrai) dan lama waktu penggorengan berpengaruh terhadap nilai sensori produk tumpi. Produk tumpi tuna matang yang terbuat dari kelapa parut tidak diperas dengan waktu penggorengan 60-100 detik memiliki nilai sensori paling baik.

Peningkatan jumlah ikan dan pengurangan jumlah kelapa parut berpengaruh terhadap nilai sensori produk tumpi tuna. Produk tumpi tuna yang terbuat dari 65% ikan, 15% kelapa parut, 5% tapioka, dan 15% bumbu memiliki nilai sensori paling baik serta mengandung protein sekitar 29,71%. Produk tersebut dengan serving size 65 gram dapat memenuhi kebutuhan protein, lemak, dan karbohidrat harian orang dewasa berturut-turut 33% dari 60 g/hari, 15% dari 62 g/hari, dan 2% dari 300 g/hari dengan total energi sebesar 189 kalori.

Waktu penyimpanan suhu ruang memberikan pengaruh terhadap nilai sensori produk tumpi tuna. Nilai sensori untuk semua parameter mengalami penurunan seiring bertambahnya waktu penyimpanan. Nilai sensori pada hari terakhir penyimpanan menunjukkan bahwa produk ini tidak layak lagi dikonsumsi. Waktu penyimpanan suhu ruang juga berpengaruh terhadap kandungan mikrobiologi produk tumpi tuna. Kandungan mikroba dan kapang meningkat seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Kandungan mikroba produk ini pada penyimpanan hari terakhir berkisar 4,3x103 cfu/g, jumlah tersebut masih di bawah batas maksimum cemaran mikroba produk perikanan, yakni <1x105 cfu/g. Kandungan kapang pada akhir penyimpanan berkisar 5,5x105 cfu/g, jumlah ini berada di atas batas maksimum cemaran kapang produk perikanan, yakni <1x104 cfu/g, dengan demikian, produk tersebut tidak layak lagi dikonsumsi pada hari ke-4.

Waktu penyimpanan suhu ruang berpengaruh terhadap mutu kimia produk tumpi tuna, kecuali histamin. Kandungan histamin produk ini tidak terdeteksi selama penyimpanan. Bilangan peroksida mengalami peningkatan seiring bertambahnya waktu penyimpanan. Kadar air dan abu mengalami peningkatan pada hari ke-3, namun lemak, karbohidrat, dan protein berkurang dari sebelum disimpan.

Tumpi tuna terbaik yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah produk yang terbuat dari campuran ikan panggang dengan parutan kelapa setengah tua tidak diperas dan digoreng selama 60-100 detik pada suhu 160-180oC serta formula 65% ikan, 15% kelapa, 5% tapioka, dan 15% bumbu. Produk ini mengandung protein cukup tinggi dan dengan serving size 65 g dapat memenuhi kebutuhan harian orang dewasa terhadap protein sekitar 33%. Produk ini memiliki daya simpan 3 hari.

(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2013

Hak cipta dilindungan undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(8)
(9)

REFORMULASI TUMPI TUNA (Thunnus sp) SEBAGAI

INDIGENOUS TRADITIONAL FOOD” SULSELBAR DAN KARAKTERISASI MUTU SELAMA PENYIMPANAN SUHU RUANG

AGUSSALIM M

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Tesis : Reformulasi Tumpi Tuna (Thunnus Sp) sebagai ”Indigenous Traditional Food” SULSELBAR dan Karakterisasi Mutu Selama Penyimpanan Suhu Ruang

Nama : Agussalim M NIM : C35 11 00031

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr Ir Ruddy Suwandi, MS, MPhil Dr Ir Wini Trilaksani, MSc

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana,

Dr Tati Nurhayati, SPi, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segenap limpahan karunia dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan tesis ini, yang berjudul “Reformulasi Tumpi Tuna (Thunnus Sp) sebagai

Indigenous Traditional Food” SULSELBAR dan Karakterisasi Mutu Selama Penyimpanan Suhu Ruang”.

Keberhasilan penulis menyelesaikan tesis ini berkat peran dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terimah kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil. selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, saran, masukan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Terima kasih yang tak terhingga atas kesediaan bapak dan ibu meluangkan waktu berdiskusi dan memberikan ilmu kepada penulis, semoga bermanfaat bagi orang banyak, khususnya bagi penulis dan keluarga.

2. Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si. selaku ketua Program Studi S2 Teknologi Hasil Perairan IPB dan Dr. Eng. Uju, S.Pi, M.Si. sebagai penguji luar komisi atas masukan dan saran untuk perbaikan tesis ini.

3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional atas beasiswa yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S2. 4. Bapak dan ibu staf pengajar, teknisi (mas Zacki) dan administrasi (mba’ Ema)

Departemen Teknologi Hasil Perairan IPB.

5. Orang tuaku; Mattingara Eabba (Alm) dan Kende (Alm), H. AA. Mappiara SH. dan Hj. Andi Saidah, S.Pd. atas doa dan dukungannya.

(13)

7. Adikku Salihuddin Mattingara atas bantuannya mencarikan informasi yang berkaitan dengan judul tesis ini.

8. Teman-teman Forum Wacana IPB SULSEL (bu’ Marni dkk) dan adik-adik penghuni Asrama S1 SULSEL (Alwi dkk) atas kerjasamanya selama penelitian memasuki tahap pengujian sensori.

9. Teman-teman mahasiswa Pascasarjana THP angkatan 2010 : Yenni (Nunu’), Ima Wijayanti (Delisa), Nani Nura’enah (Hani’), Santia Gardenia Widyaswari, Dewi Merdekawati, R. Marwitasari Putri, Safrina Dyah Hardiningtyas, Elizabeth J Tapotubun, Christina Litaay, Eka Saputra dan M. Zakiyul Fikri. Angkatan 2011 (Wahyu) dan S1 (Dita Jilbab) atas kerjasama dan bantuannya. Semoga penyelesaian tesis ini tidak membuat silaturrahmi kita selesai.

Allah SWT tidak tidur, Dia pasti melihat dan mengetahui balasan yang tepat atas semua yang pernah kita kerjakan (sumbangkan). Semoga tesis ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan, meskipun tidak sesempurna yang kita inginkan. Aamiin.

Bogor, Nopember 2013

(14)

Kabupaten Sidenreng Rappang Sulawesi Selatan pada tanggal 17 Februari 1976. Penulis adalah anak kedua dari lima bersaudara, dari pasangan Mattingara Ebba (Alm) dan Ibu Kende (Alm). Penulis memulai pendidikan tinggi pada tahun 1997 di Jurusan Teknologi Pertanian, Program Studi Teknologi Hasil Pertanian (THP), Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin Makassar melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian (STP) pada tahun 2004.

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 3

1.3. Tujuan Penelitian 4

1.4. Hipotesis 4

1.5. Manfaat 4

2. TINJAUAN PUSTAKA 7

2.1. Reformulasi 7

2.2. Makanan Tradisional 7

2.3. Tumpi 8

2.4. Ikan Tuna 23

2.5. DeepFatFrying 25

3. METODOLOGI 27

3.1. Waktu dan Tempat 27

3.2. Bahan dan Alat 27

3.3. Prosedur Penelitian 28

3.4. Prosedur Analisis 36

3.5. Analisi Data 41

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 45

4.1. Karakterisasi Kimia Ikan Tuna (Thunnus sp) 45

4.2. Penelitian Pendahuluan 48

4.3. Penelitian Lanjutan 70

5. SIMPULAN DAN SARAN 109

5.1. Simpulan 109

5.2. Saran 109

DAFTAR PUSTAKA 111

(16)

1. Komposisi kimia tepung tapioka 16 2. Kandungan gizi bawang merah per 100 g 17 3. Proksimat beberapa jenis ikan tuna (Thunnus sp) per 100 g

daging 24

4. Reformulasi bahan-bahan penyusun tumpi ikan tuna dan

formulasi berdasarkan referensi lapangan 32 5. Nilai proksimat daging ikan tuna (Thunnus sp) 46 6. Hasil penilaian sensori dengan uji hedonik tumpi ikan tuna

penelitian pendahuluan tahap I 49

7. Nilai kepentingan parameter sensori tumpi ikan tuna yang

dihasilkan pada penelitian tahap I pendahuluan 58 8. Hasil analisis metode Bayes terhadap produk tumpi tunayang

dihasilkan pada penelitian tahap I pendahuluan 58 9. Hasil penilaian sensori dengan uji hedonik dan lama

penggorengan produk tumpi ikan tuna pada penelitian

pendahuluan tahap II 59

10. Nilai kepentingan parameter sensori tumpi ikan tuna yang

dihasilkan pada penelitian pendahuluan tahap II 69 11. Hasil analisis metode Bayes terhadap produk tumpi tunayang

dihasilkan pada penelitian pendahuluan tahap II 69 12. Hasil penilaian sensori dengan uji hedonik tumpi ikan tuna

penelitian lanjutan tahap I 71

13. Hasil analisis metode Bayes terhadap produk tumpi tunayang

dihasilkan pada penelitian lanjutan tahap I 80 14. Karakteristik kimia produk tumpi tuna hasil reformulasi

bahan penyusun 81

15. Hasil perhitungan persentase AKG produk tumpi tuna hasil

reformulasi bahan penyusun 89

16. Hasil analisis ALT dan kapang produk tumpi tuna selama

penyimpanan suhu ruang 94

17. Hasil analisis proksimat produk tumpi tuna selama

penyimpanan suhu ruang 105

DAFTAR GAMBAR

1. Bentuk tubuh beberapa spesies ikan tuna 24

2. Struktur produk gorengan 26

(17)

