• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

Klien mampu mengenal dan mengontrol halusinasinya sehingga apabila penyakitnya kambuh klien mampu mengatasi secara mandiri.

2. Bagi Praktek Keperawatan

Sebagai penambahan informasi bagaimana peningkatan pemberian TAK pada klien skizofrenia di pemberian TAK terhadap perubahan gejala halusinasi pada klien skizofrenia di RSJ terutama di RSJ Prof.Dr.Muhammad Ildrem Daerah Provsu Medan.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Sebagai data dasar dan data pendukung bagi peneliti selanjutnya untuk dapat melanjutkan penelitian.

7 A. Konsep Skizofrenia

1. Definisi Skizofrenia

Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Sadock, 2003).

Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya dibagi dalam tiga kategori yaitu gejala positif termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif);

gejala negatif ini dimaksudkan karena merupakan kehilangan dari ciri khas atau fungsi normal seseorang, termasuk kurang atau tidak mampu menampakkan/mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurang dorongan untuk beraktifitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan bicara (alogia); serta gejala disorganisasi, baik dari perilaku aneh (Bizzare) dan ganguan pembicaraan (Wiramihardja,2005).

2. Tipe Skizofrenia

Diagnosa Skizofrenia berawal dari Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) yaitu: DSM-III (American Psychiatric Assosiation, 1980) dan berlanjut dalam DSM-IV (American Psychiatric Assosiation,1994) dan DSM-IV-TR (American Psychiatric Assosiation,2000). Berikut ini adalah tipe skizofrenia dari DSM-IV-TR 2000. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala yang dominan yaitu (Davison, 2006) :

a. Tipe Paranoid

Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau

halusinasi auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afektif yang relatif masih terjaga.Waham biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya waham kecemburuan, keagamaan, atau somalisas) mungkin juga muncul.Ciri-ciri lainnya meliputi ansietas, kemarahan, menjaga jarak dan suka berargumentasi dan agresif.

b. Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)

Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate.

Pembicaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi pembicaraan.Disorganisasi tingkah laku dapat membawa pada gangguan yang serius pada berbagai aktivitas hidup sehari-hari.

c. Tipe Katatonik

Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat meliputi ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility).

Aktivitas motor yang berlebihan, negativisme yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain (echopraxia).

d. Tipe Hebefrenik

Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan perubahan pola simptom-simptom yang cepat menyangkut semua indikator skizofrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet, kebingungan (confusion), emosi yang tidak dapat dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi yang berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan ketakutan.

e. Tipe Residual

Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti keyakinan-keyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak sepenuhnya delusional.

Gejala-gejala residual itu dapat meliputi menarik diri secara sosial, pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas dan afek datar.

3. Etiologi Skizofrenia

Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab skizofrenia, antara lain :

a. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya skizofrenia meliputi faktor biologis, psikologis, dan sosiokltural.

1) Faktor Biologis

Faktor biologi yang dapat menyebabkan terjadinya skizofrenia antara lain: faktor genetik, neuroanatomi dan imunovirologi (Videbeck, 2011).

a) Genetik

Meskipun genetika merupakan faktor risiko yang signifikan, belum ada penanda genetika tunggal yang diidentifikasi.

Risiko terjangkit skizofrenia bila gangguan ini ada dalam keluarga meliputi: satu orangtua yang terkena; resiko 12%

sampai 15% kedua orangtua terkena penyakit ini; risiko 35% sampai 39%, saudara kandung yang terkena; risiko 8%

sampai 10%, kembar dizigotik yang terkena; risiko 15% dan kembar monozigot yang terkena; risiko 50% (Isaac, 2005).

Sehingga dapat dikatakan faktor genetik dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya skizofrenia dan mengetahui risiko seseorang mengalami skizofrenia dilihat dari faktor keturunannya.

b) Neuroanatomi

Perkembangan teknik pencitraan non invasif, seperti CT Scan, magnetic resonance imanging (MRI), dan positron emmision tomography (PET) dalam 25 tahun terakhir, para ilmuwan mampu menilai struktur otak (neuroanatomi) yang menderita skizofrenia. Penelitian menunjukkan bahwa individu yang menderita skizofrenia memiliki jaringan otak yang relatif sedikit, hal ini memperlihatkan suatu kegagalan perkembangan atau kehilangan jaringan selanjutnya. CT Scan menunjukkan pembesaran vertikel otak dan atrofi korteks otak (Videbeck, 2011).

c) Neurokimia

Teori neurokimia yang paling terkenal saat ini mencakup dopamin dan serotonin dan teori ini dikembangkan berdasarkan dua tipe observasi. Pertama, obat-obatan yang meningkatkan aktivitas pada sistem dopaminergi, seperti amfetamin dan levodopa, kadang-kadang menyebabkan reaksi psikotikparanoid yang sama dengan skizofrenia.