6. Bentuk dan ukuran ikan tuna (Thunnus sp) 45 7. Kenampakan produk tumpi tuna pada penelitian pendahuluan

tahap I 50

8. Kenampakan produk tumpi tuna pada penelitian pendahuluan

tahap II 61

9. Kenampakan produk tumpi ikan tuna hasil reformulasi bahan

penyusun 72

10. Produk tumpi terbaik hasil reformulasi bahan penyusun 81 11. Tingkat kesukaan panelis terhadap kenampakan produk tumpi

tuna selama penyimpanan suhu ruang 90

12. Tingkat kesukaan panelis terhadap warna produk tumpi tuna

selama penyimpanan suhu ruang 91

13. Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma produk tumpi tuna

selama penyimpanan suhu ruang. 92

14. Tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur produk tumpi tuna

selama penyimpanan suhu ruang 93

15. Gambar produk tumpi tuna pada penyimpanan hari ke-4

(telah ditumbuhi kapang) 99

16. Bilangan peroksida produk tumpi tuna selama penyimpanan

suhu ruang 103

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lembar penilaian uji hedonik (SNI 2006) pada penelitian

pendahuluan tahap 125

2. Hasil uji Kruskal-Wallis metode pemasakan ikan dan tingkat

umur kelapa bahan penyusun tumpi ikan tuna 126 3. Hasil uji lanjut Dunn metode pemasakan ikan dan tingkat

umur kelapa bahan penyusun tumpi ikan tuna 126 4. Hasil uji Bayes penentuan metode pemasakan ikan dan

tingkat umur kelapa bahan penyusun tumpi ikan tuna 127 5. Lembar penilaian uji hedonik (SNI 2006) pada penelitian

umur kelapa bahan penyusun tumpi ikan tuna 130 8. Hasil uji Bayes penentuan perlakuan kelapa parut dan lama

penggorengan tumpi ikan tuna penelitian pendahuluan tahap

II 132

9. Lembar penilaian uji hedonik (SNI 2006) pada penelitian

(18)

tuna pada penelitian lanjutan 135 12. Hasil uji Bayes penentuan metode pemasakan ikan dan

tingkat umur kelapa bahan penyusun tumpi ikan tuna 136 13. Perhitungan Angka Kecukupan Gizi (AKG) produk tumpi

hasil reformulasi bahan penyusun 138

14. Analisis ragam ALT produk tumpi tuna selama penyimpanan

suhu ruang 139

15. Hasil uji lanjut Duncan ALT produk tumpi tuna selama

penyimpanan suhu ruang 139

16. Analisis ragam kandungan kapang produk tumpi tuna selama

penyimpanan suhu ruang 139

17. Hasil uji lanjut Duncan kandungan kapang produk tumpi tuna

selama penyimpanan suhu ruang 139

18. Analisis ragam kandungan kapang produk tumpi tuna selama

penyimpanan suhu ruang 140

19. Hasil uji lanjut Duncan peroksida produk tumpi tuna selama

penyimpanan suhu ruang 140

20. Analisis ragam kenampakan produk tumpi tuna selama

penyimpanan suhu ruang 140

21. Analisis ragam warna produk tumpi tuna selama

penyimpanan suhu ruang 140

22. Analisis ragam aroma produk tumpi tuna selama

penyimpanan suhu ruang 141

23. Analisis ragam tekstur produk tumpi tuna selama

(19)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tumpi merupakan salah satu jenis makanan tradisional Sulawesi Selatan dan Barat (SULSELBAR) yang telah dikenal sejak lama secara turun-temurun. Makanan tradisional ini terbuat dari campuran daging ikan, kelapa parut, tapioka dan bumbu. Ikan yang biasa digunakan adalah tuna, tongkol, bandeng, nila, dan lainnya tergantung jenis ikan yang banyak ditemukan di daerah tersebut. Produk ini diolah dengan cara dan peralatan yang sederhana dan ditujukan untuk kegiatan-kegiatan tertentu yang berkaitan dengan tradisi masyarakat setempat, diantaranya kegiatan keagamaan, pernikahan, pertemuan keluarga, syukuran dan khitanan. Bahkan pada sebagian masyarakat menganggap dan meyakini bahwa tumpi adalah menu wajib yang harus dibuat untuk kepentingan kegiatan-kegiatan tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan Winarno et al. (1999) bahwa makanan tradisional adalah jenis makanan yang sangat erat kaitannya dengan fenomena lokal karena sangat berkaitan dengan sejarah, adat-istiadat, tradisi, kepercayaan dan agama masyarakat pada suatu daerah tertentu dan mempunyai fungsi majemuk, meliputi fungsi biologis, sosial, budaya dan agama yang digunakan sebagai suatu alat untuk mengungkapkan rasa cinta, tanda persahabatan dan simbol penerimaan sosial.

(20)

Di daerah-daerah perkotaan, seperti Makassar dan sekitarnya, produk tumpi sudah jarang ditemukan. Perkembangan zaman yang diiringi dengan perkembangan ilmu dan teknologi pangan menghasilkan makanan-makanan modern dengan kenampakan yang menarik, siap saji, murah dan masa simpan lama mengakibatkan tumpi dan produk-produk tradisional sejenis kurang diminati. Almli et al. (2011) melaporkan bahwa kendala dalam menyiapkan produk makanan tradisional dengan cita rasa spesifik, berkualitas, menarik, nilai gizi tinggi, sehat dan aman, yaitu dibutuhkan waktu preparasi yang lama dan relatif mahal.

Generasi sekarang tidak memiliki minat atau ketertarikan untuk memproduksi, mengkonsumsi, dan mengkaji produk tumpi. Faktor-faktor yang menyebabkan makanan tradisional ini ditinggalkan adalah tidak ada arsip, buku atau dokumen yang memuat resep, prosedur pembuatan, dan nilai gizinya. Hal ini juga menyebabkan produk yang dihasilkan tidak standar, berbeda-beda antara daerah satu dengan lainnya, terutama cita rasa dan kenampakan. Arismunandar (2010) mengemukakan bahwa dalam festival kuliner Sulawesi Selatan tahun 2010 sangat sulit mendapatkan dokumen daftar dan resep makanan dan minuman tradisional karena kebanyakan produk hanya bisa dibuat oleh orang tua. Oleh karena itu, perlu ada upaya pendokumentasian ulang terhadap jenis produk (termasuk tumpi) yang kurang digemari oleh generasi muda. Aksa (2012) mengemukakan bahwa salah satu upaya menasionalkan makanan tradisional khas Sulawesi Selatan menjadikan “festival makanan tradisional Sulawesi Selatan” sebagai agenda utama dalam penyelenggaraan Pertemuan Saudagar Bugis Makassar (PSBM) XIII 25-26 Agustus 2012. Kendala lain adalah pemerintah tidak memiliki program khusus untuk mempromosikan keberadaan dan pengembangan produk tumpi dan produk-produk tradisional lainnya. Jika kondisi tersebut dibiarkan dan tidak diupayakan penyelesaiannya, ada kemungkinan produk tumpi ini benar-benar hilang dan punah.

(21)

3

pemanfaatan bahan baku, cara mengolahan yang memperhatikan higiene dan sanitasi serta merubah komposisi bahan penyusun agar didapatkan produk dengan citarasa yang dapat diterima dan mempunyai daya awet tinggi. Dengan demikian, produk ini potensial mendukung program ketahanan dan kemandirian pangan karena menggunakan bahan baku lokal.

Ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan tuna (Thunnus sp). Ikan tuna merupakan jenis ikan yang paling baik digunakan pada pembuatan tumpi karena memiliki struktur daging yang padat, mengandung protein, dan nilai gizi yang tinggi dibandingkan dengan ikan air tawar. Ditinjau dari bagian daging yang bisa dikonsumsi, ikan tuna memiliki edible portion cukup tinggi, yaitu antara 50-60% (Stansby 1963). Ikan tuna sebagai bahan baku memiliki ketersediaan sangat tinggi dan mudah diperoleh karena hampir seluruh perairan di Indonesia menjadi daerah yang berpotensi untuk memproduksi ikan tuna. Nilai produksi ikan tuna Indonesia secara nasional dalam rentang waktu 2007-2010 berturut turut sebesar 191.558 ton, 194,173 ton, 203.269 ton dan 207.100 ton dengan rata-rata peningkatan sebesar 3,08% (KKP 2011; Wibowo 2012). Produksi tuna di Sulawesi Selatan pada tahun 2010 mencapai 32,200 ton. Sekitar 7 ton dalam bentuk segar dan beku diekspor ke luar negeri, termasuk ke Singapura dan Japang. Selebihnya 32,173 ton untuk pasar lokal, misalnya restoran, hotel, dan pasar tradisional. Konsumsi masyarakat lokal biasanya dalam bentuk utuh maupun olahan, seperti abon dan asap (DKPSS 2011).

Karmiati (2011) melaporkan bahwa jenis tepung yang digunakan berpengaruh terhadap karakteristik kimia dan tingkat penerimaan sensori produk tumpi-tumpi ikan cakalang.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah :

1) Pengaruh perlakuan pemasakan pada ikan dan tingkat umur kelapa terhadap daya terima produk tumpi secara sensori.

(22)

3) Pengaruh lama penggorengan terhadap daya terima produk tumpi secara sensori.

4) Persentase penggunaan masing-masing bahan penyusun (formula) yang dapat menghasilkan produk tumpi dengan nilai sensori tinggi.

5) Lama waktu penyimpanan yang mampu mempertahankan sifat kimia, sensori, dan keamanan tumpi.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah menghasilkan produk tumpi tuna dengan nilai gizi tinggi, sehat, aman dan dapat diterima secara sensori. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Membuat produk tumpi dari ikan tuna panggang dan asap dengan campuran kelapa parut yang telah mengalami perlakuan (diperas satu kali, tidak diperas, disangrai) dari tiga tingkat umur (kelapa kelapa tua, kelapa setengah tua, kelapa muda) dan menentukan lama waktu penggorengannya.

2) Mereformulasi komposisi bahan-bahan penyusun produk tumpi tuna. 3) Menentukan nilai gizi tumpi.

4) Mempelajari karakteristik mutu produk tumpi tuna hasil reformulasi pada penyimpanan suhu ruang.

1.4. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah :

1) Perlakuan pemasakan ikan tuna dan tingkat kematangan daging kelapa berpengaruh terhadap mutu sensori tumpi.

2) Perlakuan preparasi daging kelapa dan lama penggorengan berpengaruh terhadap mutu sensori tumpi.

3) Reformulasi bahan penyusun (formula) berpengaruh terhadap nilai sensori produk tumpi.

(23)

5

1.5. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1) Tersedianya diversifikasi olahan hasil perikanan dalam rangka peningkatan konsumsi produk perikanan bagi masyarakat di daerah baik kualitas maupun kuantitas.

2) Menjadi informasi dan pedoman bagi pihak terkait tentang prosedur, formulasi, nilai gizi, dan masa simpan tumpi.

(24)

2.1. Reformulasi

Reformulasi adalah melakukan formulasi baru terhadap bahan-bahan penyusun produk olahan pangan, baik bahan utama maupun bahan tambahannya atau keduanya. Reformulasi bahan-bahan penyusun dilakukan karena formulasi sebelumnya dianggap tidak memenuhi daya terima konsumen baik secara kimia, organoleptik, dan keamanannya (Zamriya 2009). Hasil reformulasi diharapkan mampu meningkatkan nilai gizi, kemanan pangan, dan daya terima suatu produk.

Reformulasi yang dilakukan terhadap suatu produk pangan, yaitu meningkatkan jumlah satu atau lebih bahan penyusun dan mengurangi jumlah bahan penyusun lainnya. Bahan penyusun yang dianggap kurang menguntungkan secara kimia dan organoleptik dikurangi jumlah dan komposisinya. Bahan penyusun yang memberikan nilai gizi yang dibutuhkan ditingkatkan jumlah dan komposisinya. Reformulasi juga bisa dilakukan dengan cara mengganti salah satu atau sebagian bahan penyusun dengan bahan yang memiliki fungsi sama tapi penggunaanya efektif dalam jumlah sedikit (Purnama 2007). Reformulasi bahan penyusun suatu produk dikatakan berhasil apabila penggunaannya lebih efektif dan bermanfaat secara kimia, serta dapat diterima konsumen secara sensori.

2.2. Makanan Tradisional

(25)

8

Makanan tradisional memiliki potensi untuk dikembangkan, mengingat karakternya yang sangat erat dengan budaya lokal. Beberapa potensi terkait dengan pengembangan makanan tradisional adalah: 1) pemberdayaan ekonomi masyarakat; 2) peningkatan pendapatan asli daerah; 3) peningkatan status gizi dan kesehatan masyarakat; serta 4) untuk tujuan wisata kuliner daerah. Masalah yang muncul dalam pengembangan tersebut adalah mutu rendah, baik dari segi penampilan, daya simpan, maupun kebersihannya, sehingga tingkat keamanan bagi kesehatan juga rendah. Dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat berperan penting dengan mengacu pada pendekatan food habit atau food ways karena food habit atau food ways sudah tertanam dan terbina secara turun temurun di masyarakat (Syah dan Haryadi 2004).

Winarno et al. (1999) mengelompokkan makanan tradisional ke dalam 3 kelompok besar, yaitu: 1) makanan utama adalah makanan pokok dan lauk-pauk. Makanan pokok dibuat dalam jumlah terbanyak dan ditujukan untuk menghilangkan rasa lapar. Lauk-pauk adalah makanan yang mengiringi makanan pokok, ditujukan untuk menumbuhkan dan menambah selera makan baik dalam bentuk basah berkuah, tidak berkuah, gorengan, bakar-bakaran, dan sambal-sambalan; 2) makanan jajanan atau kudapan adalah jenis makanan yang dapat dikonsumsi sepanjang hari, tidak terbatas pada suatu waktu, tempat, dan jumlah yang dikonsumsi. Jajanan atau kudapan ditujukan untuk menambah zat-zat makanan yang tidak ada atau kurang pada makanan utama; serta 3) minuman berfungsi untuk menghibur atau menghilangkan rasa haus, baik dalam bentuk dingin maupun panas.

2.3. Tumpi

(26)

yaitu bumbu yang terdiri atas lengkuas, serei, bawang merah, merica, jeruk nipis, dan garam serta minyak gorenga.

Pangan yang dikonsumsi oleh golongan etnis atau wilayah spesifik, diolah berdasarkan resep yang secara turun-temurun, bahan yang digunakan berasal dari daerah setempat, dan makanan yang dihasilkan juga sesuai dengan selera masyarakat setempat termasuk dalam kelompok pangan tradisional (Nainggolan 2004). Tumpi merupakan salah satu jenis makanan yang termasuk dalam kelompok pangan tradisional. Pangan tradisional ditujukan untuk kegiatan-kegiatan tertentu yang berkaitan dengan tradisi masyarakat setempat, misalnya kegiatan keagamaan, pernikahan, pertemuan keluarga, syukuran, dan khitanan (Winarno et al. 1999).

2.3.1. Ikan

Ikan yang biasa digunakan untuk membuat tumpi adalah tuna, tongkol, bandeng, nila, dan lain-lain tergantung jenis ikan yang banyak ditemukan di daerah tersebut. Pemanfaatan ikan dalam produk ini dimaksudkan sebagai sumber protein hewani karena memiliki zat-zat makanan yang baik bagi kebutuhan tubuh. Komponen kimia daging ikan secara umum adalah:

1) Protein

Protein ikan merupakan komponen terbesar setelah air. Kandungan protein ikan secara umum sekitar 15–24%. Ikan merupakan sumber protein hewani yang sangat potensial karena mengandung protein dalam jumlah cukup banyak. Protein ikan sangat dibutuhkan manusia karena lebih mudah dicerna. Daya cerna protein ikan berkisar antara 85-95% (Banda et al. 2009). Protein ikan juga mengandung asam-asam amino esensial dan nonesensial yang diperlukan oleh tubuh manusia. Asam amino esensial adalah asam amino yang diperlukan tubuh manusia dan harus diberikan dari luar karena tubuh tidak dapat membuatnya. Asam amino yang terkandung dalam ikan merupakan asam amino esensial sempurna karena hampir semua asam amino esensial tersebut terdapat dalam daging ikan (Suzuki 1981).