Kedua, obat-obatan yang menyekat reseptor dopamin pascaipnatik mengurangi gejala psikotik yang pada kenyataannya, semakin besar kemampuan obatuntuk menyekat reseptor dopamin, semakin efektif obat tersebut dalam mengurangi gejala skizofrenia (Bhucanan &

Carpenter, 2005 dalam Videbeck, 2011) sehingga dapat dikatakn bahwa neurokimia sangat berpengaruh dalam skizofrenia.

d) Imunovirologi

Teori populer yang mengatakan bahwa perubahan patologi otak pada individu yang menderita skizofrenia dapat

disebabkan oleh pajanan virus, atau respon imun tubuh terhadap virusdapat mengubah fisiologi otak. Laporan data epidemiologis menunjukkan tingginya insiden terjadinya skizofrenia setelah kehamilan terpapar dengan influenza (Sadock, 2007). Hal ini didukung para peneliti memfokuskan infeksi pada ibu hamil sebagai kemungkinan penyebab awal skizofrenia di ikuti epidemik (Videbeck, 2011). Sehingga bisa dikatakan ibu hamil yang terkena infeksi nisa menyebabkan skizofrenia.

2) Faktor Psikologi

Pada awal teori didapatkan ada kurangnya hubungan antara orangtua dan anaknya dan disfungsi pada sistem keluarga yang dapat menjadi penyebab terjadinya skizofrenia (Townsend, 2009). Teori-teori yang berkaitan dengan peran keluarga dalam munculnya skizofrenia belum divalidasi dengan penelitian tetapi bagian fungsi keluarga yang telah diimplikasikan dalam peningkatan angka kekambuhan individu dengan skizofrenia adalah sangat mengekspresikan emosi (Isaac, 2005). Pada penelitian ini dikatakan skizofrenia pada anak dapat menunjukkan adanya kelainan secara halus yaitu pada perhatian, kemampuan sosial, koordinasi, fungsi neuromotor serta respon emosional sebelum mereka menunjukkan gejala yang jelas dari skizofrenia (Schiffman et al, 2004 dalam Stuart, 2009)

3) Faktor Sosiokultural

Menurut Towsend (2009) faktor sosialkultural meliputi fungsi dalam keluarga, komunikasi double bind serta ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi tugas perkembangannya. Videbeck (2008) mendukung pernyataan ini bahwa skizofrenia terjadi karena faktor interpersonal yang meliputi komunikasi yang tidak

efektif, ketergantungan yang berlebihan atau menarik diri dalam hubungan, dan kehilangan kontrol emosi. Kondisi ini meunjukkan bahwa komunikasi yang tidak efektif pada anak dapat menjadikan mereka kurang percaya diri sehingga sulit untuk berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang lain, bahkan anak dapat bertindak semena-mena karena adanya kesulitan dalam mengontrol emosi yang mengarah pada perilaku kekerasan.

b. Faktor Prespitasi 1) Faktor Biologi

Faktor stressor yang menjadi prespitasi skizofrenia secara biologis dapat disebabkan oleh gangguanumpan balik diotak yang mengatur jumlah dan waktu dalam proses informasi.

Stressor biologis meliputi penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan struktur otak. Faktor biologis lainnya merupakan predisposisi bisa menjadi presipitasi dengan memperhatikan asal stressor; baik internal atau lingkungan eksternal individu.

Sehingga penting untuk dikaji dari waktu dan frekuensi terjadinya perilaku kekerasan (Stuart & Laraia, 2005).