(27)

10

struktural terdiri atas aktin, miosin, dan aktomiosin. Protein regulasi terdiri atas troponin, tropomiosin, dan aktinin. Protein miofibril terkandung dalam jaringan otot ikan berkisar 70-80% dari total protein, lebih besar dibandingkan dengan miofibril yang terdapat dalam otot hewan mamalia yakni hanya berkisar 40%. Protein ini sedikit larut pada pH netral, tetapi larut dalam larutan garam dengan kemampuan ionik cukup tinggi, yaitu 0,5 M. Protein struktural menyusun alat kontraksi yang bertanggung jawab untuk gerakan otot. Komposisi asam amino kira-kira sama dengan protein yang terdapat dalam otot mamalia, meskipun sifat fisik sedikit berbeda. Protein yang terdenaturasi dalam kondisi terkendali, sifat-sifatnya dapat digunakan untuk tujuan teknologi, misalnya untuk membuat produk berbasis surimi karena kemampuan protein miofibrillar dapat membentuk gel (Suzuki 1981; FAO 2013).

Protein sarkoplasma terdiri atas mioalbumin, globulin, dan enzim. Sarkoplasma yang terdapat dalam jaringan otot ikan berkisar 25-30% dari total protein. Protein ini larut dalam larutan garam netral dengan kemampuan ionik rendah, yaitu <0,15 M. Mayoritas protein sarkoplasma merupakan enzim yang berpartisipasi dalam metabolisme sel, misalnya konversi energi dari glikogen anaerob menjadi ATP. Fraksi protein ini juga mengandung enzim metabolik yang terdapat dalam retikulum endoplasma, mitokondria, dan lisosom (Suzuki 1981; FAO 2013)

(28)

Aktivitas ATP-ase miosin dipengaruhi oleh ion K+, Mg2+, dan Ca2+. Daging mengalami rigor mortis akibat aktin berikatan dengan miosin membentuk aktomiosin. Aktin akan terekstrak bersama-sama dengan miosin dengan adanya garam dan polifosfat (Suzuki 1981).

2) Lemak

Lemak dibagi menjadi tiga kategori, yaitu lemak jenuh, lemak tidak jenuh tunggal, dan lemak tak jenuh ganda. Lemak tak jenuh ganda terdiri atas asam lemak omega-3 dan omega-6. Lemak ikan adalah sumber utama bagi asam lemak omega-3. Asam lemak omega-3 adalah prekursor dari eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA). Asam lemak tak jenuh ganda dan rantai panjang merupakan penyusun penting dalam membran sel ikan, kerang, dan mamalia laut (Moller et al. 2005). Kandungan EPA dan DHA jenis ikan laut dari pantai timur Semenanjung Malaysia lebih tinggi daripada ikan air tawar. Kandungan DHA ikan laut antara 55,48-165,21 µg/g dan EPA antara 17,74-55,38 µg/g. Kandungan DHA dan EPA ikan air tawar, yaitu sekitar 9,2 μg/g dan <2

μg/g. Kandungan DHA dan EPA yang rendah menyebabkan ikan air tawar tidak bisa menjadi sumber asam lemak omega-3, tetapi cocok untuk sumber asam lemak omega-6 (Rosli et al. 2012).

Ackman (1994) mengelompokkan 4 jenis ikan berdasarkan kandungan lemaknya, yaitu ikan kurang lemak mengandung <2% lemak, ikan lemak rendah mengandung 2-4% lemak, ikan lemak sedang mengandung 4-8% lemak, dan ikan lemak tinggi mengandung 8-20% lemak. Moller et al. (2005) juga mengelompokkan 3 jenis ikan berdasarkan kandungan lemaknya, yaitu ikan rendah lemak memiliki kadar lemak <2%, contoh ikan cod, coalfish, tusk, haddock, eel, ocean perch dan European plaice. Ikan lemak sedang memiliki kadar lemak antara 2-8%, contoh ikan halibut, spotted wolffish, atlantic wolffish dan rainbow trout. Ikan berlemak tinggi memiliki kadar lemak >8%, contoh ikan salmon, greenland halibut, mackerel dan herring.

(29)

12

jumlah daging merah serta kondisi makanan. Kandungan lemak erat kaitannya dengan kandungan protein dan kandungan air, pada ikan yang kandungan lemaknya rendah umumnya mengandung protein dalam jumlah yang cukup besar. Wallace (1991) mengemukakan bahwa kandungan lemak ikan mackerel dipengaruhi panjang tubuh, berat, dan kematangan gonad.

3) Karbohidrat

Ikan dan kerang-kerangan mengandung karbohidrat dalam jumlah relatif sedikit, yaitu hanya kurang dari 0,5% (FAO 2013). Nurnadia et al. (2011) melaporkan bahwa kadar karbohidrat pada ikan laut kelompok demersal tidak ditemukan. Walaupun jumlahnya sangat sedikit, tapi keberadaannya dalam daging ikan memiliki konsekuensi sangat besar terhadap ikan selama penyimpanan dan pengolahan. Karbohidrat dalam daging ikan berbentuk glikogen yang merupakan polimer glukosa (Irianto dan Giyatmi2009).

Daging ikan hidup mengandung glikogen sekitar 0,1-1,0%. Moluska mengandung glikogen yang tinggi, yaitu sekitar 1-7%, tetapi bervariasi menurut musim dan akan menurun jumlahnya secara cepat setelah mati, khususnya bila mengalami stres sebelum mati. Produk dekomposisi glikogen sebagian besar ikan adalah glukosa, gula fosfat, asam piruvat, dan asam laktat, sedangkan glikogen pada moluska menghasilkan campuran alanin, asam suksianat, dan oktopin (Irianto dan Giyatmi2009).

4) Air

(30)

2.3.2. Kelapa

Kelapa (Cocos nucifera. L) termasuk dalam Genus Cocos dan dapat tumbuh dengan mudah di daerah tropis. Tanaman kelapa banyak ditemukan di daerah pantai karena memerlukan kelembaban yang tinggi. Buah kelapa berbentuk bulat panjang dengan ukuran kurang lebih sebesar kepala manusia. Kelapa merupakan tanaman yang sangat berguna dalam kehidupan ekonomi pedesaan di Indonesia karena semua bagian dari pohon kelapa dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Daging buah kelapa merupakan salah satu bagian kelapa yang mempunyai banyak manfaat.

Daging buah atau putih lembaga (endosperm) merupakan lapisan tebal (8-15 mm) berwarna putih. Putih lembaga adalah jaringan yang berasal dari inti lembaga yang dibuahi sel kelamin jantan dan membelah diri. Jaringan ini berisi cadangan makanan lembaga sebelum lembaga dapat mencari makanan sendiri. Bagian ini mengandung berbagai zat gizi. Kandungan zat gizi tersebut beragam sesuai dengan tingkat kematangan buah. Daging buah tua merupakan bahan sumber minyak nabati (kandungan minyak 35%). Kandungan kimia putih lembaga adalah 52% air, 34% minyak, 3% protein, 1,5% zat gula, dan 1% zat abu (Ebookpangan.com 2006).

Pengetahuan lebih terinci mengenai sifat fisikokimia daging buah kelapa menjadi hal yang penting dalam mendayagunakan daging buah kelapa secara optimal sebagai bahan baku industri makanan. Sifat fisikokimia bahan baku sangat menentukan mutu produk yang dihasilkan. Upaya pengembangan produk olahan akan lebih terarah jika disesuaikan dengan sifat fisikokimia bahan baku kelapa. Penggunaan kelapa untuk pengolahan berbagai produk, berbeda-beda tingkat kematangannya. Faktor umur panen dari masing-masing jenis kelapa sesuai dengan produk yang akan dihasilkan perlu ditelusuri. Berbagai hasil penelitian mengungkapkan bahwa jenis kelapa dan tingkat umur panen mempengaruhi sifat fisikokimia daging buah (Barlina 1999).

(31)

14

suplemen makanan bayi. Daging buah kelapa hibrida berumur 8 bulan umumnya berkadar protein, galaktomanan, fosfolipida dan air yang tinggi, sedangkan serat kasar dan lemak rendah. Kelapa yang memiliki karakteristik fisikokimia tersebut cocok menjadi bahan baku produk olahan semi padat dan suplemen makanan bayi (Barlina 1999).