2) Faktor Psikologi

Stressor psikologis merupakan pengalaman mendapatkan abuse dalam keluarga atau terkait dengan kegagalan dan untuk stressor lain diantaranya adalah aturan dimasyarakat, tuntutan masyarakat yang tidak ralistik sesuai kemampua. Faktor pencetus individu mengalami skizofrenia secara psikologis dapat diakibatkan oleh toleransi terhadap koping individu yang tidak efektif, inpulsif, dan membayangkan atau secara nyata adanya ancaman terhadap keberadaan dirinya, tubuh atau kehidupan, yang menjadikan klien berperilaku maladaptif

rendah diri, perilaku kekerasan, dan kesalahan mempersepsikan stimulus yang tampak pada klien halusinasi. Hal ini didukung oleh Fontaine (2009) yang mengatakan bahwa perilaku agresif atau perilaku kekerasan bisa terjadi karena adanya perasaan marah atau kemarahan, ansietas, rasa bersalah, frustasi atau kecurigaan (Townsend, 2009) sehingga dengan adanya faktor pencetus atau faktor presipitasi yang telah dijelaskan diatas, mampu menyebabkan perilaku kekerasan, halusinasi, dan harga diri rendah.

3) Faktor Sosiokultural

Faktor ini sangta memicu terjadinya skizofrenia, dimana sudah banyak penelitian yang menghubungkan terhadap kelas sosial.

Data statistik epidemiologi telah menunjukkan bahwa individu dari kelas sosial ekonomi rendah lebih besar mengalami gejala-gejala yang berhubungan dengan skizofrenia dibandingkan yang berasal dari kelompok sosial ekonomi yang lebih tinggi Ho, Black, dan Andreasan, 2003 dalam Barlow dan Durand, 2005).

4. Tanda dan Gejala Skizofrenia

Penilaian yang dilakukan individu saat menghadapi stressor yang datang dengan mempergunakan respon kognitif, afektif, perilaku, dan sosial. Bisa dikatakan penilaian kognitif adalah suatu mediator dimana individu dapat menganalisa stressor yang ada lingkungan yang berhubungan dengan dirinya dimana individu yang mengalami halusinasi tidak mampu untuk berfikir konkrit. Sedangkan respon afektif merupakan respon yang dirasakan saat terjadi stressor yang berkaitan dengan ekspresi emosi seperti gembira/senang maupun sedih. Respon perilaku adalah respon yang terjadi saat adanya perubahan fisiologis sebagai suatu kemampuan dalam bertindak dalam mempergunakan pikiran dalam menghadapi stressor yang datang berupa reflek karena respon perilaku ditentukan oleh

kemampuan kognitif dalam menentukan seseorang dalam berperilaku.

Sedangkan respon sosial dipengaruhi orang-orang yang terdekat individu dalam menghadapi stressor yang datang. Kesimpulannya penilaian stressor merupakan penilaian disaat stressor datang yang menimbulkan tanda dan gejala yang dilihat dari respon kognitif, afektif, perilaku, dan sosial.

5. Gejala Klinis Skizofrenia a. Gejala positif skizofrenia

Gejala-gejala positif yang diperlihatkan pada penderita Skizofrenia adalah sebagai berikut :

1) Delusi atau waham, yaitu suatu keyakina yang tidak rasional (tidak masuk akal). Meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakina itu tidak rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya.

2) Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan (stimulus). Misalnya penderita mendengar suara-suara atau bisikan-bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber suara atau bisikan itu.

3) Kekacauan alam pikir, yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya. Misalnya pembicaraanya kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya.

4) Gelisah, gaduh, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat dan gembira dengan berlebihan.

5) Merasa dirinya “orang besar”, merasa besar mampu, serta hebat dan sejenisnya.

6) Pikiran penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap dirinya

7) Menyimpan rasa permusuhan.

b Gejala Negatif Skizofrenia

Gejala-gejala negatif yang diperlihatkan pada penderita Skizofrenia adalah sebagai berikut :

1) Gangguan afek dan emosi

Gangguan dan emosi pada skizofrenia berupa adanya kedangkalan afek dan emosi (emotional blunting), misalnya : pasien menjadi acuh tak acuh terhadap hal-hal yang penting untuk dirinya sendiri seperti keadaan keluarga dan masa depannya serta perasaan halus sudah hilang, hilangnya kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi yang baik (emotional rapport), terpecah belahnya kepribadian maka hal-hal yang berlawanan mungkin terdapat bersama-sama, umpamanya mencintai dan membenci satu orang yang sama atau menangis, dan tertawa tentang suatu hal yang sama (ambivalensi) (Lumbantobing, 2007).

2) Alogia

Penderita sedikit saja berbicara dan jarang memulai percakapan dan pembicaraan. Kadang isi pembicaraan sedikit saja maknanya. Ada pula pasien yang mulai berbicara yang bermakna, namun tiba-tiba ia berhenti bicara, dan baru bicara lagi setelah tertunda beberapa waku (Lumbantobing, 2007).

3) Avolisi

Ini merupakan keadaan dimaa pasien hampir tidak bergerak, gerakannya miskin. Kalau dibiarkan akan duduk seorang diri, tidak bicara, tidak ikut beraktivitas jasmani (Lumbantobing, 2007).

4) Anhedonia

Tidak mampu menikmati kesenangan, dan menghindari pertemanan dengan orang lain (Asociality) pasien tidak

mempunyai perhatian, minat pada rekreasi. Pasien yang sosial tidak mempunyai teman sama sekali, namun ia tidak memperdulikannya (Lumbantobing, 2007).

5) Gejala Psikomotor

Adanya gejala katatonik atau gangguan perbuatan dan sering mencerminkan gangguan kemauan. Bila gangguan hanya kemauan saja maka dapat dilihat adanya gerakan yang kurang luwes atau agak kaku, stupor dimana pasien tidak menunjukkan pergerakan sam sekali dan dapat berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan dan kadang bertahun-tahun lamanya pada pasien yang sudah menahun; hiperkinese dimana pasien terus bergerak saja dan sangat gelisah (Kaplan & Sadock, 2010).

6. Karakteristik Penderita Skizofrenia

Klien skizofrenia mempunyai karakterisitik menurut umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, dan lama dirawat, yang dijelaskan sebagai berikut:

a. Umur

Umur berhubungan dengan pengalaman seseorang dalam menghadapi berbagai stressor, kemampuan memanfaatkan sumber dukungan dan keterampilan dalam mekanisme koping (Stuart & Laraia, 2005).

Penelitian yang dilakukan Siagian (1995, dalam Parendrawati, 2008) mengemukakan bahwa semakin lanjut usia seseorang semakin meningkat pola kedewasaan psikologis dengan menunjukkan kematangan jiwa, semakin bijaksana, mampu berfikir secara rasional, mengendalikan emosi dan bertoleransi terhadap orang lain.

Pertumbuhan dan perkembangan normal sesuai umur meliputi perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional yang terjadi selama masa kehidupan individu (Santrock, 2007). Pcertumbuhan mencakup

perubahan fisik yang terjadi sejak periode prenatal sampai dewasa lanjut yang dapat berupa kemajuan atau kemunduran. Perkembangan bersifat dinamis dan melibatkan progresifitas dan penurunan (Berger, 2005). Keberhasilan dan kegagalan dalam suatu fase akan mempenagruhi kemampuannya untuk menyelesaikan fase berikut.

Jika individu mengalami kegagalan perkembangan yang berulang akan terjadi kecacatan, tetapi jika individu mengalami keberhasilan yang berulang akan meninhkatkan kesehatannya.

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah ciri-ciri fisik, karakter dan sifat yang berbeda (Stuart & Laraia, 2005). Penderita gangguan jiwa ringan pada perempuan terjadi dua kali lebih banyak dibanding laki-laki dan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi. Penderita gangguan jiwa berat lebih banyak diderita laki-laki daripada perempuan (Riskesdas-Depkes, 2007).

c. Status Perkawinan

Pada individu yang tidak memiliki pasangan atau mengalami perceraian berisiko tinggi mengalami gangguan jiwa (Stuart &

Sundeen, 2005). Widya (2007) mengungkapkan bahwa gangguan jiwa sering dialami oleh individu yang bercerai dibandingkan dengan yang sudah menikah. Hal ini berbeda dengan pendapat Dantas, et.al. (2011) dan Folsom, et.al. (2009) yang menunjukkan klien skizofrenia umumnya terjadi pada individu yang belum menikah.

d. Pendidikan

Pendidikan adalah status resmi tingkat pendidikan terakhir yang ditempuh oleh pasien. Pendidikan menjadi suatu tolak ukur kemampuan klien untuk berinteraksi secara efektif (Stuart & Laraia, 2005). Menurut Potter dan Perry (2005), keikutsertaan klien dalam

belajar secara tidak langsung dipenagruhi oleh keinginan untuk mendapatkan pengetahuan dan kemampuan. Wibowo (1997) dalam penelitiannya tentang karakteristik penderita skizofrenia menunjukkan bahwa individu banyak terjadi gangguan jiwa pada tingkat pendidikan SMA. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Tek, Kirkpatrick