Daging buah kelapa dengan kandungan air tinggi berarti memiliki sifat fisik lunak sehingga sangat cocok menjadi bahan baku produk pangan yang menghendaki sifat lunak, contoh koktil dan tart kelapa. Ciri khas lain yang diperlukan adalah sifat kenyal. Sifat ini ternyata ditunjang oleh kadar galaktomanan tinggi yang terkandung dalam daging buah umur 8 bulan. Galaktomanan tergolong polisakarida yang hampir seluruhnya larut dalam air membentuk larutan kental dan dapat membentuk gel (Ketaren 2005).

Sifat lunak dan kenyal produk makanan berperan penting terhadap penerimaan konsumen, contoh koktil dan tart kelapa. Kandungan galaktomanan tinggi sangat diperlukan agar diperoleh sifat organoleptik yang disenangi konsumen. Nilai gizi produk olahan kelapa yang berkadar galaktomanan cukup tinggi sebab pada umur 8 bulan daging buah kelapa juga memiliki kadar protein dan karbohidrat tinggi. Kelapa yang mengandung protein, galaktomanan, dan fosfolipida tinggi menunjang sifat yang dibutuhkan produk selai karena dapat memberikan tingkat homogenitas tinggi. Protein dalam produk ini berfungsi sebagai sumber gizi dan emulsifier. Galaktomanan berperan mengatur tingkat kekentalan produk. Fosfolipida berfungsi sebagai emulsifier. Karbohidrat terutama gula sederhana dapat berperan dalam mempercepat proses karamelisasi (Barlina 1999).

(32)

memiliki permukaan berkeriput karena ruang-ruang antar sel belum berisi penuh dengan bahan padatan (Barlina 1999).

Karbohidrat sebagai sumber pati, yaitu amilosa dan amilopektin sangat berperan terhadap sifat fisik produk akhir, misalnya renyah atau garing. Kadar amilosa turut berperan pada pembentukan sifat fisik tersebut. Keseimbangan kadar air dan karbohidrat sangat penting untuk menghasilkan makanan ringan yang sesuai selera konsumen. Protein dan gula reduksi berfungsi sebagai sumber kalori dan berperan sebagai komponen yang menghasilkan warna agak coklat setelah mengalami proses karamelisasi. Jenis makanan ringan yang dapat diolah dari daging buah kelapa muda umur 9 bulan adalah coconut chip (Barlina 1999).

2.3.3. Tapioka

Singkong atau ubi kayu (Manihot utilisima) dikenal sebagai hasil perkebunan rakyat yang berperan sebagai pangan subtitusi beras terutama pada daerah rawan pangan. Ubi kayu juga berpotensi sebagai komoditi ekspor karena ditunjang oleh nilai gizi yang baik terutama kandungan pati (Lingga et al. 1993)

Umbi ubi kayu mengandung 30–40% bahan kering dengan pati dan gula sebagai komponen utama, yaitu ±90% dan sekitar 3.500–4.000 kkal/gr energi. (Cock 1985). Tanaman ubi kayu mengandung glikosida sianogenik. Asam sianida dari glikosida sianogenik dibebaskan melalui reaksi enzimatik ketika dinding sel pecah setelah dipanen. Asam sianida ini bersifat toksik dengan jumlah yang berbeda pada setiap umbi, tergantung lokasi, varietas, dan kondisi pertumbuhan tanaman. Kandungan asam sianida ubi kayu berkisar antara 50–100 mg/kg umbi basah. Varietas yang kurang beracun atau manis akan aman dikonsumsi dengan direbus, dikukus, atau digoreng dengan minyak yang banyak. Varietas yang pahit harus dibebaskan dari racun dengan cara direndam, dipanggang, atau dikeringkan (Coursey 1973). Tapioka digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kue dan berperan sebagaimana fungsi jenis tepung pada umumnya.

(33)

16

tapioka terus meningkat terutama di negara-negara maju (Cock 1985). Komposisi kimia tapioka disajikan pada Tabel 1.

Bumbu didefinisikan sebagai bahan, baik sendiri maupun kombinasi, menambah rasa pada produk olahan ikan. Forrest et al. (1975) mengemukakan bahwa penambahan bumbu pada produk olahan daging termasuk daging ikan adalah untuk membedakan rasa karena formulasi bahan penyedap yang berbeda akan menghasilkan produk dengan rasa yang berbeda. Selain itu, bumbu-bumbu yang ditambahkan juga untuk membedakan flavor diantara tipe produk yang berbeda dan ikut memberi pengaruh preservasi.

Bumbu adalah suatu substansi tumbuhan aromatik yang dikeringkan. Batasan ini dapat diaplikasikan kepada semua produk tanaman kering termasuk bumbu asli, herbal, biji-bijian aromatik dan buah-buahan yang dikeringkan. Bumbu asli seperti jahe, biji pala, lada, bawang putih, dan lain-lain dapat digunakan dalam bentuk bubuk atau setengah bubuk. Fungsi bumbu yaitu sebagai penyedap, menambah karakteristik warna atau pola tekstur, dan sebagai agen antioksidan (Forrest et al. 1975).

(34)

sekresinya, menstimulasi nafsu makan dan memperbaiki kecernaan produk makanan. Penggunaan bumbu bervariasi tergantung pada iklim, adat, dan kebiasaan makan.

1) Bawang merah

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran dataran rendah, meskipun bukan merupakan kebutuhan pokok, tetapi hampir selalu dibutuhkan oleh konsumen rumah tangga sebagai pelengkap bumbu masak sehari-hari. Kegunaan lain dari bawang merah adalah sebagai obat tradisional karena kandungan senyawa allin dan allisin yang bersifat bakterisida (Rukmana 1994). Kandungan gizi bawang merah disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan gizi bawang merah per 100 g Parameter gizi Nialai gizi

(35)

18

tinggi. Quercetin adalah salah satu senyawa jenis flavonoid, bagian dari kelompok polifenol yang kandungannya terdapat pada berbagai tumbuhan dan diketahui memiliki berbagai potensi yang berguna bagi kesehatan. Penelitian yang telah ada menunjukkan potensi quercetin sebagai agen hipoglikemik. Quercetin merupakan inhibitor enzim α-amilase yang berfungsi dalam pemecahan karbohidrat. Diantara jenis flavonol, subkelas dari flavonoid, quercetin memiliki potensi inhibisi enzim paling kuat. Inhibisi pada enzim ini menyebabkan proses pemecahan dan absorbsi karbohidrat sehingga kadar glukosa darah pada hiperglikemia dapat diturunkan (Wulandari et al. 2011).

2) Merica

Merica (Piper nigrum L.) adalah salah satu bumbu yang memiliki rasa pedas dan berfungsi untuk melezatkan masakan. Senyawa yang memberikan rasa pedas dalam merica adalah piperine (Vijayakumar dan Nalini 2006). Merica biasa digunakan pada masakan daging unggas, sapi, kambing, seafood, olahan ikan, dan sebagainya. Jenis-jenis merica bermacam-macam, contoh merica putih, hitam, hijau, dan merah. Merica putih lebih banyak digunakan pada masakan Asia, misalnya India, Srilanka, Malaysia, dan Indonesia. Masakan Mediteranian dan Eropa lebih banyak menggunakan merica hitam.

Buah merica mengandung 2-4% minyak atsiri (sabinene, areyophyllene, beta-pinene, Alph-pinene camphene, limonene, myrcene, dan piperonal) dan 5-9% alkaloid (piperine, piperidin, piperanine, pieretine dan chavicine). Rasa pedas yang tajam disebabkan oleh senyawa Piperiene substansi dari zat nitrogen. Merica juga memiliki aktivitas farmakologi, yaitu antioksidan, antikonvulsan, obat penenang, insektisida, pestisida, relaksan otot, antipiretik, anti-inflamasi, antijamur, tendincidal, hepatoprotektif, dan antibakteri (Rai et al. 2012).

(36)

terlalu besar. Peningkatan kalorioleh DCT, yaitu sekitar 100 kalori per hari pada perempuan dan 200 kalori per hari pada laki-laki. Lemak yang dibakar juga tidak terlalu banyak. Meski secara struktural DCT terkait dengan capsaicin dari merica, DCT tidak memberikan rasa "menggigit" seperti halnya capsaicin (Vijayakumar dan Nalini 2006).

3) Cabai

Cabai (Capsicum frutescens L.) merupakan bumbu bergizi tinggi yang sering dicampurkan ke dalam masakan untuk memberikan rasa pedas dan meningkatkan kelezatan makanan. Jenis cabai yang biasa digunakan adalah cabai merah besar dan panjang, cabai hijau, dan cabai keriting. Cabai keriting banyak digunakan untuk membuat masakan atau makanan menjadi lebih pedas. Cabai keriting berukuran kecil dan mengandung air lebih sedikit. Kadar air yang sedikit ini menyebabkan cabai memiliki zat pedas lebih banyak dalam setiap 100 g (Piay

et al. 2010).

Zat yang membuat cabai terasa pedas adalah kapsaisin yang tersimpan

dalam “urat” putih cabai, tempat melekatnya biji. Rasa pedas cabai dapat dikurangi dengan cara membuang bagian biji dan urat. Kapsaisin cabai bersifat stomakik, yakni dapat meningkatkan nafsu makan dan merangsang produksi hormon endorphin yang mampu membangkitkan sensasi rasa nikmat. Hormon endorphin yang ditimbulkan oleh rasa pedas cabai dapat menghalangi aktifitas otak untuk menerima sinyal rasa sakit yang diderita saat kepala pusing atau stres (Piay et al. 2010).

Senyawa kapsaisin juga bisa menjadi obat. Kapsaisin mengencerkan lendir sehingga melonggarkan penyumbatan pada tenggorokan dan hidung, termasuk sinusitis. Kapsaisin juga bersifat antikoagulan dengan cara menjaga darah supaya tetap encer dan mencegah terbentuknya kerak lemak pada pembuluh darah. Konsumsi cabai dapat mengurangi kemungkinan menderita penyumbatan pembuluh darah (aterosklerosis), serangan stroke, jantung koroner, dan impotensi (Tarmizi 2010).

(37)

20

4) Lengkuas

Lengkuas (Lenguas galanga atau Alpinia galanga) sering dipakai sebagai penyedap masakan. Lengkuas termasuk tumbuhan tegak yang tinggi batangnya mencapai 2-2,5 meter. Tumbuhan lengkuas yang dikenal terdiri atas 2 jenis, yaitu varitas dengan rimpang umbi berwarna putih dan varitas berimpang umbi merah. Lengkuas berimpang umbi putih dipakai penyedap masakan, sedangkan lengkuas berimpang umbi merah digunakan sebagai obat. Rimpang umbi lengkuas selain berserat kasar juga mempunyai aroma yang khas (Handajani dan Purwoko 2008).

Rimpang lengkuas mengandung lebih kurang 1% minyak atsiri berwarna kuning kehijauan yang terutama terdiri dari metil-sinamat 48%, sineol 20-30%,

eugenol, kamfer 1%, seskuiterpen, δ-pinen, galangin, dan lain-lain. Rimpang lengkuas juga mengandung resin yang disebut galangol, yaitu kristal berwarna kuning yang disebut kaemferida dan galangin, kadinen, heksabidrokadalen hidrat, kuersetin, amilum, dan beberapa senyawa flavonoid (Parwata dan Dewi 2004).

Penelitian yang lebih intensif menemukan bahwa rimpang lengkuas mengandung zat-zat yang dapat menghambat enzim xanthin oksidase sehingga bersifat sebagai antitumor, yaitu trans-p-kumari diasetat, transkoniferil diasetat, asetoksi chavikol asetat, asetoksi eugenol asetat, dan 4-hidroksi benzaidehida (Ariestiani 2011). Lengkuas juga mengandung senyawa diarilheptanoid yang dinamakan 1-(4-hidroksifenil)-7-fenilheptan-3,5-diol. Buah lengkuas mengandung asetoksichavikol asetat dan asetoksieugenol asetat yang bersifat antiradang dan antitumor. Lengkuas juga mengandung kariofilen oksida, kario- filenol, kuersetin-3-metil eter, isoramnetin, kaemferida, galangin, galangin-kuersetin-3-metil eter, ramnositrin, dan 7-hidroksi-3,5-dimetoksiflavon. Biji lengkuas mengandung senyawa-senyawa diterpen yang bersifat sitotoksik dan antifungal, yaitu galanal A, galanal B, galanolakton, 12-labdiena-15,16-dial, dan 17- epoksilabd-12-ena-15,16-dial (Cheah dan Gan2000).

(38)

atsiri, minyak terbang, eugenol, pinen, metil sinamat, kaemferida, galangan, galangol, dan kristal kuning (Handajani dan Purwoko2008).

5) Daun serai

Serai wangi dengan nama latin Cymbopogon nardus L, Andropogon nardus L atau Andropogon citriodorus Desf merupakan salah satu tanaman perkebunan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No: 511/Kpts/PD.310/9/2006 tanggal 12 September 2006. Ada empat jenis serei yang dikenal, yaitu: (1) A. nardus var. ceriferus yang dikenal dengan serai dapur. Minyak serei ini diperdagangkan dengan nama west indies lemon grass; (2) A. nardus var. flexuosus atau disebut juga malabar grass atau cochin lemon grass; (3) A. nardus var. marginatus atau alang-alang wangi. Kandungan minyak dan geraniol serei ini rendah; (4) A. nardus var. genuinus atau serai wangi atau citronella grass (Wahyuni et al. 2003).

Tanaman serei wangi yang budidayakan di Indonesia terdiri atas 2 jenis, yaitu mahapengiri dan lemabatu. Jenis mahapengiri mempunyai ciri-ciri berdaun lebih luas dan pendek. Jenis tanaman serei ini dapat menghasilkan minyak dengan kadar sitronellal dan geraniol yang tinggi. Jenis lemabatu menghasilkan minyak dengan kadar sitronellal dan genariol yang lebih rendah. (Fatimah 2011).

Batang dan daun Tanaman serei bisa dimanfaatkan sebagai pengusir nyamuk karena mengandung zat-zat atsiri dan oleresin yang aktif, misalnya geraniol, metil heptenon, terpen-terpen, terpen-alkohol, asam-asam organik, dan terutama sitronelal sebagai obat nyamuk semprot. Minyak serai wangi sebagai hasil produksi tanaman serai wangi berguna sebagai bahan bio-aditif bahan bakar minyak (BALITTRO 2010).

6) Jeruk nipis

(39)

22

dahak (mukolitik), peluruh kencing (diuretik), dan membantu proses pencernaan (Hariana 2006).

Jeruk nipis mengandung flavonoid, misalnya poncirin, hesperidine, rhoifolin, dan naringin. Buah yang masak mengandung synephrine dan N-methyltyramine, asam sitrat, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, vitamin B1, dan vitamin C. Asam sitrat mampu mencegah kekambuhan pada pasien pasca operasi batu ginjal. Jeruk nipis juga mengandung unsur-unsur senyawa kimia yang bermanfaat, misalnya limonen, linalin asetat, geranil asetat, fellandren, dan sitral. Komposisi kimia jeruk nipis dalam 100 gram, yaitu vitamin C 27 mg, kalsium 40 mg, fosfor 22 mg, hidrat arang 12,4 g, vitamin B 1 0,04 mg, zat besi 0,6 mg, lemak 0,1 g, kalori 37 g, protein 0,8 g, dan air 86 g (IPTEKnet 2012).

2.4. Ikan Tuna

Bahar (2004) menjelaskan bahwa nama tuna berasal dari nama dewa Yunani, yaitu Thynnos. Ikan tuna termasuk ke dalam kelompok ikan pelagis besar yang hidup berkelompok dan senantiasa bermigrasi dari Samudra Hindia ke sebelah barat Australia. Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scombroidae.

Klasisifikasi ikan tuna menurut Collette dan Nauen (1983) adalah: Kingdom: Animalia

Phylum: Chordata

Sub phylum: Vertebrata Thunnus Class: Teleostei

Sub Class: Actinopterygii Ordo: Perciformes

Sub ordo: Scombroidae Genus: Thunnus

Species: Thunnus alalunga (albacore)

Thunnus albacores (yellowfin tuna) Thunnus macoyii (southtern bluefin tuna) Thunnus obesus (big eye tuna)

Thunnus tongkol (longtail tuna)

(40)

meluncur dengan cepat (Dickson 1995). Tuna terdapat di laut daerah tropis dan daerah beriklim sedang (FAO 2013). Ciri-ciri ikan tuna, yaitu tubuhnya mirip cerutu, mempunyai dua sirip pungung, sirip depan biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang. Ikan tuna mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) terletak di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada ikan tuna terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh ujung hipural. Tubuh ikan tuna tertutup oleh sisik-sisik kecil, berwarna biru tua, dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya, sebagian besar memiliki sirip tambahan yang berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap (FAO 2013). Bentuk tubuh beberapa species ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Bentuk tubuh beberapa spesies ikan tuna. Keterangan:

1. Tongkol (Euthynnus affinis). fishbase.org/Summary/Species.php. [17 Jan 2013] 2. Mata besar (Thunnus obesus). fishbase.org/summary/Thunnus-obesus. [17 Jan 2013] 3. Tuna sirip biru (Thunnus maccoyii). Dorey et al. 2010.