& Buchanan (2001), Folsom, et.al. (2009) bahwa skizofrenia terjadi setelah individu telah berpendidikan selama 11,5 tahun dan 12,7 tahun.

e. Lama Dirawat

Lama dirawat adalah waktu atau lamanya pasien terpapar stresor, yakni terkait sejak kapan, sudah berapa lama, dan berapa frekwensi (Stuart & Laraia, 2005). Aspek stressor yang dapat mempengaruhi respon stres adalh intensitas, jangkauan, durasi, jumlah dan sifat stresor lain, prekdiktabilitas. Karakteristik individual yang dapat mempengharuhi respon stres adalah tingkat pengontrolan personal, ketersediaan dukungan sosial, perasaan mampu/kompetensi, penghargaan kognitif (Potter & Perry, 2010)

B. Konsep Halusinasi 1. Defenisi Halusinasi

Halusinasi adalah persepsi sensori yang salah atau pengalaman persepsi eksternal yang tidak realita atau tidak ada (Videbeck, 2008). Halusinasi adalah suatu keadaan dimana individu mengalami suatu perubahan dalam jumlah atau pola ransang yang mendekat (baik yang dimulai secara eksternal maupun internal) disertai dengan respon yang berkurang, dibesar-besarkan, distorsi atau kerusakan rangsang tertentu (Towsend, 1998 dalam Yosep 2008). Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari panca indera tanpa adanya ransangan (stimulus) eksternal (Stuart &

Laraia, 2005).

2. Rentang Respon Halusinasi

 Reaksi emosional >/<

 Perilaku anah/ tidak biasa

 Menarik diri

o Gangguan piker o Sulit merepon emosi o Perilaku

Memberi rasa nyaman, tingkat ansietas sedang, secara umum halusinasi merupakan suatu kesenangan dengan karakteristik : 1) Klien mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan.

2) Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas.

3) Pikiran dan pengalaman masih dalam kontrol kesadaran.

Perilaku klien :

1) Tersenyum atau tertawa sendiri.

2) Menggerakkan bibir tanpa suara.

3) Pergerakan mata yang cepat.

4) Respon verbal yang lambat.

5) Diam dan berkonsentrasi.

b. Tahap II (Condeming):

Menyalahkan, tingkat kecemasan berat, secara umum halusinasi menyebabkan rasa antipasti dengan karakteristik :

1) Pengalaman sensori menakutkan.

2) Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut.

3) Mulai merasa kehilangan kontrol.

4) Menarik diri dari orang lain.

Perilaku klien :

1) Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah.

2) Perhatian dengan lingkungan berkurang.

3) Konsentrasi terhadap pengalaman sensorinya.

4) Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan realitas.

c. Tahap III (Controlling):

Mengontrol, tingkat kecemasan berat, pengalaman halusinasi tidak dapat ditolak lagi dengan karakteristik :

1) Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya (halusinasi).

2) Isi halusinasi menjadi atraktif.

3) Kesepian bila pengalaman sensori berakhir.

Perilaku klien :

1) Perintah halusinasi ditaati.

2) Sulit berhubungan dengan orang lain.

3) Perhatian terhadap lingkungan berkurang, hanya beberapa detik.

11

4) Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tampak tremor dan berkeringat.

d. Tahap IV (Conquering):

Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi, klien tampak panik.

Karakteristiknya yaitu suara atau ide yang datang mengancam apabila tidak diikuti.

Perilaku klien : 1) Perilaku panik.

2) Resiko tinggi mencederai.

3) Agitasi atau kataton.

4) Tidak mampu berespon terhadap lingkungan.

4. Jenis halusinasi

Berbagai jenis halusinasi antara lain (Cancro & Lehman, 2000):

a. Halusinasi pendengaran

Mendengar suara-suara, paling sering adalah suara orang, berbicara kepada pasien atau membicarakan pasien. Mungkin ada satu atau banyak suara; dapat berupa suara orang yang dikenal atau tidak dikenal. Halusinasi pendengaran merupakan jenis halusinasi yang paling sering terjadi. Halusinasi berupa perintah, suara-suara yang menyuruh pasien untuk mengambil tindakan, seringkali membahayakan diri sendiri atau orang lain dan dianggap berbahaya.