4. Madidihang (Thunnus albacores). fishbase.org/summary/Thunnus-albacares. [17 Jan 2013] 5. Albacor (Thunnus alalunga). fishbase.org/summary/Thunnus-alalunga. [17 Jan 2013] 6. Cakalang (Katsuwonus pelamis). fishbase.org/summary/Katsuwonus-pelamis. [17 Jan 2013]

1 2

3 4

(41)

24

Komposisi kimia ikan tuna bervariasi antara spesies yang satu dengan spesies lainnya. Ikan tuna merupakan jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan lemak yang rendah. Daging ikan tuna kaya oleh protein dan nutrisi penting lainnya, misalnya asam lemak omega-3, vitamin, dan mineral. Bagian ikan yang dapat dimakan (edible portion) secara umum berkisar antara 45–50% dari tubuh ikan (Suzuki 1981), namun kelompok ikan tuna memiliki edible portion berkisar antara 50–60% (Stansby 1963). Kadar protein daging putih ikan tuna lebih tinggi dibandingkan dengan protein daging merahnya. Kadar lemak daging putih ikan tuna lebih rendah dibandingkan dengan lemak daging merahnya. Daging merah ikan tuna mengandung mioglobin, suplai oksigen, dan hemoglobin yang bersifat prooksidan serta kaya akan lemak. Komposisi proksimat beberapa jenis ikan tuna disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Proksimat beberapa jenis ikan tuna (Thunnus sp) per 100 g daging Proksimat

(42)

Deef fat frying merupakan salah satu metode memasak tertua yang populer dipergunakan. Metode ini sering dijadikan sebagai metode pilihan untuk menghasilkan rasa, warna, dan tekstur yang unik pada gorengan. Pemanasan minyak dan dekomposisi secara oksidatif selama proses penggorengan menghasilkan komponen volatil dan nonvolatil yang akan mengubah sifat fungsional, sensori, dan gizi minyak. Perubahan fisik dan kimia juga terjadi pada produk selama penggorengan ( Warner 2002).

Deef fat frying didefinisikan sebagai perendaman suatu produk makanan di dalam minyak goreng yang telah dipanaskan di atas titik didih air, yaitu antara 150-200oC (Hubbard dan Farkas 1999). Metode penggorengan ini juga biasa disebut sebagai proses dehidrasi. Panas dan transfer massa terjadi secara bersamaan selama penggorengan. Panas ditransfer dari media penggorengan ke permukaan produk dengan cara konveksi dan dari permukaan bahan ke dalam bahan dengan cara konduksi. Air diuapkan dari produk dan produk menyerap minyak (Budzaki dan Seruga 2005).

Struktur produk gorengan terdiri atas 3 bagian, yaitu “inner zone = lapisan dalam” atau core, “outer zone = lapisan luaratau crust atau kerak, dan “outer zone surface” atau permukaan luar. Inner zone adalah bagian makanan gorengan yang masih mengandung air. Outer zone atau kerak adalah bagian luar makanan yang merupakan hasil dehidrasi pada waktu penggorengan, makin tebal kerak, makin banyak minyak yang diserap. Outer zone surface adalah bagian paling luar makanan yang berwarna coklat kekuningan. Warna ini merupakan hasil reaksi millard(Ketaren 1986). Struktur produk gorengan disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur produk gorengan (Ketaren 1986). Inner zone (core)

Outer zone (lapisan luar)

(43)

3. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Nopember 2012 di Laboratorium Diversifikasi dan Formulasi Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Laboratorium PAU Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Uji Keamanan Pangan PT. Saraswanti Indo Genetech Bogor dan Laboratorium Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor.

3.2. Bahan dan Alat

3.2.1. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan-bahan untuk pembuatan dan analisis tumpi. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan tumpi adalah daging ikan tuna (Thunnus sp.) yang diperoleh dari Tempat Pelelangan Ikan Muara Baru Jakarta dan kelapa (Cocos nucifera L) yang diperoleh dari Pasar Dramaga Bogor. Bahan pengikat yang digunakan adalah tapioka yang dibeli dari swalayan-swalayan di Kota Bogor. Bahan-bahan tambahan yang digunakan meliputi bumbu-bumbu (serei, lengkuas, merica bubuk, garam, jeruk nipis, bawang merah dan cabai rawit) dan minyak goreng diperoleh swalayan-swalayan di Bogor. Bahan-bahan yang diperlukan untuk analisis tumpi meliputi bahan-bahan untuk analisis kimia, oksidasi lemak, sensori, dan mikrobiologi.

3.2.2. Alat

(44)

3.3. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan 2 bagian, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan.

3.3.1. Penelitian pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan dengan dua tahap, yaitu:

1) Tahap I, membuat tumpi dari ikan tuna panggang dan asap dengan campuran parutan kelapa dari berbagai tingkat umur

Ikan panggang dan asap masing-masing dicampur dengan kelapa muda, kelapa setengah tua, dan kelapa tua. Perlakuan yang dilakukan terhadap kelapa parut adalah diperas satu kali (berdasarkan pada referensi lapangan), kecuali kelapa muda tidak diberikan perlakuan.

Kelapa muda yang digunakan dalam penelitian ini memiliki ciri-ciri fisik sebagai berikut: kulit luar berwarna hijau segar, sabut kelihatan putih dan basah, tempurung agak lunak dan masih bisa ditusuk dengan kuku, testa biasanya masih melekat

dengan tempurung, air penuh, tebal daging sekitar ≤ 0,5 cm, dan tekstur lunak. Ciri-ciri fisik kelapa setengah tua yang digunakan adalah kulit luar berwarna hijau dan mulai kelihatan bagian yang berwarna coklat atau kering, sabut berwarna coklat muda dan basah, tempurung kelihatan coklat muda dan keras, testa sudah melekat dengan daging kelapa dan berwarna coklat muda, air tidak penuh dan jika digoyang kedengaran bunyi air, tebal daging sekitar 1 cm, tekstur daging sudah keras. Ciri-ciri fisik kelapa tua yang digunakan, yaitu kulit luar berwarna coklat, sabut berwarna coklat kehitaman dan kering, tempurung berwarna coklat kehitaman dan sangat keras, testa kelihatan coklat kehitaman, air sedikit dan sangat mengeluarkan bunyi air jika digoyang-goyang, tebal daging sekitar 70-80 mm, dan tekstur daging keras.

Tujuan penelitian tahap I adalah menentukan cara pemasakan ikan dan jenis kelapa terbaik berdasarkan tingkat umur untuk menghasilkan produk tumpi dengan nilai sensori yang baik.

Prosedur pelaksanaan penelitian pendahuluan tahap I adalah:

(45)

29

kontaminan lainnya, dibuang kepala dan isi perutnya. Pemasakan daging ikan dilakukan dengan cara dipanggang dan diasap, setelah masak dibuang bagian kulit yang gosong dan daging merahnya dengan tujuan mengurangi pengaruh terhadap kenampakan dan mencegah kerusakan produk akhir akibat oksidasi daging merah. Daging ikan daging dicincang dengan food processor sampai diperoleh daging tuna halus.

b. Preparasi kelapa. Daging kelapa dari masing-masing tingkat umur (muda, setengah tua dan tua) yang sudah disiapkan, dibuang testanya agar tidak mempengaruhi warna produk. Kelapa muda dicincang dengan blender sedangkan kelapa setengah tua dan tua diparut. Kelapa parut diperas satu kali tanpa penambahan air untuk mengurangi kandungan air dan minyaknya sedangkan kelapa muda tidak mengalami pengurangan air, dihaluskan dengan food processor, diperoleh kelapa halus.

c. Preparasi tapioka. Tapioka disiapkan dengan menimbang sebanyak 5% dari total adonan.

d. Preparasi bumbu. Preparasi bumbu-bumbu dilakukan pada masing-masing bahan, yaitu:

(1) Lengkuas dan serei, dibersihkan, dikecilkan ukurannya, dihaluskan dengan blender.

(2) Bawang merah dan cabai rawit, dibersihkan, dihaluskan dengan blender sampai diperoleh bubur bawang merah dan cabai rawit.

(3) Jeruk nipis, dibuang kulitnya, diperas untuk mendapatkan air jeruk nipis. (4) Merica halus dan garam disiapkan sesuai kebutuhan.

e. Bahan utama dan bahan pengikat yang telah disiapkan, dicampur jadi satu dalam adonan dengan formulasi berdasarkan referensi lapangan, yaitu 30% ikan tuna, 45% kelapa parut, dan 10% tapioka. Bahan-bahan tersebut diaduk dan ditambahkan bumbu sebanyak 15%, selanjutnya dihomogenkan dengan food processor.