b. Halusinasi penglihatan

Melihat bayangan yang sebenarnya tidak ada sama sekali, misalnya cahaya atau orang yang telah meninggal, atau mungkin sesuatu yang bentuknya rusak. Halusinasi ini merupakan jenis halusinasi kedua yang sering terjadi

c. Halusinasi penciuman

Mencium aroma atau bau padahal tidak ada. Bau tersebut dapat berupa bau tertentu seperti urine atau feses, atau bau yang sifatnya lebih umum , misalnya bau busuk atau bau yang tidak sedap. Jenis

halusinasi ini sering ditemukan pada pasien demensia, kejang atau stroke.

d. Halusinasi pengecapan

Mencakup rasa yang tetap ada dalam mulut, atau perasaan bahwa makanan terasa seperti sesuatu yang lain. Rasa tersebut bisa seperti rasa logam atau pahit atau mungkin seperti rasa tertentu.

e. Halusinasi taktil

Mengacu pada sensasi seperti aliran listrik yang menjalar ke seluruh tubuh atau seperti binatang kecil yang merayap di kulit. Paling sering ditemukan pada pasien yang mengalami putus alcohol.

f. Halusinasi kenestetik

Meliputi laporan pasien bahwa ia merasakan fungsi tubuh yang biasanya tidak bisa dideteksi. Contohnya sensasi pembentukan urine atau impuls yang ditransmisikan melalui otak.

g. Halusinasi kinestetik

Terjadi ketika pasien tidak bergerak tetapi melaporkan sensasi gerakan tubuh. Gerakan tubuh kadang kala tidak lazim, misalnya melayang di atas tanah. (Videbeck, 2008).

5. Faktor-faktor mempengaruhi Halusinasi a. Faktor Predisposisi

1) Biologis

Abnormalitas perkembangan system saraf yang berhubungan dengan respon neorobiologis yang mal adaptif.

2) Psikologis

Penolakanatau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien

3) Sosial budaya

Seperti kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusakan, bencana alam) dan kehidupan yang tersolasi disertai stress.

b. Faktor Presipitas 1) Biokimia

Dopamine, norepineprin, zat halusinagen dapat menimbulkan persepsi yang diinginkan oleh klien sehingga klien cenderung membenarkan apa yangdikhayal.

2) Sosial budaya

Teori ini mengatakan bahwa stress lingkungan dapat menyebabkan terjadinya respon neurobiologist yang maladaptifve, misalnya lingkungan yang penuh dengan kritik (bermusuhan); kehilangan kemandirian dalam kehidupan;

kehilangan harga diri ; kerusakan dalam hubungan interpersonal; kesepian; tekanan dalam pekerjaan, dan kemiskinan.

6. Tanda dan gejala halusinasi

Adapun tanda dan gejala halusinasi adalah sebagai berikut : a. Berbicara, senyum dan tertawa sendiri.

b. Mengatakan mendengar suara, melihat, menghirup, mengecap dan merasakan sesuatu yang tidak nyata.

c. Merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

d. Tidak dapat membedakan hal yang nyata dan hal tidak nyata, serta tidak mampu melakukan asuhan keperawatan mandiri seperti mandi, sikat gigi, berganti pakaian dan berhias yang rapi.

e. Sikap curiga, bermusuhan, menarik diri, sulit membuat keputusan, ketakutan, mudah tersinggung, jengkel, mudah marah, ekspresi wajah

tegang, pembicaraan kacau dan tidak masuk akal, banyak keringat.

(Towsend & Mary, 1995 dalam Cyber Nurse 2009)

C. Konsep Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) 1. Defenisi kelompok

Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama Stuart & Laraia (2001, dalam Keliat & Akemat, 2004). Terapi kelompok adalah metode pengobatan ketika klien ditemui dalam rancangan waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi persyaratan tertentu. Fokus terapi kelompok adalah membuat sadar diri (self-awareness), peningkatan hubungan interpersonal, membuat perubahan atau ketiganya (Keliet &

Akemat, 2004).

Dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi halusinasi dibagi dalam 5 sesi, yaitu sesi I klien mengenal halusinasi, sesi II klien mengontrol halusinasi dengan menghardik, sesi III klien mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap dengan orang lain, sesi IV klien

Dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi halusinasi dibagi dalam 5 sesi, yaitu sesi I klien mengenal halusinasi, sesi II klien mengontrol halusinasi dengan menghardik, sesi III klien mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap dengan orang lain, sesi IV klien

Dokumen terkait