(46)

nyala api mengenai sebagian besar bagian bawah wajan. Adonan ditunggu sampai sebagian besar air menguap yang ditandai dengan terjadinya gelembung dan bunyi air, setelah gelembung air tidak terjadi lagi maka dilakukan pengukuran suhu dengan termometer. Jika suhu telah mencapai 180oC, nyala api dikurangi sampai nyala hanya mengenai sebagian kecil bagian bawah wajan. Suhu ditunggu 30-50 detik, jika suhu sudah stabil atau berada pada kisaran suhu 160-180oC maka proses penggorengan dimulai. Prosesdur ini diikuti pada setiap melakukan penggorengan.

g. Tumpi yang dihasilkan dianalisis sifat sensorinya untuk mendapatkan produk terbaik.

Diagram alir penelitian pendahuluan tahap I disajikan pada Gambar 3. 2) Tahap II, membuat tumpi dengan metode pemasakan ikan dan tingkat umur

kelapa terbaik dari hasil penelitian pendahuluan tahap I. Tujuan penelitian tahap II adalah menentukan perlakuan terbaik terhadap kelapa parut dan lama penggorengan untuk menghasilkan produk tumpi dengan nilai sensori yang diterima oleh panelis.

Prosedur pelaksanaan penelitian pendahuluan tahap II adalah:

a. Preparasi ikan tuna. Penyiangan dilakukan dengan mencuci ikan untuk membersihkan benda asing dan kontaminan lainnya, dibuang kepala dan isi perutnya. Pemasakan daging ikan dilakukan berdasarkan cara terbaik pada penelitian pendahuluan tahap I. Ikan yang telah masak dibuang bagian kulit yang gosong dan daging merahnya dengan tujuan mengurangi pengaruh terhadap kenampakan produk dan mencegah kerusakan akibat oksidasi daging merah. Daging ikan dicincang dengan food processor sampai diperoleh daging tuna halus.

(47)

31

c. Preparasi tapioka. Tapioka disiapkan dengan menimbang sebanyak 5% dari total adonan.

d. Preparasi bumbu. Preparasi bumbu-bumbu dilakukan pada masing-masing bahan, yaitu:

1) Lengkuas dan serei, dibersihkan, kecilkan ukurannya, dihaluskan dengan blender.

2) Bawang merah dan cabai rawit, dibersihkan, dihaluskan dengan blender sampai diperoleh bubur bawang merah dan cabai rawit.

3) Jeruk nipis, dibuang kulitnya, diperas untuk mendapatkan air jeruk nipis. 4) Merica halus dan garam halus disiapkan sesuai kebutuhan.

e. Bahan utama dan bahan pengikat yang telah disiapkan dicampur jadi satu dalam adonan dengan formulasi berdasarkan referensi lapangan, yaitu 30% ikan tuna, 45% kelapa parut, 10% tapioka, dan 15% bumbu, selanjutnya dihomogenkan dengan food processor.

h. Adonan yang telah homogen dicetak dengan bentuk segi tiga sama sisi, kemudian digoreng dengan metode deep fat frying pada suhu 160-180oC sampai diperoleh produk tumpi dengan 3 (tiga) tingkat kematangan, yaitu setengah masak (precooked), masak, dan lewat masak (overcooked).

i. Tumpi yang dihasilkan dianalisis sifat sensorinya untuk mendapatkan produk terbaik.

Diagram alir penelitian pendahuluan tahap II disajikan pada Gambar 4.

3.3.2. Penelitian lanjutan

Penelitian lanjutan dilakukan dalam 3 tahap, yaitu:

(48)

Prosedur pelaksanaan penelitian lanjutan tahap I adalah:

a. Preparasi ikan tuna dan kelapa dilakukan seperti pada penelitian pendahuluan tahap II.

b. Preparasi tapioka. Tapioka disiapkan dengan menimbang sebanyak 5% dari total adonan.

c. Preparasi bumbu dilakukan seperti pada penelitian pendahuluan tahap II. d. Bahan utama, bahan pengikat, dan bumbu yang telah disiapkan, dicampur jadi

satu dalam adonan dengan 5 formulasi. Satu (1) formulasi dibuat berdasarkan referensi lapangan dan berfungsi kontrol. Formulasi bahan penyusun tumpi ikan tuna disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Reformulasi bahan-bahan penyusun tumpi ikan tuna dan formulasi berdasarkan referensi lapangan

Formulasi Bahan-bahan penyusun (%)

Ikan Tuna Kelapa Tapioka Bumbu

A 50 30 5 15

B 55 25 5 15

C 60 20 5 15

D 65 15 5 15

E 70 10 5 15

F (kontrol) 30 45 10 15

e. Adonan dihomogenkan dengan food processor, selanjutnya dicetak dengan bentuk segi tiga sama sisi menggunakan cetakan plastik.

f. Adonan yang sudah dicetak digoreng dengan metode deep fat frying pada suhu 160-180oC. Lama waktu penggorengan dilakukan berdasarkan waktu terbaik pada penelitian pendahuluan tahap II.

g. Tumpi yang dihasilkan dianalisis sifat sensorinya untuk mendapatkan produk terbaik. Produk terbaik yang dihasilkan dianalisis karakteristik kimianya. 2) Tahap II adalah menghitung angka kecukupan gizi tumpi terbaik yang

dihasilkan dari penelitian lanjutan tahap I.

(49)

33

Keterangan :

I1K1 = ikan panggang + kelapa muda I1K2 = ikan panggang + kelapa setengah tua I1K3 = ikan panggang + kelapa tua

I2K1 = ikan asap + kelapa muda I2K2 = ikan asap + kelapa setengah tua I2K3 = ikan asap + kelapa tua

Penggorengan pada suhu 160-180oC

Tumpi: I1K1, I1K2, I1K3,I2K1, I2K2, I2K3

Gambar 3 Diagram alir penelitian pendahuluan tahap I. Uji sensori

(50)

Gambar 4 Diagram alir penelitian pendahuluan tahap II. Tapioka Kelapa halus

Pencampuran bahan berdasarkan referensi lapangan: 30% ikan: 45% kelapa:10% tapioka:15% bumbu

Penghomogenan dengan food processor

Penggorengan pada suhu 160-180oC, selama t1, t2, dan t3

K1t1 = tumpi setengah matang (precooked) dari kelapa parut diperas 1x K1t2 = tumpi matang (cooked) dari kelapa parut diperas 1x

K1t3 = tumpi lewat matang(overcooked) dari kelapa parut diperas 1x K2t1 = tumpi setengah matang (precooked) dari kelapa parut tanpa diperas K2t2 = tumpi matang (cooked) dari kelapa parut tanpa diperas

K2t3 = tumpi lewat matang(overcooked) dari kelapa parut tanpa diperas K3t1 = tumpi setengah matang (precooked) dari kelapa sangrai

K3t2 = tumpi matang (cooked) dari kelapa sangrai

K3t3 = tumpi lewat matang (overcooked) dari kelapa sangrai

Gambar

Gambar produk tumpi tuna pada penyimpanan hari ke-4
Tabel 2 Kandungan gizi bawang merah per 100 g
Gambar 1 Bentuk tubuh beberapa spesies ikan tuna.
Gambar 3 Diagram alir penelitian pendahuluan tahap I.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian yang dilakukan diameter zona hambat yang terbentuk lebih besar dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, dimana Tuntun (2016) mendapatkan bahwa ekstrak

Penelitian ini berusaha menjawab permasalahan penelitian, yaitu “Berapa besar pengaruh dari kesadaran pribadi guru, kesadaran publik guru, kesadaran yang berkaitan

Selrianus 2008 telah melakukan penelitian tentang air cooler : a mencari dan memilih bahan bersifat alamiah yang bisa digunakan sebagai bahan untuk cooling pad pada evaporative cooler

Tugas akhir ini merupakan penelitian terkait tingkatan partisipasi warga Baluwarti dalam melestarikan bangunan dan struktur cagar budaya di kawasan tempat tinggalnya,

Titik (dalam Putra, 2012) menyatakan bahwa salah satu faktor pendorong seseorang untuk berwirausaha yaitu The parental refugee yang menjelaskan banyak individu

Apabila liau (roh) orang yang meninggal tersebut tidak mau menyerahkan roh orang yang hidup tersebut kepada Patahu, maka hampatung panduk apui (patung yang terbuat dari sisa

Informasi yang diperoleh dari Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan (BKP3) Kabupaten Bantul (2012), di Kecamatan Pajangan terdapat sebuah lembaga pertanian